4. Lepas Jilbab
Happy reading :)
***
Nggak terasa sudah hampir satu bulan aku menyandang status istri. Selama itu pula aku masih bertahan untuk tak melepas jilbab di depan Mas Ahim, meski berkali-kali dia memintaku melakukannya.
"Sar, kamu tuh kenapa sih ngelepas jilbab di depanku aja kok nggak mau?" tanya Mas Ahim malam itu.
"Ehk. Ak-aku malu, Mas. Belum siap." Aku tertawa kecil. Mulai gugup setiap kali dia membahas soal ini.
"Ya kenapa? Aku kan suamimu, udah boleh kok lepas jilbab di depanku. Lepas baju aja boleh, sunnah malah."
"Hih, kamu tuh ngomong apa sih, Mas?" Aku bergidik mendengar jawabannya.
Melepas baju selain di kamar mandi saja aku risih, apalagi di depan laki-laki. Biarpun dia berstatus suami, tapi membayangkan buka aurat di depannya masih membuatku geli. Mungkin karena pernikahan kami bukan didasari rasa cinta, hanya sayang dan niat baik saja.
"Aku tuh serius, Sar."
"Aku malah dua rius," candaku. Dia diam saja. Memang nggak lucu juga, sih.
"Cieee, Mas Ahim yang ganteng ngambek ni yeee." Aku menggodanya lagi. Dia tetap diam.
"Dih, malah marah. Kamu lagi PMS ya, Mas? Sensi amat nggak bisa diajak becanda." Aku tetap mengajak bercanda. Dia tetap pasang muka serius.
"Aku lagi nggak pengen bercanda, Sar. Kalau kamu lagi nggak mau ngobrol serius, ya udah nggak apa-apa, besok-besok lagi aja ngobrolnya."
Dia pun beranjak meninggalkan aku. Aku cuma diam menatap punggungnya. Tak ada inisiatif sedikit pun untuk menahan kepergiannya.
Mas Ahim menuju ke pintu, tangannya sudah menggenggam handle pintu ketika kemudian aku berlari dan memeluknya dari belakang.
"Mas, maafin aku. Jangan marah, ya. Maaf. Huhuhuuu ...." Tangisku tumpah di punggungnya. Dia membalikkan badan, membiarkan aku menyelesaikan tangisku di dadanya.
"Udah nangisnya? Mau dilanjut nggak ngobrolnya?" Mas Ahim masih istiqomah dengan keseriusannya. Tapi sungguh, dia makin ganteng kalo lagi serius begitu. Kesannya berwibawa banget.
"Iya, udah. Maaf."
Dia tetap diam, tapi tiba-tiba mengangkat badanku dan membawaku ke tempat tidur.
"Mas Ahiiim, apa-apaan sih, gak usah macem-macem, deh. Turuniiin." Aku berontak, tapi tetap kalah kuat darinya.
"Aku mau bicara serius, Sarah Annisa. Duduk yang baik," perintahnya. Aku menurut, seperti kerbau dicocok hidungnya.
"Aku pengen tahu, kenapa kamu ngeyel nggak mau lepas jilbab di depanku? Apa kamu masih ragu sama pernikahan kita? Kamu ragu kalau kita akan berhasil melalui ini semua? Kamu khawatir kita berhenti dan berpisah di tengah jalan? Kamu mau jaga-jaga seandainya kita pisah kamu masih original?" tanyanya beruntun. Matanya menatapku tajam. Aku mengkeret. Menunduk. Takut.
"Aku malu," jawabku singkat. Juga pelan. Masih sambil menunduk.
"Sarah Annisa, ini bukan soal malu atau nggak malu. Ini menyangkut harga diriku." Suara Mas Ahim terdengar tegas.
Kayaknya kali ini dia benar-benar serius, sama sekali tak ada kesan main-main dalam bicaranya. Sampai dia panggil aku dengan nama lengkap segala. Dua kali. Mana bawa-bawa harga diri pula. Aku makin ciut.
"Dengar ya, Sar." Nada suaranya melembut, mungkin dia melihat aku yang mulai menunjukkan perubahan ekspresi.
"Aku suamimu, Sar. Halal melihat bagian-bagian yang menjadi auratmu. Rambutmu, lehermu, kupingmu. Ini bukan sekedar soal nafsu dan nggak nafsu. Sejauh ini aku mencoba untuk belajar menjadi suami yang baik, walaupun mungkin yang mendominasi masih rasa kakak adik, setidaknya aku sudah belajar.
"Tapi, Sar..., setiap kali kamu menolak melepas jilbabmu di depanku, rasanya ada yang nyeri di sini."
Dibawanya tanganku ke dadanya. Lalu menahannya di sana. Merasakan hela napasnya, juga denyut jantungnya. Entah kenapa aku jadi deg-degan.
"Aku merasa nggak dianggap sebagai suami, Sar. Kalau yang lebih dari itu, aku sendiri memang tak ingin memaksa, karena aku tahu kamu belum siap. Tapi kalau sekadar melepas jilbab saja kamu enggan, apa bedanya kamu dengan Danti, Maya, Asti---"
"Mas, kamu boleh marah, tapi nggak usah bawa-bawa mantan segala. Buat apa? Mau menegaskan kalau banyak yang mau sama kamu? Kalau aku ini bukan siapa-siapa? Kalau aku gagal sama kamu, masih banyak yang mau nerima kamu? Atau apa?!" Aku menyela kalimatnya.
Ada rasa tidak suka mendengar dia menyebut-menyebut mantannya, bukan cuma satu malah. Dan aku disamakan pula dengan mereka.
"Maaf, aku nggak ada maksud begitu, Sar. Sebenernya aku cuma ingin mengingatkan kalau kamu itu istriku. Auratmu harus kamu jaga di luar sana, tapi nggak segitunya juga lah di depanku. Kalau sama-sama harus berjarak dan tertutup rapat seperti itu, apa bedanya aku punya istri dan sekadar punya pacar? penegasan aja dengan punya akta nikah, "
Padahal beberapa mantannya malah nggak menutup aurat dengan sempurna.
"Apa sih beratnya, Sar? Kecuali itu sesuatu yang dilarang agama. Tapi ini kan sebaliknya. Justru kalau kamu nggak mau nurut sama aku, padahal yang kuminta dari kamu itu bukan sesuatu yang tabu, malah sunnah, bahkan bisa jadi wajib, bukannya kamu malah bisa dapat dosa?
"Aku nggak minta apa-apa dari kamu, Sarah Annisa. Cuma begitu saja. Itu juga kalau kamu bersedia. Kalau kamu malu terus, nggak siap terus, ya udah. Itu pilihanmu. Mungkin level hubungan kita juga jadinya akan begini terus."
Mas Ahim mengakhiri bicaranya. Dilangkahkan kakinya menuju ke meja kerjanya, menghidupkan laptop, lalu menatap layar dengan serius. Terlihat sedang membaca sesuatu, tapi aku tahu, dia cuma berusaha menekan dan mengendalikan rasa kesalnya.
Ya Allah, sebegitu besarnyakah kesalahanku? Padahal aku hanya malu dan nggak siap menampakkan auratku. Ya tapi memang aku terlalu berlebihan. Mas Ahim kan suamiku. Sama sekali nggak salah jika dia menuntut haknya. Malah aku yang salah karena melalaikan perasaannya. Duh, kenapa aku jadi egois begini ya?
Rasanya aku ingin menghampiri Mas Ahim. Memeluknya dan meminta maaf. Kemudian berjanji akan memenuhi permintaannya. Tapi aku bingung harus mulai dari mana. Aku malu, atau mungkin..., gengsi? Ah, sudahlah. Untuk saat ini aku memilih untuk diam saja.
Enrah berapa lama aku melamun, sampai aku tak sadar Mas Ahim menuju kepadaku. Aku baru menyadari ketika bed yang kududuki terasa memberat. Dia naik ke peraduan di sampingku. Tanpa menyapaku. Tanpa bicara apa pun padaku. Aku merasa sangat bersalah dan sedih.
Aku memutuskan untuk mengakhiri rasa gengsi atau apalah ini. Menyusul berbaring dan memeluknya dari belakang.
"Mas Marah? Maafin aku." Kueratkan lagi pelukku. Aku menangis di punggungnya. Aku tahu dia belum tidur, karena meski diam saja, jantungnya terasa berdetak lebih cepat.
"Maafin aku, Mas, tapi kamu jangan diem aja gini. Aku bingung. Iya, aku salah. Aku terima kalo kamu marah, Mas. Tapi jangan diemin aku gitu. Huhuhuu." Aku terisak-isak.
Mas Ahim tetap diam. Digenggamnya tanganku dan menaruhnya di dada. Mungkin ini kode bahwa Mas Ahim sudah nggak marah lagi. Dia hanya masih enggan bicara. Dan aku masih tetap terisak merasa berdosa.
***
Jam dinding menunjukkan pukul 03.00. Aku sengaja bangun lebih awal meski dengan susah payah. Segera mandi dan kucuci rambut biar wangi. Kugunakan kipas angin untuk mengeringkan rambutku, karena hair dryer-ku berisik. Aku khawatir Mas Ahim bangun sebelum aku siap. Aku kan mau memberi kejutan untuknya.
Daster panjang dengan lengan sebatas siku menjadi pilihanku. Warnanya biru muda, favoritku. Sengaja kugerai rambut. Tak lupa kusemprot parfum beraroma lembut di beberapa titik. Parfum ini kado pernikahan dari Mbak Hana, parfum yang sama dengan miliknya. Mbak Hana bilang Mas Ahim suka sekali wanginya.
Aku lalu menunggu sampai alarm di nakas Mas Ahim berteriak membangunkan pemiliknya. Kumatikan segera, kuambil alih tugas si alarm membangunkan Mas Ahim.
"Mas, bangun. Alarmnya udah bunyi." Kutepuk-tepuk lembut pipinya.
"Hemmm."
"Bangun, sholat malam dulu. Keburu subuh lho." Kali ini kuusap-usap punggungnya.
Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Dengan sedikit nekat, kukecup kening Mas Ahim untuk pertama kali. Helaian rambutku berjatuhan di wajahnya, mungkin dia merasa geli hingga membuka mata.
"Sarah, kamu...." Dia mengucek-ucek mata, kemudian menatapku dengan tatapan yang aku tak tahu apa artinya. Mungkin kaget melihat bidadari turun dari surga dan mendarat tepat di hadapannya.
Ya, aku sudah melepas jilbabku. Untuk dia. Hanya untuk dia. Ibrahim Abdurrahman, suamiku.
"Ssstt, sholat dulu gih. Keburu subuh." Kutaruh telunjukku di bibirnya, menyuruhnya jangan bicara.
Mas Ahim duduk. Bukannya turun dan mengambil wudhu, dia malah memandangiku lama. Segaris senyum tergambar di bibirnya. Tangannya terulur mengangkat daguku.
"Ternyata kamu cantik banget kalau kayak gitu, Sar. Wangi, lagi." Dia mengendus-endus. Aku tersipu. Ada yang berdesir di hati.
"Kalo aku ijin nggak salat malam kali iniii aja, Allah kasih ijin kan ya?" Pertanyaan yang tak butuh jawaban dariku.
Tatapan dan senyumnya tak beralih sekedip pun dari wajahku. Kedua tangannya membelai pipiku, membelai rambutku lalu menyelusup ke tengkukku. Makin lama wajah kami makin dekat, napasnya semakin memburu. Bibir kami mungkin hanya tinggal berjarak satu centi.
"Gosok gigi dulu, gih." Kudorong badannya tiba-tiba. Dia meringis.
"Dasar bocah dodol! Merusak suasana romantis aja kamu, tuh. Awas ya, habis subuh aku tagih."
Mas Ahim gemas. Diambilnya bantal dan melemparnya ke mukaku sambil tertawa, kemudian bergegas menuju kamar mandi. Sedangkan aku sibuk menata hati, yang berdegup hebat karena satu langkah besar baru saja kami lalui.
***
22052022
Duh, hampir ya, Him. Sayang aja belum gosok gigi. Hihi....
Alhamdulillah, Ahim-Sarah udah ada kemajuan sedikit. Yuk, kita semangatin mereka terus biar rumah tangga rasa kakak adiknya bergeser ke rumah tangga yang sebenarnya. Eaaakk...
Baiklah.
Terima kasih udah baca dan mengapresiasi tulisanku. Mohon maaf untuk kekurangan yg masih ada di sana sini yaaa...
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro