Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

2. Malam Pertama

Happy reading :)

***

Hari yang dinanti-nanti keluargaku dan keluarga Mas Ahim tiba. Hanya keluarga kami, tidak dengan kami —aku dan Mas Ahim. Kami tak pernah menunggu hari ini. Bahkan kami berharap, kalau bisa hari ini tak usah tiba saja.

Ya, hari ini adalah hari pernikahan kami. Acara akan dimulai dengan akad nikah di rumah orangtuaku, dilanjutkan resepsi dua jam kemudian di gedung yang lokasinya tak begitu jauh dari rumah kami.

Aku masih berada di kamar bersama ibu perias cantik dan baik hati yang juga bertetangga denganku. Beliau tak henti menggoda dan mencandaiku sampai aku terkikik-kikik. Tak ada kesedihan yang tergurat di wajahku. Meski demikian, rasanya tak ada juga kegembiraan di sana. Semuanya datar saja. Mungkin begitu juga dengan Mas Ahim, karena kami berdua sama-sama hanya menjalani peran kami dalam rangka berbakti kepada orangtua.

Begitu riasanku siap, aku dijemput dan digandeng ibu menuju ruang keluarga. Prosesi ijab dan qabul akan segera dilangsungkan.

Pak Penghulu yang akan mencatat pernikahan kami duduk berdampingan dengan bapak yang akan menjadi wali nikahku. Dua orang saksi nikah adalah Bapak Ketua RW di tempat tinggalku dan Mas Raka, kakak ipar Mas Ahim yang kedua.

Mas Ahim duduk dengan posisi tegak di hadapan bapak. Wajahnya tegang. Mungkin khawatir akan salah menyebut nama mempelai perempuan, seperti yang selama ini selalu jadi topik ledek meledek kami.

Ibu menuntunku untuk menempati kursi sebelah Mas Ahim yang kosong, lalu beliau menempatkan diri persis di belakangku.

Tanpa berlama-lama petugas dari KUA memulai rangkaian prosesi akad nikah. Dari pemeriksaan dokumen, membaca doa-doa dan semacamnya, sampai kemudian menyerahkan ijab dan qabul pada bapak dan Mas Ahim.

"Ananda Ibrahim Abdurrahman, saya nikahkan dan saya kawinkan Engkau dengan anak perempuan saya Sarah Annisa, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan logam mulia emas seratus dua puluh tiga gram dibayar tunai."

"Saya terima nikahnya Sarah Annisa binti Mustofa dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." suara Mas Ahim terdengar lancar dan mantap mengucap qabul. Kedua saksi dan petugas KUA serempak berkata "Sah".

Aku dan Mas Ahim berdiri berhadap-hadapan. Dia memasangkan cincin di jari manis tangan kananku, lalu aku mencium punggung tangannya. Semua terjadi dengan sedikit canggung. Kami suami istri sekarang.

Tiba-tiba Mas Ahim meraih kepalaku. Dan untuk pertama kalinya seorang laki-laki mencium keningku. Dia melakukannya dengan lembut. Mungkin sudah biasa dengan pacar-pacarnya dulu. Hih..., aku malah jadi geli. Tanganku bergerak mengusap bekas kecupannya. Spontan saja.

"Jangan diusap, Dodol! Diliatin orang tahu nggak, sih. Malu-maluin!" bisik Mas Ahim dengan gigi terkatup rapat, takut terdengar orang lain. Aku terkekeh, dalam hati mengiyakan.

Fotografer memotong perdebatan kami dan mengarahkan untuk sesi foto. Banyak arahan pose yang membuat aku dan Mas Ahim tergelak-gelak. Lagi-lagi merasa geli. Masih ada rasa risih dan aneh yang menyusup di hati.

"Cieee, lancar yaaa. Katanya takut salah sebut nama pacarmu. Manaaa? Memang dasarnya kamu tuh suka sama aku. Udah sih, akui aja." Aku mencibir meledeknya. Sesi foto baru saja usai.

"Diem, bawel!" Dia menepuk mulutku.

"Kalau beneran sampai salah sebut nama Danti pas ijab qabul, pasti aku nggak diakuin anak lagi sama bapak ibuku, Sar." Dia cekikikan, tapi agak sumbang. Mungkin belum sepenuhnya ikhlas harus putus dengan mantan terakhir.

Tapi ya, tega-teganya dia sebut nama mantan —yang terpaksa diputuskan— di depan istri. Mana sambil mendorong jidatku pula. Kebiasaannya yang paling kubenci.

"Jangan gitu, napa? Pakai sebut nama mantan segala. Udah gitu ngatain orang dodol. Kamu juga dodol tahu nggak sih, Mas!" seruku sewot. Entah, sepert ada rasa tak terima dia bawa-bawa mantan. Lah aku bawa-bawa apa dong?

Dari arah berlawanan, Mbak Syifa —kakak ketiga Mas Ahim— berjalan ke arah kami.

"Pasti Mak Lampir satu ini mau marahin kita. Disuruh bersikap baik bla bla bla. Dia kan cerewet dan segala sesuatu harus perfect. Taruhan yuk, Sar. Yang kalah mijitin." Mas Ahim berbisik tanpa mengalihkan pandangan dari Mbak Syifa.

"Nggak, lah. Mbak Syifa tuh baik. Dia pasti mau kasih selamat buat kita," sahutku penuh keyakinan.

Dan yang terjadi kemudian adalah....

"Selamat yaaa," kata Mbak Syifa sambil memeluk kami berdua.

Kuteriakkan pekik kemenangan dalam hati. Wajah Mas Ahim terlihat kesal setengah mati. Makin kesal saat kami bertatapan dan alisku kunaikturunkan untuk mengejek kekalahannya.

"Alhamdulillah, seneng aku kalian akhirnya nikah. Pokoknya keluarga besar semua seneng. Thank you ya, kalian. Kamu yang sabar ya, Sarah. Adikku semata wayang ini rada spesial nyebelinnya. Pokoknya yang sabar aja. Sabaaaarrrr."

Mbak Syifa mengungkapkan perasaannya sambil menempelkan pipi kanan kirinya ke pipiku, kemudian memelukku sekali lagi. Sangat erat. Sementara di sampingku, wajah Mas Ahim masih menunjukkan kekesalan. Entah karena diledekin kakaknya atau karena kalah taruhan yang dibuatnya sendiri.

"Yesss, ntar malem capek-capek ada yang mijitin. Alhamdulillah. Awas kalo mangkir. Kamu sendiri yang ngajak taruhan lho ya," ujarku setelah Mbak Syifa berlalu.

"Heh, taruhan tuh dosa, ya. Nggak boleh." Mas Ahim sok menasehati.

"Halah, coba kamu yang menang, pasti nggak dosa. Dosa itu kalau kamu udah bilang mau mijitin tapi nggak dilakukan. Itu ingkar janji namanya. Dusta."

"Lah kan aku nggak janji. Bagian mananya yang aku bilang mau mijitin kamu?"

"Nah kan. Dasar curang!"

"Ssstt, tuh Mbakyumu yang dua dateng kesini. Ayo taruhan lagi."

Mas Ahim kembali mengulang ajakan yang sama melihat Mbak Nisa dan Mbak Hana, kakak pertama dan keduanya, berjalan menghampiri kami. Nggak kapok dia. Padahal baru saja bilang sendiri kalau taruhan itu dosa.

"Emoh! Paling kalau kamu kalah, kamu ngehindar lagi. Males!"

"Anak dua ini udah jadi suami istri kok ya masih berantem mulu. Mbok yang mesra gitu lho. Dari tadi kulihatin pada bisik-bisik, mukanya juga asem, terus ketawa, terus bisik-bisik lagi, cemberut, terus cekikikan. Ckckck." Mbak Nisa buka suara, ternyata dia mengamati kelakuan kami. Duh.

"Halah biarin aja, biasanya juga gimana. Ya gitu deh kalau Tom sama Jerry bersatu di pelaminan." Mbak Hana menimpali. Keduanya lalu mengucapkan selamat dan mencium serta memeluk kami bergantian.

Aku hampir menangis waktu melihat Mbak Hana memeluk Mas Ahim. Erat dan lama. Ada haru diantara keduanya.

"Terima kasih ya, Him, udah bikin bapak ibu bahagia. Kami semua juga bahagia. Jaga Sarah baik-baik, insya Allah dia yang terbaik buat kamu."

Mbak Hana mengatakan itu sambil menangkupkan kedua tangannya di pipi Mas Ahim. Mata keduanya terlihat berkaca-kaca, lalu Mas Ahim menghapus bulir air yang mulai turun dari kedua mata Mbak Hana.

"Cengeng, ah. Udah tua juga." canda Mas Ahim.

"Sedih aku, tuh. Nggak ada lagi yang bisa kusuruh-suruh beli lombok di pasar."

Mbak Hana tertawa, tapi air matanya mengalir makin deras. Mas Ahim memeluknya. Dia memang paling dekat dengan Mbak Hana.

-------

Malam tiba, kami berada di kamar berdua. Malam pertama kalau kata orang, tapi kami berdua sama sekali tak ada niat dan keinginan untuk mengisi malam pertama sebagaimana pengantin baru pada umumnya. Selain capek, rasanya kami berdua sama-sama nggak ada nafsu. Eh, atau belum, ya?

Entahlah. Mungkin suatu hari nanti, ketika benih-benih cinta sudah bersemi di hati kami berdua. Aish.

Selesai mandi aku kembali ke kamar. Kukenakan daster panjang bermotif bunga-bunga kecil warna biru muda lengkap dengan jilbab instan warna senada. Bukan baju dan jilbab baru, sebab aku tak mempersiapkan apapun untuk pernikahan ini.

"Mas, aku capek nih. Ayo pijitin, kamu kan tadi kalah taruhan." Aku menagih perjanjian di pelaminan tadi siang.

"Kamu ngapain pakai jilbab?" tanyanya nggak nyambung.

"Ya nggak apa-apa. Kan biasanya juga gini."

"Sekarang kan statusnya udah berubah, Sar. Lagian di dalam kamar kok pakai jilbab. Sumuk."

"Nggak lah, AC-nya pol gini masa sumuk."

"Maksudku, emm..., kamu di kamar kok pakai baju panjang dan pakai jilbab segala, kayak mau ke warung aja."

"Halah, udah deh gak usah mengalihkan pembicaraan. Aku capek banget nih, mau mijitin nggak? Kalo nggak mau ya udah aku tidur aja." Aku mulai kesal.

"Iya deh, sini aku pijitin. Jilbabnya dilepas aja." Dia kukuh menyuruhku melepas jilbab. Mungkin penasaran karena sejak SMA tak pernah lagi melihatku tanpa jilbab.

"Nggak mau, ah. Malu." Aku juga kukuh dengan pendirianku.

Lalu aku tengkurap di atas tempat tidur. Bukannya mulai memijit, Mas Ahim malah ikut tengkurap di sebelahku. Wajahnya tepat berhadapan dengan wajahku.

Lagi-lagi aku geli. Laki-laki yang biasanya jadi lawan berantem, kali ini berada di kasur yang sama denganku. Yang dulu selalu bermusuhan, sekarang malah jadi suamiku. Benar-benar aneh.

"Lah gimana sih, katanya mau mijitin, malah ikut-ikut ambil posisi. Nggak jelas deh," rutukku sebal.

"Dengerin ya, Sar. Sekarang ini status kita udah berubah. Suka nggak suka, senang nggak senang, terima nggak terima, ya aku ini suamimu dan kamu istriku. Yang namanya istri, harus patuh sama suami asalkan itu tidak dalam maksiat kepada Allah."

Lah, malah ceramah dia. Firasatku jadi nggak enak.

"Mau ngomong apa sih pakai basa-basi segala?" Aku to the point saja. Bergegas bangkit dan mengubah posisi, duduk sambil memeluk kaki di samping Mas Ahim yang masih tengkurap.

"Eh, tahu dia. Peka banget sih." Mas Ahim tertawa. Didorongnya kepalaku dari belakang. Dia memang menyebalkan.

"Maksudku, kamu kan istriku dan aku suamimu. Kita sama-sama capek habis acara seharian yang bener-bener melelahkan lahir dan batin. Nah, sebagai istri, alangkah jauh lebih baiknya kalau kamu yang mijitin aku, bukan malah aku yang mijitin kamu. Kayak suami istri pada umumnya gitu, lho," ujar Mas Ahim lagi. Masih sambil nyengir tanpa dosa.

"Ah, asem banget kamu. Panjang lebar sok serius cuma mau nuker posisi. Ya udah, ya udah, sini aku yang mijitin. Dasar curang!" Kupasang muka cemberut lengkap dengan mulut yang maju beberapa senti.

"Yang ikhlas dong. Mulutmu tu lho, minta dikuncir apa dicium sih," celetuk Mas Ahim. Dia lalu bangkit dan menarik mulutku. Aku memukul tangannya. Untung saja kami biasa bercanda seperti ini.

"Ya udah, tidur aja yuk, Sar, udah malem. Kamu pasti capek." Suaranya melembut. Kalau sedang begini, kesannya dia tuh baik banget.

"Nggak ah, udah kadung nggak ngantuk. Udah, kamu tengkurep aja gih, aku pijitin sebentar." Aku pun luluh. Mendengar nada suaranya yang terakhir, aku jadi merasa tak tega.

Aku tahu dia menyayangiku, meskipun rasa sayang kami berdua sama-sama baru sebatas rasa sayang seorang kakak kepada adiknya, dan sebaliknya. Memang kami masih harus belajar banyak, terutama untuk membangun cinta di antara kami berdua.

Kurangkai doa dalam hati. Aku yakin, Allah Yang Maha Baik akan menuntun kami, karena niat awal kami baik, yaitu membahagiakan orang tua sebagai bakti kami pada mereka. Kami yakin, orang tua tidak asal saja ketika memilihkan sesuatu untuk anaknya. Kami bisa saja menolak, tapi kami memilih untuk menerima.

Aku mulai memijat punggungnya. Kata bapak dan ibu, tanganku ini berat. Mantap dan enak kalau memijat.

"Makasih ya, Sar. Kamu enak banget mijitinnya." Suara Mas Ahim terdengar lembut. Wajahnya menunjukkan rasa terima kasih yang tidak dibuat-buat.

"Iya," jawabku singkat.

Hatiku mendadak mengharu biru mengingat statusku yang sudah tak lagi lajang hari ini. Aku sudah resmi menyandang status istri. Meski sebenarnya kami berdua tak mengharapkan semua ini, tetap saja sekarang ini aku istrinya, dan dia suamiku. Dia imamku. Dia nomor satu yang harus kupatuhi saat ini.

Tanpa terasa air mataku meleleh. Bulir-bulirnya jatuh menitik mengenai kulit Mas Ahim.

"Eh, ada yang netes nggak, sih?" Dia bangun dan duduk. Sok-sok menoleh ke kanan, kiri, atas, bawah.

"AC-nya bocor ya, Sar? Apa kamu nangis?" Dia mendongak, lalu menatap wajahku.

"Lah, kamu ngiler, Sar? Berarti ini tadi.... Ih, jijik banget. Bau nih pasti. Tanggung jawab, Sar, udah ngiler sembarangan gini."

Diusap-usapkan tangannya pada bajuku. Asal saja, hingga tak sengaja mengenai sesuatu yang membuatku menelan ludah dan bersiap marah. Ehk, tapi..., dia kan suamiku. Harusnya malah lebih berhak yang lebih dari itu.

Jantungku mendadak berpacu. Kesal, malu, risih, dan geli bercampur jadi satu.

"Mas Ahiiiim, kamu tuh nyebelin banget, siiiihh." Aku cuma bisa merajuk.

Lalu kucubiti pinggangnya membabi buta, hingga dia tertawa kegelian. Aku tak juga berhenti mencubit meski Mas Ahim sudah berteriak-teriak minta ampun.

Malam pertama kami pun sukses mengundang kehebohan saudara-saudara yang masih berkumpul di ruang keluarga.

***

21052022

Malam pertama mereka memang beda. Namanya juga suami istri rasa kakak adik. Eh, atau malah suami istri rasa musuh bebuyutan? Haha.

Nggak bisa ngebayangin kalau kejadian beneran di aku. Karena cerita perjodohan Sarah-Ahim ini based on true story yg diceritakan sama ibuku.

Jadi ternyata, dulu aku nyaris dijodohkeun sama anak sahabatnya bapakku yg udah kayak saudara sendiri. Aku manggilnya pakde bude. Terus tiap ketemu sama si 'Ahim' ini isinya ejek-ejekan bae. Wkwk...

Alhamdulillah nggak kejadian. Malah jadi keidean buat bikin cerita ini.

Semoga suka ya.

Thank you udah baca.

Main-main juga yuk ke akun-akunku:
- wattpad: fitrieamaliya
- instagram: fitrieamaliya
- 2nd instagram: fitrie.amaliya
- karyakarsa: fitrieamaliya

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro