35. Unraveling Emotions
a/n: pppp ada drama hueheheh tebak kira-kira dramanya gara-gara apa hayo?
*
*
*
Aku terbangun pagi-pagi sekali dengan keadaan yang sangat segar. Melirik ke sebelah, Argio masih tampak tidur dengan lelap. Awalnya aku berusaha untuk tidur lagi bersama Argio tapi kepalaku sudah terlanjur on sehingga aku memutuskan untuk bangun dari tempat tidur.
Setelah mandi dan berganti baju, aku menghubungi Andy untuk meminta sarapan dibawakan ke kamar pagi ini. Niatnya untuk Argio saja karena aku tahu ketika dia bangun nanti, perutnya pasti keroncongan. Sedangkan aku sendiri memutuskan untuk keluar kamar dan memakan sarapanku langsung di restoran.
Kapal kami masih bersandar di Swettenham Pier Cruise Terminal, Penang sejak semalam. Itu sebabnya kondisi kapal cenderung tidak seramai biasanya karena kemungkinan para penumpang kapal sudah mulai turun dan menjelajah di kota Penang.
Setelah sarapan buffet yang menyenangkan di Windjammer Café, tadinya aku ingin langsung kembali ke kamar untuk mengecek apakah Argio sudah bangun atau belum. Tetapi melihat chatku padanya belum dibalas–aku yakin suamiku itu masih tidur dengan lelap. Jadi aku memutuskan berkeliling sedikit.
Pilihanku jatuh pada deck 15 pagi ini. Deck itu berisi berbagai fasilitas activity yang bisa dinikmati oleh penumpang kapal. Ada jogging track yang mengelilingi deck, lalu ada tempat spa, arcade and gaming area, fuel teen disco–nightclub khusus anak-anak remaja, wall climbing, sebuah bar dan sebuah complimentary dining area yang menawarkan hotdog sebagai menu utama mereka. Dan terakhir, sebuah indoor area bernama seaplex–yang merupakan salah satu indoor area terbesar di kapal. Isinya adalah tempat untuk berbagai macam kegiatan seperti; Bumper Cars, Basketball and Soccer, Roller Skating, Xbox Lounge dan masih banyak lagi.
Aku harus mengajak Argio menghabiskan waktu kami di sini karena sepertinya akan sangat menyenangkan. Aku pun memutuskan untuk duduk di salah satu sunbed yang memang tersebar di sepanjang lintasan jogging track. Lumayan juga untuk menikmati matahari dan angin laut.
Baru saja ingin duduk, aku menyadari seseorang yang tampak sedang duduk sambil membaca buku di salah satu sunbed yang jaraknya hanya selang beberapa saja dariku. Itu Nico.
Awalnya aku berpikir untuk tidak mengganggu waktunya. Apalagi kami juga hanya sempat kenalan singkat semalam tanpa berinteraksi lebih banyak karena Nico memang sangat pendiam. Tetapi pada akhirnya aku memutuskan mendekati Nico sekadar untuk menyapanya saja sebelum kembali ke tempatku.
"Hai, Nico!" Aku tersenyum ramah pada lelaki yang sepertinya usianya masih sangat muda itu. Dari wajahnya, kutebak usianya mungkin baru dua puluh tahun dan masih kuliah.
"Ah, halo," ia membalas sapaanku meski dengan sedikit terkejut.
Oh this is awkward. "Maaf aku ganggu ya? Lanjutin lagi ya santainya, I just want to say hi kok," kataku sambil berusaha tidak terlihat terlalu kikuk.
Mendengar itu, sepertinya Nico terkejut karena ia buru-buru menegakkan tubuhnya yang semula setengah rebahan di atas sunbed sambil baca buku. Nico kini sudah duduk sekarang. "EH, nggak Laras–maksudnya Mbak Laras. It's fine, Mbak Laras nggak ganggu saya sama sekali kok!" Ia menepuk kursi di sebelahnya seolah memintaku untuk duduk di sana.
"Oh...okay," kataku lagi dan pada akhirnya aku duduk di sunbed persis di sebelah Nico karena lelaki itu memintaku.
"Maaf tadi aku lagi fokus baca jadi agak kaget tiba-tiba dipanggil, kirain Kak Naya." Nico menutup buku yang sedang dibacanya dan meletakkan buku itu di atas sunbed. "Mas Juna-nya ke mana, Mbak?" tanyanya setelah sadar aku hanya sendirian sekarang.
"Masih tidur, wasted banget dia semalem ternyata."
"I see. Nay–maksudku Kak Naya juga gitu. Mereka berdua memang kuat minum dari dulu, terus biasanya suka nggak kelihatan mabuknya tapi tahu-tahu udah sempoyongan atau ngelakuin sesuatu yang out of character. Ngerepotin."
Ini mungkin adalah kalimat Nico terpanjang yang pernah kudengar karena semalam ia bahkan hanya mengatakan sepatah atau dua patah kata saja pada setiap kalimatnya.
Nico juga tidak kelihatan setegang semalam–entah karena suasana hatinya atau memang karena situasinya entahlah aku tidak bisa menebaknya. Yang pasti pagi ini dia jauh kelihatan lebih...santai?
Nico tampan dan sangat tinggi. Bahkan sepertinya ia lebih tinggi dari Argio kalau disandingkan. Tubuhnya juga tegap tetapi sedikit lebih kurus dari Argio. Meski wajahnya terlihat baby face, tetapi entah mengapa ia memiliki kesan yang serius. Mungkin karena kacamata yang membingkai matanya?
"Tunggu, maksudnya dari dulu? Kok kamu tahu? Kamu dulu tinggal di Aussie juga sama Kanaya?" tanyaku setelah sadar apa yang Nico katakan. Awalnya kupikir Kanaya hanya tinggal di Australia untuk kuliah saja, bukan tinggal bersama keluarganya seperti Argio.
"Oh...iya. Aku kuliah bareng kok sama Kak Naya dan Mas Juna."
"WHAT?" Mataku membulat sempurna. Kuliah bersama Naya dan Juna? Itu berarti usia Nico harusnya sama dengan Argio, kan? Berarti dia lebih tua dariku?
"Aku baru dua puluh empat..."
Mataku terbelalak lagi. Lebih lebar kali ini. "Dua puluh empat? Kok bisa kamu kuliah bareng sama Argio?"
"Aku akselerasi..."
"Ah, I see." Sekarang aku mengerti darimana kesan serius dan dewasa yang kutemukan pada Nico meski wajahnya terlihat masih sangat baby face. Nico sepertinya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan orang-orang yang usianya lebih tua di atasnya karena lompat kelas saat masih sekolah. Aku pernah baca kalau memang hal itu bisa mempengaruhi. "Seru banget ya jadi bisa satu angkatan sama kakak sendiri," kataku lagi.
"Yeah, it's fun." Aku bisa mendengar ada nada sarkastik dari suaranya tetapi aku berusaha mengabaikan itu.
Ada hening menjeda di antara kami karena aku tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Akhirnya aku dan Nico sama-sama melihat ke arah lautan yang terhampar dengan indahnya sebagai satu-satunya hal yang bisa kami lakukan untuk mengisi kecanggunan ini.
Aku lebih dulu mengalihkan pandanganku dari laut ke arah Nico. Lelaki berkaca mata itu kini sedang memejamkan matanya sambil menikmati hembusan angin yang menerpanya.
Mataku tidak sengaja menangkap sesuatu yang tidak seharusnya kulihat. Sebuah tanda merah keunguan di leher terlihat menyembul dari balik kerah polo-shirt yang digunakan Nico hari itu. Buru-buru aku mengalihkan tatapanku dari sana ketika Nico seolah menyadari kalau aku sedang memperhatikan tanda itu.
Nico buru-buru membenarkan kerah kaos polonya dan berdeham kikuk. Aku pun hanya bisa menolehkan kepalaku ke kiri-kanan tidak tahu arah karena sumpah demi apapun ini sangatlah canggung.
Ini juga mungkin rasanya keluarga Argio saat melihat tanda kemerahanku waktu itu!
Tapi tunggu dulu. Bukankah Nico di sini bersama kakak perempuan dan ayahnya? Lalu bagaimana bisa dia mendapatkan tanda itu? Apa sebenarnya Nico membawa kekasihnya juga? Atau...wait itu nggak mungkin kan?
"Kanaya bukan kakak kandungku. I'm just her step-brother."
Aku tidak tahu ekspresi apa yang sudah kutunjukkan sehingga Nico memilih memberikan klarifikasi langsung bahkan tanpa aku bertanya. Mungkin dia sadar kalau pasti cepat atau lambat aku akan berpikir yang tidak-tidak setelah melihat tanda itu.
Aku tidak bermaksud ikut campur. Sumpah demi Tuhan. Sekalipun Nico tidak ingin menceritakan atau memberitahuku soal itu, aku juga tidak berniat untuk bertanya atau mencari tahu.
Tapi sekarang aku mulai mengerti mengapa semalam beberapa kali Argio menekankan kata brother seolah meledek Kanaya dan Nico. Tetapi aku rasa itu bukan karena Nico adalah sekadar 'adik tiri' Kanaya, tetapi sepertinya hubungan mereka jauh dari itu.
Aku jadi merasa tidak enak karena sudah membuat Nico mengatakan hal yang mungkin tidak ingin ia katakan. Terutama pada orang baru sepertiku.
"I'm an adopted child," kataku di tengah keheningan kami. Aku tidak tahu mengapa aku merasa perlu mengatakan itu–tetapi aku hanya ingin mengalihkan topik. "Mungkin kamu juga semalem denger karena aku sempat bahas ini juga."
Semalam aku memang sempat membahas soal ini pada Kanaya dalam perbincangan kami di bar. Bukan untuk pamer atau cari simpati, obrolan ini mengalir dengan sendirinya. Aku juga tidak pernah merasa statusku itu sebuah hal memalukan jadi aku selalu jujur dan terbuka soal itu kepada siapapun yang bertanya.
"Iya, aku dengar. Kamu hebat banget, Mbak Laras."
Aku tertawa kecil. Tidak tahu hebat itu ia tujukan padaku untuk apa. Untuk bisa terbuka soal statusku yang seorang anak adopsi atau apa. Yang jelas, obrolan kami menjadi lebih santai setelah itu. Bahkan tanpa sadar kami sudah mengobrol cukup lama sampai tiba-tiba aku mendengar nama kami dipanggil dengan cukup keras.
"LARAS!"
"NICO!"
Aku dan Nico sama-sama terkejut karena kami sedang fokus mengobrol. Ketika menoleh aku mendapati Argio suamiku dan juga Kanaya di sebelahnya. Tidak hanya mereka, tetapi ada juga Andy dan rekannya yang kutebak adalah royal genie Kanaya dan Nico.
"Kamu ngapain, sih!" Argio setengah membentak begitu tiba di hadapanku. Aku sampai terkejut karena ini pertama kalinya Argio membentakku setelah kami menikah. Argio dulu memang beberapa kali bersikap ketus padaku, tetapi tidak pernah membentak. "Kenapa telfonku nggak diangkat!"
"Hah?" Aku buru-buru merogoh kantung celanaku dan baru sadar kalau ponselku bahkan tidak ada di sana. Aku mencari di sekitar sunbed yang kududuki barusan dan tidak menemukannya. Ternyata aku meninggalkan ponselku di sunbed pertama yang kududuki sebelum menghampiri Nico. Untung saja tidak ada yang duduk lagi di sana jadi ponselku juga masih tergeletak begitu saja. "Gi maaf, hpku ternyata ketinggalan di kursi..."
Argio berdecak. Dan kini aku baru sadar kalau dia bahkan masih menggunakan pakaian tidurnya semalam. Argio bahkan hanya mengenakan sandal kamar yang tipis saat ini dan rambutnya bahkan masih acak-acakan seperti ia baru saja bangun tidur dan langsung kemari.
"Kalian habis ngapain sih sampai nggak bisa dihubungi gitu?" Kini giliran Kanaya yang bertanya setelah bergabung bersama kami. Dia tidak terdengar marah seperti Argio tetapi aku tetap bisa menangkap nada jengkel dari suaranya. Berbeda dengan nada cerianya semalam. "Orang gila ini gedor-gedor kamar gue buat nyariin lo, Laras."
Aku terkejut. Argio melakukan itu? Kenapa?
"Aku habis sarapan tadi langsung jalan-jalan keliling kapal. Terus kebetulan nggak sengaja ketemu Nico jadi aku sapa dan kami ngobrol." Aku tidak tahu apakah aku akan terdengar sedang membela diri atau apa. Tetapi aku hanya mencoba menjelaskan apa yang memang sebenarnya terjadi. Aku bahkan tidak mengerti kenapa Argio dan Kanaya harus terlihat seperti mereka sedang marah pada kami hanya karena kami mengobrol.
"Fuck, you can just answer your damn phone kalau cuma ngobrol!" Itu Kanaya. Tetapi dia mengatakannya bukan padaku melainkan pada Nico yang sejak tadi hanya diam saja. "Lo hampir bikin suami istri berantem gara-gara tolol!"
"Nay, Nico nggak salah. Kami keasikan ngobrol makanya sampai nggak–"
"Ngobrolin apa sih emang kalian sampai bisa KEASIKAN kayak gitu?" Kini giliran Argio yang ikut menambah panas suasana.
Demi Tuhan ada apa sih dengan dua orang kaya ini? Kenapa mereka sangat emosian sekali? Aku dan Nico bahkan hanya mengobrol bukan macam-macam.
Andy dan royal genie Kanaya ikut terlihat canggung di tempat mereka. Meski mereka tidak mengerti apa yang kami katakan, tetapi mereka tahu kalau percakapan kami jelas bukan sebuah percakapan menyenangkan.
"Gi, stop, kamu kenapa sih?" Aku menatap Argio bingung. Argio tidak pernah terlihat segalak ini sebelumnya. Bahkan saat kami masih belum menikah dan Argio sering bersikap menyebalkan, tetapi bukan galak seperti ini dan aku jelas tidak suka. "Ayo balik ke kamar!"
Akhirnya kami memutuskan berpisah di sana. Aku dan Argio memilih kembali ke kamar sedangkan aku tidak tahu bagaimana dengan Nico dan Kanaya karena aku pun sesungguhnya tidak peduli.
Perjalanan dari deck 15 itu menuju ke kamar kami terasa hening dan dingin. Ini tidak lucu, bagaimana bisa kami sudah dua kali bertengkar di honeymoon kami padahal baru beberapa hari. Masih tersisa setidaknya enam harian lagi sampai trip ini selesai. Apa semua orang yang sedang honeymoon merasakan hal yang sama? Atau hanya kami saja?
Aku menempelkan keycard ke pintu dan masuk lebih dulu disusul Argio di belakangku. Aku baru akan bertanya mengapa Argio harus marah dan membentakku tadi hanya karena aku mengobrol dengan Nico tetapi semua itu gagal karena tiba-tiba saja Argio sudah mendorongku hingga memepet ke dinding.
"Gi mau ngap–" Argio membungkam mulutku dengan sebuah ciuman. Jenis ciuman yang kasar–bukan ciuman panas bergairah seperti biasanya. Ciuman ini seperti sedang dilakukan oleh orang yang marah. "Hmppph!"
Aku berusaha mendorong Argio tetapi jelas tenaga lelaki itu jauh lebih besar dariku. Bukannya berhasil mendorongnya Argio malah berhasil memegangi kedua tanganku yang berusaha mendorongnya dan ia angkat hingga kedua tanganku kini terkunci di atas kepalaku.
"Ahh–Gi!" Aku mendesah pelan ketika Argio melepas lumatan kasarnya itu untuk kemudian memindahkan ciumannya ke leherku. Tetapi Argio bukan hanya menciumiku di sana tetapi tiba-tiba saja ia menjilati leherku dan kemudian menghisapnya. Aku yakin dengan jelas Argio sedang berusaha membuat tanda di sana. "Gi–stop!"
"You're mine, Ras, punya aku. Istri aku!" Argio kembali mencium bibirku lagi kali ini. Lidahnya langsung menerobos masuk dan berusaha menguasai seluruh mulutku. Aku sudah tidak bisa melawan atau berusaha melepaskan diri karena aku tahu Argio terlalu emosi untuk bisa berpikir jernih saat ini.
Aku membiarkan Argio melampiaskan seluruh emosinya dalam ciuman panas, basah dan liar itu sampai kemudian perlahan ciuman itu mereda dan Argio mulai melunakkan pegangannya pada tanganku.
Untuk pertama kalinya, aku tidak menikmati ciuman Argio sama sekali.
***
Lucu banget dari awal pada ngira Laras yang bakal dibikin cemburu karena ada cewek baru taunya malah sebaliknya muehehehe. Laras suami kamu itu posesif dan cembukuran wkwkwkkw. Takut bgt waktu cemburu sama Akbar dulu padahal blm apa2 dia mabok2an sekarang cemburu sama Nico malah tantrum. By the way Nico dan Kanaya bakalan punya cerita sendiri nanti setelah cerita ini tamat (kayaknya) udah dispill tipis2.
Kanaya
Nico
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro