Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

31. Di ujung Phuket

a/n: Please part ini commentnya harus rame nggak mau tau! Kasihanilah aku ini guys ngetik ini sampe jam setengah empat pagi loh :') aku tau kalian bisa ramein kolom komentarnya kok. Waktu itu aku pasang goals bisa tercapai kok tapi sekarang karena nggak kupasangin goals lagi jadi melempem mulu commentnya padahal aku semangat banget bacain comment2 kalian. Satu orang comment banyak tuh gapapa tau. Malah kalau mau kalian comment setiap baris pun aku seneng banget sumpah. Ayo please ramein part ini ya soalnya abis ini additional part yang kalian tunggu-tunggu loh jadi bisa dibilang ini tuh part keramat wkwkwk :p

Btw, selamat membaca!

***

Argio berkata padaku tadi pagi soal dia bahkan sanggup menyetiriku sampai ke ujung Phuket meski hanya bercanda. Tetapi kenyataannya, Argio benar-benar sudah menyetiriku sampai ke ujung Phuket sekarang.

Iya, Promthep Cape adalah ujung dari Phuket. Tepatnya berada di ujung selatan Phuket. Lokasi ini adalah salah satu titik paling selatan di pulau Phuket dan terkenal sebagai tempat yang populer untuk melihat pemandangan matahari terbenam yang indah. Dari sini, kita bisa melihat pemandangan laut yang luas dan beberapa pulau kecil di sekitar Phuket. Tempat ini bukan hanya sangat indah tetapi juga suasananya tenang.

Aku bersyukur hari ini tempat ini tidak terlalu ramai sehingga aku bisa menikmati keindahan pemandangan ini dengan suasana yang lebih tenang. Hanya desau angin dan debur ombak yang menabrak karang yang terdengar sejauh pendengaran.

Hari masih sangat terang, matahari masih cukup tinggi tetapi angin di sini sangat kencang sehingga aku tidak terlalu merasa kepanasan seperti di dua destinasi sebelumnya.

Sepertinya ini adalah tempat tercantik dan terbaik yang kukunjungi di Phuket.

Kami duduk di tembok rendah yang sepertinya menjadi pembatas. Di balik tembok pembatas itu sendiri bentuknya lebih mirip 'jurang' karena menurun dan hanya ada pepohonan dan bebatuan.

Secara fisik, Promthep Cape sendiri adalah sebuah tanjung yang menjorok ke laut. Bentuknya seperti jari yang menunjuk ke arah laut, dikelilingi oleh tebing curam dan bebatuan yang menjulang. Bagian ujungnya berbentuk memanjang dengan dataran rumput, membuatnya ideal untuk berjalan-jalan atau berfoto.

Argio menusuk sedotan ke minuman rasa kopi dan juga susu rasa pisang yang kami beli di minimarket sebelum ke sini. Kedua minuman itu jelas sudah tidak lagi dingin sekarang. Argio menyerahkan susu pisangnya kepadaku yang langsung kuterima.

Argio juga menyerahkan sandwich dengan isian creamy spinach padaku selagi ia membuka bungkusan sosis kecil-kecil yang diberi tusukan. Rasanya seperti aku sedang menikmati jajanan sepulang sekolah.

"Enak?" tanya Argio padaku saat sudah selesai menyedot susu pisang di tangan.

"Ini? Enak sih...nggak terlalu manis. Kamu mau?" tanyaku sambil menyodorkan susu itu ke arahnya.

Kupikir Argio akan menerima uluran susu dariku karena ia memajukan wajahnya tetapi yang selanjutnya ia lakukan adalah mengecup bibirku meski hanya sekilas. "Argio!" Jelas saja aku protes karena terkejut dengan tindakan tersebut.

"Sorry nggak tahan, bibir kamu soalnya plump gitu dari tadi pas habis kamu nangis. Minta dicium."

Aku ingin sekali melemparkan botol susu ini ke wajahnya tetapi kuurungkan. Kami bahkan belum selesai dengan masalah kami tapi sudah mau bertengkar dengan masalah lain.

"Jadi...kamu kenapa?" Akhirnya Argio memulai pembahasan ini. Sepertinya ciuman tadi adalah cara Argio mencairkan suasana agar aku kembali nyaman dan bisa bercerita kepadanya dengan lebih terbuka.

Aku menjelaskan soal chat Akbar yang tidak sengaja kubaca. Argio sudah ingin menyelaku untuk menjelaskan tetapi aku segera menahannya dan melanjutkan ceritaku agar semua yang aku rasakan ini bisa terluapkan. Termasuk soal Silvania yang seketika mengusikku. Tetapi tentu saja aku tidak membahas soal perasaanku pada Argio yang jadi penyebab utama semua masalah ini terjadi.

"Oke aku udah boleh jawab sekarang?" tanya Argio setelah aku menyelesaikan cerita dan penjelasanku.

"First thing first, pesan Akbar itu nggak kayak yang kamu pikir. Uhm, oke secara teknis aku memang bertaruh–tunggu jangan melotot dulu Ras, dengerin dulu sampai selesai..." Argio menatapku dengan tatapan memelas ketika melihat ekspresiku yang sudah siap mencabiknya ketika ia mengonfirmasi soal taruhan yang menjadi kecurigaanku setelah membaca pesannya dan Akbar. "Iya aku sama Akbar tuh secara nggak langsung memang taruhan, tapi bukan beneran taruhan. Lebih ke kayak we both dare each other gitulah, omongan doang tapi. Nah terus yaudah gitu, Akbar mengakui aku yang menang that's why..." Argio sadar semua ucapannya mulai terdengar tidak masuk akal sekarang dan itu membuatku semakin menatapnya sangsi.

Argio menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aduh gimana ya aku jelasinnya tanpa harus kedengeran brengsek di mata kamu," katanya lagi. Tapi kata-kata itu terdengar lebih ia ucapkan pada dirinya sendiri dibanding denganku. "I just..."

"Tapi kamu beneran taruhan sama Akbar soal aku?" tanyaku tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Why?"

"No...nggak kayak yang kamu pikir, Ras, aku berani sumpah!"

"Terus apa?"

"Intinya I just knew that Akbar suka sama kamu. Nggak tahu suka yang gimana yang jelas dia tertarik juga sama kamu. Terus nggak tahu kenapa semenjak kita nikah aku jadi suka ngeledek Akbar dengan cara pamerin soal kamu ke dia. Aku memang suka isengin dia dari dulu, tapi aku sadar cara aku gangguin dia soal kamu itu beda dari iseng-isenganku yang dulu ke Akbar. Aku juga nggak tahu kenapa kayak gitu. Terus kayaknya Akbar mulai kesel dan di tahap limitnya and that's why he said that. Dia bilang aku menang, kan? Terus...ah ini kamu baca aja deh sendiri chatnya!" Argio menyerahkan ponsel itu ke tanganku setelah kuncinya terbuka. Argio juga membukakan aplikasi chat yang langsung menampilkan chatnya dan Akbar.

Akbar: Stop pamer soal istri lo anjing Gi

Akbar: Udah iya gue akui lo menang sekarang jadi stop ganggu gue ngerjain kerjaan lo yang harus gue handle karena lo cuti honeymoon anjinggg

Akbar: *boss maksudnya, anjingnya typo

Me: Menang apa anjing Bar, we're not even playing any game

Me: Dan soal pamer, sorry but I'll keep doing that go cry about it 😛

Akbar: Memang anda adalah boss anjing 😀

Akbar: *anjingnya typo

Akbar: Dan soal game. Ya emang nggak ada yang bilang kita main game juga sih. Tapi gue tau ya anjir Gi, lo tuh nganggep gue saingan secara nggak sadar semenjak lo tau gue ngajak Laras makan bebek waktu itu kan!

Akbar: Lo nggak mau konfrontasi gue secara langsung karena deep inside lo juga masih denial soal perasaan lo. Jadi setiap ada kesempatan ya lo coba pake itu buat perjelas ke gue soal Laras udah jadi istri lo dan gue nggak punya kesempatan. Iya, kan?

Me: Apaan sih anjir Bar lo kebanyakan nonton drama

Akbar: Kita udah temenan hampir dua puluh tahun lo nggak usah ngeles. I'm not just your secretary but also your best friend and brother 🤮 (geli ngetiknya)

Akbar: Jadi gue juga tau kalau lo tuh emang udah tertarik sama Laras long way before marrying her. Just admit it.

Pesan Akbar tidak dibalas lagi oleh Argio dan menjadi akhir dari percakapan mereka. Aku sampai tidak bisa berkata-kata ketika menyodorkan kembali ponsel itu ke pemiliknya yang juga seketika diam saja sambil memandangiku.

Berbagai pertanyaan mulai berkecamuk di kepalaku. Aku bahkan sampai tidak peduli soal fakta bahwa Akbar pernah suka kepadaku karena yang kupikirkan sekarang hanya satu, Argio tertarik padaku bahkan jauh sebelum kami menikah? Bagaimana bisa? Bukankah dia masih bersama Silvania saat itu?

"Ras aku–" Kata-kata Argio langsung terpotong karena tiba-tiba saja hujan turun.

Tidak ada satupun dari kami yang siap dengan hujan yang seketika mengguyur itu karena langit bahkan terlihat sangat cerah. Semua orang yang juga ada di sana bergegas mencari tempat berteduh dan akhirnya berhamburan. Ada yang ke toko-toko souvenir, ada yang langsung masuk ke dalam mobil dan entah ke mana lagi.

Aku dan Argio adalah yang salah satu yang berteduh di mobil. Jarak dari tempat kami duduk tadi memang lumayan ke tempat parkir. Apalagi ada tangga yang harus kami turuni untuk sampai ke parkiran terlebih dahulu dan tangganya lumayan tinggi dan curam sehingga tidak bisa berlari. Alhasil ketika masuk ke mobil, kondisi kami jelas sudah basah kuyup.

Untung saja Argio menutup atap mobil ini tadi sebelum kita meninggalkannya di parkiran. Bayangkan akan seberapa basahnya kami kalau atap itu masih terbuka.

Kemejaku benar-benar basah sehingga dalamanku yang berupa tanktop tercetak jelas. Begitu juga dengan Argio yang kini kemejanya sudah menempel dengan tubuhnya karena basah kuyup. Jok mobil ini juga jadi ikut sedikit basah karena kami.

Argio menyalakan mesin mobil dan pendingin udara. Mobil di Asia Tenggara memang tidak didesain untuk punya heater jadi mau tidak mau kami hanya bisa menyalakan pendingin udara karena kalau tidak, udaranya akan sangat sumpek di dalam mobil ini. Apalagi di luar hujan, jadi kami juga tidak bisa membuka atap atau jendelanya karena yang ada basah dari luar.

Dengan kondisi basah tetapi harus berada di ruangan berAC jelas saja kami kedinginan.

"Dingin ya, Ras?" tanya Argio melihatku yang mulai menggosok-gosok lengan. Padahal ACnya diset dengan ukuran terkecil tetapi aku tetap kedinginan. "Dilepas aja kemejanya yang basah."

"Makin dingin lah Gi yang ada."

"Iya juga sih...hatchiii!" Argio bersin. Dia sendiri juga kedinginan karena kemejanya bahkan jauh lebih basah dariku. Ditambah Argio tidak pakai dalaman sepertiku jadi basah itu langsung mengenai kulitnya. "Yaudah kita bal–Ras?" ucapan Argio langsung terhenti ketika aku tiba-tiba berpindah ke atas pangkuannya.

Meski dengan sedikit usaha apalagi space yang sangat terbatas ini, aku berhasil berpindah dari kursiku ke atas pangkuan Argio.

Iya. Aku, seorang Larasati Silvia Putri, baru saja secara sadar duduk ke atas pangkuan suamiku sendiri.

Mata Argio membulat dan mulutnya masih terbuka karena saking terkejutnya dengan tindakanku yang tiba-tiba. Argio baru bersuara lagi ketika tanganku mulai membuka kancing kemejanya.

"Wait Laras kamu mau ngapain?" tanyanya dengan nada panik sekaligus tidak percaya.

"Kamu nanti masuk angin, Gi, kemejanya basah banget." Aku meneruskan melepas kancing kemeja Argio yang membuat kulitnya kini terekspos. Argio yang awalnya seperti menolak pada akhirnya menurutiku dan menerima ketika aku melepaskan kemejanya itu.

Argio pikir mungkin hanya sampai sana, tetapi selanjutnya ia malah semakin dibuat tidak percaya denganku ketika aku juga mulai melucuti kancing kemejaku sendiri. Aku pasti benar-benar seperti wanita gila di matanya sekarang.

"Ras?"

"Apa? Bajuku juga basah." Aku menjawab dengan santai. Atau pura-pura santai meski sebenarnya aku sangat berdebar dan malu setengah mati. Kini hanya tersisa tanktop berwarna putihku saja serta bra berwarna nude tanpa tali di baliknya.

Tentu saja posisi ini bukan lagi sekadar intim sekarang. Ditambah dengan keadaan kami yang setengah telanjang serta udara dingin di sekitar, apalagi yang ada di pikiran sepasang laki-laki dan perempuan yang terjebak dalam situasi ini selain hal-hal yang tidak sopan?

Aku tidak ingat siapa yang memulai tetapi tahu-tahu, aku dan Argio sudah saling melumat bibir satu sama lain dengan begitu panas. Posisi dan space yang terbatas ini membuat tubuh kami saling menempel erat. Menghantarkan rasa panas satu sama lain, saling berbagi kehangatan.

Ciuman kami mulai menjadi lebih kasar. Argio bukan hanya melumat bibirku tetapi juga sudah menghisap-hisapnya dengan kuat seolah bibirku adalah sebuah permen. Suara basah pertemuan bibir kami seolah tidak ingin kalah dengan basah dari rintik hujan di luar sana.

"Hnggh–" Aku melenguh pelan ketika lidah Argio menerobos masuk dan membelit lidahku. Sesuatu mulai terasa mengganjal di bawah sana, milik Argio yang kududuki mulai menegang dan aku bisa merasakannya karena itu bersentuhan dengan milikku meski masih sama-sama terhalang celana dan pakaian dalam.

Aku meremat rambut Argio dan Argio membalasnya dengan meremas pinggangku. Aku tidak pernah membayangkan ada hari di mana aku melakukan make out dengan seorang laki-laki di dalam sebuah mobil di negara orang.

Ini gila.

Tetapi aku tidak bisa berhenti. Tidak mau.

Ciuman Argio perlahan turun. Ke rahang dan juga leher. Lalu kembali naik ke belakang telinga. Menjilat dan mengecupnya beberapa kali seperti itu adalah suatu keharusan.

Suara lenguhanku semakin jelas karena tidak ada lagi yang membungkam bibirku. "Gi..." Suaraku yang tadi sempat bindeng karena terlalu banyak menangis kini berubah serak dan parau karena hal lain. Nafsu. "Argio..."

"Yeah, keep calling me like that, Ras, I love it." Argio masih menciumi leherku dan kini tangannya yang memeluk pinggangku naik untuk menyentuh payudaraku yang masih tertutup tanktop dan bra. Argio meremasnya dari luar. "Say it again, say my name again, Ras," bisiknya di sela kegiatannya menciumi leherku.

Napasku mulai tercekat. Ini pertama kalinya Argio benar-benar memainkan payudaraku terang–terangan. Biasanya ia hanya menyentuhnya sekilas tetapi tidak pernah dengan benar-benar meremasnya seperti sekarang. Ini gila. Aku sudah gila karena ternyata aku menikmatinya.

Mataku terpejam erat, tubuhku bergerak-gerak gelisah ketika Argio menurunkan tali tanktopku sambil meninggalkan ciuman di sana. Dan dalam satu tarikan, tanktop juga braku turun hingga dadaku tidak lagi tertutup apapun saat ini.

"Cantik..."

Napasku sudah terengah ketika aku sadar kalau aku sudah betul-betul setengah telanjang saat ini. Mataku terbuka ketika Argio berhenti menciumi bahuku setelah berhasil melepaskan bra dan tanktopku. Kupikir ada yang salah. Tetapi pipiku langsung memerah ketika melihat Argio ternyata sedang memandangiku sekarang.

Aku ingin mentupi dadaku dari tatapan Argio yang entah mengapa terlihat sangat bergairah saat ini. Aku malu karena ini pertama kali aku benar-benar memperlihatkan tubuhku di depan Argio meski saat ini masih memakai celana.

Di kegiatan nakal kami sebelumnya, aku masih selalu memakai pakaianku.

"Kamu cantik banget, Laras. Everything in you is so pretty. You're so pretty, Ras."

Aku pernah dengar soal laki-laki bisa berubah sangat berbeda saat mereka sedang bernafsu. Di situlah biasanya lelaki menjadi sangat-sangat manis demi mencapai kepuasan nafsu mereka. Katanya. Awalnya aku tidak paham. Tetapi sekarang aku mulai mengerti maksud dari kata-kata tersebut.

Pujian dan kata-kata manis itu bisa menjadi encouragement dan juga salah satu cara untuk meyakinkan wanita untuk terbuka kepada mereka.

Dan itulah yang aku rasakan sekarang. Mendengar pujian itu di saat biasa mungkin akan kutanggapi dengan pukulan atau delikan mata sebal. Tetapi sekarang, aku hanya ingin Argio melakukan apapun yang ingin dilakukannya padaku sambil memujiku dengan semua kalimat pujian yang dimilikinya.

Tangan Argio mengelus lenganku. Sudah tidak ada lagi rasa dingin yang kurasakan sekarang. Hanya ada panas meski pendingin udara masih menyala dan hujan di luar masih sangat deras.

Tangan Argio berpindah ke pinggangku. Mengelusnya di sana. Lagi-lagi sentuhan itu menghantarkan panas ke seluruh tubuhku. Aku menggigit bibirku. Tatapan kami masih saling bertemu. Tangan Argio naik dari pinggang dan kini berada sangat dekat dengan buah dadaku. Tetapi ia masih belum menyentuhnya.

Tatapannya berubah, seperti sedang memohon persetujuan dariku. Kepalaku mengangguk tanpa kendala dan setelah itu aku hanya bisa merasakan tubuhku seperti kapas. Kepalaku kosong. Dan aku merasakan rasa baru yang belum pernah kurasakan sebelumnya.

Jam di dashboard mobil menunjukkan pukul lima lewat. Matahari masih belum tenggelam tetapi aku dan Argio lah yang lebih dulu tenggelam dalam balutan sensasi menyenangkan yang mereka sebut sebagai surga dunia.

Di tengah deruh napasku dan kepalaku yang berkabut, aku mencengkram bahu Argio sambil berusaha bicara di sela ciuman kami yang menggila. Bibirku sudah sangat bengkak akibat ulahnya tetapi ia masih saja menciumiku seolah bibirku adalah sumber kehidupannya.

"Hotel–"

"Hm?"

"Hotel, Gi, we should go to–ngh–hotel. Now." Aku berhasil mengatakannya meski susah payah. Apalagi saat jari-jari Argio bergerak begitu terampil di bawah sana. Mengoyak milikku dan juga kewarasanku. "Gi, hotel... please. Jangan di sini."

"Ok, tapi janji kita bakalan lanjutin ini di hotel nanti kan Ras? You're not going to–"

Aku mencium Argio dan memutus ucapannya. "Iya, Gi, iya. Aku mau kamu, aku punya kamu. I'll give myself to you. Now please, just take me to a hotel."

Argio menaikkan bra dan tanktopku kembali ke posisi semula sebelum mengangkat pinggangku dan mendudukanku kembali ke kursiku. Argio juga memakai kembali kemejanya yang masih lembab itu dan memasang seatbelt tanpa mengancing kemejanya.

"Seatbelt, Ras."

Dan mobil itu melesat keluar dari parkiran Promthep Cape menuju ke hotel pertama manapun yang kami temukan di jalan.

Malam ini, di bawah langit malam kota Phuket, aku sepenuhnya menyerahkan diriku kepada suamiku, Argio. 

***

Additional part after this. Partnya akan sangat panjang dan detail dan...pedes. Soalnya ini first timenya Laras dan Argio jadi aku mau sangat spesial dan indah ehehehe. Part di mobil ini juga akan dijelaskan lebih rinci versi no cut-cut di additional part ya tenang aja. Tapi jangan kaget nanti sama banyak kata-kata joyoknya soalnya Argio mulutnya no filter wkwkwkwkwkwk. 

Siapa yang excited?????? Jangan lupa ramein part ini. Yang udah baca sampe sini belum comment sama sekali ayo buruan scroll ke atas lagi terus comment-comment dulu. 

See u di additional part :3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro