Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. The Grand Lavish

Aku sudah siap untuk kabur ketika kamar hotelku diketuk. Seorang staff hotel membawakanku beberapa paperbag berisi pakaian, sepatu hingga make up. Semua itu terlalu proper dan lengkap untuk sesuatu yang dibeli mendadak.

Benar saja, sepatu dan bajunya kekecilan meski masih muat jika kugunakan. Lagipula aku tidak punya banyak pilihan karena dress yang kugunakan semalam akan tampak tidak sopan jika kugunakan hari ini untuk menemui Tante Ambar.

Iya, tidak salah. Tante Ambar. Seharusnya aku tidak terlalu terkejut ketika Argio memberitahuku bahwa ibunya akan menemuiku untuk makan siang sebelum ia pergi meninggalkan kamarku. Hotel ini milik suaminya, tidak mungkin Tante Ambar tidak tahu apa yang terjadi di hotel ini. Jadi mengetahui keberadaanku di sini bukan hal yang sulit. Entah itu dari mulut Argio atau informasi staff hotel.

Tadinya aku berniat kabur saja, tetapi setelah kupikir lagi, itu jelas tidak sopan. Apalagi Argio sudah sangat baik dengan mengurusku saat mabuk dan membawaku ke hotelnya. Aku tidak bisa membayangkan kalau semalam aku mabuk sendirian di club dan tidak bertemu dengannya.

Tapi kalau kupikir ulang, aku bahkan mungkin tidak akan mabuk kalau tidak bertemu dengan Argio kan?

Aku sudah bersiap diri jika Tante Ambar bertanya bagaimana caranya aku bisa di sini tetapi wanita itu bahkan tidak bertanya apapun selain keadaanku. Tante Ambar lebih sibuk memastikanku untuk makan semua menu yang ia perkenalkan sebagai best menu di hotelnya. Oh ya, Argio tidak ikut makan siang bersama kami jadi hanya ada aku dan Tante Ambar serta asistennya—Mbak Daisy—saat ini.

"Laras habis ini ikut Tante keliling hotel mau, ya?" tanyanya begitu makanan pencuci mulut dihidangkan sebagai penutup acara makan siang kami. Padahal aku sudah super kekenyangan, tetapi melihat cake cantik yang tersaji di depanku itu membuatku menelan ludah.

"Boleh Tante." Apalagi yang bisa kukatakan setelah seluruh makanan enak yang disajikannya untukku?

Setelah makan siang, Tante Ambar membawaku keliling hotel setinggi tiga puluh lantai itu. Sebenarnya selain interiornya yang cantik dan mewah, hotel ini sama saja seperti hotel bintang lima lainnya. Memiliki fasilitas lengkap dan restoran bintang lima serta bar yang terkenal. Tentu saja sebagai seorang wedding organizer, yang menarik perhatianku justru adalah ballroom yang biasanya disewa orang untuk acara pernikahan.

Sebenarnya ada dua venue yang bisa digunakan di sini. Yaitu di rooftop area untuk acara outdoor dan grand ballroom untuk acara indoor. Keduanya sama-sama memiliki nilai masing-masing.

Hari itu tampaknya sedang ada persiapan acara pernikahan di hotel. Tante Ambar juga sempat menyinggung hal tersebut saat makan siang tadi. Tidak bohong, hal itu membuatku penasaran dan ingin melihat langsung bagaimana persiapan pesta pernikahan di hotel bintang lima dilakukan. Tetapi tentu saja aku tidak enak untuk mengatakannya pada Tante Ambar—bagaimana kalau ia mengira aku sedang memata-matai atau apa?

"Tante seneng banget deh Laras waktu tahu Laras nginep di sini!" Tante Ambar merangkul bahuku sambil kami masih berjalan bersisian menyusuri area hotel melewati pintu ballroom yang memperlihatkan keadaan di dalam sana. "Sering-sering ya sayang, Laras pokoknya kalau mau nginep di sini bilang aja pokoknya pasti akan Tante sediakan kamarnya!"

Aku tidak tahu mengapa bisa ada orang sebaik Tante Ambar di dunia ini. Apa mungkin memang Tante Ambar adalah obat yang Tuhan kirimkan setelah aku harus menghadapi pengkhianatan Dania dan Haris?

"Terima kasih Tante..." Aku berusaha sekuat hati untuk menjawab Tante Ambar dengan suara yang tidak bergetar. Sejujurnya aku ingin sekali menangis karena semua perlakuan hangat dan perhatiannya benar-benar menyentuhku. "Tante juga kalau...kalau misal perlu bantuan Laras bisa hubungi Laras kapanpun ya." Aku tahu mungkin di telinga tante Laras ucapanku akan terdengar seperti basa-basi saja. Bantuan macam apa yang ia perlukan dari orang sepertiku memangnya? Tetapi meski begitu, aku benar-benar mengatakannya dengan tulus.

"Ohiya, kebetulan suami Tante juga lagi ada di sini hari ini. Kayaknya Juna juga lagi sama Papanya di kantor sekarang, Laras mau ya Tante kenalin ke si Om?"

Aku mengangguk sebagai jawaban tetapi tiba-tiba, suara tangisan histeris dari lobi hotel menarik perhatian kami. Aku melihat Tante Ambar menoleh, ekspresinya berubah serius. "Sebentar ya Laras." Tante Ambar lalu bergegas pergi menghampiri sumber keributan tersebut yang memang tak jauh dari kami. Aku memutuskan mengikuti Tante Ambar meski masih menjaga jarak. Hanya cukup untuk bisa mengetahui apa yang terjadi.

Suara tangisan itu semakin keras, aku melihat seorang wanita yang duduk di salah satu kursi lobi dengan wajah tertutup tangan. Di sekelilingnya, beberapa staff hotel berusaha menenangkannya.

Wanita itu terdengar sangat terpukul. Aku bisa mendengar potongan-potongan kalimat terputus yang diucapkannya di antara isak tangisnya, "Gimana bisa... persiapan baru empat puluh persen sedangkan acara pernikahannya besok!"

Tante Ambar mendekati staff hotelnya untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Setelah sedikit penjelasan, Tante Ambar bisa memahami situasinya lebih jelas. Wanita itu adalah calon pengantin yang terjebak dalam situasi yang sangat tidak menyenangkan. WO eksternal yang dia sewa telah melakukan penipuan, dan hanya sebagian kecil dari persiapan yang telah diselesaikan.

"Pantes aja saya curiga waktu technical meeting terakhir kemarin banyak sekali kejanggalannya! Tapi kami pihak keluarga mencoba percaya karena mereka itu bukan WO abal-abal, mereka WO besar yang bahkan sudah pernah kerja sama dengan beberapa artis!" Lelaki di samping wanita itu, yang sepertinya calon pengantin pria terlihat sama frustasinya. Tetapi ia mencoba lebih kuat agar calon istrinya tidak semakin terpuruk di sebelahnya.

Aku terkejut karena kupikir The Grand Lavish memilikki policy yang mewajibkan client yang ingin mengadakan pernikahan di sini untuk menggunakan in-house wedding organizer mereka. Tapi dari sini juga aku jadi tahu bahwa The Grand Lavish memang tidak menyediakan in house WO untuk yang mengadakan acara di sana.

Tante Ambar mengajak seorang lelaki berjas rapi bernama Pak Marcel yang kuduga adalah General Manager The Grand Lavish untuk berbicara dengan wanita itu dan keluarganya di ruangan. Mereka memastikan The Grand Lavish sebagai penyedia venue akan berusaha memberikan dukungan dan solusi.

"Tenang ya Bu, Pak, kami di sini lebih dari siap untuk membantu," kata Pak Marcel dengan lembut. "Mari kita lihat apa yang bisa kami lakukan untuk memperbaiki keadaan ini. Mari kita bicarakan lebih lanjut di ruang meeting." Pak Marcel lalu membimbing mereka ke ruang meeting yang terletak di lantai mezzanine hotel.

Tante Ambar sepertinya masih merasa khawatir dengan apa yang terjadi dengan calon mempelai tersebut. Terlihat dari ekspresinya yang masih tidak tenang meski staff hotelnya sudah berusaha dengan sigap menghandle masalah tersebut. Lagipula, secara teknis hal ini sebenarnya di luar tanggung jawab pihak hotel. Tetapi sebagai penyedia venue, The Grand Lavish tidak ingin lepas tangan begitu saja. Kepuasan client adalah yang utama bagi mereka.

Dari cerita singkat Tante Ambar, pada awal hotel ini dibangun, sang suami tidak terlalu ingin ikut campur dalam pengelolaannya. Setidaknya sampai beberapa tahun belakangan, sang suami mulai aktif sebagai dewan direksi. Tante Ambar dan Argio bahkan ikut ditunjuk untuk berpartisipasi dalam direksi. Itu juga alasan mereka akhirnya pindah ke Indonesia tahun ini agar bisa turut serta dalam pengelolaan hotel. Bahkan Argio secara resmi kini menempati posisi sebagai executive director hotel, atau mungkin bisa juga disebut CEO.

Kami sudah sampai di lantai tertinggi hotel. Yaitu lantai tiga puluh. Kupikir lantai ini akan diisi oleh kamar termahal di hotel ini, nyatanya lantai ini dijadikan sebagai lantai kantor khusus untuk eksekutif dan dewan direksi. Atau sederhananya, lantai ini adalah ruangan kantor untuk para direktur dan pemegang jabatan tinggi di hotel ini. Sedangkan lantai perkantoran administratif dan lain-lain adanya di lantai mezzanine.

Begitu keluar dari lift, aku langsung bisa melihat pemandangan kota Jakarta dari atas ketinggian bangunan tiga puluh lantai ini pada kaca besar yang memenuhi dinding. Cantik sekali meski sedikit menyeramkan. Aku belum pernah melihat pemandangan di bangunan setinggi ini.

Tante Ambar tiba-tiba menyentuh bahuku ketika aku masih sibuk terpukau dengan pemandangan gedung di luar sana. "Laras... gimana kalau Laras saja yang jadi WO pengganti untuk acara pernikahan client tadi?" tanyanya penuh harap.

"Maaf, maksudnya gimana Tante?" tanyaku memastikan karena khawatir kalau aku baru saja salah dengar.

"Iya, Nak, aduh maaf ini Tante kedengerannya nggak sopan minta tolongnya dadakan. Tapi dipikir-pikir daripada cari WO lain yang belum tentu avail karena dadakan gini, kenapa nggak Laras aja?" Tante Ambar terdengar sangat bersemangat. Tetapi kemudian ia tersadar. "Eh tapi ini kalau memang Laras bersedia aja, karena kalau dipikir-pikir ini tugasnya berat banget karena cuma ada waktu satu hari untuk siapin."

Oh andai Tante Ambar tahu kalau Sanggar Kenanga bahkan sudah sering tiba-tiba dipaksa untuk menjadi Bandung Bondowoso yang diminta Roro Jonggrang membangun candi dalam semalam.

Di tengah kesulitan yang sedang kualami ditambah kemungkinan Sanggar Kenanga yang bisa ditutup kapan saja karena tuntutan Haris dan Dania, tidak mungkin aku menolak tawaran Tante Ambar saat ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro