Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Kejutan dan Kejutan

Happy reading :)

***

Hampir tiga pekan kami tinggal di rumah orang tuaku. Bukan karena aku masih marah, tapi karena aku masih belum mau ditinggal sendirian di rumah saat Mas Ahim kerja. Ada sedikit trauma, khawatir aku tiba-tiba sakit atau apapun itu, dan tidak ada yang menemani.

Kejadian siang itu masih cukup membekas. Aku bersyukur sekali masih sempat menghubungi Mbak Hana di tengah kesakitan yang mendera.

Mas Ahim memaklumi kecemasanku. Dia sendiri tak tega meninggalkan aku sendirian di rumah sepanjang pagi hingga sore. Maka kami bersepakat untuk tinggal di rumah orang tuaku sampai aku merasa benar-benar sehat dan siap untuk kembali ke rumah kami.

Selama tinggal di rumah orang tuaku, Mas Ahim menunjukkan sikap yang baik, tak hanya padaku, tapi juga pada bapak ibuku. Aku merasakan betul betapa dia sangat menyayangiku. Dengan ibu dia sangat sopan dan tak segan-segan membantu, bahkan urusan dapur. Bapak yang paling senang karena punya lawan untuk bermain catur hampir setiap malam.

Pakde Rosyid dan bude —bapak ibunya Mas Ahim— setiap dua hari sekali datang. Selain untuk menjengukku, juga mengobrol dengan bapak dan ibuku. Hubungan orang-orang tua kami memang makin dekat dan hangat sejak kami saling terikat.

"Mas, aku mau ngomong."

Mas Ahim baru saja masuk ke kamar setelah salat isya di musala bersama bapak.

"Iya, Sar? Kamu pengen apa? Bilang aja."

"Aku nggak pengen apa-apa, Mas. Aku cuma pengen pulang ke rumah kita. Insya Allah aku udah sehat, udah ngerasa siap pulang. Mumpung besok weekend dan kamu libur, kita pulang ke rumah ya?"

"Ehk. M-maksudnya pulang dan tinggal di rumah kita terus kayak dulu, Sar?" Dia terlihat menahan kegembiraan, mungkin butuh meyakinkan diri dulu sebelum meluapkan perasaan.

Aku mengangguk sambil tersenyum. "Iya. Pulang ke rumah kita. Tinggal berdua seperti tuan dan nyonya."

"Sarah." Dia memelukku erat. Menghujani kepalaku dengan kecupan hangat.

"Kamu seneng banget ya, Mas?"

Dia melepasku dari peluknya. Memandangku, hingga mata kami saling beradu. "Iya. Aku seneng banget bisa kembali berdua aja sama kamu. Pokoknya aku janji, aku akan jadikan kamu ratu di istana hatiku."

"Nyontek lagunya Ada Band bukan, sih? Nggak kreatip." Aku terkekeh. Dia tertawa. Memelukku lagi, lebih erat dari yang tadi.

***

Sabtu pagi kami berpamitan kepada bapak ibu. Keduanya hendak ikut mengantar, tapi kami menolak dengan halus. Syukurlah bapak dan ibu tidak memaksa, hanya berpesan agar aku menjaga diri dan tidak melakukan pekerjaan berat dahulu. Aku tidak boleh kecapaian.

Pesan untuk Mas Ahim pun tak ketinggalan. Bapak ibu menitipkan aku untuk dijaga. Ada pula ucapan terima kasih karena Mas Ahim sudah memperlakukan aku dengan sangat baik dan penuh kasih sayang. Bapak dan ibu bahagia melihat kami.

Beliau berdua cuma tak tahu saja kalau menantunya itu pernah membuat anak mereka satu-satunya bersedih sampai.... Ah, sudahlah.

"Mikir apa, Sar?" Rupanya Mas Ahim mengamati diamku.

Mobil baru saja keluar dari gerbang perumahan tempat bapak ibuku tinggal, tapi aku sudah melow. Berubah pikiran juga aku tak tega, mengingat senangnya Mas Ahim waktu aku menyampaikan niat untuk pulang ke rumah kami. Lagipula aku ini bukan single lagi. Memang sudah seharusnya untuk tak berlarut-larut dalam sedih dan susah hati.

"Nggak sih. Cuma ingat pesan bapak ke kamu tadi, Mas. Kalau bapak sama ibu tahu cerita aslinya, mungkin mereka akan kecewa."

"Udah sih, Sar. Jangan bikin aku merasa bersalah terus. Aku kan udah minta maaf dan kamu juga udah maafin aku. Aku juga udah janji nggak akan mengulang kesalahan yang sama."

"Kalau ternyata kamu melakukan itu lagi, kamu maunya aku gimana? Maafin kamu lagi, terus kita baikan lagi, gitu? Terus kamu ulangi lagi, minta maaf lagi, aku maafin lagi, baikan lagi. Teruuus aja nggak ada selesainya sampai lebaran kucing, gitu?"

"Sar, jelek banget sih capmu ke aku. Orang kan bisa salah, tapi nggak menutup kemungkinan dia bisa memperbaiki kesalahan. Please, lupain yang kemarin. Anggaplah kita memulai hidup yang baru lagi. Cuma ada kamu dan aku, nggak ada ruang buat yang lain."

"Oke. Kamu laki-laki. Yang kupegang dari kamu adalah janji. Kalau nggak terbukti dan nggak kamu tepati..., elo, gue, end!"

Bukan merasa terintimidasi, Ibrahim Abdurrahman malah tertawa mendengar kalimatku yang terakhir. Memang dasar menyebalkan!

Kami berbaikan. Sudah cukup yang kemarin-kemarin memberati langkah kami. Aku setuju menganggap ini sebagai permulaan hidup yang baru —lagi.

Begitu sampai di rumah, yang pertama kulakukan adalah beres-beres. Selama di rumah orang tuaku, aku tak pernah sekalipun pulang. Mas Ahim sesekali pulang, tapi tak sedikitpun memegang sapu, kemoceng, dan semacamnya. Jadilah kami terpaksa memulai hidup yang baru dengan kerja bakti.

"Nggak usah masak, Sar. Kita order online aja." Mas Ahim mengusulkan.

"Masak juga nggak apa-apa sih, aku kuat kok. Lagian tadi beli sayuran juga buat apa kalau bukan buat dimasak."

"Dimasak besok lagi kan bisa, Sar. Aku ngerasa bersalah aja nggak sempetin bersih-bersih rumah dulu. Kamu sih, minta pulangnya juga dadakan, jadi kamu harus ikut bersih-bersih deh."

"Jadi aku yang salah, gitu?"

"Ya nggak gitu, Sar. PMS ya?" Tak kupedulikan pertanyaannya yang nggak berkualitas itu.

"Harusnya tadi kamu bersih-bersih, Mas. Aku masak. Jadi bisa selesai bareng, deh." Ada sesal dalam bicaraku. Kenapa nggak dari tadi kepikiran begini, sih?

"Ya udah ya udah, nggak usah disesali juga. Kamu pengen masak juga nggak apa-apa kok, nggak usah diperdebatkan gini. Kamu ngerti sendiri kan, aku memang paling malas kalau urusan beres-beres dan bersih-bersih rumah."

Sebuah cengiran Mas Ahim berikan untukku. Dia memang begitu. Tak kenal apa itu merayu. Istri merajuk, jangan harap akan dibujuk. Mending pasrah saja kalau dia.

"Udah sana, masak." Dipeluknya aku dari belakang, lalu —masih sambil memelukku— dia mendorongku sampai ke dapur.

Aku memasak sup sayuran, yang mudah saja. Masih ada nugget bikinanku di freezer, kugoreng untuk lauk makan siang kami. Mas Ahim kuberi tugas mengganti sprei, sarung guling, dan sarung bantal di semua kamar, termasuk yang ada di sofa. Dia melakukannya dengan senang hati. Kain-kain dia masukkan sekalian ke mesin cuci. Tentu saja aku yang mencuci, bukan dia.

Azan zuhur terdengar tepat setelah kami menyelesaikan makan siang. Mas Ahim bergegas ke musala. Aku mencuci piring dan salat sendiri di rumah. Usai salat, dia mengajakku masuk ke kamar.

"Rebahan, Sar, aku pijitin."

Aku mengikuti perintahnya. Dia mengambil tanganku dan mulai memijat bagian telapaknya.

"Tumben baik." Aku masih agak ragu, jangan-jangan di balik kebaikannya ada maksud tertentu.

"Suuzon lagi, kan? Padahal kan sama istri memang harus selalu  baik. Rasulullah saja bilang bahwa sebaik-baik engkau adalah yang paling baik sikapnya kepada keluarga. Nah, sekarang kan keluargaku cuma kamu, belum ada anak-anak. So...."

"Hemm, iya deh Pak Ustadz."

Aku menyerah. Mungkin dia benar, aku terlalu berburuk sangka.

"Sekali lagi maafin aku ya, Sar. Ke depan, aku akan lebih hati-hati mengambil sikap dan akan berpikir seribu kali sebelum mengambil keputusan sendiri, kalau itu menyangkut orang lain."

Baguslah dia nggak sebut nama Mbak Danti. Aku lebih nyaman mendengar kata 'orang lain' daripada mendengar Mas Ahim menyebut namanya. Bukan cuma cemburu, aku juga trauma. Mendengar namanya selalu membangkitkan ingatanku pada hari di mana aku kehilangan calon buah hati kami.

"Aku juga minta maaf kalau ternyata aku lemah. Aku nggak pernah mencintai seseorang sebelumnya. Baru kamu, Mas. Dan aku juga baru tahu kalau ternyata cinta bisa bikin orang selemah ini."

"Tapi sebenernya nggak boleh lho, Sar, mencintai manusia dengan berlebihan. Kita itu---"

"Hih, siapa juga yang mencintai kamu dengan berlebihan? Ge-er banget!"

Kutarik tanganku dari pijitannya. Menyebalkan sekali. Aku masih agak sensi, kenapa malah dia sok menasihati begini? Harusnya dalam kondisi seperti ini, mengiyakan saja sudah cukup.

"Duh, aku salah lagi ya, Sar. Oke, aku diam. Dan aku minta maaf."

"Hemm, that's better."

"Aku---"

Ting tong.

Suara bel memotong bicaranya.

"Aku buka pintu dulu, Sar. Maafin aku, ya." Dia mengelus kepalaku sebelum kemudian berlalu untuk membuka pintu.

"Saraaahh."

"Alhamdulillah, adik-adikku udah balik ke rumah."

Suara Mbak Hana dan Mbak Syifa terdengar bersahutan di pintu kamar. Ada Mbak Nisa juga. Dan....

"Bude." Aku buru-buru bangkit menyambut ibu mertua. Beliau memeluk dan mencium kedua pipiku, juga pucuk kepalaku. Kebiasaan dari zaman aku kecil dulu dan masih berlaku sampai sekarang.

"Manggilnya ibu dong, Sar. Masa bude terus. Kan sekarang udah jadi mertua. " Ketiga kakak ipar serempak berkomentar. Aku meringis.

"Udah terbiasa dari kecil, Mbak. Masih aneh kalau harus ngubah panggilan. Mas Ahim juga kalau manggil bapak ibu masih om sama bulik, kok." Gantian Mas Ahim yang meringis. Kakak-kakaknya memberi huu.

"Kita bicara di luar yuk, Nduk," ajak ibu mertua. Aku menurut saja. Bergegas mengenakan jilbab dan outer karena ada kakak-kakak ipar Mas Ahim di sana.

Ibu mertua dan Mas Ahim menggandengku. Mbak-mbaknya berjalan di belakang kami. Agak merasa aneh, tapi aku diam saja.

Di ruang tengah, kami semua duduk di lantai agar suasana lebih santai. Mas Ahim merapat padaku, melingkarkan tangan pada pinggangku. Mungkin hendak menunjukkan pada kakak-kakaknya kalau hubungan kami sudah baik-baik saja.

"Sarah udah sehat bener?" Mbak Nisa bertanya. Kelihatannya akan membuka pembicaraan sesuau posisinya sebagai anak tertua.

"Alhamdulillah. Iya, Insya Allah udah sehat betul, Mbak," jawabku sambil tersenyum.

"Hati gimana, Sar? Aman?" Mbak Hana menimpali. Disambut gerutuan kesal oleh Mas Ahim.

"Jadi gini, Him, Sarah." Mbak Nisa kembali bicara. Kali ini dengan wajah yang lebih serius dari sebelumnya.

"Sebelumnya kami mohon maaf dulu, terutama sama Ahim. Sebagai kakak-kakak yang menyayangi adiknya, setelah kami rembugan dan kami pertimbangkan segala plus minusnya, kami memutuskan untuk kasih tahu Bapak Ibu tentang kejadian sebenarnya sampai Sarah harus masuk rumah sakit dan kehilangan calon anak kalian."

Mas Ahim mulai tegang. Tangannya yang tadi di pingganggku sekarang beralih menggenggam jari-jariku. Sangat erat.

"Insya Allah Bapak Ibu nggak marah, Him. Betul nggih, Pak, Bu?"

Bapak dan Ibu Mas Ahim mengangguk, mengiyakan ucapan Mbak Nisa. Pakde Rosyid lalu angkat bicara.

"Tentunya ada rasa marah dan kecewa sama Ahim, tapi semuanya sudah terjadi, marah dan kecewa juga nggak akan mengubah keadaan. Namanya takdir Allah, harus kita terima dengan sabar. Tapi nggak berhenti sampai di situ saja, terutama untuk Ahim. Harus dijadikan pelajaran, jangan sampai diulangi lagi, karena itu nggak cuma menyakiti hati Sarah, tapi juga kami semua. Nggak cuma membuat Sarah sedih, tapi juga kami semua, terutama bapak sama ibu. Sedih, karena merasa nggak berhasil mendidik anak laki-laki jadi suami yang baik, yang benar.

"Itu saja pesan kami, Him. Karena kami semua, bapak, ibu, mbak-mbak, dan mas-masmu, semuanya sayang sama kamu. Sayang juga sama Sarah."

Ah, sungguh aku jadi terharu. Pakde, bude, dan mbak-mbaknya Mas Ahim memang semuanya menyayangiku dari sejak dulu. Betapa aku harus bersyukur menjadi menantu dari orang-orang yang sudah mengenalku dengan baik sejak kecil. Mereka menerima aku apa adanya.

"Iya, Pak, Bu. Ahim minta maaf. Insya Allah nggak akan Ahim ulangi lagi. Ahim juga udah ngobrol banyak sama Sarah. Udah minta maaf berkali-kali. Udah janji juga untuk nggak mengulangi kesalahan yang sama."

Jemari Mas Ahim belum lepas menggenggam jariku, malah makin erat saja genggamannya. Aku menganggap sebagai penegasan atas janjinya, yang kali ini dia ucapkan di depan orang-orang terdekatnya.

"Alhamdulillah kalau begitu. Tapi ingat, kalau sampai terulang lagi, Sarah berhak kasih hukuman apapun sama kamu. Bukan sekadar memberi maaf, bersabar, dan kasih kesempatan lagi seperti kemarin." Pakde Rosyid mengultimatum anaknya dengan tegas. Aku senang. Merasa mendapat dukungan.

"Iya, Pak. Insya Allah. Ahim minta maaf sama semuanya."

"Udah udah udah, suasana tegangnya udahan dulu. Sekarang kita mau kasih hadiah nih buat Ahim sama Sarah." Suara Mbak Hana mencairkan ketegangan.

Mbak Syifa menyambung. "Iya, nih. Kalian kan belum sempet honeymoon, nih. Dari awal nikah sibuk berantem sambil belajar jadi suami istri, baru berapa bulan udah dateng masalah kayak gini. Pasti lelah ya, Hayati dan Zainuddin. Kalian butuh piknik. Piknik bukan sembarang piknik."

"Kalian umroh ya berdua. Ahim udah pernah ngawal kami bertiga. Udah pernah ngawal bapak ibu. Sekarang pergilah berdua sama Sarah. Hadiah dari kami bertiga. Syarat buat ngurus dokumen udah kukirim ke grup keluarga. Nggak mau tahu, pokoknya harus deal."

Mbak Nisa menutup dengan kabar gembira. Setidaknya buat aku. Aku belum pernah sama sekali pergi umroh. Pergi ke luar negeri saja belum pernah. Maklum, keluargaku cuma keluarga sederhana, meskipun nggak bisa dibilang kekurangan juga, sih.

Mas Ahim menatapku, mencari persetujuan. Aku mengangguk sambil memberinya senyum. Ada yg menggenang di kedua mataku. Tentu saja tak ada keinginan untuk menolak hadiah dari kakak-kakak ipar.

"Iya, Mbak. Insya Allah kami mau. Makasih banyak ya, Mbak, Mas, Bapak, Ibu. Mohon doanya dari semuanya, semoga aku bisa lebih baik lagi, bisa bahagiain Sarah, bisa jadi suami yang bener."

Mbak Hana beranjak. Seperti biasa, memeluk adik laki-laki kesayangannya. Aku dipeluknya pula. Dan kutumpahkan tangisku di bahunya.

Setelah tangis dan haruku mereda, kuucapkan terima kasih kepada semua. Bukan hanya karena hadiah untuk kami, lebih dari itu adalah karena mereka semua mau mengerti dan memahami perjalanan cinta kami.

"By the way, Mbak." Mas Ahim bicara sambil nyengir. Feeling-ku agak-agak tak enak melihat cengirannya.

"Ini bener umroh aja? Nggak ada bonus-bonus plus Turki apa Eropa, gitu?"

Hih, dasar Ibrahim Abdurrahman suka ngelunjak!

***

08062022

Hai, mulai part baru nih. Semoga vibesnya masih nyambung yak. Hehe...

Terus mohon dimaklumi kalau misal updatenya nggak sesering pas masih repost/revisi dari part lama dulu, soalnya tabungan part-nya juga nggak banyak.

Oke, segini dulu. Terima kasih sudah baca dan mendukung. Mohon maaf kalau ada kekurangan dan kesalahan.

See you :)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro