Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

14. I Love You Too

Happy reading :)

***

Harinya tiba. Aku dan Mas Ahim melakukan penerbangan menuju Madinah dan menikmati empat hari berdua tanpa memikirkan urusan pekerjaan dan urusan keduniawian yang lain. Di hari ke-lima kami akan mengambil miqot di Bir Ali, kemudian melanjutkan perjalanan ke Mekah, dan menghabiskan waktu lima hari di sana.

Tidak plus Turki, apalagi Eropa. Sebenarnya Mas Ahim menawariku, tapi aku menolak. Rasanya sayang kalau harus mengeluarkan banyak uang cuma untuk jalan-jalan. Ya meskipun itu uangnya Mas Ahim sendiri, tidak pakai uangku sama sekali. Tapi kan, kalau ada apa-apa dengan keluarga kecil kami, tetap saja uang itu yang akan kami pakai.

Mas Ahim sih, belum memberiku izin untuk bekerja, jadi pengisi pundi-pundi kami masih dari dia saja. Aku sendiri sebenarnya belum tahu kondisi keuangan kami secara detail. Hanya secara umum saja.

Emm, gimana ya? Sampai hari ini kami belum membahas lebih banyak dan serius soal keuangan. Yang penting kebutuhan rumah tangga terpenuhi, aku juga dapat uang jajan sendiri. Selebihnya aku masih tak enak hati untuk menanyakan soal ini.

Harap maklum, namanya juga rumah tangga yang dimulai dengan dadakan dan sedikit terpaksa, jadi banyak hal yang belum terpikirkan untuk dibahas lebih lanjut.

"Eh, Mas." Kutepuk lengannya pelan. Dia sedang asyik memandang hamparan laut di bawah sana. Peta elektronik di depanku menunjukkan bahwa kami sedang berada di atas perairan India.

Mas Ahim menoleh, menawarkan untuk bertukar tempat duduk denganku. Aku menolaknya.

"Mas, kalau di tanah suci bahas soal keuangan gitu boleh nggak, sih?"

"Kayak menteri keuangan aja, lagi umroh juga tetep urusannya keuangan." Dia menjawab pertanyaanku sambil cekikikan.

"Ih, aku serius, tahu!" Kupukul tangannya agak keras.

"Mau bahas keuangan apa, sih?"

"Rumah tangga kita." Aku berbisik, khawatir terdengar penumpang di sekeliling. Tapi kayaknya nggak mungkin juga, sih.

"Oh, itu. Insya Allah boleh lah. Bahas apapun soal rumah tangga di sana boleh, asal yang dibahas hal-hal yang baik dan untuk kebaikan. Bahas visi misi berkeluarga, rencana masa depan, keuangan, apa aja boleh, Sar. Kan kalau di sana bisa langsung kita ajukan sebagai doa di tempat-tempat yang mustajab juga. Bagus itu.

"Aku juga udah merencanakan satu doa dan ikhtiar buat di sana nanti kok, Sar."

"Oh ya? Doa apa, tuh? Aku boleh tahu?" Mas Ahim mengangguk tanpa ragu.

"Doa biar kita segera punya baby, Sar. Aku yakin, punya baby akan bikin kita berdua makin dekat dan hangat." Dia meraih jari-jariku, menggenggamnya erat sambil matanya menatap awan-awan yang berarak lambat.

"Tapi aku takut, Mas. Aku..., aku belum siap. Maaf." Kusandarkan punggung dan kepalaku pada sandaran kursi. Kupejamkan mata, dengan tetap membiarkan Mas Ahim menggenggam tanganku.

Sakit fisik rasanya tak seberapa, tapi setiap kali teringat Mas Ahim mengatakan Aku di rumah sakit, Danti kecelakaan, rasanya perih tak terkira. Hatiku seakan luka yang diremas-remas dengan garam lalu dikucuri cuka.

"Maafin aku, Sar. Kamu tidur, ya. Nanti di sana kita sama-sama mohon ampunan."

"Memangnya salahku apa?"

"Hmm, nggak boleh sombong dan merasa nggak punya salah, Sar. Kita manusia, kadang berbuat kesalahan tanpa kita sadari. Sulit memaafkan, selalu dihantui hal-hal buruk, itu juga bisa jadi karena sebuah kesalahan yang nggak kita sadari."

"Kalau dihantui mantan, itu disadari nggak?" Aku menyahut sengit. Masih sambil berbisik. Kuhempaskan tanganku dari genggamannya. Aku bersedekap. Kesal.

"Satu hal, Sar. Nanti kalau udah di sana, diingat-ingat banget soal laa fusuqa wa laa jidala, ya. Nggak cuma waktu berihram, tapi usahakan seterusnya."

"Fa laa rafatsa wa laa fusuqa wa laa jidala. Jangan ada yang dihilangkan." Aku menjawab dengan gerutuan. Dia terkekeh, lalu mengusap wajahku sembarangan.

Tiga hal itu menjadi topik bahasan kami usai mengikuti manasik. Ustadz pembimbing menjelaskan salah satu ayat berkaitan dengan ibadah haji.

(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya, (Al Baqarah: 197)

Rafats dapat ditafsirkan sebagai melakukan hubungan suami istri. Dalam kondisi berihram, hubungan tersebut menjadi salah satu yang dilarang. Fusuq diartikan sebagai perbuatan yang fasik. Sedangkan jidal adalah berbantah-bantahan, apalagi sampai menyebabkan perselisihan.

"Kalau rafats nggak apa-apa lho, Sar, asal kondisinya nggak sedang berihram. Malah jadi ibadah, dapat pahala." Memang jago sekali Tuan Ibrahim Abdurrahman ini kalau disuruh cari alasan.

"Udah, nggak usah dipikir banget-banget, Sar. Pokoknya niat kita baik, lillahita'ala, insya Allah dikasih yang baik-baik juga nanti di sana,  dijauhkan juga dari hal-hal yang menjadi larangan. Sekarang tidur, ya."

Kalimat terakhir lebih terdengar sebagai ultimatum, diikuti dengan melipat sandaran siku, lalu Mas Ahim menyelipkan tangannya memeluk pinggangku. Aku tersenyum sendiri. Makin ke sini, kemesraan semacam ini sudah menjadi bahasa kami sehari-hari.

Aku mengikuti maunya Mas Ahim. Kusandarkan kepalaku di bahunya, kulingkarkan pula tanganku mengelilingi perutnya, kantuk pun datang mendera.

***

Suasana Madinah sangat menyenangkan. Sejuk, damai, tenang, nyaman..., pokoknya menentramkan hati. Ditambah dengan Mas Ahim yang selalu mengingat pesan-pesan ustadz saat manasik, agar kami tidak berbuat fasik dan tidak berdebat-debat yang tak perlu. Hmm, aku bahagia sekali.

"Tinggal di sini kayaknya enak ya, Mas?"

Pendapat itu keluar begitu saja dari bibirku. Kami sedang duduk bersantai di pelataran Masjid Nabawi. Angin bertiup semeribit, membuat ujung pashminaku berkibar. Sesekali kuggigit apel di genggaman sambil mataku menatap pada Mas Ahim yang makin ke sini terlihat makin tampan.

"Iya. Karena kita sedang dalam rangka beribadah, Sar. Beribadah secara khusus ya maksudnya." Dia balas memandangiku.

"Terus, hubungannya apa?"

"Ya kalau beribadah secara khusus kayak umroh dan haji gini kan kita memang fokusnya ke ibadahnya aja. Nggak mikir kerjaan, klien, belanja bulanan, tagihan listrik, air, dan sebagainya.

"Nah, kalau sehari-hari kan ibadah kita sifatnya umum. Dalam artian segala sesuatu ya kita niatkan untuk ibadah. Kerja ya ibadah. Main ya silaturahmi, jadi ibadah juga. Bepergian, kita niatkan ibadah juga, dan sebagainya. Yang bikin beda, karena yang kita lakukan dalam keseharian itu fokusnya terbagi-bagi. Kalau di sini kan nggak."

Kupikir-pikir, betul juga yang dikatakan Mas Ahim. Kami ke sini memang niatnya hanya khusus untuk beribadah. Segala sesuatu kami niatkan ibadah. Untuk sementara urusan dunia tak menjadi sesuatu yang kami risaukan, kecuali....

Ah, ya. Aku masih suka kepikiran soal Mbak Danti. Kadang suka terlintas begitu saja di benakku. Itu urusan dunia yang kubawa ke sini. Memang sengaja, karena aku berencana memanjatkan doa di tempat-tempat yang mustajab. Salah satu doaku yang utama adalah soal rumah tangga kami, agar sakinah, mawaddah, warahmah, dan dilimpahi keberkahan.

"Tapi memang menurutku suasana Madinah itu beda sih, Sar." Mas Ahim bicara lagi.

"Tenang, sejuk, damai, santai..., asyik pokoknya. Mungkin karena kota ini adalah kota pilihan. Nabi dulu meninggalkan Mekah, kota kelahiran yang beliau cintai tapi orang-orangnya memusuhi Nabi. Allah memilihkan kota ini sebagai tempat untuk Nabi berhijrah. Lalu Nabi tinggal di kota ini, di tempat di mana beliau dicintai dan orang-orangnya menerima dengan sepenuh hati.

"Hijrah memang berat, tapi kalau niat kita karena Allah, Allah pasti akan ganti dengan yang lebih baik. Nah, nanti di Mekah suasananya beda lagi, Sar."

"Eh, beda gimana?"

Aku mengerenyitkan dahi. Berhenti mengunyah apel dan kembali melihat ke dalam matanya.

"Ya ini subjektivitasku aja sih, tapi di sana tuh vibes-nya lebih bergejolak, kayak harus lebih fight gitu, Sar. Mungkin sesuai dengan masa Nabi dulu, ya? Tiga belas tahun masa kenabian di Mekah kan kaum muslimin selalu dikejar-kejar kaum Quraisy. Masa-masa itu jadi masa yang penuh perjuangan, kerja keras, dan banyak tantangan.

"Lain dengan di Madinah. Walaupun masih panjang perjuangan, tapi Nabi dikelilingi orang-orang yang menerima dan mendukung, jadi keadaannya relatif lebih tenang.

"Eh, sekali lagi itu subjektivitasku lho, Sar. Bisa aja kamu nggak merasa gitu." Mas Ahim menegaskan lagi pendapatnya. Aku manggut-manggut, kunikmati gigitan terakhir apelku yang manis, sebelum kukatakan sesuatu pada Mas Ahim.

"Nanti di Mekah aku mau berdoa, Mas. Minta sama Allah agar kita jadi suami istri yang bahagia. Aku juga mau minta sama Allah biar kamu bisa bener-bener ninggalin Mbak Danti. Lupa sama sekali jelas nggak mungkin, tapi ninggalin sama sekali dari hati, mestinya sih bisa."

"Aamiin. Aku juga akan berdoa yang sama dengan kamu. Kalau doa kita sama, insya Allah lebih cepat terkabulnya."

"Gitu, ya? Berarti memang sekarang ini Mbak Danti masih ada di sini dan di sini, kan?" Kujentikkan telunjukku pada kening dan dada Mas Ahim. Dia tertawa kecil.

"Wa laa jidala, Sarah Annisa sayang. Yuk ah, pulang ke hotel. Katanya ada banyak yang mau kita bahas."

Dia berdiri tanpa menunggu persetujuanku, lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Mau tak mau aku menyambutnya dan ikut berdiri. Kami berjalan bergandengan tanpa ada yang berbicara, tapi bagiku sudah cukup, aku merasakan kasih sayang yang besar dari Mas Ahim untukku.

Sambil menunggu waktu zuhur tiba, kami menghabiskan waktu dengan bicara banyak dari hati ke hati. Tak hanya tentang keuangan —seperti yang kuminta saat di pesawat— tapi juga tentang harapan, cita-cita, keinginan, rencana, dan banyak hal mengenai masa depan.

"Soal finansial, kamu nggak usah khawatir, Sar. Sementara aku belum izinin kamu kerja, aku akan konsekuen dengan berusaha memenuhi kebutuhan kita dan memastikan kamu tetep bisa shopping buat kamu sendiri. Insya Allah nanti kalau kita udah punya anak, terus anak-anak udah mulai agak besar dan bisa ditinggal, aku akan bolehin kamu kerja."

"Pinter kamu, Mas. Kalau udah ada anak, aku yakin pasti akan susah dan berat pisah sama mereka. Kamu izinin juga aku yang bakal galau berkepanjangan. Memang kamunya aja yang nggak ikhlas aku kerja, kan? Dasar curang." Kucubiti pinggangnya sampai dia tergelak-gelak minta ampun.

"Iya, iya, Sar, iya. Soal ini besok-besok kita obrolin lagi, yang penting kamu hamil dulu, kita punya baby dulu. Bapak ibu kita pasti seneng banget. Anak kita akan jadi cucu pertamanya Om Tofa sama bulik dan akan jadi cucu kesayangan bapak ibuku.

"Kamu tahu nggak, Sar? Bapak ibuku tuh sayang banget sama kamu dari sejak kamu bayi. Katanya, kamu waktu kecil tuh lucu, gemesin, cerdas, pinter, gendut tapi imut. Kata bapakku, ibu tuh pengen banget nyulik kamu jadi anaknya, tapi kan Om Tofa anaknya cuma satu, malah bapak ibu udah punya anak perempuan tiga. Makanya dari sejak kamu kecil, bapak ibuku udah niat mau jadiin kamu mantu.

"Alhamdulillah udah terwujud. Dan mencintai kamu ternyata nggak sesulit yang kukira. Kamu anaknya baik, nurut, apa adanya, nggak neko-neko, pintar juga. Masa lalu kamu juga bagus, nggak ada cela. Pokoknya aku bersyukur menerima keinginan orang tua buat ngejodohin kita. Sekarang tinggal satu tugas kita ke orang tua, Sar."

"Oh, ya? Apa itu?" tanyaku sambil berusaha memikirkan 'tugas' yang masih jadi tanggunganku kepada orang tua.

"Berusaha kasih cucu buat orang tua kita, Sar. Kita bisa usahain mulai sekarang, lho. Yuk, cuss."

Aku terkikik geli mendengar omongan Mas Ahim soal keinginan orang tua kami. Memang sudah lama juga kami tak mengusahakan yang satu itu. Mungkin ini saatnya mengakhiri traumaku, karena beberapa waktu terakhir ini Mas Ahim sudah selalu berusaha menepati janji yang pernah dia ikrarkan sendiri.

Pada akhirnya, Madinah menjadi momentum penyatuan kami kembali. Bukankah salah satu harapan kakak-kakak Mas Ahim menghadiahkan perjalanan ibadah ini adalah untuk kami berbulan madu? Jadi, sudah seharusnya ikhtiar untuk melanjutkan generasi menjadi salah satu wujud rasa syukur kami atas hadiah itu.

***

Hari keenam di tanah suci, sampailah kami di kota Mekah. Rangkaian ibadah umroh telah kami laksanakan hingga tunai. Selebihnya kami menikmati hari-hari dengan fokus memperbanyak doa dan ibadah.

Hotel kami tepat di depan Masjid Al Haram. Meski begitu, kami tetap butuh waktu untuk sampai ke masjid. Berganti lift, melewati mall, menyusuri pelataran nan luas, hingga tiba di area dalam masjid yang sejuk.

Banyaknya orang dari berbagai penjuru bumi yang semuanya berlomba-lomba mengumpulkan pahala membuat semangatku ikut menyala.

Diam-diam aku membenarkan ucapan Mas Ahim tempo hari. Ya, suasana di Mekah memang terasa lebih keras dan berat dari Madinah, tapi sekaligus mengobarkan semangat berjuang yang lebih dari sebelumnya.

Aku tersenyum sendiri mengingat ucapan Mas Ahim tentang suasana dua tanah suci yang dia hubungkan dengan kondisi di masa Nabi. Tak menyangka, Mas Ahim yang suka bercanda dan banyak mantannya bisa berpikir macam itu juga.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Sar? Bangga ya, punya suami ganteng kayak gini?" Aku mencibir.

"Nggak. Cuma keinget obrolan waktu di Madinah dulu. Kamu bener banget deh, Mas. Aku ngerasanya di sini memang suasananya lebih penuh perjuangan, gitu. Tapi tetep menyenangkan, sih."

"Oh, ya kalau menyenangkan itu pasti. Kita lho, ada di tanah di mana Nabi dan para sahabat pernah menginjakkan kaki. Gimana nggak menyenangkan? Gimana nggak bahagia? Apalagi ke sininya sama aku, suami ganteng nan baik hati, tidak sombong, dan gemar menabung."

"Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Cinta alam dan kasih sayang sesama manusia. Iya iyaaa, kamu ganteng dan baik hati, aku nggak cantik dan ngambekan. Udah, nggak usah mancing-mancing lagi. Ngeselin!"

Bukan Ibrahim Abdurrahman kalau nggak overconfidence. Dan sudah jadi rezekiku dapat suami model begini.

"Dih, sensi. Jangan-jangan hamil nih, Sar." Kutertawakan prasangka baiknya. Baru juga berapa hari, ya kali udah hamil aja.

"Udah pengen banget punya anak ya, Mas?"

"Iya, Sar. Aku selalu dibayang-bayangi rasa bersalah kalau ingat kejadian waktu itu. Kalau nanti kamu hamil lagi, aku akan jaga kamu sebaik-baiknya, Sar. Aku janji. Nanti kalau kamu mulai beda, aku akan lebih waspada."

"Mulai beda gimana, ih?"

"Ya kayak yang dikit-dikit capek, maunya rebahan mulu, meriang, nggak enak badan, dan semacamnya. Atau kalau kamu mulai sensian, bau sesuatu langsung mual, makan sesuatu langsung pengen muntah, ngelihat aku udah kayak ngelihat hantu, pengennya marah mulu. Yaa gitu-gitu lah.

"Pokoknya mulai sekarang aku mau lebih care sama perubahan-perubahan kamu. Kalau kamu mulai agak aneh dan beda dari biasanya, kita langsung ke Mbak Nisa, cek kandungan. Oke?" Lagi-lagi aku tertawa.

"Bapak Ibrahim Abdurrahman yang terhormat ini kenapa, sih? Kok jadi agak lebay gini."

"Suami dapat hidayah malah dibilang lebay." Didorongnya keningku pelan, lalu memberi kecupan lembut di tempat yang sama.

"Alhamdulillah kalau dapat hidayah. Semoga doa-doa kita Allah ijabah. Menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah." Kembali kuucapkan doa.

"Aamiin," sahutnya cepat. Diraihnya bahuku dan membawa ke pelukannya.

"I love you, Sar." Dia berbisik di telingaku.

"Yes. I love you too, Mas."

"APA, SAR?!" sahutnya sekeras halilintar.

Aku mendadak tersadar. Sepanjang pernikahan kami, ternyata aku belum pernah mengatakan itu sama sekali.

***

15062022

Lah, ternyata Sarah belum pernah said 'i love you' ke Ahim. Wkwk...

Tapi nggak pa-pa sih, daripada said i love you but i lie. Itu sih Michael Bolton. *apadeh

Alhamdulillah. Akhirnya ketemu lagi dengan cerita ngalor ngidul about Ahim-Sarah, setelah berhari-hari aku nggak sempat selesaiin part ini. Lagi banyak aktivitas dan urusan yg agak menguras tenaga dan terutama pikiran. Tapi aku happy sih, karena merasa lebih banyak yg bisa kulakukan dari sebelumnya.

By the way, subjektivitas Ahim di atas adalah subjektivitas aku. Haha... Begitulah yang kurasakan dari suasana Mekah dan Madinah. *duh, jadi rindu haramain.

Baiklah. Sampai di sini dulu. Terima kasih sudah membaca dan meramaikan. Maafkan untuk segala kesalahan dan kekurangan.

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro