Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hidden Part 2

[Hidden part menceritakan hal-hal yang tidak diceritakan atau diketahui dari sudut pandang Laras. Bisa diambil dari sudut pandang ke-3 atau Argio.]

a/n: Ada sedikit perubahan ya guys di part sebelumnya aku pernah post hidden part 6 (mengikuti judul part sebelumnya) tapi sekarang kuputuskan aku akan menomeri hidden part ini mulai dari 1, dst. Karena setiap hidden part isinya nggak hanya merangkum dari part sebelumnya saja tetapi juga beberapa part. Semoga kalian paham maksudku.

Meski cuma hidden part tolong tetap ramaikan chapter ini juga!!!

*

*

*

Hubungan gue sudah lama mendapat penentangan dari orang tua gue. Padahal Mama dan Papa adalah tipe orang tua yang selalu menuruti apa keinginan anaknya. Seumur gue hidup, hampir nggak pernah orang tua gue nggak memberikan yang gue mau kecuali restu mereka untuk gue memiliki hubungan romantis dengan Silvania.

Nggak ada alasan spesifik yang bisa mereka jelaskan ke gue selain mereka merasa Silvania nggak baik buat gue. Orang tua Silvania memang lumayan problematik. Ayahnya keluar masuk penjara dan pusat rehabilitasi karena kecanduan narkoba dan alkohol. Ibunya juga beberapa kali keluar masuk penjara karena kasus pencurian–katanya karena tuntutan ekonomi dan lilitan hutang yang disebabkan oleh ayahnya.

Gue kenal Silvania karena kami satu sekolah di Shenton College, sebuah sekolah menengah negeri yang berjarak sekitar 10 menit berkendara dari Dalkeith tempat gue tinggal. Dalkeith sendiri adalah daerah suburb elite di Perth, Australia tempat gue dan orang tua gue bermukim sejak kami memutuskan pindah dari Indonesia.

Bisa dibilang, hubungan gue dan Silvania dimulai dengan dramatis. Waktu itu sekolah kita sedang mengadakan camping tahunan. Silvania yang posisinya adalah masih SMP menyelamatkan gue yang saat itu sudah SMA dan hampir mati tenggelam di sungai.

Karena dia sudah menyelamatkan nyawa gue, gue berusaha untuk balas budi dengan bersikap baik dengannya mulai dari menraktirnya makan di kantin dan berbagai hal lainnya sampai akhirnya secara alami kami dekat karena sering menghabiskan waktu bersama.

Gue nggak mengelak kalau gue juga tertarik deketin Silvania bukan semata karena balas budi tetapi juga karena dia punya paras yang sangat cantik. Tipe gue. Mukanya kayak boneka, lucu, gemesin. Ditambah kami berdua sama-sama orang Indonesia yang pindah ke Australia membuat kami lebih gampang relate dengan satu sama lain. Dan secara resmi, Silvania jadi cinta pertama gue.

Waktu itu, gue belum tahu soal orang tua Silvania. Nggak peduli juga. Apa yang lo harapkan dari seorang ABG baru puber yang lagi di mabuk cinta? Yang gue pacarin kan anaknya, peduli amat sama orang tuanya. Tapi tentu saja orang tua gue nggak berpikir demikian.

Selayaknya orang kaya terpandang pada umumnya. Meski tinggal di luar negeri dengan segala keliberalannya, orang tua gue keberatan sama hubungan gue. Tapi mau gimana lagi? Gue terlanjur cinta mati sama Silvania saat itu. Apalagi, gue banyak melakukan pertama kali gue dengan Silvania. Jadi selama beberapa tahun hubungan, gue dan Silvania menjalani hubungan meski ditentang keras.

Entah sejak kapan gue mulai menyadari hubungan gue dan Silvania sudah tidak lagi sama seperti dulu. Bahkan itu jauh sebelum gue dan keluarga gue memutuskan untuk pindah kembali ke Indonesia.

Saat itu gue dan Silvania baru setahun menjalani LDR karena Silvania sedang memulai karirnya sebagai idol di Korea Selatan seperti mimpinya sejak dulu. Sebagai pacar yang baik, gue hanya bisa mendukung apapun yang pacar gue inginkan apalagi ini adalah mimpinya sejak kecil.

Gue pikir urusan jarak itu bukan masalah. Beli tiket dari Perth ke Seoul bolak-balik naik business class bahkan bukan hal yang sulit buat gue. Tetapi nyatanya masalah kami bukan hanya soal jarak tetapi juga komunikasi yang terhambat karena jadwal Silvania sebagai idol sangatlah padat. Bisa bertukar pesan tiga hari sekali itu keajaiban. Video call seminggu sekali itu adalah sebuah kemewahan. Gue hanya bisa melihat wajah Silvania lewat kegiatan dia sebagai idol lewat internet sama seperti fansnya yang lain.

Bahkan untuk bertemu Silvania sebagai fanspun sulit buat gue. Gue nggak bisa sembarangan menggunakan privilege gue meski untuk mendapatkan tiket VVIP di konser group Silvania itu jelas bukan hal yang sulit buat gue. Tetapi gue nggak bisa karena akan menimbulkan kecurigaan yang mengancam pada karirnya. Jadi, kalau gue memang mau nonton konser Silvania, gue cuma bisa puas dengan membeli tiket konsernya lewat jalur yang seharusnya. Atau minimal lewat calo meski overprice. Tapi seenggaknya tiket itu nggak gue dapatkan lewat jalur ordal.

Beberapa tahun berlalu seperti itu sampai hubungan kami nggak kerasa sudah masuk di usia sepuluh tahun. Gue masih mencintai Silvania seperti sebelumnya. Meski gue ketemu dia benar-benar bisa dihitung jari dalam setahun. Bahkan pernah dalam setahun gue sama sekali nggak ketemu dia dan cuma bisa lihat dia dari jauh waktu dia perform di sebuah acara.

Hubungan itu secara natural juga menjadi dingin meski gue menolak untuk mengakuinya. Ada hari di mana gue bahkan nggak mikirin Silvania sama sekali. Mungkin karena udah terbiasanya gue tanpa Silvania di hari-hari gue.

Akbar pernah bilang sama gue suatu hari, "Lo beneran bertahan karena sayang sama orangnya atau sama waktunya?"

Gue nggak mengerti apa kata Akbar saat itu. Setidaknya sampai di mana gue sadar, setiap kali gue mulai lelah dan mau menyerah, hati kecil gue selalu mengingatkan. Sayang Argio, lo udah sejauh ini sama Silvania, yakin mau udahan sekarang?

Dan hal itu terus berular setiap kali gue merasa hubungan ini sudah nggak sewajarnya dipertahankan. Ditambah gue juga sadar sejak dulu, rasa cinta gue ke Silvania lebih besar dibanding rasa dia ke gue. Gue nggak bego. Tapi gue menolak untuk mengakuinya. Bahkan di tengah pertentangan orang tua gue pun, gue tetap memilih bertahan.

Seiring berjalannya waktu, gue juga harus mulai serius menjalani bisnis hotel keluarga gue di Indonesia yang semakin berkembang pesat. Bokap yang awalnya masih bisa mantau Grand Lavish dari jauh mulai lebih sering bolak-balik Indo, begitupun dengan nyokap dan gue.

Di Indo, gue juga ketemu beberapa orang teman yang akhirnya bekerja sama dengan gue buat membangun bisnis sampingan gue yaitu nightclub bernama Celestial. Tempat di mana gue akhirnya bertemu lagi dengan Laras.

Awal pertemuan gue dengan Laras adalah di depan kantor miliknya yang bernama Sanggar Kenanga. What an odd name. Di tengah era orang-orang yang senang menamakan bisnis mereka dengan kata-kata bahasa Inggris, usaha wedding organizer milik Laras masih dinamai dengan nama yang sangat...jadul? Entahlah.

Waktu itu gue super bete sama nyokap karena seharusnya gue sudah otw bandara untuk jemput Silvania yang akhirnya pulang ke Indonesia setelah beberapa tahun nggak pernah menginjakkan kakinya di sini. Ohiya, Ibu dan adik laki-laki Silvania sudah lebih dulu pindah ke Indonesia begitu Silvania resmi jadi idol. Sedangkan ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu karena overdosis obat-obatan.

Silvania akan sedikit lebih lama di sini karena ada beberapa pekerjaan solonya yang akan dilakukan di sini. Termasuk jadi guest star di pernikahan puteri salah satu pejabat yang kebetulan akan mengadakan pernikahannya di Grand Lavish.

Gimana gue nggak seneng setelah nggak ketemu pacar gue begitu lama, gue finally bisa peluk dan cium dia lagi. Gue betulan sekangen itu sama Silvania. Jadi ketika nyokap maksa gue pakai dengan ancam-ancaman segala harus nganterin dia ketemu sama kenalannya, gue cuma bisa misuh-misuh sepanjang jalan.

Gue tahu soal Laras karena nyokap gue sudah melakukan penyelidikan terhadap wanita itu begitu kita resmi pindah ke Indonesia. Laras adalah anak angkat dari tetangga nyokap yang dulu berjasa sama nyokap di masa-masa sulitnya. Sayangnya mereka sudah meninggal dan meninggalkan anak angkatnya sendirian. Gue nggak mengerti kenapa nyokap mutusin buat cari tahu soal Laras setelah itu padahal secara teknis pun nyokap nggak ada kewajiban untuk balas kebaikan orang tua angkat Laras tersebut.

Tapi nyokap being nyokap. She's just too kind. Padahal ketemu Laras pun baru sekali, tetapi sepanjang jalan pulang dari ketemu Laras, nyokap cerita dari A sampai Z soal betapa hebatnya Laras menjalani kehidupannya sebatang kara. Gue tahu nyokap cuma merasa simpati pada Laras pada awalnya, tapi lama kelamaan perasaan simpati itu berubah jadi empati dan bentuk kepedulian yang menurut gue sedikit berlebihan. Tapi gue nggak begitu peduli, karena gue sebentar lagi mau ketemu Silvania dan hanya dia yang ada di pikiran gue saat itu.

Sayangnya Silvania tetap sibuk meski sedang ada di Indonesia. Dan waktu gue ketemu dia tetap terbatas sehingga nggak ada bedanya dengan dia di Korea ataupun di sini. Hal itu bikin gue memilih untuk menyibukkan diri agar setidaknya gue juga nggak terlalu merasa menyedihkan.

Hari itu, saat gue memutuskan untuk ke Celestial gue malah bertemu Laras dalam keadaan yang super berbeda dari waktu pertama kali bertemu. Laras yang gue kira hanya gadis polos baik-baik, mengenakan gaun super ketat yang mencetak tubuhnya yang indah.

Laras sedikit lebih berisi dibanding Silvania dan beberapa senti lebih pendek darinya. Gue nggak maksud membandingkan tetapi menurut gue, tubuh Laras itu kelihatan lebih sehat. Silvania memiliki tubuh standar idol Korea yang harus kurus langsing. Image groupnya juga adalah pure, itu membuat Silvania nggak bisa menggunakan pakaian-pakaian seksi–yang tentu bikin gue setidaknya nggak terlalu merasa was-was. Dan to be honest, gue pun nggak terlalu into sama orang-orang dengan vibes yang seksi atau glamour. Silvania is a perfection for me.

Tapi malam itu, gue menemukan diri gue tertarik pada Laras. Gue nggak bilang rasa tertarik ini dalam konteks romansa. Gue cuma nggak bisa ngalihin pandangan gue dan rasa penasaran gue sama Laras malam itu. Dan untuk pertama kalinya, gue merasa brengsek.

Setelah kesetian bertahun-tahun gue kepada Silvania, gue merasa untuk pertama kalinya ada wanita yang menarik selain Silvania.

***

Babe, pesawatku landing jam lima pagi dari Bali. Jemput ya. Love you!

Gue membaca pesan yang dikirimkan Silvania semalam. Sekarang sudah jam tiga dan alarm gue berbunyi untuk membangunkan gue karena gue harus bersiap jemput Silvania ke bandara sebentar lagi.

Pesan itu Silvania kirimkan setelah kami tidak berkomunikasi apapun selama ia berada di Bali beberapa hari ini untuk urusan pekerjaan. Gue bahkan dilarang untuk menyusulnya karena dia bilang dia pemotretan dengan majalah Korea yang mana bisa jadi bahaya kalau hubungan kami ketahuan oleh team mereka. Lagi-lagi gue mengalah.

Setelah gue mandi dan bersiap-siap, jam sudah menunjukkan setengah empat pagi ketika gue turun ke bawah. Kebetulan dari kemarin gue memang lagi menginap di Grand Lavish karena... Laras.

Setelah insiden membawa Laras yang mabuk, berlanjut dengan nyokap yang kemudian tiba-tiba minta Laras jadi WO pengganti untuk salah satu klien Grand Lavish yang kena tipu WO-nya, Laras jadi harus menginap di Grand Lavish dan itu juga bikin gue entah kenapa mutusin untuk nginap di sini juga.

Akbar sampai heran karena gue hampir nggak pernah nginap di hotel gue sendiri ini meski punya jatah kamar pribadi di sini. Kalau dipikir-pikir, sikap gue memang patut dipertanyakan karena memang sangat out of character. Dan semua ini hanya karena rasa tertarik gue kepada Laras yang bahkan tidak gue mengerti.

Gue sedang di lobby ketika melihat Laras keluar dari lift dan berjalan menuju ke arah ballroom tempat biasanya pesta pernikahan diadakan di Grand Lavish. Gila, jam setengah empat pagi perempuan itu sudah kerja? Atau malah masih?

Dengan rasa penasaran, gue mengekori Laras dan benar saja, perempuan itu sepertinya sama sekali belum tidur dan berjaga semalaman di sini untuk memantau proses dekorasi.

Gue nggak tahu gimana cara kerja WO sebelumnya karena nggak pernah berurusan juga. Gue terkejut waktu Laras setuju untuk jadi WO pengganti dan menyelesaikan masalah dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam. Untuk seukuran WO kecil dan menengah, Laras itu bisa gue bilang cukup gila.

"You're still here?"

Gue bisa lihat Laras tersentak di tempatnya karena kemunculan gue yang tiba-tiba. "Maksudnya?" Gue bisa dengar ada sedikit nada tersinggung pada suaranya.

"Maksudku kamu masih di sini, kerja. It's almost four a.m, apa kamu nggak ngantuk?" tanya gue karena tidak mau dia salah paham dengan maksud pertanyaan gue barusan. Kemarin sikap gue memang menunjukkan keberatan soal dia yang akan jadi WO pengganti. Mungkin dia pikir, gue jadi menganggap dia sebelah mata setelah itu. Ya memang sih, tapi pertanyaan tadi justru karena gue kagum sama kinerja dia yang all out meski sudah gue sempat sepelekan.

"Harus ada yang ngawasin pengerjaan decornya. Apalagi ini hitungannya kejar waktu, salah sedikit malah bisa kacau," katanya sambil kembali mengalihkan perhatiannya pada staff yang mengerjakan bagian dekorasi.

"I know. Tapi kamu kan bisa suruh pegawai kamu." Jujur saja gue masih nggak mengerti kenapa dia harus melakukan ini di saat dia bisa saja nyuruh pegawainya yang melakukannya. Ditambah semua pegawai Laras juga sudah diberikan fasilitas menginap di sini yang mempermudah mobilisasi pekerjaan mereka.

"Mereka punya jobdesk masing-masing yang sama pentingnya. It's fine, aku bisa tidur nanti dan gantian sama staffku." Kudengar Laras menjawab dengan lemas. Dia pasti kelelahan tetapi masih saja berusaha kuat. "Kamu sendiri ngapain di sini jam setengah empat pagi?"

Pertanyaan Laras menyadarkan gue bahwa nggak seharusnya gue di sini sekarang. Gue seharusnya bergegas menjemput Silvania di bandara. "Got something to do this early morning," jawab gue singkat. Gue nggak tahu kenapa gue nggak jelasin ke Laras bahwa gue mau menjemput pacar ke bandara.

Laras tiba-tiba berjalan untuk menghampiri staff yang sedang mengerjakan dekorasi menggunakan fresh flower di hadapan kami. Gue juga memutuskan untuk pergi saja dan membiarkan Laras melakukan pekerjaannya sampai ketika kudengar ia mengaduh sambil memegangi kakinya.

Fokus gue langsung terarah pada kakinya. Gue bisa lihat ada luka lecet di sana dan luka itu kini berdarah. Sepertinya Laras menggunakan sepatu yang kesempitan dan sepatu itu adalah sepatu yang gue kasih ke dia tadi pagi. Sepatu dan pakaian Laras itu memang awalnya gue beliin untuk Silvania. Tapi karena keadaan Laras yang menggunakan dress ketat dan heels, gue yakin dia nggak akan nyaman pakai baju itu buat nemuin nyokap gue nanti. Akhirnya baju dan sepatu itu gue kasih ke Laras karena gue pikir akan muat. Lagian dia juga nggak protes kalau ukurannya ternyata kesempitan. Dasar bodoh.

Gue berlalu meninggalkan ballroom karena jam terus bergerak dan gue nggak mau Silvania ngambek karena gue terlambat menjemputnya. Tetapi di lobby, gue menyuruh salah satu staff hotel membawakan medical kit untuk Laras.

***

Silvania masih menciumi gue ketika gue lihat Laras malah berjalan ke arah yang salah dari seharusnya. Gue nyaris ketawa karena gue bisa lihat dari sini kalau Laras salah tingkah karena terjebak dalam situasi ini.

Laras berusaha melewati gue tanpa melihat atau melirik, itu membuat gue malah ingin mengusilinya. Gue melepaskan ciuman Silvania sebelum kemudian memanggilnya, "Laras!" Perempuan itu tersentak di tempatnya begitu gue panggil. Gue mengeluarkan ponsel dari kantung celana gue dan melambaikannya di udara. "Your phone!" kata gue lagi.

Silvania terdengar protes dengan apapun yang sedang gue lakukan. Jadi gue merangkulnya dan dia memeluk gue dari samping. Mungkin dia kesal karena perhatian gue nggak tertuju pada dia sepenuhnya.

Laras tampak kikuk ketika menerima uluran ponselnya dari tangan gue. Dan setelah berterima kasih tanpa menatap mata gue, perempuan itu bergegas pergi ke kamarnya. Lucu.

"Dia siapa sih?!" Silvania menarik dagu gue agar kembali melihatnya.

Gue menjelaskan soal Laras yang merupakan WO yang sedang menghandle acara pernikahan di bawah. Gue juga bilang kalau Laras kenalan nyokap gue, sebatas itu. Dan sepertinya itu sebuah kesalahan karena gue bisa merasakan rasa tidak suka Silvania semakin besar.

Pertama, karena perhatian gue jadi terpecah. Kedua, karena dia tahu kalau Laras akrab sama nyokap gue di saat dia bahkan masih nggak direstui pacaran sama gue. Dan gue jamin kalau Silvania bakalan makin ngamuk kalau tahu soal baju dan sepatu yang semula gue belikan untuknya gue kasih ke Laras.

Gue mencium Silvania untuk mengalihkan perhatiannya dan ciuman itu berlanjut ke tempat tidur. Gue berhasil mengembalikan pikiran dan fokus gue pada Silvania selama sisa malam itu.

"Aku mau nikah sama kamu." Gue terkejut begitu Silvania mengatakan itu setelah kami selesai dengan kegiatan ranjang kami beberapa waktu lalu.

"Apa?" tanya gue ulang seolah nggak percaya atas apa yang gue dengar.

Sebenarnya gue sudah melamar Silvania beberapa waktu yang lalu tetapi belum dapat jawaban darinya. Salah satunya karena syarat dari orang tua gue yang mengharuskan gue menikah dengan Silvania di tahun ini juga kalau mau dapat restu mereka. Begitu Silvania nggak menjawab lamaran gue, gue pikir memang dia belum siap.

"Aku mau nikah sama kamu!" Silvania mengulanginya lagi dan gue langsung menariknya ke dalam pelukan gue. Gue senang, tentu saja. Karena ini kan yang memang gue inginkan. Tetapi nggak bohong kalau sesuatu di hati gue malah terasa kosong meski wanita yang gue cintai setengah mati baru saja menerima lamaran gue. Dan gue nggak tahu alasannya.

***

A/n: For information! Ada 3 jenis chapter yang diupload di cerita ini. 

Reguler chapter (Free): Isinya adalah plot utama dari sudut pandang Laras.

Hidden chapter (Free): Beberapa scene dari sudut pandang Argio atau author. Nggak menyeluruh, hanya diceritakan sebagian atau di part-part yang dirasa penting.

Additional part (berbayar): Buat ymma (yang mau mau aja dan yang mature mature aja, anak kecil tidak boyehhh) Isinya more likely adalah part mature yang ditulis lebih explicit dan detail. Part ini berbayar dan exclusive di karyakarsa. Nggak akan dipost di wattpad khusus part ini ya. Tapi part ini nggak akan mempengaruhi plot utama, jadi meski nggak baca tetap akan paham alurnya dan nggak merasa tertinggal. But you'll miss out the experience baca tulisan nakalnya rapsodiary 😛 

Part 22 nanti lanjutan malam pertama mereka. Kira-kira mereka ngapain hayooo? Ada additional partnya juga loh hehehehe. Minimal 70 comment buat dipost part 22nya ya~ let's go!!!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro