Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Hidden Part 1




[Hidden part adalah additional part tambahan dari plot utama. Menceritakan hal-hal yang tidak diceritakan atau diketahui dari sudut pandang Laras. Bisa diambil dari sudut pandang ke-3 atau Argio.]

*

*

*

"Wanna have a drink? My treat," tawar Argio pada Laras yang dijawab sebuah gelengan. Argio tidak menyerah, ia malah dengan sengaja memancing Laras. "Benar dugaanku, it's your first time." Argio tidak tahu mengapa malam itu ia ingin mengajak gadis yang dikenalkan ibunya sebagai 'keluarga' itu minum. Ada sesuatu pada Laras yang membuat Argio tertarik malam itu.

Hening mendera sebelum Laras menghela napas dan menarik kursi bar. Argio mengikutinya sebelum kemudian memanggil bartender dan memesan minuman yang tidak Laras mengerti.

"Non alcohol, right?" tanya Argio lagi-lagi dengan ekspresi yang menurut Laras meremehkan.

Laras benar-benar tidak suka dengan tatapan itu. "It's okay, saya bisa minum kok." Mungkin Laras akan menyesali pilihannya saat ini. Tetapi persetan, Laras sudah sejauh ini apa lagi yang ia pusingkan?

Argio tersenyum miring. Bukan bentuk senyum licik, tetapi lebih ke senyuman karena baru saja menemukan sesuatu yang lucu. "Sure then." Argio menoleh ke bartender lagi. "Jer, ganti jadi piña colada."

"Kamu pelanggan tetap di sini?" Pertanyaan itu tidak bisa Laras tahan lagi. Melihat bagaimana Argio bersikap sangat santai kepada bartender bahkan memanggil nama begitu saja seolah memang sudah akrab dan saling kenal.

Argio memutar kursinya sedikit ke arah Laras, sebelah tangannya bertumpu di meja untuk menopang dagunya. "Not really. But I do come here often."

Laras mengernyit mendengar jawaban ambigu Argio tetapi ia tidak tertarik untuk memperpanjang obrolan jadi Laras lagi-lagi hanya mengangguk.

Argio semakin penasaran. Mulai dari apa yang dilakukan gadis 'baik-baik' yang memiliki kesan 'polos' di pertemuan awal mereka itu di club malam menggunakan dress ketat yang seksi. Lalu mengapa gadis itu terlihat murung. Hingga mengapa sikapnya tidak ramah saat berhadapan dengan Argio.

Okay, Argio akui kesan pertamanya saat bertemu Laras beberapa hari lalu memang kurang baik. Argio sedang badmood, ditambah sang Mama menyuruhnya menunggu di mobil cukup lama lalu Argio menerima telfon dari kekasihnya yang ngambek dan meminta Argio menemuinya saat itu juga. Wajar kalau Laras mungkin tidak suka dengan Argio meski mereka baru bertemu satu kali.

Tapi hey, Argio sudah berusaha ramah sejak tadi. Mulai dari memberikan tissue, mengajak ngobrol sampai menraktir minuman. Tetapi Laras bahkan tidak menatapnya sama sekali meski mereka duduk bersisian.

Minuman pesanan mereka tersaji. Segelas piña colada untuk Laras dan Manhattan untuk Argio. "Cheers?" tanya Argio sambil mengangkat gelasnya yang juga dibalas Laras dengan mengangkat gelasnya meski dengan ekspresi tak minat. Argio benar-benar menemukan Laras menarik.

Bukan dalam konteks romansa tentu saja. Seperti ketika melihat baju di toko yang membuatnya ingin menyentuh untuk tahu tekstur bahan dan detailnya. Hanya itu.

***

"Saya rasa kamu sudah cukup mabuk." Argio memandang Laras yang kini sudah tergeletak di atas meja dengan kepala yang bertumpu pada kedua tangan yang dilipat. "Hey?" Lelaki itu akhirnya menggoyang bahu Laras dan tentu saja tidak ada respon berarti. Hanya gumaman tak jelas yang terdengar.

Orang bodoh mana yang mabuk hanya karena piña colada? Tapi mungkin saja toleransi alcohol gadis ini memang rendah sehingga dua gelas piña colada sudah cukup untuk membuatnya kehilangan kesadaran.

Argio tidak punya pilihan. Tidak mungkin meninggalkan gadis yang sedang teler itu sendirian. Pertama, karena Argio bertanggung jawab sudah membuat gadis itu mabuk dengan mengajaknya minum. Kedua, Argio ingat kata ibunya tentang siapa gadis itu dan kondisinya saat ini yang benar-benar sebatang kara.

"Or should I call her boyfriend?" tanya Argio yang tentu saja tidak mendapatkan jawaban karena yang ditanya bahkan tidak sadar. "Tapi masalahnya apa dia punya? Cowok mana ngebiarin ceweknya ke nightclub sendirian." Lagi-lagi Argio meneruskan monolognya. Padahal ia tahu monolognya itu tidak akan menyelesaikan apapun. Satu-satunya jawaban hanyalah membawa Laras pulang bersamanya.

Seorang staff yang berdiri tidak jauh dari tempat Argio dan Laras berada dengan sigap menghampiri begitu Argio memanggilnya. "Cad, tolong suruh Pak Handi siapin mobilnya. Saya mau balik sekarang."

"Baik Pak!" Lelaki bernama Icad yang merupakan staff club itu bergegas pergi sesuai perintah Argio.

Nightclub itu milik Argio. Bisnis pribadi yang dimilikinya tanpa campur tangan orang tua terutama ayahnya. Tidak banyak yang tahu bahwa Argio Pradjuna Pradana adalah pemilik nightclub tersebut selain kolega bisnisnya.

Seorang staff lain menghampiri Argio menawarkan bantuan ketika melihat Argio berusaha membopong Laras. "No it's fine, I can handle this," tolaknya. Laras bertubuh kecil sehingga bagi lelaki gagah seperti Argio mengangkat Laras bukanlah hal besar. Bahkan mungkin ia bisa mengangkat Laras dengan satu tangannya saja secara mudah kalau dia mau.

"Ini di...mana?" Laras akhirnya sadar meski masih dalam keadaan mabuk. Tetapi setidaknya ia tidak benar-benar hilang kesadaran dan sudah bisa membuka matanya. "Kamu siapa?"

Argio lagi-lagi dibuat tertawa karena tingkah Laras. "Menurut kamu siapa?"

Posisi mereka saat ini adalah Laras yang masih duduk di kursi bar dan Argio yang berdiri di depannya. Karena perbedaan tinggi mereka itu membuat Laras mendongak dan Argio menunduk agar mereka saling bertatapan. Tadinya Argio sedang berpikir bagaimana dia harus membawa Laras. Digendong bridal style atau di punggung. Tetapi Laras lebih dulu sadar rupanya. Baguslah, jadi Argio tidak perlu repot menggendongnya.

"Ngg—nggak tau. Tapi kamu ganteng, kayak artis!"

"Pftt—" Kali ini Argio sampai menutup mulutnya karena ucapan Laras yang benar-benar menghiburnya. Argio sudah pernah berhadapan dengan orang mabuk sebelum ini dari yang merepotkan sampai menyebalkan, tetapi baru kali ini ia menghadapi yang...menggemaskan. Mungkin karena Argio tahu sejak awal gadis ini adalah gadis baik-baik yang bahkan mungkin belum pernah mabuk sebelumnya. "Thanks, I guess. Shall we go home now? Kamu ingat alamat kamu?"

Laras berkedip-kedip masih dengan kepala mendongak menatap Argio. "Ngg pusing." Ia malah mengucek matanya. "Pusing banget—muter-muter," ujarnya tidak jelas. Tetapi Argio masih bisa menangkapnya.

Oke, ini mulai sedikit menyebalkan. Atau menyulitkan lebih tepatnya. "Hey, saya perlu alamat kamu buat bisa antar kamu pulang."

"Pulang? I don't have home..." Oke. Gadis ini benar-benar sama sekali belum sadar rupanya. "Aku nggak punya rumah—mereka udah hancurin rumahku—mimpiku..." Laras tertunduk sedih saat ini.

Argio mengernyit. Tidak satupun kata-kata Laras yang dimengertinya. Bukan karena Laras mengatakannya dengan suara tidak jelas tetapi karena arti katanya sendiri pun tidak bisa ia mengerti. Tapi satu yang Argio bisa tangkap, rumah yang dimaksud Laras di sini jelas bukan 'rumah' secara harfiah.

"Kalau kamu nggak punya rumah—mau ke hotel?"

Laras mendongak mendengar pertanyaan Argio. "Hotel? Kamu mau ajak aku ke hotel?" tanyanya. Argio baru sadar pipi Laras memerah karena efek alcohol, lucu sekali. "Ngapain ke hotel? Kamu mau ngapain ke hotel sama aku?"

Argio seharusnya tidak meladeni orang mabuk. Tetapi Laras benar-benar sangat lucu. "Kamu maunya ngapain di hotel?"

Laras tampak berpikir, tubuhnya mulai sedikit bergerak-gerak seperti orang kehilangan keseimbangan. Hanya dalam hitungan menit Argio yakin Laras akan kehilangan lagi kesadarannya. "Nggak tahu, kan kamu yang ngajak! Mesum!"

Kali ini Argio tidak menahan dirinya lagi untuk tertawa. Dan tidak sampai lima detik berikutnya, tubuh Laras terhuyung ke depan. Argio dengan sigap mendekat hingga kini kepala Laras berada di perut Argio. Kalau saja tidak ada Argio, Laras sudah pasti jatuh mencium lantai marmer di bawahnya.

Sepertinya memang tidak ada pilihan lain selain membawa Laras ke hotel untuk saat ini.

***

Argio sengaja membawa Laras ke hotelnya atau lebih tepatnya milik keluarganya karena satu, ia memang tidak memiliki tujuan buruk apapun pada Laras. Murni rasa tanggung jawab karena ia ikut andil membuat gadis itu mabuk. Kedua, Argio juga tidak ingin membuat Laras salah paham keesokan harinya. Membawanya ke hotel milik keluarga Argio adalah pilihan teraman. Dan yang paling penting, ada banyak staff Grand Lavish yang bisa ia mintai tolong untuk mengurus Laras tanpa Argio harus repot mengurusnya sendirian.

Laras dibawa ke salah satu suite room milik Grand Lavish di lantai dua puluh dua. Kamar ini adalah tipe kamar sedang yang tersedia di hotel ini. Tetapi jangan salah, harga kamarnya mungkin setara dengan kamar paling besar hotel-hotel bintang empat. Karena di Grand Lavish untuk harga kamar standarnya saja sudah mencapai dua juta sekian per malam.

"Bar, besok suruh service room bawain sarapan ke kamar, sekalian beliin obat pereda mabuk dan paracetamol untuk jaga-jaga kalau dia sakit kepala."

"Lo nelfon gue subuh-subuh gini buat ngurusin pacar lo? Bener-bener lo Gi, nggak ada kasihan-kasihannya sama gue... Kan lo bisa nyuruh staff hotel lo di sana, nggak usah lewat gue..."

Argio tidak berniat menjelaskan pada sekretaris pribadinya itu bahwa yang ia bawa saat ini bahkan bukan kekasihnya. "Ya kan lo sekretaris pribadi gue, buat apa gue gaji lo kalau nggak bisa gue suruh-suruh."

"Dasar monyet!"

"Hey, I'm your boss, watch your words!"

"Nyenyenye lo aja nelfon gue di luar jam kerja, boss sialan!"

Bukannya marah, Argio malah tertawa. Akbar, sekretaris pribadi yang juga sudah seperti teman untuknya itu karena mereka kenal sejak masih kecil. Panggilan terputus karena Akbar mematikan telfonnya.

Argio melirik Laras sekali lagi yang sudah tergeletak tak berdaya di atas tempat tidur. Argio bahkan sampai membantu gadis itu melepas sepatunya dan menyelimutinya dengan bed cover, kurang gentleman dan baik apa Argio? Mamanya pasti bangga.

"Nggh—sesak!"

Argio sudah akan meninggalkan kamar tersebut ketika mendengar suara Laras bergumam. Argio menoleh dan mendapati Laras sedang bergerak-gerak gelisah di bawah balutan bed cover.

"Sesek—"

Argio segera menghampiri Laras, khawatir ia kesulitan bernapas karena terbelit bed cover tebal itu tetapi yang ia temui malah dress yang digunakan gadis itu sudah melorot setengah memperlihatkan pakaian dalam warna hitam di baliknya. Argio refleks memalingkan wajah. "Hey—nanti kamu masuk angin kalau buka baju!" Argio menegur Laras sambil berusaha menghentikan gerakan gadis itu yang terus berusaha menurunkan dressnya sendiri.

"Sesak!" Gadis itu terus berkata hal yang sama. Gaun yang digunakannya memang ketat melekat di tubuhnya. Tapi kini gaun itu benar-benar hanya tinggal setengah saja di tubuhnya.

Argio melotot ketika melihat Laras bergerak seolah ingin melepas satu-satunya kain yang menutupi dadanya. "Hey, hey, hey! What do you think you're doing right now?" Argio panik sambil menarik tangan Laras yang masih berusaha menggapai kaitan branya. Laras memang punya kebiasaan tidak pakai bra saat tidur karena sesak. Jadi ini hanya bentuk kebiasaannya meski ia sedang di bawah pengaruh alcohol dan tidak sadar sepenuhnya.

Argio tidak mau kena tuduh menelanjangi Laras saat perempuan itu di bawah pengaruh alcohol. Dia bukan brengsek yang seperti itu. Bukannya berhenti, Laras malah memegang balik tangan Argio yang berusaha memeganginya sebelum membawa tangan itu ke punggungnya. "Bukainnn!" rengeknya manja.

Argio salah. Laras tidak menggemaskan saat mabuk tapi malah merepotkan!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro