1. Aku Dilamar, Dia Melamar
"Mas! Kamu tuh cowok tapi nggak tegas, deh," ujarku sambil cemberut. Kami berdua baru saja masuk mobil dan menutup pintu.
Kami, aku dan Mas Ahim, diberi tugas mengantarkan bingkisan makanan ke rumah beberapa kerabat seusai acara lamaran kami.
"Maksudmu tuh apa?" sahutnya dengan nada meninggi. Mungkin nggak terima kubilang dia cowok nggak tegas.
"Kenapa diem-diem aja dijodohin gini. Aku tuh nggak suka sama kamu, tahu nggak, sih? Lagian kamu kan punya pacar. Ogah amat dijodohin sama pacar orang. Mantannya banyak pula. Males!" Aku masih sewot, lengkap dengan bibir yang maju dua centi.
"Lah kamu kira aku seneng dijodohin sama kamu? Huh! No way! Pacarku cantik, mantanku juga bening-bening. Kamu tuh apa? Dandan nggak bisa, modis juga nggak, mana lugu banget. Cupu. Sama sekali bukan tipeku." Mas Ahim membalas tak kalah sewot.
"Ya makanya kamu tuh nolak kek, apa gimana, gitu. Jadi kita nggak perlu ngejalanin perjodohan sampai sejauh ini. Sebel!" seruku, masih tetap cemberut.
"Enak aja kalau ngomong. Aku tuh udah berusaha nolak perjodohan ini. Tapi ya mau gimana lagi? Pakde budemu itu kalau udah punya kemauan gak bisa ditawar. Apalagi niatnya jodohin kita udah dari zaman kita masih piyik."
Mas Ahim membela diri. Kemauan keras bapak dan ibunya -yang kupanggil dengan sebutan pakde dan bude- dijadikan sebagai alasan. Tapi memang benar begitu, sih.
"Emang kamu ngajuin argumen apa buat nolak perjodohan kita?"
"Ya aku bilang kalau sejauh ini hubungan keluarga kita sudah bagus. Kalau aku nikah sama kamu, terus di tengah perjalanan pernikahan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, malah hubungan keluarga yang sudah baik ini bisa jadi nggak baik."
Betul juga sih yang dia katakan.
"Terus pakde bude bilang apa?" Aku ingin tahu.
"Ya gitu, lah. Katanya, insya Allah semua baik-baik saja, yang mendoakan kalian berdua banyak, dan bla bla bla. Intinya sih suka nggak suka kita tetep kudu ngejalanin ini, Sar."
"Eh, tapi selama janur kuning belum melengkung, masih bisa digagalkan kali, ya, Mas?"
"Digagalkan nenekmu itu! Kayak nggak ngerti aja gimana pakde sama budemu. Ditambah lagi udah konspirasi sama bapak ibumu. Ya udah sana, kamu aja yang mikir gimana cara menggagalkannya. Aku sih udah males. Buang-buang tenaga, waktu, dan pikiran aja."
"Halah, bilang aja kamu tuh seneng dijodohin sama aku."
"Alah mbuh, Sar!"
Dia kesal. Didorongnya keningku tanpa belas kasihan dan perikemanusiaan. Kelihatannya Mas Ahim sudah enggan berdebat. Mungkin memang sudah mentok. Kedua orang tuanya sangat lihai dalam menggiring pendapat dan pemikiran. Mas Ahim setiap hari bersama mereka, bisa jadi sudah kenyang beradu alasan soal perjodohan kami.
Aku pun memilih diam. Suasana mobil mendadak sepi, seperti kelas yang sedang ujian.
-------
Namanya Ibrahim Abdurrahman. Kalau kebanyakan nama Ibrahim dipanggil Ibra, Baim, atau Boim, dia lebih suka dipanggil Ahim. Umurnya dua tahun lebih tua dariku. Kami sudah saling mengenal sejak kecil, bahkan mungkin sejak sebelum lahir. Eh, lebay aja sih.
Bapakku dan bapaknya -yang kupanggil Pakde Rosyid- bersahabat baik sejak lama. Keduanya bekerja di institusi yang sama, berolahraga di cabang yang sama, bahkan mempunyai hobi yang juga sama. Kedekatan beliau berdua bisa dibilang lebih dari saudara.
Aku dan Mas Ahim selalu ada di sekolah yang sama sejak duduk di bangku TK sampai SMA. Bukan tidak sengaja, tapi memang sudah disetting seperti itu oleh kedua orang tua kami.
Bahkan kuliah kami pun di kota yang sama, hanya beda kampus saja. Frekuensi pertemuan juga masih lumayan, sebab kalau bapak ibuku atau pakde bude -orang tua Mas Ahim- berkunjung ke kota tempat kami menuntut ilmu, sudah pasti kami harus ada untuk menemani beliau-beliau. Mau tidak mau, suka tidak suka.
Pernah waktu itu aku sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Lagi-lagi dia yang harus ada di sana menemaniku. Bukan permintaanku, bukan pula kemauannya. Semua berdasarkan titah dari orangtuanya, dan permintaan tolong dari bapak ibuku.
Dia menemaniku sambil uring-uringan. Hari itu semestinya dia punya acara dengan pacarnya, tapi terpaksa batal gara-gara dia harus menemaniku. Padahal aku sudah meyakinkannya untuk pergi. Kondisiku aman dan baik-baik saja. Ada perawat yang bisa kumintai bantuan kapan saja. Tapi dia tetap saja menungguiku, meski sambil manyun dan tetap uring-uringan.
Salah sendiri!
Memang dari masa kami masih SMA, isu-isu kalau kami berdua akan dijodohkan sudah berembus kencang. Meski begitu aku tak ambil pusing. Begitu pun Mas Ahim. Kalau aku sendiri sih mikirnya karena masih SMA, masih terlalu kecil ngomongin pernikahan, jadi aku memilih untuk cuek saja.
Ternyata isu-isu zaman SMA itu terjadi juga.
Aku ingat, hari itu aku baru pulang ke rumah setelah menyelesaikan urusan revisi skripsi dan pendaftaran wisuda.
"Nduk, besok Minggu siang keluarga Pakde Rosyid mau ke sini nanyain kamu," kata Bapak sore itu.
"Nanyain apa, Pak?" tanyaku lugu. Lebih tepatnya belum sadar.
"Maksudnya mau melamar kamu. Kamu kan sebentar lagi wisuda. Nanti habis kamu wisuda, bapak ibu segera mantu."
Aku terdiam sesaat, berusaha mencerna apa yang disampaikan bapak.
"Ehk. Maksudnya aku mau dijodohin gitu, Pak? Sama siapa? Mas Ahim?" seruku saat tersadar akan maksud pembicaraan bapak.
Dari empat orang anak Pakde Rosyid, cuma Mas Ahim yang belum menikah. Dia pula satu-satunya anak laki-laki. Kalau aku mau dijodohkan dengan anak Pakde Rosyid, ya sudah pasti orangnya adalah Mas Ahim. Kenapa juga aku harus bertanya!
"Lha iya to, Nduk. Kan itu sudah rencana sejak lama. Biar keluarga kita dan keluarga Pakde Rosyid bener-bener jadi keluarga. Bukan cuma dekat seperti keluarga."
Wajah bapak terlihat sangat gembira. Sedangkan aku, lagi-lagi cuma bisa diam. Dalam hati sibuk mencari cara untuk menolak. Aku paling lemah kalau sudah berhadapan dengan permintaan bapak dan ibu. Tapi permintaan beliau berdua kali ini benar-benar di luar kemampuan, juga kemauanku.
Aku sudah menganggap Mas Ahim sebagai kakakku sendiri. Kami sering berantem karena menurutku dia memang menyebalkan. Eh, malah tiba-tiba harus menjalani perjodohan dengan dia. Sungguh sesuatu yang tidak pernah kuharapkan. Boro-boro mengharapkan, kepikiran saja tak pernah.
-------
Dan waktu yang tidak pernah kami tunggu-tunggu itu tiba juga. Sore ini kami telah usai menjalani prosesi lamaran.
Tentu saja Mas Ahim yang melamar dan aku yang dilamar.
***
20052022
Namanya Ibrahim Abdurrahman.
Jangan sekali-kali panggil dia Baim atau Boim, nanti dia kezel. Hihi...
Part 1 pendek banget nih. Karena pas pertama bikin dulu juga belum ngerti standar jumlah kata yang ideal.
Ini nggak ada 1000 kata, kurang sedikit sih. Mau ditambah-tambahin juga aku harus mikir panjang lebar lagi. Males. Wkwk...
Nggak apa-apa yaaa.
Terima kasih udah baca, udah kasih vote, dan udah sempatin komentar.
Love love love.
Yuk, berkunjung juga ke akun-akunku
- wattpad: fitrieamaliya
- instagram: fitrieamaliya
- 2nd instagram: fitrie.amaliya
- karyakarsa: fitrieamaliya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro