12. Pulangkan Aku
Happy reading :)
***
Sudah hari keempat aku dirawat di klinik tempat Mbak Nisa praktek. Sebenarnya secara fisik aku sudah membaik sejak kemarin, hanya saja hatiku belum baik, dan itu cukup mempengaruhi kondisi fisikku. Bersyukur sekali sore nanti aku diizinkan untuk pulang.
Tapi aku masih malas kalau hanya di rumah berdua dengan Mas Ahim. Aku masih banyak mendiamkan dan cuek padanya. Meski harus bersandiwara setiap kali orang tua kami datang menjengukku. Kami memang merahasiakan kronologis kejadiannya pada beliau-beliau.
"Alhamdulillah nanti sore bisa pulang ya, Sar. Kamu pasti udah kangen rumah," kata Mas Ahim. Tangannya meraih tanganku untuk digenggamnya, namun buru-buru kutepis.
"Nggak! Aku belum mau pulang ke rumah. Nanti aku mau pulang ke rumah bapak ibu aja," sahutku. Wajah Mas Ahim berubah seketika.
"M-maksudmu ke rumah Om Tofa?"
"Ya iya lah, memangnya aku punya bapak ibu berapa!"
Aku membuang muka. Sebenarnya tak tega melihat mukanya yang mendadak pucat itu. Tapi aku masih sakit hati setiap kali ingat kalau dia lebih peduli pada Mbak Danti.
"Sar, jangan gitu, lah. Nanti bapak ibumu tahu kejadian yang sebenarnya, gimana?"
"Ya nggak pa-pa. Sekalian aja biar tahu mantunya tuh kayak gimana."
"Jangan gitu lah, Sar. Please. Sebagai istri kan kamu wajib menjaga nama baik suami, juga menutupi aib keluarga kita."
"Oh gitu, ya? Waktu ngurusin mantan sakit kok nggak mikir sampai ke situ?" Mas Ahim menyugar kasar mendengar kalimatku barusan.
"Sarah, please. Udahlah nggak usah bahas itu lagi. Aku harus gimana biar kamu maafin aku? Kamu bilang aja, akan kulakukan semua yang kamu mau, asal aku dapat maafmu."
Sebenarnya aku mulai tak tega, Mas Ahim terlihat sangat frustrasi. Dia juga tak pernah berhenti meminta maaf dan menyesali kesalahannya.
Kemarin Mbak Nisa juga sudah menjelaskan kronologi kejadiannya. Saat itu Mas Ahim sedang di lapangan, tiba-tiba ditelepon oleh pihak kepolisian dan rumah sakit bahwa Mbak Danti kecelakaan. Entah bagaimana ceritanya sampai Mas Ahim yang dihubungi, aku tak ingin tahu.
Masih kata Mbak Nisa, Mas Ahim sempat galau akan melakukan apa, tapi akhirnya rasa iba dan tak tega yang keluar sebagai pemenangnya. Dia ke rumah sakit untuk melihat kondisi Mbak Danti. Setelah menerima telepon dariku dan sadar kalau dicari Mbak Hana dan lainnya, dia buru-buru kembali ke proyek.
Inginnya memaklumi keputusannya waktu itu, tapi masih berat bagiku. Aku mengalihkan pandang dari Mas Ahim, tak mau jatuh iba padanya.
"Kalau ada yang ingin kukatakan, ya cuma itu tadi. Kita pulang ke rumah orang tuaku. Kalau kamu nggak mau tinggal di sana, cukup anterin aku aja, nanti kamu pulang sendiri ke rumah. Kalau nganter juga nggak mau ya nggak masalah juga, nanti aku minta jemput bapak sama ibu."
"Sarah! Jaga bicaramu!" Dia membentakku. Aku terdiam. Ada yang nyeri di dadaku.
"Astaghfirullah hal adzim. Maaf, Sar. Aku nggak ada maksud bicara keras sama kamu. Nggak ada, Sar. Sama sekali nggak ada. Maaf, Sar. Maafin aku, ya. Aku bingung mesti gimana lagi."
Mukanya kacau sangat. Dipeluknya aku erat. Lalu terasa ada yang berguncang. Dia menangis. Ya, Mas Ahim menangis.
Masya Allah, suamiku menangis gara-gara aku. Apakah aku harus bahagia? Atau justru aku ini berdosa?
Mas Ahim sudah berusaha meminta maaf padaku. Berhari-hari mengulangi tanpa sedikit pun memikirkan gengsi dan harga diri. Dia merendah di hadapanku demi mendapatkan maafku. Kurang apa lagi? Sedangkan Allah saja Maha Pemaaf.
Semua yang terjadi bukan sepenuhnya salah Mas Ahim. Mungkin aku masih sering salah memosisikan diri sebagai seorang istri, bukan sebatas adik lagi.
Lagian, aku yang sebenarnya jadi orang ketiga diantara mereka. Egois sekali kalau aku menuntut Mas Ahim untuk secepat mungkin bisa benar-benar lepas dari kenangan tentang Mbak Danti. Malah kesannya aku nggak menghargai usahanya untuk kami. Mencoba melupakan Mak Danti sekaligus belajar mencintai aku tentu butuh usaha dua kali lipat dari usahaku yang hanya harus belajar mencintai dia.
Harusnya aku mengambil pelajaran dari semua kejadian ini. Bagaimana bersikap sebagai seorang istri, berusaha menyenangkan suami, membuat dia nyaman di dekatku, mendukungnya semampuku, dan bukan malah menyalahkannya atas kejadian yang menimpaku.
Lagipula, bukan hanya aku yang sedih atas segala yang terjadi. Mas Ahim pasti juga merasakan hal yang sama, karena yang kehilangan calon bayi bukan cuma aku, tapi juga dia.
Kuputuskan membalas peluknya, biarpun bimbang itu masih juga ada. Akan memaafkannya dan pulang ke rumah kami, atau memaafkannya tapi pulangnya ke rumah orang tuaku. Ah, aku galau!
"Alhamdulillah Ya Allah, udah pada baikan."
Tiba-tiba terdengar pekik dari arah pintu. Mbak Syifa dan Mbak Hana datang tanpa permisi, mengacaukan suasana sendu yang sedang melingkupi kami.
"Apa sih, udah tua-tua adabnya masih aja kececeran. Salam dulu kek, ketok pintu." Mas Ahim meradang. Buru-buru melepas pelukan, lantas sembunyi-sembunyi menghapus air mata yang membasahi mukanya.
"Halah, gayamu! Udah sih diem aja, yang penting kalian udah baikan, kita-kita ikut bahagia," ujar Mbak Hana tanpa tahu kejadian sebenarnya.
"Baikan mbahmu!"
Dihampirinya Mbak Hana, menyalami dan mencium tangannya. Lalu melakukan hal yang sama pada Mbak Syifa.
Mas Ahim memang begitu, semarah-marahnya dan sekesal-kesalnya pada kakak-kakaknya, tetap saja dia selalu bersikap sopan di hadapan mereka.
"Mbahku kan mbahmu juga. Weee." Mbak Hana tertawa, menoyor kepala adiknya.
"Apa sih? Dasar duo nenek sihir. Bukan bantuin adiknya, malah ngeledekin mulu kerjaannya."
"Lho, kita tuh udah doain kalian biar cepat baikan. Sekarang kalian udah baikan. Alhamdulillah. Berarti doa kami buat kalian sudah Allah kabulkan. Terus bantuin apa lagi dong?"
Mas Ahim duduk, menaruh kepala di atas sandaran sofa dan menengadah menatap langit-langit kamar. Wajahnya sungguh sangat kacau. Dari tempat tidurku, aku menahan tangis. Terharu.
"Baikan gimana to, Mbak? Dia lho malah minta pulang ke rumah bapak ibunya." Mas Ahim menatap kakak-kakaknya dengan memelas.
"Hah, minta dibalikin ke rumah bapak ibunya? Matik kamu, Him!" Mbak Syifa, bukannya memberi solusi malah menambah ketegangan di wajah adiknya.
"Nggak dibalikin juga kali. Dia cuma minta pulangnya ke sana. Enak aja dibalikin. Nggak akan, sampai kapan pun!" tegas Mas Ahim.
Aku diam, mengikuti pembicaraan mereka bertiga. Sesekali menyusut bening yang menggenang di kelopak mata.
"Duh, gimana aku ke Om Tofa sama bulik. Anaknya diserahkan sama aku kan buat dibahagiain. Lha ini? Maafin aku aja dia bener-bener nggak mau. Aku bingung, Mbak. Sampai sekarang aku masih dicuekin, didiemin, dia marah mulu. Padahal aku udah gak bosen-bosen minta maaf, udah tak tungguin terus, aku nggak kemana-mana, udah kutanya apa maunya tinggal sebutin aja, apapun kuturutin asal aku dimaafin. Lha kok malah mintanya balik ke rumah bapaknya. Ya Allah aku harus gimana?
"Tolongin aku lah, Mbak. Please. Bantu kasih tahu dia, ngomong ke dia biar mau maafin aku. Maunya apa biar aku dapet maafnya. Tapi jangan minta pulang ke Om Tofa. Aku takut, Mbak. Takut sama bapak ibu juga kalau sampai kejadian beneran pulangnya ke sana.
"Ya Allah, berat banget ya kehidupan pernikahan, tuh. Aku jadi nyesel sama masa laluku yang dengan gampangnya gonta ganti cewek nggak pakai mikir. Sekarang dibales kontan. Minta maaf aja segini beratnya. Kalau zaman dulu ya udah kutinggalin yang ribet-ribet gini, tapi ini kan beda. Ini pernikahan, mitsaqan ghalidzan, perjanjian yang kuat, yang nggak bisa kita permainkan semau-maunya."
Ah, rasanya ingin memeluk Mas Ahim sekarang juga. Meski dia memberi cap "ribet" padaku, tapi yang dia katakan panjang lebar barusan membuatku sadar kalau Mas Ahim sudah berusaha untuk membawa pernikahan kami menjadi pernikahan sebagaimana mestinya.
"Masya Allah, Him. Aku nggak nyangka kamu mikirnya sampai sejauh itu? Kita bangga sama kamu, Him."
Mbak Hana merangkul Mas Ahim, memeluknya penuh kasih sayang. Di atas hospital bed, aku menahan isak, beberapa meter dari ketiganya.
"Mas," panggilku.
Mas Ahim diam, memandang ke arahku dengan ragu. Mungkin meyakinkan diri bahwa aku benar-benar memanggilnya. Aku tersenyum padanya.
"Sar, kamu manggil aku?" Aku mengangguk.
Mas Ahim setengah berlari menghampiriku. Ragu-ragu, dia genggam kedua tanganku.
"K-kamu, kamu maafin aku kan, Sar?"
Aku mengangguk, dua bulir hangat membasahi pipiku. Mas Ahim menghapus dengan kedua tangannya. Tangan yang selama ini mencari nafkah untukku, memelukku setiap aku butuh ketenangan, menghapus air mataku setiap kali aku dilanda kesedihan.
"Tapi kita tetap pulang ke rumah bapak ibuku, ya? Aku nggak mau di rumah sendirian kalau kamu kerja, nanti kalau aku sakit kayak kemarin terus nggak ada yang nolongin gimana?"
Aku tak tahu kenapa, tapi aku memang merasakan kekhawatiran semacam itu. Mungkin sedikit trauma.
"Iya, nggak apa-apa kalau alasanmu seperti itu. Kita pulang ke rumah orang tuamu."
Aku memeluknya lagi. "Maafin, aku ya, Mas. Aku banyak salah juga sama kamu. Aku...."
"Ssstt." Ditaruhnya telunjuk kanan di depan bibirku, menyuruhku untuk tak melanjutkan bicara.
Dia balas memelukku, sangat erat. Menciumi kepala dan wajahku tanpa ada yang terlewat. Lalu dia mencium bibirku. Lama.
"Heh heh heh, ada orang lho di sini. Mbok kira kita ini manekin apa?"
"Adab woiii adab. Dasar adik durhaka!"
Mbak Hana dan Mbak Syifa gaduh seketika, mengganggu kekhusyukan kami berdua.
***
04062022
Part ini adalah part yang terakhir kupublish di versi yg lama. Jadi habis ini akan mulai lanjutannya alias part baru.
Doakan yaaa, semoga lancar-lancar nulisnya dan idenya. Kl outline sudah ada sih, tinggal eksekusinya. Baru dapat tabungan part baru sedikit nih. Hehe...
Bismillah. Semoga berjalan sesuai rencana. Biar cepet kelar. Biar cepet lanjutin cerita hiatusku yang lain. Biar bisa nulis judul baru lagi.
Thank you for always support me.
Oh iya, sekarang aku mulai coba ngeblog juga. Latihan nulis yg non fiksi gitu. Masih kaku-kaku sih, but it's okay, namanya juga baru latihan lagi setelah lama keasyikan ngehalu alias nulis fiksi melulu. Hehe...
Teman-teman bisa cek di blogku ya. InsyaAllah akan nulis tentang keseharian, pengalaman, jalan-jalan, parenting, sharing, dan banyak lagi. Sesuai nama blognya, My Random Stories :)
- Wattpad: fitrieamaliya
- Instagram: fitrieamaliya
- 2nd Instagram: fitrie.amaliya
- Karyakarsa: fitrieamaliya
- Blog: www.fitrieamaliya.com
See you :)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro