16. Dan Terjadi Lagi
Happy reading :)
***
Aku terbangun dari tidur yang tak sengaja. Mukena bahkan masih melekat di badanku. Kutengok jam di gawaiku, 13.15. Empat puluh lima menit aku tidur, lumayan juga.
Usai menandaskan segelas air, tiba-tiba aku ingin makan roti bakar kesukaanku. Segera kuketik pesan untuk Mas Ahim, meminta izin akan membeli roti bakar lewat kurir. Beberapa detik berikutnya panggilan dari Mas Ahim datang.
"Assalamualaikum, Sar."
"Waalaikumussalam."
"Harus sekarang, ya?"
"Apanya?"
"Roti bakarnya lah. Nggak nanti aja aku beliin sekalian pulang?"
"Tapi aku pengennya sekarang, Mas. Pakai kurir aja boleh, ya?" rengekku.
"Ya udah, suruh nyangkutin di pagar. Kamu keluarnya kalau kurirnya udah nggak kelihatan."
"Iya."
Suamiku yang ganteng itu memang agak posesif. Dia tak memperbolehkan ada laki-laki masuk ke rumah saat dia tak ada, kecuali bapakku atau bapaknya. Bahkan kakak iparnya pun jika datang sendirian maka aku tak boleh membukakan pintu. Aku selalu mengingat dan mematuhi pesannya, sebab secara syariat juga semestinya begitu.
Roti bakar kuorder sesegera mungkin, hingga tak sampai setengah jam kemudian makanan kesukaanku itu telah berada di hadapan. Kubuka dengan tak sabar, sudah terbayang aroma coklat favorit yang bikin ngiler. Tapi....
"Huek."
Tiba-tiba aku merasa mual dan ingin muntah. Buru-buru berlari ke kamar mandi, tapi tak ada apapun yang keluar dari perutku. Aku kembali ke meja makan setelah lebih dulu mengambil air minum hangat.
Sama seperti sebelumnya, begitu mencium bau roti bakar, aku kembali merasa mual. Ini aneh. Aku jadi curiga. Apalagi sudah hampir dua pekan lewat dari jadwal dan si tamu bulanan belum datang juga.
"Jangan-jangan..., Astaghfirullah hal adzim," pekikku.
Setengah berlari aku menuju ke toilet di kamar kami. Mas Ahim menyimpan banyak test pack di rak. Dia beli sejak kami pulang dari umroh dan hubungan kami kembali hangat seperti sebelum aku keguguran dulu.
Kucoba satu, tak peduli jam berapa ini. Kupikir mencoba test pack tak harus saat pagi hari. Dengan dag dig dug kutunggu hasilnya sambil duduk di tepian tempat tidur.
"MasyaAllah. Garis dua. Alhamdulillah. Alhamdulillah. Aku hamil." Aku berteriak-teriak kegirangan. Mas Ahim pasti senang sekali.
Tak langsung menghubungi Mas Ahim, aku berniat memberinya surprise saat dia pulang nanti.
Aku kembali ke ruang makan, kututup hidungku saat memasukkan roti bakar ke dalam wadah. Buat Mas Ahim, sayang kalau nggak dimakan.
Drrrt drrrt. Gawaiku bergetar. Nama Mas Ahim terbaca di layar.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam. Gimana, Mas?"
"Sar, ini ada kecelakaan kerja. Aku diminta bantuan nganter ke rumah sakit. Mungkin nanti pulangnya agak sorean."
"Oh, iya. Nggak apa-apa. Tapi kamu baik-baik aja kan, Mas?"
"Alhamdulillah, aku nggak apa-apa, Sar. Cuma diminta nganter aja. Ada driver dan satu teman lain juga kok."
"Iya. Hati-hati ya, Mas."
"Thank you, Sar. I miss you."
Panggilan diakhiri, aku tersenyum-senyum sendiri, meski harus bersabar lebih lama lagi untuk menyampaikan kabar gembira kepada suami.
Menjelang pukul lima sore, aku sudah bersiap menyambut Mas Ahim. Berdandan secantik dan sewangi mungkin biar lengkap kebahagiaan yang kuberikan kepadanya.
Drrrt drrrt. Sebuah notifikasi masuk. Kubaca nama pengirimnya, salah satu teman sekelas waktu di SMP dulu. Kami tidak dekat, tapi sama-sama ada di grup whatsapp angkatan, dan ibunya berteman dengan ibu mertuaku. Sekarang dia berprofesi sebagai perawat.
[Sarah, maaf. Mas Ahim tuh suamimu, kan?]
[Maaf, ya. Tapi aku tadi lihat dia sm kakak kelas kita. Mbak Danti. Tau nggak?]
Satu foto dikirim. Lokasinya seperti di selasar rumah sakit. Tampak Mas Ahim mendorong kursi roda dan Mbak Danti duduk memegang kruk.
"Astaghfirullah hal adzim."
Aku hanya bisa menghela napas. Ingatanku melayang pada kejadian menyakitkan beberapa waktu lalu. Tak ada air mata. Entah, mungkin aku sudah mati rasa.
Satu-satunya yang kupikirkan hanya kandunganku. Aku tak boleh lemah. Kejadian itu tak boleh terulang lagi. Aku harus tetap tenang, jangan emosi berlebihan.
Kutelepon bapakku agar menjemputku ke rumah. Aku menangis begitu mendengar suaranya. Satu-satunya pria yang mencintaiku dengan tulus dan tak pernah menyakiti hatiku.
"Kamu kenapa, Nduk?"
"Bapak sama ibu ke sini, ya. Aku mau pulang."
"Pulang gimana? Kamu berantem sama Ahim?"
"Nanti aku jelasin di sini. Bapak sama ibu ke sini dulu. Naik mobil ya."
"Yo wis, bapak sama ibu tak ke situ dulu. Kamu tenang, ya. Ke kamar dulu biar nggak makin ribut sama suamimu."
Aku mengiyakan saja. Tak kuberitahu kalau Mas Ahim belum pulang. Sesudahnya kuambil koper dan memasukkan sebagian besar isi lemariku. Aku mau pulang ke rumah orang tuaku. Seperti yang pernah kukatakan ke Mas Ahim, kalau sampai kejadian seperti ini terjadi lagi, maka elo-gue end!
Tapi aku tak mau berdosa. Minimal aku izin dulu ke Mas Ahim kalau aku mau ke rumah orang tuaku. Walaupun aku tak mengatakan alasan yang sebenarnya.
[Mas, bapak ibu ke rumah. Ini mau pulang. Aku ikut ke sana.]
[Sebentar lagi aku pulang, Sar. Nunggu aku dulu, nanti nginap sana deh.]
Huh, pasti dia sedang menemani Mbak Danti. Memangnya apalagi?
[Kelamaan. Makan dan baju ganti udah kusiapin. Rumah udah bersih dan rapi. Kunci cadangan ada di mobil kan?]
[Sar, ini aku udah keluar dari kantor.]
Tak kubalas lagi. Kuseret koper ke ruang tamu. Begitu terdengar suara mobil, aku bergegas keluar dan mengunci pintu.
"Nggak usah masuk, Pak. Kita langsung berangkat aja." Kucegah bapak membuka pagar. Aku bergerak secepat aku bisa. Menaruh koper di bagasi, lalu naik ke mobil.
"Ono opo to, Nduk? Ahim mana?"
"Belum pulang."
"Kamu nggak boleh seperti ini. Istri itu nggak boleh meninggalkan rumah tanpa seizin suami."
"Tapi aku udah izin, Pak. Apa Bapak ikhlas kalau anaknya diselingkuhin terus?"
"Astaghfirullah hal adzim. Istighfar, Nduk. Kamu itu ngomong apa to, Sar?"
"Ini tuh udah bukan kejadian pertama, Pak, Bu. Dulu aku lama di rumah kan karena itu. Aku sampai keguguran juga karena itu. Aku udah warning ke dia, kalau ini kejadian sekali lagi, kita selesai. Lha ini malah dia ulangi lagi."
Kuluapkan semua emosi, lengkap beserta aib rumah tangga. Kukeluarkan juga handphone dan menunjukkan foto Mas Ahim dengan Mbak Danti.
"Harusnya kamu nunggu Ahim pulang dulu, Nduk. Tabayyun. Foto nggak selalu menjelaskan keadaan aslinya. Jangan sampai kamu menyesal dengan keputusanmu yang grusa grusu." Ibu menasehati.
"Sudah, Bu. Biar bapak telpon Ahim saja. Ini kita pulang dulu, nanti biar Ahim jemput Sarah ke rumah."
Bapak menengahi, lalu menelepon Mas Ahim dan menyampaikan apa yang baru saja dikatakan pada aku dan ibu.
Begitu tiba di rumah, segera kukirim foto Mas Ahim dan Mbak Danti kepada yang bersangkutan. Pesanku singkat saja.
[Kita selesai!]
Mas Ahim datang bersamaan bapak pulang dari masjid. Aku lari masuk ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Biasanya dalam keadaan seperti ini dia akan mengetuk pintu dengan serampangan, tapi tidak kali ini, sebab kami sedang berada di rumah orang tuaku.
Tok tok tok.
"Assalamualaikum, Sar. Sarah, ini salah paham, Sar. Aku bisa jelasin semuanya. Please. Izinin aku masuk dan kasih aku kesempatan bicara, setelah itu kamu boleh ambil sikap. Tapi nggak gini, Sar. Kamu jangan ambil kesimpulan sendiri dan keputusan sendiri. Dengerin aku dulu. Kalau kayak bu ini, masalah kita nggak akan selesai."
Aku bergeming, bicara sepatah kata pun tidak. Malas. Mau menjelaskan apa lagi?
Tok tok tok.
"Sar, tolonglah. Semuanya nggak seperti yang kamu duga. Makanya, tolong izinkan aku menjelaskan cerita sebenarnya, Sar. Aku suamimu, kuharap kamu lebih percaya aku daripada siapapun yang ngirim foto itu. Ada saksinya, Sar. Kalau perlu kubawa ke sini sekarang juga. Ayo, Sar, buka pintunya please."
Aku tetap diam, sama sekali tak menanggapi. Mas Ahim akhirnya tak membujuk lagi. Aku yakin, bukan karena dia menyerah, tapi dia memang tipe orang yang malas berjuang kalau sudah tahu endingnya akan sia-sia. Kami bersama sejak kecil, tentu saja dia hafal kebiasaanku. Kalau aku sedang marah dan mogok bicara, membujukku adalah sesuatu yang baginya menyebalkan dan buang-buang waktu alias percuma.
Tok tok tok .
"Ya sudah, aku jelasin semuanya ke Om Tofa dan bulik, ya. Kamu telpon aku aja kalau udah legaan dan udah bisa berpikir jernih. I love you, Sar. Maafin aku."
Langkah kakinya menjauh. Aku mencoba menajamkan pendengaran, tapi gagal.
Sampai dia pamit pulang, aku sama sekali tak keluar dari kamar. Aku menyembunyikan diri bersama rahasia tentang kehamilanku. Bahkan bapak ibuku pun belum kukasih tahu.
Setelah yakin Mas Ahim benar-benar pergi, aku keluar dari kamar. Selain belum salat isya, aku juga lapar, dan aku harus makan karena saat ini aku sedang hamil.
Bapak dan ibu menyusulku ke meja makan. Baru akan mengulang penjelasan Mas Ahim, aku meminta keduanya untuk tidak usah dilanjutkan. Aku belum ingin mendengar penjelasan apapun.
Akhirnya cuma nasihat yang mengalir penuh kesabaran. Keduanya menyarankan aku menekan ego dan emosi untuk mau mendengarkan penjelasan Mas Ahim. Aku mengiyakan sekenanya, masih malas membahas dia. Kalau perlu nggak usah lagi membahas tentangnya sampai kapanpun. Aku sakit hati sekali.
"Aku udah selesai makannya, Pak, Bu. Izin mau tidur boleh, ya? Rasanya capek banget, lahir batin. Maafkan Sarah ya, Pak, Bu."
Memang seperti itulah yang kurasakan. Bayangkan, baru tahu kalau diri ini hamil, berniat menyampaikannya sebagai surprise buat suami, eh malah aku dulu yang dapat surprise foto suami berdua sama mantan.
"Ya sudah, sana. Jangan lupa berdoa, terus nanti bangun buat salat malam, memohon petunjuk."
"Iya, Bu. Assalamualaikum."
Bapak ibu menjawab bersamaan. Aku menuju kamar mandi untuk melakukan kebiasaan sebelum tidur. Sesudahnya masuk kamar, salat isya, berdoa, dan zzz....
Rasa lelah membuatku tidur teramat pulas. Ketika aku membuka mata, Mas Ahim ada di hadapan dan sedang memandangiku. Kulingkarkan lenganku untuk memeluknya.
"Jam berapa ini, Mas?" tanyaku lemah, antara sadar dan tidak sadar.
"Setengah empat, Sar. Kamu capek banget, ya?" Dia tersenyum, kelihatan bahagia.
"Udah mendingan, sih. Ini mau bangun salat, soalnya semalam dipesenin ibu buat berdoa dan memohon petunjuk agar---"
Aku baru tersadar soal kejadian kemarin sore hingga malam. Kantukku mendadak lenyap. Secepat kilat aku menjauh darinya.
"Astaghfirullah hal adzim! Kamu ngapain di sini, Mas? Aku nggak sudi lihat kamu! Aku benci kamu! Keluar nggak, kamu? KELUAR!"
Aku marah besar, merasa dikhianati semua orang, termasuk bapak ibu yang sudah membiarkan Mas Ahim masuk ke kamarku saat aku tidur. Aku sama sekali tak terima.
Mas Ahim berusaha meredakan marahku, kugigit saja tangannya, lalu aku lari ke pintu. Terkunci. Dan anak kuncinya tak ada di sana.
Aku sedih. Rasanya patah hati sekali. Sudahlah dibuat sakit hati, sekarang aku dikerjai. Aku nggak kuat.
Sekelilingku perlahan menggelap. Aku mendengar seseorang meneriakkan namaku, lalu semuanya hilang.
***
28062022
Sarah kenapa? Pingsan apa gimana?
Ahim juga! Udah tau Sarah benci banget dan pernah nge-warning soal Danti, malah diulangi lagi.
Angel wis angel...
Eits, tapi..., sebenernya Ahim beneran salah atau cuma ada salah paham nih?
InsyaAllah besok update lagi deh. Hehe....
Oh iya, aku nyobain ikut kompetisi yg diadain Karyakarsa x Indomie dalam rangka 50 tahun Indomie, nih. Yuk, bantu ramaikan. Nggak dikunci alias gratisan kok bacanya :)
Caranya:
1. Buka aplikasi Karyakarsa. Nggak harus download ya, pake google juga bisa.
2. Cari akunku, namanya fitrieamaliya
3. Di profilku, pilih cerita yg judulnya Rahasia Bunda. Covernya warna hijau, ada gambar mie-nya.
4. Dibaca aja boleh, di-like dan dikomentarin lebih senang lagi akunya. Setauku sih banyak-banyakan like dan komentar nggak masuk penilaian, tapi masuk ke hatiku sebagai penyemangat. Eaaak.
Baiklah, sampai di sini dulu. Terima kasih banyak ya, teman-teman. Maafkeun kalau ngerepotin. Hihi.
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro