Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. Perpisahan

Happy reading :)

***

Sebulan berlalu sejak kejadian Mas Ahim ke-gep bertemu Mbak Danti. Kami bahkan sudah tidur sekamar lagi sejak pulang dari rumah Mbak Nisa, tapi aku masih banyak mendiamkannya. Sebenarnya aku tahu kalau Mas Ahim tidak sepenuhnya salah, tapi kalau aku memberinya maaf dengan mudah, tentu saja Mas Ahim nggak akan mengambil pelajaran apapun dari kejadian-kejadian yang menimpa kami, dan bisa saja dia mengulanginya lagi di lain hari.

Pembicaraan kami hanya untuk hal-hal yang penting saja, salah satunya urusan kepindahan.

Keputusan akhirnya yang kami ambil adalah kami akan meninggalkan kota kelahiran dan keluarga yang kami sayangi. Sebenarnya berat, tapi aku ingin Mas Ahim tahu kalau aku tidak main-main. Biar jadi pengingat setiap kali dia mau melakukan hal yang sama.

Egois? Mungkin saja. Tapi semua kulakukan demi keutuhan rumah tangga. Kekuatan perasaan setiap orang berbeda, pun aku. Kalau orang lain bisa santai soal mantan, tidak demikian denganku.

Mas Ahim menunjukkan keseriusannya dengan mengajukan resign sehari setelah kami mengambil keputusan. Setelahnya langsung sibuk mencari pekerjaan baru. Sengaja memilih di kota yang jauh seperti Bandung, Jakarta, Sumatera, bahkan di luar negara. Qodarullah kesempatan pertama datang dari negeri jiran atas jasa Mas Raka dan Mbak Hana.

Ya, kami akan menjalani hidup baru di negara tetangga, Malaysia.

Salah seorang sahabat Mbak Hana dan Mas Raka saat kuliah menikah dengan seorang arsitek berkebangsaan Malaysia. Sama seperti Mas Raka dan Mbak Hana, pasangan serumpun beda negara itu membuka sebuah kantor arsitek di Kuala Lumpur. Mbak Hana merekomendasikan Mas Ahim. Alhamdulillah, mereka memberi kesempatan pada Mas Ahim untuk bekerja di kantor mereka.

Mas Ahim bahkan sudah beberapa kali bolak balik ke Jakarta dan Kuala Lumpur untuk mengurus dokumen dan menyiapkan tempat tinggal buat kami.

"Sar," panggil Mas Ahim.

Dari tadi dia berbaring di sampingku, tapi cuma diam saja sambil memandangi aku yang sedang fokus pada buku. Padahal aku tidak sedang membaca, aku cuma sedang menata hatiku untuk mengembalikan hubungan kami yang dulu.

"Hemm?"

"Betah banget sih ngediemin aku? Kamu nggak bosan, to? Hitungan jam lagi kita mulai hidup berdua lho, jauh dari keluarga dan sanak saudara. Nanti di sana kita mulai ngobrol asyik lagi kayak dulu-dulu, ya? Apa masih kurang serius usahaku buat bikin kamu percaya sama aku, Sar?"

Dia mengubah posisinya dan duduk menghadap ke arahku.

Jujur, aku sendiri sangat merindukan kedekatan kami yang dulu. Rasanya sudah tak tahan lagi untuk tak mengacuhkan dia sekian waktu, tapi aku menunggu saat yang tepat tiba. Mungkin inilah waktunya.

"Aku..., m-maafin aku ya, Mas."

Kujatuhkan diriku ke pelukan Mas Ahim, mengeluarkan semua perasaan yang sudah kupendam sebulan lamanya.

Ah, aku baru sadar. Di saat-saat seperti ini, pelukan suami memang jadi hal terbaik yang kita miliki. Meski kadang rasa sakit, kesal, sebal, dan semuanya itu datangnya dari dia juga.

Mas Ahim balas memelukku erat. Sangat kuat. Sepertinya dia juga butuh dikuatkan setelah sebulan berkutat dengan banyak urusan yang serba tiba-tiba.

"Janji ya, kita nggak akan kayak kemarin lagi," katanya sesudah aku tenang. Aku mengangguk, masih dengan air mata berlinang.

"Besok-besok nggak cengeng lagi, ya. Dikurang-kurangin nangisnya." Dihapusnya air mataku dengan jari-jarinya.

"Nggak janji."

"Dih. Ya udah, nggak pa-pa juga, sih. Ibu hamil mah bebas. Yang penting jangan ngebatin dan memendam sesuatu yang bisa nambah beban pikiran ya, Sar. Kalau ada perasaan-perasaan yang nggak enak dan mengganggu, langsung share ke aku aja. Aku kan udah janji untuk selalu jagain kamu dan berusaha bahagiain kamu."

Kenapa sih, dia selalu bisa bikin aku meleleh?

"Kamu kenapa sekarang jadi bucin gini ke aku, Mas? Kucuekin, kumarahin, kuomelin, kudiemin, tapi kamu tetep mau bertahan, malah sering minta maaf sama aku. Nggak malah jengkelan, gitu. Kok bisa, sih?"

Memang aku agak heran dan suka bertanya-tanya sendiri. Mas Ahim lho, yang ganteng, banyak fans-nya, dri keluarga berada, pintar juga, tapi sabar banget menghadapi aku. Padahal dia bisa saja balik mengancam akan ninggalin aku, toh dia lebih segalanya daripada aku. Tapi dia nggak melakukannya, justru sebaliknya.

"No choice, Sar. Kalau dua-duanya marah, keras, gengsi, cuek..., ya nggak akan ada selesainya. Gantian, lah. Kalau kamu marah, ya aku harus berusaha biar tetap adem. Kalau aku yang marah..., eh, kalau ini nggak pernah deh kayaknya."

Kukeplak pahanya keras-keras. Kukira pembicaraan akan berlangsung serius, tapi dia masih bisanya menyelipkan candaan.

"Hehe, iya iya. Aku mungkin nggak pernah marah, tapi sering banget berbuat salah. Seenggaknya di mata istri."

"Mas, please. Jangan mulai lagi, deh." Dan dia nyengir lagi. Dasar!

"Iya, Sar. Jadi gini, kita ini kan suami dan istri, yang namanya rumah tangga akan selalu ada permasalahannya. Kalau apa dikit nyerah, ada masalah kecil dibesar-besarkan, sesuatu yang nggak prinsip diungkit terus-terusan..., ya bubar, Sar. Masa iya kita mau kayak bocil alay, yang dikit-dikit mikirnya pisah, susah dikit ngancamnya cerai, dan semacamnya.

"Pada dasarnya setiap rumah tangga pasti punya kendala, Sar, dan punya prinsip juga. Asalkan kendala itu bukan sesuatu yang melanggar prinsip, ya kita usahakan untuk bisa mencari jalan keluar yang terbaik. Apalagi cuma soal masa lalu, yang nyatanya aku udah bener-bener meninggalkan semua itu."

"Mas, kamu---"

"Eits, jangan protes dulu, Sayangkuuu. Aku tahu kok setiap orang punya perasaan, pandangan, pemikiran, dan penyikapan yang berbeda-beda, bahkan untuk masalah yang sama. Aku bukan nggak menganggap sebalmu pada masa laluku, Sarah Annisa. Aku cuma ingin menggarisbawahi aja bahwa marah soal itu boleh, but please..., jangan gampang keluar pernyataan berpisah dan semacamnya.

"Aku selalu berusaha menjaga, Sar, biar ucapan semacam itu nggak keluar dari aku. Bisa bahaya. Karena kalimat talak itu bercandanya, spontannya, apalagi seriusnya, semua dihukumi sama. So, tolong banget ya, Sar. Kita berusaha bareng-bareng untuk menjaga supaya jangan sampai keseringan melakukan yang seperti itu. Sorry to say, terutama kamu, Sar. Karena aku cuma manusia biasa, takutnya pas sama-sama emosi, aku kelepasan membalas dengan yang sama."

Dia menatap mataku. Aku mengangguk-angguk, menyetujui ucapannya.

"Aku sayang kamu, Sar." Dibelainya pipiku. Aku geli, tapi mencoba menahan diri untuk tidak menepisnya.

"Aku malah sayang kamu banget banget, Mas."

"Serius?"

"Dua rius."

"Tapi kamu betah banget diemin aku. Aku sampai mati gaya. Tidur sekasur, tapi dicuekin, apa enaknya coba?" Dih, dia curcol. Yang tadinya mau romantis jadi buyar, deh.

"Aku lebih mati gaya, kali. Pengen meluk, tapi harus mati-matian menahan diri. Tersiksa banget tahu nggak sih, Mas?"

"Lah, siapa suruh ngikutin gengsi? Peluk kan tinggal peluk aja. Aku pasti akan balas dengan yang lebih lagi."

"Heh, itu bukan karena gengsi ya, Mas. Enak aja klaim sepihak. Itu biar kamu tahu kalau aku juga bisa marah dengan serius. Biar kamu ingat seumur hidupmu kalau suami istri marahan lama-lama tuh nggak enak. Biar kamu ada warning setiap kali mau melakukan sesuatu yang aku nggak suka.

"Aku lho, udah selalu berusaha memenuhi semua keinginanmu. Pengen makan sesuatu aja kadang kutahan demi nggak bikin kamu gelisah kalau ada kurir makanan mau datang. Padahal aku juga nggak pernah keluar nemuin.

"Lagian, kamu kan pernah bilang kalau aku nggak secantik dan sebening cewek-cewek dari masa lalumu, terus kenapa juga kamu sekuatir itu kalau aku ketemu sama laki-laki lain, yang itu juga cuma kurir? Aku kenal juga nggak. Aku cantik juga nggak. Iya, kan?"

Baru saja menyetujui perkataannya, eh, aku sudah emosi lagi. Kuluapkan saja semua kekesalanku. Nyatanya aku merasa dia suka lebay soal itu, tapi aku tetap berusaha menjauhi semua yang tidak suami sukai. Memang harus begitu, kan? So, nggak ada salahnya kalau aku merasa berhak menuntut yang sama padanya.

"Masalahnya bukan cantik nggak cantik, Sar. Tapi kamu satu-satunya yang halal dan diperbolehkan buat aku. Makanya aku maunya ngejagain kamu. Lagian kamu tuh unik. Cuma kamu satu-satunya, yang marah pun bisa tetep bikin aku kangen dan nggak bisa jauh-jauh dari kamu.

"Itu udah dari kita kecil lho. Marahmu itu malah selalu ngangenin buat aku. Makanya, senyebelin apapun kamu, aku nggak pernah bisa jauhin kamu. Main sama siapapun, tetep ujungnya yang kucariin kamu. Aku kangen kalau seminggu aja nggak ngajakin kamu berantem, Sar. Tapi ya nggak gini juga sih berantemnya."

Dia terkekeh. Selalu begitu setiap membahas kami yang dulu. Yang bahkan membayangkan akan bersanding sebagai suami istri tuh nggak pernah sama sekali.

"Halah, itu kan cuma pas kamu nggak punya pacar. Zaman kuliah dulu, kalau lagi sibuk nugas, butuh bantuan yang remeh temeh, mesti aku yang kamu suruh-suruh. Giliran sibuk pacaran, aku butuh bantuan juga kamu ngilang. Memang dasar kamu tuh cuma mau manfaatin aku. Apalagi sekarang, makin-makin deh."

"Ya kalau sekarang kan kita saling memanfaatkan dan saling membutuhkan, Sar."

"Kamu aja kali, Mas, yang membutuhkan aku?"

"Yakin?"

"Yakin lah."

Perdebatan sengit dan tidak perlu malah jadi berlarut-larut. Kadang sama-sama kesal, lalu kami berdua terpingkal-pingkal. Masa lalu dibahas, aib-aib diulas tuntas, rahasia-rahasia saling dilepas. Banyak hal dari masa lalu kami tertawakan bersama.

Dulu hubungan kami pure sebagai dua orang yang kenal dan akrab sejak kecil oleh faktor kedekatan keluarga. Baru mulai belajar meningkatkan perasaan ya setelah ijab dan qobul tertunaikan.

"Masya Allah. Jodoh itu seringkali lucu ya, Sar. Datangnya nggak terduga. Udah ada desas desus perjodohan sejak lama pun, buat kita sama sekali nggak ada pengaruhnya, ya?"

Kami kembali tertawa bersama. Dia lalu merangkul bahuku dan aku menyandarkan kepala pada bahunya.

"Terima kasih ya, Mas."

"Untuk?"

"Untuk mau menerima dan memperjuangkan aku, yang ngambekan dan kalau udah marah jadi nggak bermutu."

"Alhamdulillah kalau sadar," celetuknya santai.

"Mas Ahiiiimmm. Kamu nyebelin banget, siiiihh!" Kuhujani dia dengan cubitan kecil. Dia berteriak-teriak minta ampun, tapi tak kugubris. Candaan kami baru berhenti saat bel rumah berbunyi.

Kusambar jilbabku, lalu bergegas menuju ruang tamu. Bapak ibuku dan bapak ibunya Mas Ahim sudah ada di depan pintu. Kusempatkan melirik jam dinding, baru pukul delapan. Rencana berangkat ke bandara masih tiga jam lagi.

"Assalamualaikum, Sarah. Sudah siap-siap belum?" Ibu mertua yang memelukku pertama.

"Waalaikumussalam. Insya Allah udah siap, Bude. Nggak banyak kok bawaannya. Cuma memaksimalkan bagasi mawon." Kusambut beliau dengan mencium tangannya. Lalu berurutan mencium tangan ibuku, bapakku, dan Pakde Rosyid.

"Sudah mau ngasih cucu kok ya manggilnya masih bude, ki lho. Panggil ibu, lah." Aku meringis mendengar komplain dari ibu mertua. Ya gimana, telanjur jadi kebiasaan sejak bayi.

Mas Ahim menyusul keluar, salim dan mencium tangan pada semuanya. Kami lalu berkumpul di depan televisi. Para sesepuh menanyakan kesiapan kami. Kutunjukkan pada mereka dua koper besar, dua koper kabin, dan satu ransel berukuran sedang yang sudah teronggok manis di depan pintu kamar.

Kesiapan mental juga menjadi topik pembicaraan. Insya Allah aku siap. Mas Ahim jauh lebih siap, karena dia memang jauh lebih matang dan dewasa dibandingkan aku.

Pembicaraan berikutnya dipenuhi dengan nasihat dan petuah dari para orang tua, isinya seputar kehidupan berumah tangga. Aku jadi semakin mengerti, menjalani biduk pernikahan memang tak semudah membalikkan telapak tangan. Kedekatan yang sudah ada sebelumnya tidak menjamin perjalanan berkeluarga akan mulus-mulus saja. Yang terpenting adalah kedua belah pihak sama-sama tahu posisi dan perannya, juga sama-sama mengerti kapan harus mengalah dan kapan boleh mempertahankan prinsip serta pendapat. Satu lagi yang tidak boleh dilupakan, yaitu adab terhadap satu sama lain.

Untuk kesekian kali aku bersyukur memiliki orang-orang tua yang bijaksana. Orang tuaku tak pernah membabi buta dalam membelaku. Kalau aku salah, ya mereka akan berada di pihak Mas Ahim. Begitupun kedua mertuaku, mereka tidak pernah membenarkan jika yang dilakukan Mas Ahim adalah kesalahan. Objektif dan menempatkan sesuatu pada posisi yang sesuai rupanya sudah menjadi bahasa keseharian bapakku dan bapak mertuaku, dua sahabat yang impiannya untuk berbesan sudah kami wujudkan.

Waktu bergulir tanpa terasa. Tiba saatnya kami bersiap ke bandara, meninggalkan rumah, keluarga, dan semua kehidupan nyaman kami di sini. Baju yang terakhir dipakai kami masukkan kantung plastik untuk selanjutnya menghuni sudut ransel Mas Ahim. Alamat nih, mencuci baju menjadi agenda pertama setibanya kami di Kuala Lumpur.

Kami sampai di airport bersamaan dengan keluarga Mbak Syifa. Keluarga Mbak Nisa tidak bisa melepas ke bandara karena dia ada jadwal praktik dan suaminya —seorang dokter bedah— ada jadwal operasi.

Tak ada drama. Kupikir tidak perlu, sebab semua ini adalah keputusan yang sudah kami pertimbangkan dan harus kami tanggung konsekuensinya. Sedih pasti ada, tapi tak harus mendramatisir juga, kan?

Kami berpamitan pada yang sudah hadir, sambil menunggu Mbak Hana dan Mas Raka tiba. Aku berhenti lama di pelukan ibuku. Sebulan terakhir ini hubungan kami makin dekat. Aku banyak belajar mengurus rumah, memasak, membuat kudapan, mengatur anggaran, dan banyak hal darinya.

"Jangan lupa pesan ibu untuk selalu bersabar dan mendahulukan prasangka baik," bisik ibu sambil mengusap kepalaku. Aku mengiyakan, berjanji untuk melaksanakan pesan-pesannya.

Waktu boarding makin dekat, tapi Mas Raka dan Mbak Hana belum juga tiba. Kami memutuskan untuk pamitan pada mereka lewat media saja. Sebab kami membawa bagasi, check in-nya bisa jadi lebih lama.

Mas Ahim mendorong troli yang memuat barang bawaan kami. Aku mengikuti, berpegangan pada siku kirinya. Beberapa kali kutoleh ke belakang, hingga kami memasuki pintu keberangkatan.

"Him, Sar, enteni woiii!" Teriakan khas Mbak Hana terdengar membahana. Aku dan Mas Ahim mengucap hamdalah. Bagaimanapun kami ingin berpamitan secara langsung, merekalah yang berjasa besar dalam perjalanan hidup kami kali ini.

Keduanya bercakap sebentar dengan para tetua, juga Mbak Syifa dan suaminya. Gerakan mereka berikutnya seperti orang berpamitan, masing-masing juga menyeret koper kabin dengan tangan kanan, berjalan menuju ke arah kami.

Mas Ahim hendak memeluk kakak kesayangannya, tapi ditepis oleh Mbak Hana. "Nggak usah meluk-meluk, ih. Lebay."

"Lha kan kita mau berpisah, Mbak. Iku opo nang koper? Duit? Sangu buat aku dan Sarah, ya?"

"Baju, lah."

"Lha mau ke mana memangnya?"

"Piknik." Mas Raka yang menjawab.

"Ke mana?"

"Kei Eeel."

***

15072022

Dih, Mbak Hana sama Mas Raka, nih. Mentang-mentang punya duit aja, mau piknik ya jalan aja. Apalagi Malaysia nggak perlu visa. Hihi...

2,2K words lho ini. Kayaknya terpanjang di Pengantin Dodol, nih. Ini karena aku tambah-tambahin biar agak panjang. Tadinya cuma separonya doang. Anggap aja double update. Wkwk.

Sebenernya kan mau update pas hari Rabu, qodarullah mendadak ngantar ibuku pulang. Dan jalan ke sana lagi banyak buka-tutup buat perbaikan jalan, jadi lagi macet-macetnya. 65 km-an (130-an PP) ditempuh sepuluh jam. Huhuhuuu. Jadilah aku batal update hari itu.

Baiklah. Begitu aja ya.

Thank you & see you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro