Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4. Jawaban Doa Orang Tersakiti

a/n: Teman-teman seperti yang kalian tahu aku sudah lama banget vakum dari wattpad jadi bisa dibilang ini kayak awal mula yang baru lagi untukku. Jadi, kalau boleh aku mau minta tolong untuk kalian tinggalkan commentar kalian di setiap partnya ya biar aku semangat nulis cerita ini sampai selesai<3 

*

*

*

"Kamu pasti nggak ingat Tante, ya? Tapi kita pernah ketemu beberapa kali waktu kamu baru banget diadopsi sama Budhe Naning." Wanita yang memperkenalkan dirinya sebagai Tante Ambar itu kemudian menceritakan siapa dia dan bagaimana dia mengenalku.

Kesimpulannya, Tante Ambar adalah kenalan lama mendiang ibuku. Mereka dekat seperti keluarga tetapi sekitar setahun setelah aku diadopsi, Tante Ambar ikut suaminya untuk pindah ke Australia. Ia baru kembali lagi ke Indonesia sekitar tiga bulan lalu dan kali ini ia dan keluarganya akan menetap kembali di sini for good. Setelah segala urusan kepindahan selesai, ia mulai mencari tahu tentang keberadaan orang tua angkatku. Sampai kemudian ia mengetahui bahwa kedua orang tua angkatku sudah lama meninggal.

"Budhe sama Pakdhe itu orang baik." Tante Ambar berkaca-kaca setiap membahas Ibu dan Bapak. "Dulu, Tante hampir nggak bisa selesain kuliah Tante. Keluarga Tante waktu itu sedang dilanda kesulitan ekonomi, kami pindah dari komplek rumah elite ke rumah di sebelah rumah Budhe dan Pakdhe. Orang tua Tante dua-duanya kerja banting tulang, tapi Tante punya tiga adik yang masih kecil-kecil jadi Tante nggak bisa kasih tahu orang tua Tante soal kebutuhan kuliah Tante termasuk uang semesteran. Akhirnya Budhe sama Pakdhe yang bantu bayarin uang semesteran kuliah tante, bahkan mereka suka kasih uang jajan ke tante."

Tante Ambar juga menceritakan bagaimana Budhe dan Pakdhe terkadang ikut merawatnya seperti anak sendiri. Setelah lulus dan bekerja, Tante Ambar jadi jarang bertemu karena merantau ke kota lain. Dan karena pada saat itu alat komunikasi juga belum secanggih sekarang, komunikasi mereka hanya bisa dilakukan sesekali dalam beberapa bulan. Tetapi meski begitu, Tante Ambar tidak pernah melupakan kebaikan Ibu dan Bapak dan akan selalu menganggap mereka seperti orang tua sendiri.

Ketika Ibu dan Bapak mengadopsiku, Tante Ambar adalah orang yang pertama tahu meski hanya dikabari lewat telpon. Baru saat lebaran, tepatnya beberapa bulan setelah aku diadopsi, Tante Ambar bertemu denganku. Tetapi aku masih kecil dan ingatanku soal Tante Ambar nyaris tidak ada. Tapi dari bagaimana dia bercerita, aku tahu bahwa Tante Ambar memang benar-benar menganggap orang tuaku adalah keluarganya.

Karena setelah mengetahui orang tuaku meninggal, sebenarnya ia tidak perlu repot-repot mencari dan menemuiku. Apalagi aku hanyalah anak angkat Ibu dan Bapak. Tetapi ia tetap ada di sini, menemuiku bahkan memelukku dengan hangat.

"It must be so hard for you, kamu sendirian beberapa tahun belakangan ini ya nak?" Tante Ambar mengusap kepalaku. Sejak kematian Ibu, aku tidak pernah lagi merasakan perhatian dan kasih sayang dari sosok keibuan seperti ini. Aku pikir karena aku sudah terbiasa karena sudah yatim piatu sejak kecil, aku tidak akan merindukan bagaimana rasanya disayangi oleh sosok ibu. Ketika Ibu meninggal, aku menyibukkan diri dengan kerja, kerja dan kerja hingga rasa kesedihan dan kesepianku terlupakan. Tetapi ketika Tante Ambar tiba-tiba datang di hadapanku, seluruh perasaan yang kupendam itu tiba-tiba tumpah ruah tanpa bisa kukendalikan.

Air mataku menetes. Bahkan aku tidak menangis ketika pengkhianatan Dania dan Haris kemarin. Tetapi kini, semua sakit di dadaku seperti dipaksa untuk naik ke permukaan dan air mataku mengalir dengan derasnya tanpa bisa kukendalikan.

"Oh sayang, here...here..." Tante Ambar membawaku ke pelukannya dan aku tidak tahu berapa lama kami menangis setelah itu. Yang kuingat hanyalah baju Tante Ambar yang basah oleh air mataku dan bajuku yang basah oleh air matanya. Lalu setelah kami puas menangis, kami tertawa melihat mata kami yang sama-sama sembab dan hidung memerah.

Aku tidak ingat kapan aku merasa selega ini sebelumnya.

***

TIIN TIIN!

"Pokoknya kalau ada apa-apa Laras telfon Tante, ya?" Tante Ambar meremas tanganku entah untuk keberapa kalinya hari itu. Ia juga sudah mengulangi kalimat yang sama tentang aku yang harus menghubunginya jika butuh sesuatu. "Apapun itu akan Tante bantu, Laras juga udah Tante anggap seperti keluarga sendiri. Nggak boleh sungkan, oke?"

Aku tersenyum. Tentu saja meski Tante Ambar sudah sebaik dan setulus itu, aku tidak benar-benar bisa melakukannya. Sepertinya tanpa sadar perlakuan Dania dan Haris membawa trauma yang tak kusadari mempengaruhi diriku terutama rasa percayaku terhadap orang lain. Apalagi hitungannya Tante Ambar hanyalah kenalan mendiang orang tua angkatku. Ada hak apa aku untuk merepotkannya?

TIIN TIIN!

"Astaga anak itu!" Tante Ambar geleng-geleng kepala saat sekali lagi suara klakson nyari itu berbunyi nyaring. Sejak tadi memang anak lelaki Tante Ambar—si pengemudi Lamborghini yang sempat kusumpahi di jalan tadi membunyikan klakson untuk memanggil ibunya. Benar-benar kurang ajar. "Laras sering-sering telfon atau chat Tante, ya! Nanti kapan-kapan Tante ke sini lagi, atau Laras yang main ke tempat Tante!" Lalu Tante Laras mencium kedua pipiku sebelum kami berpisah.

Aku mengantar Tante Ambar sampai ke mobilnya karena ia menggandeng tanganku dengan erat. Ohiya, Tante Ambar hanya punya satu anak dan itu laki-laki, itu sebabnya ia bersikap seperti itu padaku karena sepertinya beliau memang ingin sekali punya anak perempuan.

"Juna kamu tuh kenapa nggak sabaran banget, sih! Mama kan masih pengin ngobrol, tahu!" Tante Ambar mengomel setelah aku membantunya membuka pintu mobil. "Ohiya ini kenalan dulu sama Laras, keluar sini kamu!"

Aku tersentak saat Tante Ambar tidak langsung masuk ke mobil dan justru memaksa anaknya untuk keluar dari sana untuk kenalan denganku. Dari bagaimana sikap lelaki itu sejak tadi, baik saat kebut-kebutan di jalan sebelum ke sini sampai menglaksoni ibunya sendiri membuatku punya impresi kurang baik dengannya. Ditambah aku bisa mendengar decakan sebal dari dalam mobil dan itu membuatku semakin tidak ingin berkenalan dengannya.

"Juna!"

"Iya-iya Mam, astaga sebentar matiin mobil dulu!"

Aku sudah akan memberitahu Tante Ambar kalau itu tidak perlu atau lebih tepatnya aku tidak mau, tetapi lelaki bernama 'Juna' itu sudah lebih dulu mematikan mesin mobil dan membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana.

Lelaki tampan dengan setelan kemeja Thom Browne keluar dari balik kemudi. Ia menggunakan kacamata hitam yang disampirkan ke atas kepalanya memperlihatkan jidatnya yang membuatnya terlihat...tampan. Ok, aku sudah memuji lelaki ini tampan dua kali.

"And stop calling me Juna di depan stranger Mam," katanya kepada Tante Ambar sebelum beralih kepadaku dan mengulurkan tangan. "Argio." Berkebalikan dengan wajah tampannya, sifatnya kurang menyenangkan. Ia bahkan terang-terangan melemparkan ekspresi 'malas' padaku ketika kami berhadapan seolah ia menegaskan bahwa ia terpaksa melakukan perkenalan ini. MEMANGNYA AKU TIDAK?

Aku menahan diri untuk tidak memutar mata. Aku menerima uluran tangannya meski hanya sekitar dua detik saja. "Laras," kataku sambil tersenyum. Kalau tidak ingat bagaimana Tante Ambar sangat baik dan ramah padaku, aku ingin membalas sikap seenaknya lelaki di depanku ini dengan cara yang sama. Tapi tentu saja tidak kulakukan.

"Udah kan, Mam? Yuk pulang, aku masih ada urusan habis ini." Dia bahkan tidak membalas senyumanku. Apa benar dia anak Tante Ambar?

Tante Ambar yang menyadari itu sepertinya mulai merasa malu dengan kelakuan anaknya yang jauh dari kata sopan. Aku bisa melihat bagaimana beliau menahan diri untuk tidak mengomeli anaknya di hadapanku.

"Benar-benar deh anak ini." Tante Ambar lalu menatapku dan meminta maaf yang jelas membuatku jadi merasa tidak enak. Bukan salahnya kalau anaknya yang usianya bahkan mungkin seusiaku atau lebih tua itu berkelakuan tidak sopan. Umur segitu bukan lagi umur untuk diajari sopan santun. "Ohiya Laras, gimana kalau kita makan siang bareng aja? Laras sudah makan belum?"

Nasi padang yang kubeli bahkan masih tergeletak begitu saja di atas meja di kantorku belum tersentuh karena kedatangan Tante Ambar. Tapi aku tidak bisa mengatakannya karena aku jujur saja tidak ingin menerima tawarannya tersebut mengingat ekspresi tidak ramah lelaki bernama Argio—Juna atau siapalah itu tadi.

"Ud—"

"Mam, kalau pun ikut kita makan siang dia mau duduk di mana coba? Mobilku cuma 2 seats, kecuali dia mau aku pangku it's okay."

"JUNA!" Tante Ambar langsung memandangku lagi setelah memelototi anaknya. "Laras maaf ya..."

Aku berkedip. Tidak menyangka lelaki itu bukan hanya tidak sopan tapi juga menyebalkan. Tetapi buru-buru aku mengatur ekspresiku. "Tante, it's okay, lagipula Laras sudah makan siang kok dan sebentar lagi juga ada janji sama client. Nanti kapan-kapan aja ya kita makan siang bareng."

Tante Ambar meremas tanganku sekali lagi. "Bener ya sayang ya, Tante tunggu ya nak!"

Aku tersenyum lagi sambil mengangguk. Baru saja ingin membalas ucapanku lebih dulu dipotong lagi oleh lelaki menyebalkan itu. "Mam, ayo buruan, pacarku udah nungguin nih!"

"Iya sudah dasar bawel, sana nyalain mobilnya!"

Tante Ambar berpamitan lagi padaku entah untuk keberapa kalinya dan kami pun akhirnya benar-benar berpisah.

Akhirnya.

Ketika masuk kembali ke kantor aku disambut teriakan Mia. "MBAK LARASSSS!" Mia setengah melompat-lompat membuatku mengernyit. Sejak kehadiran Tante Ambar tadi ia memang sangat bersemangat entah karena apa.

"Apasih Mi, ohiya nasi padangku mana ya?"

"Udah kutaruh pantry, keburu dingin—ah bentar aku bukan mau bahas itu, Mbak!" Katanya sambil mengekoriku yang berjalan ke arah pantry. Perutku sudah keroncongan sekarang. "Mbak kok nggak bilang kalau kenal sama Bu Ambar Pradana?"

"Apa sih, ya aku kan juga baru tahu kalau Ibuku punya kenalan dekat begitu. Lagian dia baru balik ke Indonesia tiga bulan lalu, mana kutahu."

"BUKAN ITU MBAK!" Mia nyaris membuat piring yang kupegang jatuh saking kerasnya ia bicara. "Mbak sadar nggak sih itu dia siapa?" tanya Mia mulai gregetan karena sikapku sejak tadi membahas Tante Ambar benar-benar biasa saja.

"Siapa?"

"Oh demi Tuhan!" Mia mengeluarkan ponselnya dan mengetikkan sesuatu selagi aku membuka nasi padangku di atas piring. Semua bumbu dan kuah sudah menyerap ke dalam nasiku yang sudah tercampur warnanya. Nyum! "INI MBAK INIII!"

Di layar ponsel Mia menunjukkan foto Tante Ambar bersama lelaki menyebalkan bernama Argio siapalah itu tadi dan seorang lelaki gagah berjas yang kuduga besar adalah suaminya. Aku masih tidak mengerti maksud Mia sampai Mia menunjuk besar-besar wajah suami Tante Ambar.

"Iya cakep sih," jawabku asal karena sebenarnya aku tidak tahu reaksi seperti apa yang Mia harapkan dariku dengan menunjukkan wajah suami Tante Ambar.

"Mbak, ini tuh keluarga Pradana! Keluarga Pradana Mbak Laras! Yang punya The Grand Lavish!"

Grand Lavish adalah hotel luxury bintang lima di Jakarta yang merupakan Impian banyak orang untuk menjadi wedding venue mereka karena design interior ballroom mereka yang terkenal cantiknya. Bukan hanya cantik, tetapi harganya juga selangit karena Grand Lavish menjadi venue favorite mereka yang berada di kalangan atas dan juga selebriti.

Aku bukannya tidak tahu menahu soal Grand Lavish. Sebagai seorang yang berkutat dengan wedding organizer tentu aku tahu mengenai beberapa harga-harga sewa ballroom hotel karena kebutuhan survey untuk klienku. Tetapi tentu saja Grand Lavish berada di luar budget klienku yang kebanyakan hanya kaum middle class. Kalaupun tahu harga-harga venue hotel mewah, itu karena aku tidak sengaja membacanya di internet bukan karena benar-benar pernah bekerja sama dengan mereka.

Aku tidak menyangka kalau mendiang orang tua angkatku punya hubungan dekat dengan pemilik salah satu hotel termahal di Indonesia. Tetapi aku lebih tidak menyangka lagi kalau orang seperti Tante Ambar bahkan masih mau repot-repot menemuiku hanya karena rasa balas budinya di masa lalu kepada orang tuaku. Tante Ambar pasti benar-benar orang baik.

"Mbak, ini mungkin jawaban dari Tuhan dari doa orang tersakiti!"

Aku terbatuk. Tersedak nasi padang yang sedang kukunyah karena ucapan Mia barusan. Sambil menepuk-nepuk dadaku aku menunjuk ke arah dispenser meminta Mia mengambilkanku air minum.

Mia malah tertawa karena reaksiku tetapi ia segera mengambilkan air sesuai perintahku.

Setelah lebih tenang dan yakin sudah tidak tersedak lagi, aku meneguk air minum yang Mia berikan. "Apaan sih kamu ngomongnya tiba-tiba. Jawaban dari Tuhan apa maksud kamu?"

"Mbak, think about it! Kita bisa minta tolong kerja sama dengan Bu Ambar untuk pakai jasa Sanggar Kenanga untuk pernikahan di hotelnya. Gila, bukan cuma bersihin brand image kita tapi juga bikin Mbak Dan—maksudku mereka kepanasan!"

"Kamu nggak usah ngaco, Mia, ini yang lagi kita omongin tuh The Grand Lavish! Bukan hotel bintang tiga tanpa nama yang tempat parkirnya aja nggak jelas, tapi Grand Lavish! Ke sana buat nginap aja aku nggak pernah apalagi membayangkan Sanggar Kenanga kerja sama dengan mereka. Kayak bumi sama langit."

Mia menggeleng-geleng tidak setuju. "Nggak ada yang nggak mungkin kalau ada orang dalem! Ini orang dalemnya bukan sekadar orang dalem biasa, istri pemilik hotelnya! Mbak, ini tuh beneran jawaban dari orang tersakiti tahu!" Aku tidak tahu harus memukul kepala Mia atau menjewernya. Tetapi aku memutuskan untuk mengabaikan ocehannya mengenai hal tidak masuk akal tersebut dan melanjutkan kegiatan makanku.

Ting!

Ponselku berdenting. Sebuah pesan singkat masuk dari nomor yang tidak kukenal. Pesan itu masuknya ke nomor bisnisku yang memang kugunakan untuk kebutuhan kerja. Jadi kupikir pesan itu datangnya dari klien atau rekan bisnisku yang berganti nomor.

Jantungku seolah jatuh ke perut ketika melihat isi pesan tersebut. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro