3. Darah
"Sarah, bangun, Sar. Udah mau subuh nih." Antara sadar dan tidak, aku mendengar seseorang menyuruhku bangun sambil mengguncang badanku asal saja.
"Astaghfirullah, Sarah. Bangunin kamu susah amat sih. Tidur kok kayak orang mati." Suara gerutuan terdengar makin jelas.
Aku sungguh terkejut. Buru-buru turun dari tempat tidur tanpa sempat nge-lag. Segera kulipat selimut biru muda sambil mengomel, menyalahkan Mas Ahim yang tak membangunkanku lebih awal. Dia tak terima, katanya sudah membangunkanku sampai nyaris putus asa.
Tidur di rumah mertua, bangun tidur keduluan suami pula. Duh, untung menantu kesayangan yang sangat diharapkan, jadi akan banyak pemakluman.
Ya, semalam kami menginap di rumah orang tua Mas Ahim. Tadinya kami hanya berniat berkunjung seperti biasa, tapi beliau berdua meminta kami menginap di sini, jadi ya terpaksalah kami mengiyakan.
"Ya Allah, apa iniii?!" Aku memekik ketika melihat bercak darah di atas sprei, tepat di posisi tidurku.
"Apaan sih, heboh amat?" Mas Ahim menghampiri.
"Semalem kamu nggak ngapa-ngapain aku kan, Mas?" tanyaku agak panik. Kutunjukkan noda darah yang ada di atas kasur. Pikiranku dipenuhi hal-hal yang tidak kuinginkan.
"Maksudmu apa sih, Sar? Ngapa-ngapain, gimana?"
"Ngapa-ngapain ya itu..., nganu..., kamu gituin aku. Duh, gimana nih?"
"Apa sih, Sar? Ribut banget nggak jelas."
"Itu lho, kok ada darah. Katanya kalau cewek masih perawan, pas malam pertama melakukan itu pasti berdarah. Nah, itu..., itu ada darah," jawabku, masih sambil menunjuk darah yang menghias sprei kami. Rasanya aku ingin menangis.
"Jangan ngaco, ah." Mas Ahim mulai jengkel.
Serr.... Tiba-tiba ada yang terasa mengalir di antara kedua pahaku. Aku pun tersadar dan buru-buru lari ke toilet di kamar kami.
"Maaass, kamu salat sendiri aja ya. Aku dapet!" teriakku dari dalam toilet.
"Nggak usah teriak-teriak juga, kali. Ya udah, aku ke mushola sekarang. Mau salim nggak?" suara Mas Ahim terdengar.
"Nggak. Nggak usah. Udah berangkat aja sana, cepet."
Sebenarnya bukan aku nggak mau salim sebelum dia berangkat ke musala. Tapi sungguh, aku malu pada Mas Ahim karena sudah menuduhnya yang bukan-bukan. Saking paniknya melihat darah di tempat tidurku, aku sampai lupa kalau aku ini perempuan. Punya siklus haid.
Usai mandi aku bergegas ke belakang, mencuci bagian sprei yang terkena noda darah hingga bersih, lalu kutaruh di keranjang laundry. Tak lupa meminta sprei baru pada Mbok Nah dan segera kupasang rapi di tempat tidur kami. Semua kulakukan secepat mungkin, sebelum Mas Ahim pulang dari musala.
"Assalamualaikum." Suara Mas Ahim terdengar bersama pintu kamar yang terbuka.
"Waalaikumussalam," jawabku pelan. Tak beranjak satu jari pun dari posisi dudukku di tepi tempat tidur.
Mataku tak lepas memandang handphone, berpura-pura memainkannya. Padahal aku hanya tak siap memandang Mas Ahim, masih malu dengan kekonyolan yang kubuat saat bangun tidur tadi.
"Suami pulang tuh disambut, jangan diem aja. Salim kek, cium tangan kek, apalah. Jangan malah main HP." Mas Ahim menasihati. Tangan kanannya terulur ke arahku, kusambut dan kucium punggung tangannya. Lalu diambilnya gawai dari tanganku.
"Lah, HP-mu mati gini kok. Lha kamu tuh dari tadi lihatin apa?" Dia tertawa.
"Aku..., aku..., aku itu..., emm..., anu...." Aku tergagap-gagap, lalu air mata mulai menggenang, siap dialirkan.
"Lah malah nangis, gimana sih? Ada apa? Tadi tuh kenapa? Aman kan, Sar?"
"Aku haid. Huhuhuuu." Tangisku pun pecah.
"Ssstt, jangan kenceng-kenceng nangisnya. Nanti kedengeran bapak ibu malah jadi heboh, dikira aku KDRT. Lagian, cuma haid aja kok pakai acara nangis segala. Lebay."
Mas Ahim menjejeriku duduk di tepi tempat tidur. Direngkuhnya bahuku, menjepit leherku di ketiaknya. Dikecupnya kepalaku, berusaha membuatku tenang dan nyaman.
"Aku malu sama kamu, Mas. Maafin aku ya," kataku setelah mulai tenang.
"Malu kenapa? Lagian, tumben amat pakai minta maaf segala."
"Aku malu. Soalnya aku tadi nuduh kamu yang bukan-bukan. Aku tuh lupa kalo aku perempuan, ada masanya datang bulan."
"Lah, jadi selama ini kamu lupa kalo kamu tuh perempuan? Atau jangan-jangan..., kamu perempuan jadi-jadian?" Mas Ahim tertawa lagi, lebih keras dari yang tadi. Aku jadi kesal.
"Ya bukan gitu juga, kaliii. Ngomong sama kamu tuh nggak pernah serius, deh. Malesin!" Aku merajuk.
"Ngambek lagi. Jangan suka gitu ah, Sar. Aku tuh pusing kalau kamu ngambek nggak jelas gitu."
"Ya habis kamu sukanya gitu sih, Mas. Aku tadi beneran takut. Kan kamu laki-laki, apalagi sekarang udah sah punya istri. Mana tahu kamu tiba-tiba pengen nganu, tapi karena aku belum siap jadinya kamu nyuri-nyuri gituin aku pas tidur. Aku tuh takut."
Akhirnya keluar juga apa yang mengganjal di pikiranku. Nyatanya aku khawatir Mas Ahim melakukan itu tanpa sepengetahuanku. Apalagi aku kalau tidur seperti orang mati suri. Kepekaanku bagai hilang sama sekali.
"Astaghfirullah. Ge-er banget, sih. Nggak bakalan lah aku kayak gitu. Pengecut banget itu, sih. Kamu tenang aja, Sar, aku sendiri masih belum ada nafsu sama kamu, kok. Masih ngerasa kamu itu adikku. Aneh aja gitu kalau harus nganu.
"Lagian kamu kalo tidur kayak orang mati. Udah nggak ngerti kanan kiri. Dibangunin juga susah. Gempa aja belum tentu bikin kamu bangun," ujar Mas Ahim. Tangannya mendorong keningku pelan. Aku cemberut.
Kusampaikan padanya tentang alasan ketakutanku tadi. Bahwa sebenarnya aku takut dosa karena sudah berstatus istri tapi belum siap melayani suami.
"Kalau kamu memang beneran belum mau sih, aku bersyukur banget, Mas. Berarti aku nggak masuk kategori mendzolimi kamu, kan? Nah kalau ternyata kamu diem-diem ngebatin aku karena belum mau dinganu, kan aku bisa jadi dosa."
"Ya Allah, Sarah. Kamu kok mikir sampai ke situ-situ segala, sih. Nggak, Sar, nggak. Beneran nggak apa-apa. Memang aku laki-laki, kadang suka ada rasa-rasa semacam itu, apalagi tiap hari tidur sama perempuan yang udah sah buat diajakin nganu."
Entah siapa yang memulai, kata "nganu" dipilih begitu saja tanpa ada kesepakatan sebelumnya.
"Tapi kehidupan pernikahan kan bukan cuma tentang nafsu, Sar. Biarpun aku dulu sering gonta ganti pacar, tapi aku juga nggak senakal itu kok. Kamu tenang aja. Aku pasti akan minta izin dan kasih tahu kamu kalau memang aku menginginkan itu.
"Kita ini sama-sama masih belajar, Sar. Belajar mencintai satu sama lain. Belajar siap untuk menjadi suami istri seutuhnya. Belajar banyak hal tentang hidup berumah tangga. Nggak gampang, kita ngerti itu, tapi suatu hari nanti kita akan bisa. Insya Allah.
"Makanya aku nggak buru-buru juga. Santai aja, yang penting kita berusaha terus. Aku menikmati kok jadi suami rasa kakak, yang setiap hari ngadepin anak lugu, polos, cengeng, ngambekan, manjanya amit-amit, tapi sok kuat dan mandiri macam kamu itu."
Mas Ahim bicara panjang lebar, lengkap dengan tampang sok serius, tapi tetap saja ujung-ujungnya mengejekku. Mimpi apa sih aku sampaj harus punya suami macam Ibrahim Abdurrahman ini?
"Iya, aku juga minta maaf ya, Mas. Termasuk kalo aku manja, cengeng dan nyebelin. Tapi aku beneran takut yang itu tadi. Aku nggak mau jadi istri durhaka." Mataku mulai berkaca-kaca lagi.
"Masya Allah. Bener kata bapak ibu dan kakak-kakakku. Kamu tuh memang anak baik kok, Sar. Maafin aku juga, ya. Aku nggak nyangka kamu sampai mikir sejauh itu, sampai kepikiran istri durhaka segala. Nggak lah, Sar. Nggak gitu.
"Udah ya, kamu jangan merasa tertekan sama pernikahan kita. Stop mikir yang macem-macem, yang penting kita berdua sama-sama legowo menerima semuanya. Insya Allah everything will be okay. Percaya deh sama aku. Ya?"
Mas Ahim meyakinkanku. Merengkuhku semakin erat, juga mengecupi kepalaku. Memang benar yang dikatakannya tadi. Kami ini suami istri rasa kakak adik. Tapi tak mengapa, memang harus dari sini kami bermula.
"Iya. Makasih ya, Mas."
Aku lega, kulingkarkan tanganku di pinggangnya. Sama sekali tak ada desir, begitupun Mas Ahim, aku tak mendengar degup jantung yang memompa lebih cepat atau semacamnya. Mungkin belum.
Sebenarnya Mas Ahim itu orangnya baik dan dewasa, aku tahu itu sejak dulu. Hanya saja kepadaku dia selalu menganggap anak kecil, suka meledek nggak kira-kira, kalau mengejek juga raja tega, jadilah kami sering berantem.
"Iya udah jangan nangis lagi, ya." Dihapusnya basah di kedua pipiku.
Aku mengangguk dan tersenyum, diam-diam kunikmati pelukan Mas Ahim, juga kecupan yang berualng kali mendarat di kepalaku. Aku terharu ketika sadar bahwa sekarang aku punya tempat berkeluh kesah dan menumpahkan tangis di pelukan selain bapak ibuku.
"Eh, tapi, Sar..., kenapa jilbabmu dipakai terus sih? Jangan-jangan kamu gundul kayak tuyul. Atau jangan-jangan..., kamu bener perempuan jadi-jadian?"
Pertanyaannya merusak keharuanku. Menyebalkan!
"Mas Ahiiiiiiimmm."
***
21052022
Lagi capek dan ngantuk berat nih, jadi no curhat dulu lah ya.
See you next time. Soon.
Thank you sudah baca ceritaku. Semoga suka yaaa.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro