36. A Dream's Deception
a/n: hellooo, part ini pendek tapi kalau mau versi panjang dan joyoknya bisa ke additional partnya langsung ya. Fyi, Argio di versi additional hot mampus wkwkwkwkw. Enjoy!
*
*
*
Ciuman Argio yang semula kasar perlahan ikut melembut seiring pegangannya pada tanganku juga ikut merenggang. Hingga akhirnya tanganku bisa kembali turun sempurna, aku bisa merasakan bibir Argio hanya menempel saja pada bibirku tanpa melakukan apapun.
Napasnya terengah–panas menyentuh wajahku. Terdengar berat tetapi bukan oleh nafsu melainkan emosi. Aku tidak tahu Argio adalah orang yang seemosional ini. Bahkan saat aku ngambek tidak jelas padanya waktu kami di Phuket, lelaki itu masih bersabar meski akhirnya ia sempat ikut ngambek–tetapi dia tidak benar-benar marah.
Marah dalam artian emosi sampai aku untuk sejenak merasa takut padanya.
Argio tiba-tiba saja membalik badanku dan mendorongku hingga memepet ke tembok.
"Why are you laughing with him? What are you guys talking about? Is that funny?" tanya Argio serak. Aku tidak tahu lagi kini Argio sedang marah atau terangsang. Yang jelas suara dan tindakannya menguarkan aura dominan dan alpha yang sangat kuat. Entah mengapa itu membuatku hanya bisa diam dan menurut pada apa yang dilakukannya.
Dan yang terjadi selanjutnya, aku hanya bisa pasrah pada apapun yang ingin Argio lakukan padaku. Semuanya terjadi begitu saja. Aku membiarkan Argio menumpak sisa emosinya dalam setiap hentakan dan sentuhannya pada tubuhku.
Permainan kami kali ini benar-benar sesuatu yang baru untukku. Bukan hanya karena dilakukan setelah kami bertengkar (lebih tepatnya Argio yang marah padaku) tetapi juga karena kami bahkan tidak repot-repot pergi ke kamar untuk melakukannya. Tapi kami berdiri, di depan pintu. Ditambah, Argio bermain lebih kasar dibanding biasanya dan berbagai kata-katanya yang terdengar penuh dominasi membuat kepalaku lebih pusing dibanding biasanya.
Tidak lama kemudian, geraman Argio terdengar. Kali ini panjang–pertanda bahwa Argio sudah keluar. Aku bisa merasakan sesuatu yang hangat menyemprot di dalam milikku bergabung bersama milikku yang juga sama panasnya.
Shit. Ini adalah rasa yang berbeda dibanding sebelumnya. Mungkin karena ini pertama kalinya Argio menyetubuhiku tanpa kondom? Entahlah.
Kami sama-sama terengah dan kakiku lemas seperti jelly. Setengah menggeret langkah, kami buru-buru menjatuhkan tubuh kami di atas sofa terdekat.
Sepersekian menit kami mengatur napas masing-masing dan juga adrenaline rush yang baru menyerang kami. Menikmati euphoria pasca orgasme sedikit lebih lama sambil menstabilkan napas dan mengumpulkan tenaga. Tiba-tiba aku merasakan Argio menjatuhkan wajahnya di atas bahuku dan memelukku dari samping. Wajahnya terbenam di ceruk leherku. Napasnya hangat.
Tanganku terangkat dan kini menyentuh pipinya. Kujauhkan sedikit wajahku dan memberikan jarak di antara kami. Aku bisa melihat betapa merahnya wajah dan telinga Argio. Ternyata wajah dan telinga suamiku itu akan memerah bukan hanya saat ia sedang malu.
"Gi?" Aku memberanikan diri memanggilnya namun Argio masih terlihat memejamkan mata. "Argio?" Panggilku lagi kali ini dengan lebih meyakinkan dan akhirnya Argio membuka matanya dan menatapku.
Tatapannya masih tajam–galak, menembus relung jiwaku rasanya. Tetapi aku memberanikan diri menatapnya balik karena aku dengan sangat yakin tidak merasa bersalah sama sekali saat ini.
"Kamu kenapa?" tanyaku pada akhirnya. Pertanyaan ini bukan hanya soal kenapa ia menyerangku secara sedikit kasar dan brutal tidak seperti biasanya tetapi juga kenapa ia tiba-tiba marah hari ini. Aku tahu Argio marah karena aku tidak mengangkat telfonnya tadi dan pergi dari kamar sebelum menunggunya bangun. Tetapi bukankah semua itu berlebihan untuk sampai semarah itu?
"Kamu selingkuh," cicitnya dengan suara pelan.
"Hah?"
"Selingkuh," ulang Argio lagi kali ini lebih kencang. "Kamu selingkuh sama Nico!"
"Hah?" Aku bukannya tidak dengar. Tetapi aku justru heran sampai nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Selingkuh? Aku? Sama Nico? Kamu nih ngomong apa, sih?"
"Di mimpiku kamu selingkuh, Ras. And I hate it. I hate it so much!" Kali ini Argio terdengar frustasi. "Iya tahu ini childish banget, tapi semalem tuh aku inget kamu bilang kamu suka Nico! Terus saking kesalnya aku kebawa mimpi dan di mimpi kamu selingkuh sama Nico! Ya sebenernya di mimpiku cowoknya nggak jelas kelihatan mukanya, tapi karena sebelumnya aku lagi sebel pas kamu bilang suka Nico jadi aku asumsiin itu Nico! Terus pas bangun tidur kamu nggak ada, aku telfon nggak diangkat jadi feeling pertamaku aku harus ke kamar Nico sama Kanaya buat ngecek apa di sana ada Nico. Dan jantungku beneran mau copot pas Kanaya bilang Nico nggak di kamar. Kalian hilang jadi–"
"Jadi kamu mikirnya aku lagi selingkuh sama Nico?"
"Ya enggaklah! Aku tahu kamu nggak kayak gitu, tapi aku cuma sebel sama mimpiku jadi meski tahu kamu nggak selingkuh aku tetep kesel aja! Udah gitu telfonku pakai nggak diangkat segala, makin sebel lah aku!"
Aku sampai memijat pelipis saking tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Apa Argio sadar apa yang sedang dikatakannya? Kelakuannya bukan hanya childish tapi jelas-jelas konyol!
"Jadi kamu nyium aku kayak orang gila tadi cuma karena cemburu soal mimpi?"
"Ya enggak sih, tadi tiba-tiba pengen cium kamu aja soalnya sange. Terus sekalian lagi kesel juga dikit–ternyata aku baru tahu kalau emosi di ubun-ubun tuh bisa ngaruh ke libido juga, ya?"
Aku makin menganga mendengar penuturannya yang makin nggak jelas.
"Maaf ya tadi aku mainnya kasar, ya?" Argio tiba-tiba mengelus pipiku. Jempolnya kemudian mengusap bibirku yang masih bengkak akibat ciuman brutalnya tadi. "Berdarah nggak bibirnya? Ngilu nggak itunya?"
Aku terkadang tidak mengerti dengan perubahan mood Argio yang sangat cepat itu. "Nggak, cuma kaget aja. Aku nggak pernah ngerasain yang kayak gitu."
"Iyalah, kamu kan perawan sebelum sama aku. Mau ngerasain di mana–aduh! Seneng banget mukulin aku kamu tuh, Ras!" Argio mengaduh ketika aku memukul bahunya.
"Bukan gitu!" Aku menghela napas. "Ya maksudku, dari kemarin kan kamu mainnya lembut...nggak kayak tadi. Kalaupun agak cepet dan keras itu cuma kalau udah mau sampe aja, tapi nggak kasar dari awal sampai ngomong aneh."
Argio mengernyit mendengar penjelasanku. "Aneh? Aneh gima–ohalah!" Ia kemudian tertawa dengan keras membuatku gantian mengernyit. Apanya sih yang lucu? "Itu tuh nggak aneh, sayang, itu namanya roleplay. Aku cuma mainin sedikit sub-dominant play gitu, to spice things up, maaf kamu pasti kaget, ya? Habis tadi aku lagi emosi banget jadi kebawa suasana."
Sub-dominant play? What the hell was that?
Tiba-tiba Argio mendekatkan dirinya kembali padaku dan memelukku sebelum kemudian menjatuhkan ciuman di dahiku. "Maaf ya aku bikin kamu kaget, maaf kalau tadi aku nggak sengaja terlalu kasar. I never meant to hurt you, maaf juga aku emosi berlebihan tadi. Aku mungkin nggak pernah bahas ini sebelumnya karena aku nggak mau dikira belum move on, tapi aku juga nggak bisa ngelak kalau masa laluku sama dia mempengaruhi aku dalam beberapa hal. Salah satunya soal kepercayaan. She cheated on me, once, memang sih kondisinya kami lagi break waktu itu jadi aku juga nggak bisa marah. Tapi dengan kondisi kami yang memang sudah sering on-off, aku tetep ngerasa itu selingkuh. Jadi, ya gitu, aku agaknya jadi sensitif soal perselingkuhan."
Aku diam mendengarkan Argio menyelesaikan ceritanya. Ini pertama kalinya Argio mau membahas soal Silvania dan masa lalu mereka di depanku. Aku masih ingat bagaimana marahnya Argio waktu acara resepsi saat tahu aku ingin menggunakan gaun yang harusnya jadi milik Silvania. Semenjak pernikahan mereka batal, seperti ada peraturan tak tertulis di mana soal Silvania menjadi hal terlarang untuk dibicarakan di depan Argio. Jadi, aku terkejut ketika mendengar Argio mulai membahas Silvania lagi saat ini.
Apakah aku cemburu atau merasa tidak nyaman? Entahlah. Tetapi dibanding dua perasaan itu, aku lebih merasa simpati pada Argio sekarang. Ternyata, di balik sikapnya yang terlihat kuat dan santai selama ini Argio juga menyimpan luka. Aku sempat berpikir bagaimana seorang lelaki bisa begitu mudahnya move on dari hubungan bertahun-tahun begitu saja. Antara ia memang mudah pindah hati atau karena dia hanya pura-pura saja. Aku menebak Argio adalah yang kedua. Karena aku tidak yakin kalau Argio mudah pindah hati karena di balik sikap iseng dan tengilnya dan juga auranya yang berkesan playboy, Argio aslinya sangat setia.
Aku juga tidak yakin Argio bisa berpindah hati secepat itu dari Silvania ke aku. Tidak mungkin. Karena jika dibandingkan kami jelas sangat-sangat berbeda. Dari segi fisik dan...segalanya. Ditambah mereka sudah melewati bertahun-tahun bersama. Jadi aku yakin kalau Argio selama ini memang hanya pura-pura bersikap tegar saja meski di dalam hatinya mungkin ia masih memikirkan Silvania.
Tapi aku lupa, aku baru saja mengenal Argio. Aku tidak tahu apa yang dilaluinya selama ini. Hubungan seperti apa yang dimilikinya dengan Silvania dan bagaimana Silvania mentreat Argio. Selama apapun hubunga, secinta apapun seseorang, manusia pasti memiliki batasnya.
Sama seperti aku. Aku mencintai Haris bertahun-tahun dan nyaris buta akan semua sikap buruknya selama kami berpacaran karena menurutku itu masih di batas toleransiku. Tapi dalam satu malam, semua rasa cinta itu lenyap tidak bersisa bahkan berganti benci. Semudah itu. Terdengar mustahil, tapi mungkin. Jadi, sangat mungkin bagi Argio untuk melupakan perasaannya pada Silvania. Bukan karena ia lelaki yang mudah pindah hati atau tidak setia. Tapi mungkin karena, Silvania sudah menyakiti Argio melewati batas yang bisa ditoleransinya.
Lalu apakah ada harapan untuk Argio jatuh cinta padaku di tengah hubungan kami ini? Atau di mata Argio, aku masih Laras seorang pengantin cadangan untuknya?
"Ras? Kok nangis..." Argio tiba-tiba menatapku dengan tatapan terkejut dan khawatir. "Aku salah ngomong, ya? Atau ada yang sakit?"
Aku tersentak dan mengusap pipiku sendiri. Aku bahkan tidak tahu kapan aku mulai mengalirkan air mata. Kenapa? Ada apa denganku sebenarnya.
***
a/n: see you in additional part!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro