5. Obat Nyamuk
Happy reading :)
***
Dingin menyergap, aku menggeragap. Ah, ternyata aku ketiduran dengan AC yang menyala maksimal. Kucari selimut untuk menghangatkan badan dan berniat melanjutkan tidur yang terganggu.
"Kenapa, Sar? Dingin, ya?" Terdengar suara dari pojokan, tempat meja kerja dan papan gambar Mas Ahim diletakkan.
Mas Ahim seorang arsitek. Dia bergabung di biro arsitek yang didirikan Mbak Hana dan Mas Raka, suami Mbak Hana. Mereka bertiga sama-sama arsitek. Jadi cocok.
"Iya nih, dingin banget. Udah tahu kalau kerja sukanya dingin, mbok ya istrinya tuh diselimutin, jangan cuek aja," gerutuku.
Mas Ahim menghentikan sejenak aktivitasnya dan menghampiriku. Disodorkannya susu coklat hangat bikinannya sendiri. "Nih, minum yang anget- anget."
"Makasih. Ini kamu yang bikin sendiri?" tanyaku retoris.
"Iyalah, kan istrinya cuma satu, udah tidur pula. Masa iya tiba-tiba cling, ada susu coklat panas di mejaku." Dia menyindirku rupanya.
"Nggak usah mulai deh. Kalau nggak ikhlas ngasih minumnya ya nggak usah aja. Pakai bahas istri cuma satu segala." Aku jadi sewot. Kutarik selimut dan mengambil posisi siap tidur lagi.
"Jangan tidur lagi dong, Sar. Temenin kek biar nggak sepi. Kamu kan kalau melek kayak radio rusak, ngomong terus nggak jelas." Kelihatannya Mas Ahim gatal kalau nggak mengejekku.
"Emoh. Aku ngantuk."
"Wah, nggak punya empati kamu. Padahal aku kerja buat kita lho." Dia mulai lebay.
"Lah, salah sendiri aku nggak dibolehin kerja. Ya risikonya kamu sendiri yang cari duit buat kita." Aku makin sewot.
Bicara soal kerja memang sedikit membuatku sebal. Ijazahku bahkan belum pernah kugunakan untuk melamar satupun lowongan kerja. Setelah menikah, ingin berkarir di luaran sana juga izin dari Mas Ahim belum turun sampai detik ini.
"Ayolah, Sar, temenin aku nyelesaiin kerjaan. Sebentar aja deh. Satu jam aja. Habis itu tidur lagi sama aku." Dia duduk di tepi tempat tidur, masih kukuh membujukku. Aku berbalik memunggunginya.
"Satu jam tuh lama, Mas. Besok kalau aku kesiangan kamu protes lagi." Aku menjawab sambil menengok jam dinding di atas pintu. Baru 20.51. Kukira sudah larut malam.
Kami sedang sama-sama diam saat terdengar dering handphone yang mengagetkan. Asal suaranya dari atas meja kerja Mas Ahim, jadi sudah pasti gawai miliknya yang berbunyi.
"Kalau kamu nggak mau nemenin, terus yang nelpon itu mau nemenin aku, gimana?" Mas Ahim menantangku.
"Ya silakan aja." Aku sok cuek.
"Boleh aku angkat telponnya?"
"Angkat aja, kenapa juga harus izin sama aku?"
"Bener, nggak apa-apa? Kamu nggak cemburu?"
"Apa sih, Mas? Iya, udah sana angkat aja. Suruh nemenin sampai kerjaanmu kelar."
"Ini yang telpon Danti lho, Sar. Dari tadi dia beberapa kali telpon, tapi nggak kuangkat."
Kali ini aku diam. Merasa terharu, karena untuk mengangkat telepon saja dia menunggu izin dariku. Eh, atau..., aku cemburu? Huh, kayaknya nggak mungkin, sih.
Mbak Danti adalah pacar terakhir Mas Ahim yang terpaksa putus di tengah jalan karena pernikahan kami. Sebenarnya aku ada rasa tak enak hati pada Mbak Danti. Dia kakak kelasku waktu SMP. Kami bahkan pernah berada di satu organisasi yang sama. Menurutku dia senior yang baik. Dia juga cantik, lemah lembut, dan pintar.
Kuhela napas panjang. "Iya beneran nggak apa-apa, angkat aja. Tapi ngobrolnya di sini aja ya, jangan keluar dari kamar."
Suaraku melirih. Entah kenapa aku mendadak takut Mas Ahim balikan dengan Mbak Danti. Astaghfirullah.
"Kamu nggak suka kalau aku terima telpon dari Danti? Kalau kamu nggak suka nggak apa-apa, nggak akan aku angkat." Mas Ahim kembali bertanya, meyakinkan aku sebelum dia benar-benar menerima telepon dari sang mantan.
Ya Allah, walaupun nyebelin tapi Mas Ahim ini bener-bener mau belajar menghargai perasaanku. Rasanya aku ingin menangis menerima kebaikannya.
"Nggak apa-apa, Mas. Beneran. Udah angkat aja. Siapa tahu penting."
Aku nggak jadi ngantuk. Memang aslinya juga sudah nggak ngantuk, sih. Tadi kan cuma jual mahal aja sama Mas Ahim. Duh, kualat sama suami.
Tapi tetap saja aku berpura-pura tidur, tentunya sambil memasang kuping baik-baik agar bisa menyimak obrolan Mas Ahim dengan Mbak Danti, meskipun tak tertangkap jelas apa yang mereka bahas sampai obrolan berakhir.
"Sar, kamu belum tidur, kan? Nggak berhasil nguping, ya?" Dia tertawa mengejek. Menyebalkan sekali.
"Ngapain juga nguping." Dustaku.
"Harusnya sih kalau tahu diri dan sadar status ya nggak perlu diminta udah langsung aktifin loudspeaker. Memang dasar pengen rahasia-rahasiaan." Sambungku lagi.
"Lah, kok marah? Tadi kamu sendiri lho yang kasih izin." Mas Ahim mendekat kepadaku. Aku bergeming dari posisi tidurku.
"Ssstt, brisik." Aku mencebik.
"Kalau soal loudspeaker, aku nggak kepikiran, Sar. Selama ini aku jarang banget dan nggak suka ngobrol sambil aktifin loudspeaker. Mending pakai bluetooth, earphone, atau---"
"Udah sih, Mas, nggak usah dibahas. Bangga bener habis ditelpon mantan. Udah ah, aku ngantuk." Kutarik selimutku, bersiap untuk kembali memejamkan mata.
"Besok Danti ngajak ketemuan, Sar. Boleh?" Mas Ahim meminta izin.
"Hmmm...." Aku berpura-pura ngantuk berat.
"Aku tau kok kamu cuma pura-pura ngantuk. Ya udah, kita bahas besok habis subuh aja, ya. Kamu pura-pura tidur aja sekuatmu, sampai bisa tidur beneran. Aku mau nerusin kerjaanku. Sendiri juga nggak apa-apa."
Kali ini sindiran Mas Ahim bener-bener nggak enak didengar. Tapi mau bangun juga aku gengsi, akhirnya kupilih untuk melanjutkan saja tidur pura-puraku.
Kudengar Mas Ahim kembali ke meja kerjanya. Tak sampai dua menit, lampu kamar berganti lampu tidur yang redup. Mas Ahim menuju tempat tidur kami. Diselimutinya aku, lalu berbaring di belakangku. Sangat dekat, hingga hangat nafasnya terasa di tengkukku.
Aku berusaha mati-matian menyembunyikan debar. Tapi begitu dia melingkarkan tangannya di pinggangku, semuanya ambyar. Aku bukan hanya berdebar, tapi naik level jadi gemetar. Duh, malu.
"Ya Allah, Sar, kamu kok gemeteran gini. Dingin banget, ya? Mau dimatiin AC-nya apa mau kupeluk aja?" Mas Ahim berbisik di telingaku. Aku makin tak karuan.
"Sarah, kamu marah? Ayolah, aku tahu kok kamu belum tidur. Kalau kamu masih diem aja, aku apa-apain lho ya," ancam Mas Ahim.
Rupanya dia mulai nggak sabar ngadepin diamku. Tangannya mulai kemana-mana. Entah, ini ancaman atau memang dia sudah tak bisa menahan keinginan yang satu itu.
"Apaan sih? Habis ditelpon mantan terus gerayangan nggak jelas gitu."
Kutepis tangannya, lalu aku bangkit dari tidurku. Aku takut kebablasan. Sejujurnya aku mulai menikmati sentuhan-sentuhan Mas Ahim padaku, tapi aku belum siap.
"Nah, gitu dong. Orang belum tidur kok ya sok-sokan merem lho. Memangnya kuat berapa lama pura-pura tidur sambil nahan cemburu?" Dia tertawa. Mengganti posisinya dan duduk di belakangku.
"Ngobrol yuk, Sar. Mau ngadep aku apa mau begini aja? Kalau begini, nanti ngobrolnya sambil aku peluk dari belakang." Dia menggoda lagi.
"Ih apaan sih. Genit!"
Aku membalikkan badan menghadap Mas Ahim. Dia tertawa, merasa menang.
Lalu kami berbincang, membicarakan Mbak Danti yang ingin bertemu Mas Ahim besok pagi. Kata Mas Ahim, Mbak Danti sedang butuh curhat. Dan baginya, Mas Ahim masih menjadi tempat ternyaman untuk itu. Mbak Danti sudah menahan diri untuk tak menumpahkan kesahnya pada Mas Ahim, tapi setelah hampir dua minggu, akhirnya pertahanannya jebol juga. Tak sanggup menyimpan masalahnya sendiri, tapi tak merasa menemukan seseorang yang menurutnya tepat untuk membagi keresahan selain Mas Ahim.
Aku menghela napas. Berbagai rasa campur aduk di hatiku. Sedih, tak enak hati, ingin marah, jengkel, bingung, semua ada. Cemburu? Ya mungkin saja, aku kan istrinya. Tapi mau melarang, aku tak sampai hati pada Mbak Danti.
Aku diam untuk beberapa menit. Berusaha menjernihkan pikiran sebelum mengambil keputusan. Kucoba pula menempatkan diriku pada posisi dan kondisi Mbak Danti sekarang ini.
"Emm..., ya udah, kita temui Mbak Danti besok pagi," ucapku dengan berat hati.
"Ehk. Kita? Maksudmu..., kamu ikut, gitu?"
"Iya lah, aku ikut. Kamu kan suamiku, Mas. Nggak baik kalau berduaan sama perempuan lain. Mantan pula. Tenang aja, aku nggak akan nguping. Aku ngawasin aja dari jauh." Aku menjelaskan maksud keikutsertaanku.
"Kenapa harus begitu?" Mas Ahim tampak keberatan.
"Kalau kamu keberatan, berarti pertemuan itu nggak usah diadakan."
"Ya tapi kenapa, Sar? Kamu nggak percaya sama aku?"
"Mas, kita ini suami istri, lho. Kalau kamu pergi berduaan dengan perempuan lain, itu bisa mengundang fitnah. Kalau ada yang lihat terus salah paham, bisa panjang urusannya. Lagipula sebagai istrimu, salah satu tugasku ya menjaga kamu. Menghindarkan kamu dari kesalahan yang lebih jauh lagi. Begitu pun sebaliknya.
"Dan ini bukan cuma ketemu mantan aja lho, Mas. Nantinya, ketemu lawan jenis, siapapun itu, sebaiknya ya nggak cuma berdua. Bukan apa-apa, takutnya mengundang fitnah. Itu aja, sih.
"Jadi bukan karena aku rese atau mau tahu urusanmu sama Mbak Danti. Apalagi cuma mau nguping. Bukan, Mas. Bukan. Catat ya, BU-KAN!"
Mas Ahim memandangku lama. Kupikir dia akan mengajukan keberatan berikutnya. Tapi aku salah, dia malah memelukku erat.
"Sarah, terima kasih udah ngingetin aku soal ini. Aku nggak kepikiran sama sekali. Yang ada di pikiranku cuma kasihan aja sama Danti. Kamu memang anak baik, Sar. Aku beruntung banget punya kamu. Maafin aku ya." Kurasakan jari-jarinya mengusap punggungku lembut.
Kesempatan! Kuhirup dalam-dalam aroma maskulin yang menguar dari tubuh Mas Ahim. Aroma yang mulai kusukai. Yang diam-diam sering kucari-cari sebelum kemeja kerjanya kulempar ke keranjang laundry.
"Terima kasih sudah berbesar hati ya, Sar. Aku tahu ini bukan sesuatu yang menyenangkan buat kamu, tapi aku nggak tega nolaknya, Sar. Aku kenal Danti. Dan aku---"
"Cukup, Mas. Nggak usah dijelaskan soal Mbak Danti. Dia nggak ada hubungannya sama aku. Aku cuma berharap pertemuan besok itu jadi komunikasi terakhir kamu sama dia."
Aku nggak tahu, apakah ini yang disebut cemburu?
"Iya, Sar. Maaf. Insya Allah besok yang terakhir aku berurusan sama dia."
"Janji?"
"Kamu nggak percaya sama aku?"
"Kalau aku percaya sama kamu, aku nggak akan ikut kamu ke sana, Mas."
Mana ada istri yang percaya dan melepas dengan senang hati ketika suaminya minta izin mau ketemu mantan? Tentu saja nggak ada. Meskipun kami menikah karena terpaksa dan belum ada rasa cinta, tetap saja hatiku yang paling dalam nggak rela.
"Oke, Sar. Aku terima mosi tidak percayamu. So..., besok siap jadi obat nyamuknya aku sama Danti, kan?"
"Ehk. Apa kamu bilang, Mas? Obat nyamuk? Oke. Aku berubah pikiran!"
"Eh, Sar, Sar, Sar..., nggak bisa gituuu."
***
23052022
So, Ahim jadi ketemuan sama Danti nggak ya?
Lagian Ahim nih. Udah punya istri juga masih nggak tegaan sama mantan. Sarah juga, sok-sokan empati dan kasih izin suami buat ketemu mantan. Kalau udah cemburu, nanti nangeeess. Hihi....
Oh iya, intip-intip cerita dan akunku yg lain juga, yuk...
- wattpad: fitrieamaliya
- instagram: fitrieamaliya
- 2nd instagram: fitrie.amaliya
- karyakarsa: fitrieamaliya
Baiklah.
See you & thank you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro