5. Another day another problem
"Aku nggak punya uang sebanyak itu."
Mia mengusap punggungku. Kepalaku benar-benar ingin pecah sekarang. "Apa nggak ada cara yang bisa ngebuktiin kalau Sanggar Kenanga ini sejak awal milik Mbak Laras, Pak?"
Pak Andi, kuasa hukum yang kumintai tolong untuk membantuku terlihat membaca lembaran kertas di hadapannya sekali lagi. "Kalaupun bisa, susah sekali Bu Laras, Mbak Mia. Prosesnya akan sangat panjang dan seperti yang sudah saya beritahu tadi, akan sangat memakan biaya." Aku ingin sekali memukul kepalaku sendiri setiap kali Pak Andi membahas itu. Kebodohanku kali ini benar-benar sudah di luar nalar.
Sejak awal sanggar kenanga hanyalah sanggar kecil di pinggiran kota yang dibangun ibu angkatku sejak zaman dulu. Ibuku sudah tua untuk mengerti bagaimana cara mengurus perizinan usaha dan lain-lainnya jadi saat itu tentu saja memikirkan untuk mematenkan nama usaha tidak ada di pikirannya.
Semua itu, termasuk perizinan dan hak merek dagang atas nama Sanggar Kenanga baru kuurus ketika aku mengembangkan Sanggar Kenanga dengan lebih serius setelah ibu meninggal. Dan dalam prosesnya, aku mempercayakan Haris yang saat itu memang memiliki kenalan yang mengerti soal pengurusan hal-hal seperti itu.
Aku tidak pernah tahu bahwa sejak awal nama Haris yang terdaftar di sana sebagai pemiliknya dan memberiku versi dokumen palsu. Dan kini, semua itu menjadi boomerang untukku karena lelaki itu dengan liciknya berusaha menggugatku dan berusaha merebut nama Sanggar Kenanga untuk usaha wedding organizernya bersama Dania.
"Terus kalau saya nggak bisa bayar tuntutan mereka, apa saya akan masuk penjara, Pak?"
"Untuk saat ini mereka hanya melakukan tuntutan perdata ke Bu Laras, jadi memang tujuan mereka itu uang atau penutupan usaha milik Bu Laras. Tapi nggak menutup kemungkinan hal ini dibawa ke jalur pidana dan paling tidak hukumannya lima tahun penjara atau denda dua miliar."
"Jadi kalau nggak bisa bayar ganti rugi lima miliar ke mereka, either Sanggar Kenanga harus tutup atau kemungkinan Mbak Laras masuk penjara dan bayar dua miliar ke pengadilan?"
Tubuhku gemetar hebat. Suara Mia dan Pak Andi yang berdiskusi mulai samar di telingaku. Segala asset yang kumiliki sekarang bahkan masih tidak bisa menutup uang tuntutan yang diminta Haris dan Dania. Itu berarti aku harus rela kehilangan Sanggar Kenanga?
"Mbak Laras..."
Aku tersadar dari lamunanku begitu Mia mencoba menggoyang tubuhku. "Pak kalau gitu kami pamit dulu, nanti kami akan ke sini lagi saya...saya mau coba pikirkan dulu langkah selanjutnya."
Pak Andi menatapku iba. Tetapi tidak banyak juga yang bisa dia lakukan karena secara hukum pun posisi kami sudah lemah sejak awal. Dan semua ini karena kebodohanku sendiri.
Mia tidak banyak bicara selama perjalanan kami dari kantor Pak Andi kembali ke kantor Sanggar Kenanga. Mungkin ia sudah terlalu kasihan kepada nasibku yang benar-benar diterpa kemalangan tiada henti beberapa bulan belakangan ini.
"Loh Mbak, ini kan jalanan ke arah kostan Mia? Kita nggak balik ke kantor?" tanyanya begitu mobilku tidak berbelok ke arah seharusnya.
"Iya Mia, kamu pulang aja ya. Udah jam segini juga, nanti aku suruh Dian tutup kantor lebih awal. Toh hari ini juga nggak ada meeting sama klien kan. Aku capek, mau istirahat."
"Mbak main ke kostanku dulu yuk kalau gitu, kita makan malem bareng. Deket kostanku ada angkringan enak loh Mbak!" Sepertinya Mia khawatir meninggalkanku sendirian di saat seperti ini. Aku tersenyum mendengar betapa perhatiannya karyawan yang sudah kuanggap adikku ini. Di tengah rasa trust issues yang kurasakan, aku bersyukur memiliki Mia. Tetapi aku lebih butuh waktu untuk sendiri saat ini.
"Next time ya Mi, Mbak beneran capek banget hari ini."
Mia tampak ingin mendebat tapi akhirnya ia hanya mengangguk pasrah. Lalu aku menurunkan Mia di depan gang kostannya agar aku tidak perlu repot putar balik nantinya.
"Mbak, kalau butuh apa-apa please telfon Mia. Nggak apa-apa nggak usah diitung lembur."
Aku tertawa. Mia selalu punya cara untuk menghiburku dengan ucapannya yang asal itu. "Iya Mia, aku pulang dulu ya!"
"Iya Mbak Laras, hati-hati ya!"
***
Tidak seperti ucapanku tadi yang mengatakan ingin pulang, mobilku malah sudah bersatu dengan mobil-mobil lainnya memadati jalanan ibukota. Sebuah kesalahan karena aku memutuskan menjalankan mobilku ke jalanan utama ibukota di jam pulang kantor. Alhasil, aku harus terjebak dalam kemacetan yang entah sampai kapan ini. Aku bahkan tidak punya tujuan.
Aku memang mengatakan ingin sendirian. Tetapi tidak benar-benar sendiri secara harfiah. Menyendiri di rumah saat ini hanya akan membuatku lebih terpuruk. Aku butuh sendirian di tengah keramaian agar setidaknya aku tidak berpikiran untuk melakukan hal-hal berbahaya.
Aku benar-benar menjalankan mobilku tanpa arah pasti. Kalau aku ingin belok maka aku berbelok. Jika aku ingin lurus maka aku lurus. Sampai akhirnya mobilku berbelok di salah satu pusat perbelanjaan besar di Jakarta Barat karena perutku mulai meronta minta diisi.
Aku bahkan tidak tahu kapan terakhir kali menyentuh makanan hari ini. Atau belum sama sekali?
Meski weekday, pusat perbelanjaan yang kudatangi itu tetap ramai. Mungkin karena gedung ini jadi satu dengan gedung perkantoran juga jadi banyak orang yang berkunjung sepulang kerja. Entah untuk refreshing atau cari makan malam.
Aku memutuskan langsung mencari tempat makan dan memilih sebuah restoran steak untuk makan malamku. Aku tidak peduli ketika menghabiskan hampir tiga ratus ribu hanya untuk makan malam. Entah mengapa, rasanya malam itu aku benar-benar ingin menghabiskan seluruh uangku.
Rasanya seperti ingin menghabiskan sisa-sisa terakhir hidup dengan bersenang-senang.
Setelah makan malam, aku memutuskan berkeliling. Aku baru sadar bahwa selama ini aku hampir tidak pernah menghamburkan uangku untuk senang-senang. Penghasilanku terbagi untuk kebutuhan hidup, membayar gaji karyawanku, membayar cicilan hutang usaha, membiayai Haris (iya, secara teknis selama Haris menganggur akulah yang membiayainya) dan... menabung untuk pernikahan.
Ah, aku baru ingat aku punya tabungan pernikahan!
Aku tidak ingat berapa jumlahnya saat ini. Mungkin sekitar lima ratu atau enam ratus juta? Untungnya tabungan itu kubuat di luar pengetahuan Haris. Tapi tetap saja tabungan itu tidak akan cukup untuk menutupi uang tuntutan Haris. Bahkan jika sudah digabung dengan menjual seluruh hartaku seperti rumah dan mobil.
Ah sial. Mengingat mereka membuat perasaanku kembali buruk. Aku memutuskan masuk ke salah satu toko pakaian branded yang bahkan selama ini tidak pernah kulirik setiap kali ke mall. Sepertinya aku benar-benar mulai kehilangan kewarasanku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro