Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9. New Opportunity

Sebut aku kolot atau konservatif, tetapi sebagai orang sejak lahir menghabiskan hidupnya di Indonesia ini melihat pemandangan orang berciuman di tempat umum jelas sangat tidak biasa bagiku.

Aku pernah berciuman dengan Haris, tetapi saat itu ciuman itu tak lebih dari sekadar kecupan biasa—karena Haris selalu memintanya meski aku sering menolak. Tapi saat itu suasananya sangat mendukung, usia kami juga sudah dua puluh tahun saat itu sehingga akhirnya aku mengizinkan Haris menciumku. Kami berciuman di rumahku, di tempat tertutup dan private yang mana hanya ada kami berdua.

Jadi ketika melihat apa yang tengah Argio lakukan dengan perempuan itu di hadapanku benar-benar membuatku merasa tidak nyaman. Bukan salahku, karena ini tempat umum. Meski secara teknis tempat umum ini adalah milik Argio. Tapi setidaknya mereka kan bisa mencari tempat atau setidaknya menunggu aku benar-benar pergi dari sana?

Dengan cepat aku berjalan menjauh dari mereka, sambil mencoba mengenyahkan apa yang baru saja kulihat. Namun bodohnya karena terlalu panik aku malah berjalan ke arah yang salah. Kamarku berada di arah sebaliknya yang mana berarti aku harus balik arah dan melewati dua manusia yang sedang saling melumat itu.

"Mppph—"

Sudah gila. Suara kecapan pertemuan bibir bahkan masih sayup bisa kudengar dari tempatku berdiri sekarang. Di ujung adalah jalan buntu. Bahkan letak tangga darurat pun adanya tidak jauh dari tempat mereka berdiri. Jadi satu-satunya pilihanku hanyalah memutar balik. Ini benar-benar sangat canggung! Mereka yang berbuat tetapi aku yang malu.

Ok, anggap saja mereka angin lalu dan aku pun akhirnya benar-benar berbalik arah dan berjalan ke arah mereka.

Suara kecipak itu bahkan masih tidak berhenti jadi kuasumsikan mereka benar-benar sepenuhnya tidak menganggap keberadaanku. Jadi kenapa juga aku harus peduli!

"Laras!" Aku sudah berusaha keras melewati mereka tanpa sedikitpun melirik tetapi tiba-tiba namaku justru dipanggil. Ya dan yang memanggilku adalah Argio! Mau apa sih dia? "Your phone!" ujarnya lagi karena aku tidak kunjung menoleh.

Hah apa katanya? Ponselku? Bukannya ponselku tertinggal di kamar?

Saat aku menoleh, aku melihat gadis bergaun merah muda itu sudah berpindah ke samping Argio dengan posisi memeluk tubuhnya. Sedangkan Argio juga merengkuh gadis itu dengan sebelah tangannya. Tetapi karena perbedaan tinggi mereka, tubuh mungil gadis itu jadi seperti tenggelam di samping Argio.

"Oh—iya." Dengan sangat terpaksa aku berjalan menghampiri Argio dan meraih ponselku yang ia ulurkan. Aku bisa melihat perempuan di pelukan Argio itu melirikku meski separuh wajahnya kini terbenam di bahu Argio seolah ingin menegaskan statusnya. Seperti kucing yang posesif kepada pemiliknya—iya seperti itu. "Terima kasih," kataku sebelum berbalik pergi dengan cepat.

Hari ini sudah terlalu melelahkan untuk aku peduli.

***

Kerja kerasku dan team untuk menyelamatkan pesta pernikahan putri Pak Subroto benar-benar sukses. Meski demi kesuksesan itu kami sampai harus bekerja hingga nyaris tidak tidur, tetapi semuanya terbayarkan. Baik secara materi dan juga kepuasan.

Aku janji akan memberikan bonus ekstra untuk para karyawanku nanti. Mungkin aku akan menghadiahi mereka liburan singkat karena bayaran yang kuterima untuk acara ini juga tidak sedikit. Bisa dibilang bahkan ini adalah bayaran termahal yang pernah kuterima selama bekerja di industri ini. Pak Subroto memberiku bonus yang fantastis, begitu juga dengan The Grand Lavish. Mereka bahkan memberiku bonus satu hari lagi menginap bersama teamku di hotel ini dan teamku diperkenankan membawa anak dan pasangan mereka untuk yang sudah berkeluarga agar bisa ikut menikmati fasilitas hotel.

Malamnya, Tante Ambar mengundangku untuk makan malam bersama suaminya. Katanya sih Argio akan menyusul tetapi sampai separuh acara makan malam ini berlangsung, lelaki itu tak kunjung datang.

Satu yang kuketahui dari makan malam ini yaitu Pak Tegar Pradana, suami Tante Ambar adalah pribadi yang...serius. Berbeda dengan Tante Ambar yang sangat ramah dan suka bicara, Pak Tegar bisa dibilang jarang bicara. Ketika bicarapun ia sangat formal dan tegas. Tetapi meski demikian, aku masih bisa merasakan hubungan hangat Pak Tegar dan Tante Ambar. Mereka seperti yin & yang, saling melengkapi satu sama lain meski secara karakter sangat jauh berbeda.

Suara pintu ruangan VIP tempat kami makan malam kemudian terbuka. Kupikir itu adalah waitress yang akan membawakan hidangan penutup. Ternyata itu adalah Argio yang masuk dengan sedikit tergesa. Karena posisiku menghadap ke pintu, aku bisa langsung melihatnya.

Kemeja Argio berantakan, sebagian mencuat keluar dari celananya dan kemejanya juga terkesan lecek seperti ia habis berguling dan tiduran menggunakan baju itu. Tiga kancing kemejanya terbuka dan ia berusaha menutupnya sambil berjalan tergesa. Argio terlihat seperti orang yang baru bangun tidur dan terlambat datang ke sekolah. Seperti itu.

"Sorry Mam, Pap, Juna telat!" Argio memang selalu dipanggil Juna oleh orang tuanya.

"Mama kan udah bilang sama kamu Juna, makan malamnya jam tujuh!"

"Juna ketiduran," jawabnya beralasan. Dengan penampilan seperti itu, aku yakin yang dikatakannya benar. Sampai kemudian aku melihat bercak keunguan di lehernya saat Argio membenarkan kerah kemejanya dan aku sadar tanda apa itu.

"Uhuk–uhuk!" Aku terbatuk. Seketika tersedak makanan yang sedang coba kutelan karena tanpa sengaja mata kami saling berpandangan. Atau lebih tepatnya Argio yang menangkap basahku saat sedang memperhatikannya.

"Laras sayang kamu nggak apa-apa, Nak?" tanya Tante Ambar panik. Ia mencoba menepuk-nepuk punggungku mencoba meredakanku dari tersedak.

Aku tidak bisa mengatakan pada Tante Ambar bahwa aku tersedak karena tidak sengaja melihat tanda kiss mark di leher anaknya. Tentu saja tidak mungkin. Dan ketika aku melirik lagi ke arah Argio, lelaki itu ternyata masih menatapku dengan sebelah alis yang dinaikkan. Tatapan menyebalkan itu lagi!

"Nah karena sekarang Juna juga udah di sini, Mama mau bahas hal yang sudah sejak tadi mau Mama bahas sama Laras!"

Aku dan Argio sama-sama berhenti dari kegiatan kami menyantap makanan. Kini fokus kami terarah pada Tante Ambar, begitupun dengan suaminya.

Tatapan Tante Laras kini terarah padaku. Ia meraih tanganku dan menggenggamnya. "Laras, maaf kalau Tante udah nggak sopan. Tetapi semenjak pertemuan kita di kantor Sanggar Kenanga, sebenarnya Tante melakukan sedikit penyeledikan soal kamu."

Tante Ambar melakukan apa?

"Tunggu Laras jangan salah paham dulu ya Nak, dengerin Tante sampai selesai dulu. Penyeledikannya bukan yang gimana-gimana kok, Tante cuma mencari tahu sedikit soal usaha Laras dan bagaimana kehidupan Laras beberapa tahun ke belakang setelah Budhe meninggal. Tante beneran nyesel nggak ada buat Laras lebih cepat."

Tante Ambar lalu menjelaskan padaku soal dirinya yang awalnya ingin melakukan investasi pada Sanggar Kenanga agar bisa menjadi WO yang lebih besar dan bekerja sama dengan hotelnya. Dan karena itu juga Tante Ambar jadi tahu soal tuntutan yang dilayangkan Haris dan Dania padaku atas nama Sanggar Kenanga, bahkan Tante Ambar tahu soal hutang usahaku juga.

Aku tahu maksud Tante Ambar sangatlah baik. Ia sama sekali tidak ingin berniat buruk, bahkan tujuannya untuk membantuku. Tetapi aku tidak bisa untuk tidak merasa sedikit tersinggung dengan sikapnya. Hal ini sedikit melukai harga diriku.

"Laras... Tante tahu, kamu pasti ngiranya Tante kayak gini cuma karena rasa hutang budi Tante ke Budhe. Tapi nggak, sayang. Tante juga tulus mau bantu Laras. Apalagi setelah kemarin lihat cara kerja kamu dan team, Tante semakin yakin untuk menawarkan kerjasama dengan Sanggar Kenanga."

"Apa?" Aku dan Argio nyaris bersuara bersamaan. Tampaknya yang tahu soal ini memang hanya Tante Ambar karena reaksi Argio yang tampak sangat terkejut mendengarnya. Untuk Pak Tegar sendiri sejujurnya aku tidak tahu karena reaksinya datar saja. Sepertinya ia hanya akan setuju apapun yang diinginkan istrinya.

"Ma, kenapa nggak bahas ini sama Juna dulu, sih?" Argio tampak protes. Ia seperti merasa tidak diikut sertakan soal rencana ini dan itu mungkin lagi-lagi melukai egonya. Sama seperti ketika Tante Ambar memaksa untuk menggunakan jasa WOku kemarin.

"Kamu sendiri senengnya sibuk sama bar kamu itu dibanding urus hotel ini, Juna! Nggak usah belagak peduli sekarang, selama ini title CEO kamu juga cuma numpang di papan aja nggak berfungsi!"

Tante Ambar bisa sangat menyeramkan saat mode serius. Jika aku menjadi Argio, mendengar kata-kata begitu sudah pasti membuatku menangis.

Argio bahkan kehilangan kata-kata untuk bisa membantah. Jadi pada akhirnya ia lagi-lagi hanya bisa setuju seperti kemarin.

"Tapi Tante gimana sama tuntutan yang diajukan ke Sanggar Kenanga?" tanyaku penasaran. Apa itu berarti Tante Ambar juga akan membantuku merebut kembali nama Sanggar Kenanga dari Haris?

"Nah soal itu, Tante sudah pikirkan. Gimana kalau Laras fulltime jadi in house WO di hotel kami saja? Jadi kantor dan team Laras juga ikut serta pindah ke sini. Laras dan team akan dapat gaji tetap dan benefit karyawan sama seperti yang lain, serta bonus persenan dari setiap fee event yang kami terima. Gimana?"

"Dengan kata lain... Sanggar Kenanga harus ditiadakan?"

Hening mendera. Hanya ada deruh mesin pendingin yang sayup dan terdengar juga musik yang terdengar samar dari pengeras suara di pojok ruangan.

"Secara teknis... Sanggar Kenanga menjadi bagian dari The Grand Lavish. Kita masih tetap bisa pakai nama Sanggar Kenanga untuk nama team Laras nanti."

Tapi Sanggar Kenanga tidak lagi menjadi usaha yang berdiri sendiri.

"Laras, maaf–"

"Menurut saya juga lebih baik begitu, Laras. Saya tahu mungkin melepaskan sesuatu yang berharga itu rasanya berat. Tetapi kamu dapat kesempatan yang lebih bagus, this is really a good opportunity for your business and career." Itu Pak Tegar yang akhirnya bicara. Ternyata ia juga mengetahui soal rencana Tante Ambar ini. "Kami juga akan lunasi hutang usaha kamu. Kamu dan team akan benar-benar mulai dari awal bersama kami."

Aku tahu itu. Acara kemarin bahkan sudah membuktikannya sendiri. Klienku bukan dari kalangan menengah hingga menengah ke bawah lagi tetapi justru kalangan atas. Aku tidak harus pusing mencari cara melunasi hutangku dan membayar gaji karyawan. Seluruh staffku bahkan bisa mendapatkan gaji yang jauh lebih layak dengan bonus yang juga tinggi. Jika aku setuju, aku bukan hanya menikmati berkat ini sendiri tetapi seluruh pegawai Sanggar Kenanga juga ikut merasakannya. Ini bahkan lebih dari sekadar cukup.

"Tapi Laras boleh pikir-pikir du–"

"Saya bersedia, Tante." Aku tidak boleh menjadi manusia yang tidak bersyukur. Meski itu berarti aku harus merelakan bisnis yang dibangun oleh mendiang ibu angkatku tetapi mungkin ini adalah jalan yang lebih baik yang Tuhan berikan untukku. Iya, kan?

Dan suatu hari nanti, saat aku sudah mengumpulkan cukup banyak uang mungkin aku bisa merebut lagi Sanggar Kenanga.

"Oh Laras! Tante senang sekali dengernya!" Tante Ambar bergeser dari kursinya lalu memelukku erat. Aku benar-benar harus bersyukur karena Tante Ambar sudah sebaik ini denganku. "Kalau gitu, klien pertama yang akan Laras handle nanti sebagai in house WO The Grand Lavish adalah tidak lain dan tidak bukan CEO Grand Lavish. Alias anak Tante satu-satunya, Juna!"

"WHAT???"


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro