Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15. Cinta Pertama

Happy reading :)

***

Aku berterima kasih sekali kepada ketiga kakak iparku yang sangat baik. Hadiah dari mereka sangat berarti bagiku. Dua bulan berlalu dari sejak bulan madu, hubunganku dengan Mas Ahim benar-benar mengalami progres yang cukup signifikan setelah kami bersafar bersama.

Sekarang aku tahu, Mas Ahim kalau sudah sayang, sikapnya sungguh sangat manis. Tak heran kalau mantannya banyak. Selain karena wajah dan body yang mendukung, Mas Ahim juga lucu, apa saja selalu bisa dia jadikan bahan candaan. Yang paling bikin aku happy, hubungan kami makin terasa sebagai suami istri.

Ting tong.

Suara bel membuyarkan lamunanku. Kulihat jam dinding, hampir pukul delapan. Cepat-cepat aku menuju ke pintu, itu pasti Mas Ahim. Hari ini dia ada pekerjaan di luar kota, jadi pulangnya agak terlambat dari biasanya.

"Assalamualaikum, Sarah Annisa sayang."

"Waalaikumussalam," jawabku sambil tersipu. Kuambil dan kucium punggung tangannya, dia balas melakukan hal yang sama, lalu meraihku ke dalam pelukan.

"Sekali-sekali kalau dipanggil sayang tuh balas panggil sayang, kek."

"Malu." Aku terkekeh. Dia mencubit hidungku.

"Aku bawain roti bakar kesukaanmu, nih. Kamu masak nggak?"

"Cuma bikin nasi goreng jambal." Biasanya kalau ada pekerjaan sampai malam begini Mas Ahim akan sekalian makan di luar, makanya aku nggak masak khusus untuk makan malam kami.

"Kamu belum makan to, Mas?"

"Udah, kok. Tapi aku lapar lagi, pengen makan bareng kamu. Aku mandi dulu ya, habis itu kita makan. Aku nasgornya, kamu roti bakar aja kalau tadi udah makan nasi." Aku mengangguk.

"Mau minum panas apa hangat?"

"Teh panas aja, Sar. Secangkir berdua ya."

"Kamu habis kesambet apa sih, Mas?" Tak dijawab. Dia malah menghampiri dan mengecup keningku lagi.

"Aku mandi dulu ya, Sar, nanti kuceritain sesuatu. Pokoknya i love you."

Aku tertawa. Kubalas sikap manis Mas Ahim dengan memberi usapan di pipi kirinya, lalu bergegas menghangatkan nasi goreng dan membuat dua telur mata sapi. Tak lupa segelas teh panas dengan level manis rendah kesukaannya.

"Sar, maafin aku ya."

Aku kaget. Mas Ahim tiba-tiba memelukku dari belakang. Untung teh panas sudah sempurna mendarat di meja makan.

"Mas, ih. Nggak usah ngagetin gini bisa kali."

"Iya, maaf. Kaget banget, ya?"

"Iya, lah. Lagian, mandinya cepet amat. Bersih nggak, tuh?"

"Makanya mandiin, biar bersih."

"Apaan sih, Mas? Nggak jelas." Aku malu sendiri. Dia suka sekali menggoda yang nyerempet-nyerempet bahaya.

"Kamu lucu deh, Sar. Gemesin. Ya udah kita makan, yuk. Aku lapar."

Aku mengiyakan. Dia menarik satu kursi untuknya, dan menarik satu lagi di sampingnya. Aku terpaksa duduk bersebelahan dengannya, padahal aku paling suka duduk berhadapan saat makan.

Mas Ahim makan sangat lahap, aku juga menikmati roti bakar dengan semangat. Sepanjang makan, tangan kirinya tak beranjak dari pahaku. Sesekali dia mengusapnya sambil memandangi aku. Aku jadi geli sekaligus malu.

"Kamu kenapa sih, Mas?"

Dia cuma tersenyum. Baru mulai bicara sesudah menyelesaikan makan dan menghabiskan teh panasnya. Sepertinya dia lupa soal secangkir berdua. Aku diam saja, dalam hati menertawakan kealpaannya.

"Ingat Iwan nggak, Sar?"

"Yang waktu itu kita datang ke nikahannya, kan? Yang istrinya mantan penggemarmu?"

"Ish, perempuan kalau yang begitu mesti ingat ya, Sar?"

"Iyalah. Apalagi aku bukan perempuan biasa. Aku istrimu, lho." Lah, kok aku jadi seperti ingin diakui eksistensinya sebagai istri, sih? Astaghfirullah.

"Istri tuh ya sekali-sekali panggil sayang ke suaminya."

"Kamu mau cerita apa mau ngajak berantem sih, Mas?" Dia tertawa, mengajakku pindah duduk ke sofa di depan TV.

"Istrinya Iwan udah hamil, Sar. Seperti biasa, aku yang sama-sama masuk kategori pengantin agak baru dicengcengin di grup."

"Terus?"

"Ya aku jelasin kalau kamu udah pernah hamil, tapi belum sempat kita sadar soal itu, udah keburu keguguran." Dia menatapku, kemudian merengkuh bahuku dan membawa kepalaku untuk bersandar di pundaknya.

"Maafin aku ya, Sar. Ternyata setiap kali ngebahas soal itu, aku sendiri merasa ada yang nyeri di hati. Aku kok bego banget, ya. Harusnya aku---"

"Stop, Mas! Udah cukup, nggak usah dibahas lagi." Moodku mendadak jatuh. Aku menjauh dari peluknya.

Topik ini sudah tak pernah kami bicarakan lagi dua bulan terakhir. Aku bahkan sudah hampir lupa. Kenapa malah diingatkan lagi?

"Sorry, Mas. Kamu kan tahu kalau aku nggak pengen ingat-ingat itu lagi. Kenapa malah dibahas? Kita stop dulu aja. Kamu juga pasti capek, kan? Istirahat aja sana. Aku cuci piring dulu, nanti pagar biar aku yang gembokin."

"Duh, aku salah lagi ya, Sar? Ya udah, aku minta maaf lagi. Kamu cuci piring aja, pagar sama pintu urusanku. Sekali lagi maafin aku ya."

"Iya, Mas, nggak pa-pa. Aku juga minta maaf kalau aku berlebihan," ujarku datar.

Kami beranjak, menyelesaikan pekerjaan masing-masing. Aku sengaja berlama-lama, kalau habis ada pekerjaan di luar kota, Mas Ahim biasanya tidur lebih cepat.

Sayangnya harapanku tak terwujud. Mas Ahim masih melek ketika aku masuk ke kamar. Rupanya dia menungguku.

"Pillow talk?"

"Hemm."

Aku tak tega menolak. Lelahnya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untukku juga. Dalam kondisi demikian, semestinya yang dia inginkan hanya hiburan, kegembiraan, dan pengertian dari pasangan. Namanya rumah tangga, ada kalanya salah satu harus mengalah, dan kali ini giliranku untuk itu.

Aku meminta izinnya sebentar untuk melakukan ritual menjelang tidur. Mengganti baju, menyisir rambut, dan mengoleskan cream pada tangan dan kakiku. Aku nggak mau tidur dengan bau keringat atau bau dapur menempel di badanku.

"Udah hamil berapa bulan istrinya Mas Iwan?" Kubuka percakapan agar Mas Ahim tak bingung dari mana memulai. Wajahnya tampak sangat lega mendengar aku bicara.

"Udah jalan dua bulan katanya."

"Terus kamu dicengcengin juga nggak pas tahu aku gagal mempertahankan kehamilanku?"

"Kamu masih marah ya, Sar?"

"Eh, nggak kok." Aku menyesali kalimatku tadi. Memang terdengar agak nyinyir, sih. Ya gimana, aku sebal. Tapi aku berjanji dalam hati untuk tidak mengulanginya lagi, minimal pada

"Kamu nggak gagal, Sar. Aku yang gagal ngejagain kamu. Aku minta maaf lagi ya, Sar. Jangan bosen nerima maafku dan kasih maafmu buat aku."

"Kamu kenapa sih, Mas, kok minta maaf terus?" Perasaan dari tadi dia minta maaf terus, deh.

"Iya. Intinya, tadi di grup pada bahas soal kita, Sar. Pada nanya, kapan kejadiannya? Kamu kondisinya gimana? Penyebabnya apa? Bla bla bla."

"Terus kamu jawab nggak penyebabnya apa? Mereka pasti tahu kan tentang hubungan kamu sama Mbak Danti." Tetap bersikap tenang, walau hatiku teramat kesal harus menyebut nama itu lagi.

"Nggak. Aku nggak cerita kenapanya. Kan itu aib rumah tangga, Sar. Tapi aku bilang kok kalau semua itu karena salahku, aku yang kurang peka."

"Terus?"

"Terus Aulia kasih advice. Dan setelah kupikir-pikir sepanjang perjalanan tadi, menurutku sih sarannya bener banget."

"Apa memangnya?"

"Aul nyaranin aku buat minta maaf dan memperbaiki sikapku ke kamu. Bisa jadi itu yang menghambat cita-cita dan harapan kita. Mungkin aku udah berusaha memperbaiki sikapku, kamu juga udah berusaha maafin aku, tapi masih ada yang mengganjal yang bikin kamu belum sepenuhnya maafin aku, atau belum ikhlas sama aku, atau semacamnya. Iya, Sar? Kalau iya bilang aja, jadi aku tahu apa saja yang harus kuperbaiki."

"Aku nggak tahu."

Aku memang tidak tahu. Kayaknya sih aku sudah ikhlas dan menerima Mas Ahim apa adanya. Sudah memaafkan juga. Mas Ahim pun sudah putus kontak sama sekali dengan Mbak Danti. Dia bahkan pernah menawarkan untuk menghubungkan whatsappnya dengan gawaiku, tapi kutolak.

Hening. Kami berbaring berhadapan, dia menarik napas panjang sambil matanya menatapku.

"Kamu masih sakit hati banget ya, Sar?" Aku menggeleng.

"Terus?"

"Aku cuma nggak suka kalau diingatkan sama kejadian itu, Mas. Aku sedih dan kehilangan banget. Waktu itu aku ngerasa benci banget sama kamu. Sorry to say, tapi sejak kejadian itu, aku jadi nggak suka juga sama Mbak Danti dan apapun tentang dia. Dan aku kesel banget kalau ingat waktu kamu ceritain gimana kamu sama dia dulu. Aku jadi ngerasa nggak dicintai. Aku ngerasa kamu cuma terpaksa sama aku. Aku...."

Tak tahan lagi, aku menyingkirkan gengsi dan malu. Kutumpahkan saja tangisku. Rasanya benar-benar nyesek. Mungkin nggak akan seperti ini kalau aku nggak jatuh cinta sama Mas Ahim. Sungguh ya, cinta itu bisa bikin manusia jadi apa saja, termasuk jadi lemah begini.

Bukannya merasa bersalah atau apa, Mas Ahim malah tersenyum-senyum. Menyebalkan sekali. Dia lalu mengubah posisi, sekarang berbaring menghadap langit-langit kamar, masih tersenyum-senyum nggak jelas.

"Sar." Dia menolehkan kepala ke arahku.

"Kamu kalau udah cinta tuh lucu banget, ya? Aku jadi tersanjung, tahu nggak? Ekspresimu bikin aku ngerasa dicintai banget. Cemburumu bikin aku ngerasa dicintai banget. Merepetmu bikin aku merasa dicintai banget. Semuanya.

"Aku beruntung banget, Sar, dicintai sama kamu. Aku beruntung banget jadi cinta pertamamu."

"Huh, ge-er." Pe-de sekali dia mengaku-aku sebagai cinta pertamaku.

"Eh, memangnya aku bukan cinta pertamamu ya, Sar?"

Secepat kilat dia duduk, wajahnya menegang, memandangiku dengan tatapan penuh kekagetan.

"Bukan, lah. Pe-de banget."

"Tapi aku nggak pernah lihat kamu jalan sama cowok, atau dekat, atau..., nggak nggak nggak..., kamu bohong kan, Sar?"

"Sama istri sendiri nggak percaya. Kamu aja mantannya banyak aku bisa nerima. Aku jatuh cinta sekali aja kamu udah panik. Cieee, udah cinta banget sama Sarah Annisa, cieee."

"Sar, jangan becanda, deh. Siapa orangnya? Aku kenal nggak? Kamu jadian sama dia? Atau naksir aja? Atau gimana? Please deh, Sar, kasih tahu aku. Aku kenal?" Dia serius.

"Kenal."

"Ish." Wajah Mas Ahim makin tak keruan. "Siapa?"

"Bapakku. Kan cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya."

"Saraaaaahhh."

Dia memelukku erat, menghujani pipiku dengan kecupan. Wajahnya menyiratkan kelegaan. Aku tertawa tergelak-gelak.

"Memangnya kenapa kalau kamu bukan cinta pertamaku, Mas?" tanyaku di sela-sela kegembiraan kami.

"Ya nggak pa-pa juga sih, Sar. Tapi jujur aja, aku bangga dan bahagia banget kalau aku jadi laki-laki pertama yang dicintai sama istriku, Sar. Ya walaupun..., kamu bukan yang pertama buat aku.

"Maaf kalau aku egois ya, Sar. Tapi aku sayang banget sama kamu. Terima kasih udah jadiin aku yang pertama dalam hidupmu. Dan kamu..., biarpun bukan yang pertama, tapi aku janji..., kamu yang terakhir buat aku. I love you."

"Hih, lebay!"

***

22062022

Sarah nih. Ahim janji beneran, eh malah dia bilang lebay. Wkwk...

Btw, lama nggak update nih. Alhamdulillah aku sehat, cuma lagi banyak kerjaan. Ngetik kok nggak kelar-kelar. Part ini aja cuma 1,6K dan gaje, tapi ngetiknya butuh waktu berhari-hari-hari saking nggak kelar-kelarnya. Hehe.

Baiklah. Sampai di sini dulu. Terima kasih teman-teman yg sudah baca dan mengapresiasi tulisanku.

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro