30. the sulking girl
a/n: muehehehehe si Laras penyabar akhirnya bisa ngambek juga guysss.
Goodluck Argio ngebujuk istrinya yang ngambek.
Coba komen dulu di sini sebelum lanjut baca, kira-kira menurut kalian Argio bakal gimana ketika tau Laras ngambek? Cepet komen di sini!!!
Selamat membaca!
***
Argio menempelkan air mineral yang baru ia isi ulang itu ke pipiku, memaksaku untuk mau tidak mau mengalihkan perhatianku padanya.
Ini sudah botol ketiganya sejak dari Big Buddha tadi sampai kami kini sudah berpindah ke Wat Chalong. Jarak Big Buddha ke temple ini hanya enam belas menit berkendara dengan mobil. Dan selama perjalanan itu juga aku sudah berubah menjadi lebih pendiam sehingga mau tidak mau Argio mulai menyadarinya.
"Kamu capek, Ras? Kok tumben dari tadi diem aja nggak foto-foto lagi?" tanya Argio ketika aku hanya mendorong botol air mineral dingin yang ia tempelkan ke pipiku barusan tanpa benar-benar mengatakan protes.
"Nggak kok," jawabku seadanya. Sungguh tidak bermaksud bersikap moody seperti ini tetapi aku juga tidak bisa mengontrol perasaanku. Dan jujur itu jauh lebih mengesalkan daripada alasan sebenarnya mengapa aku jadi kesal kepada Argio.
Argio mengernyit. Aku tahu mungkin ia sedang berpikir apa yang sebenarnya terjadi padaku sampai tiba-tiba berubah mood seperti ini tanpa alasan yang jelas.
"Aku mau ke toilet dulu," kataku karena tidak ingin Argio menatapku lebih lama lagi. Aku butuh waktu untuk menenangkan diriku dan mengatur lagi perasaan juga moodku agar hari kami tidak jadi berantakan.
Aku sedang berlibur dan hal tidak penting seperti ini tidak seharusnya merusak liburanku.
Di toilet aku mencipratkan sedikit air ke wajahku tetapi sayangnya aku masih merasa panas. Bahkan setelah aku mengikat rambutku dan mengipasi wajahku dengan mini fan yang kubawa tetap tidak berguna banyak untuk menghilangkan rasa panas ini.
Mungkin karena panas ini memang asalnya bukan karena udara panas di luar sana. Tetapi asalnya dari dalam diriku. Aku marah, kesal dan semuanya seolah menambah kacau moodku. Dan ini semua semakin membuatku marah karena aku tidak suka perasaan ini.
Aku kembali menghampiri Argio yang sedang bermain dengan ponselnya. Masih di tempat di mana tadi aku meninggalkannya. Argio langsung menyadari kehadiranku dan memasukkan kembali ponselnya ke kantung celana. "Udah? Kita cari makan siang dulu, yuk. Aku laper."
Aku hanya mengangguk tanpa menjawabnya dan berjalan mendahuluinya menuju ke mobil. Kami makan di salah satu restoran lokal yang kami temui random di jalanan. Setelah mengecek ratingnya sekilas di internet yang bagus, kami pun memutuskan makan di sana karena memang sudah waktunya kami makan siang.
Kami tidak terlalu banyak mengobrol di sana karena lagi-lagi aku masih belum bisa memberi Argio reaksi seperti biasa. Aku hanya menjawab setiap dia bertanya tanpa bertanya balik. Awalnya Argio masih terus berusaha sampai kemudian dia mulai tidak lagi bertanya apapun dan makan dalam keheningan.
Tetapi hanya sampai di sana. Karena ketika kami kembali ke mobil untuk meneruskan perjalanan, Argio sepertinya sudah mulai habis kesabaran. Argio mendorong pintu mobil yang sudah kubuka hingga kembali tertutup. Kini lelaki itu berdiri sangat dekat di belakangku.
"Cukup, Ras. Kamu sebenernya kenapa?" tanya Argio frustasi. "Aku ada salah?"
"Nggak, salah apa emangnya?" Aku tidak tahu kenapa aku malah berkata seperti itu dibanding bersikap seperti biasa atau setidaknya berdalih kalau aku memang hanya kepanasan saja. Tetapi mulutku bergerak sebelum logikaku berjalan.
"Kita baik-baik aja sampai di Big Buddha tadi. Kamu senyum terus nggak berhenti meski kepanasan. Kamu senyum seneng waktu aku fotoin kamu, tiba-tiba kamu sekarang diem doang. Jawab pendek-pendek, bahkan kamu ngelak setiap aku mau gandeng atau rangkul. Terus kamu mau bilang kamu nggak marah? Terus apa?"
Aku terkejut Argio sampai menjabarkan detail tingkahku yang demikian. Dan aku jadi sadar betapa sikapku itu menyinggung perasaannya meski ia tidak mengatakannya. Padahal jelas di sini Argio memang tidak salah. Aku bahkan tidak tahu konteks pembicaraannya dengan Akbar tadi tetapi dibanding bertanya pada Argio apa maksudnya aku lebih memilih bersikap seperti ini.
"Ras?"
Aku masih tidak bersuara dan itu membuat Argio hanya bisa menghela napasnya. "Udahlah, debat sama orang yang nggak mau ngomong juga buat apa. Ayo masuk, kita balik aja ke kapal."
Aku langsung berbalik badan ke arahnya ketika mendengar ucapannya. "Kok balik? Kan mau ke Promthep Cape!"
"Ngapain? Kamunya aja diemin aku doang kok, mending aku balik ke kapal, tidur."
Tanganku mengepal. Bukannya berusaha membujuk Argio atau setidaknya mengatakan apa yang kurasakan dan inginkan, aku malah semakin kesal dengan sikapnya. Aku merebut kunci mobil di tangan Argio dan berjalan menuju pintu kemudi yang membuat Argio menahan lenganku.
"Mau ngapain sih, Ras!" tanya Argio dengan nada yang juga terdengar kesal. "Sini kuncinya."
"Aku mau nyetir!" kataku ketus. "Aku tetep mau ke Promthep Cape."
Argio menatapku seperti aku adalah makhluk aneh berkepala tiga. Tetapi kemudian ekspresinya berubah lebih lunak. "Yaudah sini aku aja yang bawa mobilnya," katanya sambil mengambil kembali kunci itu dari tanganku dan aku membiarkannya. "Iya kita ke Prom-prom itu apalah namanya. Udah ayo masuk," katanya lagi karena melihatku masih berdiam di tempat tidak mempercayai ucapannya.
Aku pun masuk mengikutinya. Argio menyuruhku mengetikkan nama tujuan kami setelah ini sebagai bukti kalau dia tidak bohong.
Dari restoran tempat kami berada ini hanya sekitar enam belas menit saja menuju ke Promthep Cape menggunakan mobil. Masih terlalu siang untuk kami menunggu sunset di sana karena sekarang bahkan baru sekitar pukul setengah tiga siang.
Kami memutuskan mampir ke minimarket untuk membeli kopi dan beberapa cemilan untuk dibawa ke Promthep Cape. Tetapi di sepanjang perjalanan kami menuju ke Promthep Cape ini juga pemandangan tidak kalah indahnya. Itu membuatku tidak bisa berhenti memandang ke jendela sepanjang perjalanan.
Tiba-tiba saja Argio menekan tombol agar atap mobil ini terbuka. Aku sempat terkejut karena kupikir Argio tidak akan melakukannya karena meski pemandangan indah, tetap saja udaranya panas.
"Kok dibuka?"
"Nggak apa-apa, ada fiturnya ya dimanfaatin aja." Argio menjawab seadanya. Sepertinya Argio juga jadi ikut kesal karena sikapku yang tidak jelas. Great, sekarang kami hanyalah dua orang yang sedang sama-sama kesal.
"Kalau panas tutup aja, aku bisa lihat cukup kok dari balik kaca."
"Kalau aku takut panas dari tadi nggak bakalan aku ngikut kamu ke sana-sini di bawah terik matahari."
Aku menoleh ke arahnya. "Kok jadi kamu yang marah?" tanyaku mulai terpancing.
"Siapa yang marah? Emang kamu ada salah sampai aku marah?" Aku tahu Argio hanya ingin membalikkan ucapanku tadi tetapi kini aku benar-benar kesal sekarang.
"You're so childish." Aku tahu aku tidak seharusnya berkata seperti itu kepada lelaki yang seharian ini menuruti semua keinginanku. Menjagaku agar tidak menubruk orang di jalan. Mengikuti kemanapun aku mau meski ia harus kepanasan bahkan sukarela mengambil gambar untukku. Tetapi lagi-lagi, mulutku lebih cepat bergerak dibanding logikaku.
"And see yourself then," Argio menunjuk rear mirror di mobil seolah menyuruhku untuk berkaca di sana. "You're not better than me, Ras. Kamu yang tiba-tiba marah dan diemin aku. Ditanya kenapa nggak mau jawab, terus setiap diajak ngobrol balesnya malah ketus. Ketika aku balikin sikap kamu itu, kamu malah ngatain aku childish terus kamu sendiri apa namanya? Egois?"
Aku terbelalak tidak menyangka Argio akan berkata seperti itu padaku. Sikap manisnya beberapa hari ini membuatku lupa kalau Argio adalah seseorang menyebalkan yang sering berkata seenaknya sebelum ini. Bagaimana aku lupa akan sikap dan ucapannya padaku saat pertama kali kami bertemu di depan Sanggar Kenanga. Lalu bagaimana kata-katanya saat meremehkan soal Sanggar Kenanga ketika Mama Ambar memintaku menjadi WO pengganti. Dan juga berbagai sikap menyebalkannya saat persiapan pernikahannya dengan Silvania.
Oh, Silvania lagi. Kenapa gadis itu harus ada di dalam pikiranku saat ini? Saat semua perasaan kesal dan marahku ini semua juga berasal darinya!
"Ras, kamu...nangis?"
Aku tersentak ketika tangan Argio tiba-tiba terulur untuk menyentuh pipiku. Perhatiannya terbagi antara jalanan di depan kami dan aku sekarang. Aku bahkan tidak sadar sudah mengeluarkan air mata sialan ini. Aku buru-buru mengelapnya tetapi sialnya dia tidak mau berhenti dan malah semakin deras.
Ada apa denganku sebenarnya?
Mobil kami tiba-tiba menepi. Di GPS, hanya tinggal satu menit lagi sampai ke tujuan kami. Di sisi kiri mobil aku bisa lihat hamparan laut dari ketinggian sedangkan di sisi jalan sebelah kanan, aku bisa melihat ada sebuah bangunan seperti cafe di sana. Ada beberapa mobil dan motor yang terparkir di depannya. Di dekat tempat kami menepi juga ada sebuah motor yang parkir dan pemiliknya ternyata sedang mengambil foto dengan pemandangan cantik di belakangnya.
Argio melepas seatbelt dan memajukan tubuhnya untuk mendekat ke arahku tetapi aku buru-buru mengelak. Aku malu karena harus bersikap seperti ini di depannya tetapi sepertinya tindakanku tadi menyinggung Argio lebih dari yang kupikirkan.
"Laras," Argio memanggil namaku kali ini. Bukan hanya Ras seperti beberapa waktu belakangan. "Sorry kalau sikapku tadi nyebelin dan kata-kataku kelewatan. Aku cuma kebawa emosi karena tiba-tiba kamu berubah sikap. Aku beneran nggak tahu salahku di mana dan to be honest, I'm not a fan of silent treatment. Aku benci didiemin dalam keadaan nggak tahu apa salahku dan tentu aja aku juga nggak suka memperlakukan orang lain kayak gitu karena aku tahu rasanya. Lebih baik kalau kita berdebat tapi masalahnya bisa diselesaikan."
Air mataku masih mengalir meski aku sudah berusaha menghentikannya. Mendengar penjelasan Argio aku malah semakin menangis. Aku bahkan sedang tidak datang bulan sekarang dan aku tidak bisa menyalahkan hormonku tentu saja. Akulah masalahnya di sini.
"Ras, kok makin kenceng nangisnya..." Argio mulai panik melihatku yang semakin berderai air mata. Ia menarik tanganku yang masih berusaha mengelap air mata yang tentu saja tidak berguna sekarang karena air mata itu terlalu deras untuk bisa kuseka dengan tanganku. "Laras..." Argio tiba-tiba sudah menarikku ke dalam pelukannya dan tangisanku semakin pecah di sana.
Aku tidak tahu berapa lama aku menangis tanpa mengatakan apapun di dalam pelukan Argio. Yang kurasakan hanyalah kemeja Argio kini sudah basah oleh air mata. Aku harap tidak ada ingusku yang ikut menempel di sana. Aku benar-benar tidak tahu seberapa banyak lagi harus menanggung malu setelah ini di hadapan Argio.
Ketika tangisku mulai reda, Argio merenggangkan pelukannya dan tangannya membekap kedua pipiku. Ibu jarinya berusaha mengusap pipiku yang basah oleh air mata. Pasti aku jelek sekali sekarang. Pipi dan hidung merah, mata sembab dan juga mungkin bibir yang agak sedikit membengkak. Aku tidak tahu kenapa tetapi bibirku selalu terasa lebih tebal setiap aku habis menangis kejar.
"Please tell me what's wrong, Ras?" tanya Argio dengan suara yang sangat pelan dan lembut. Seolah khawatir jika dia menaikkan satu oktaf saja suaranya aku akan kembali menangis. "Aku beneran ada salah ya? Maaf ya, maaf karena aku nggak sadar kalau aku bikin salah sama kamu. Kamu mau kasih tahu aku nggak salahku di mana jadi aku bisa minta–Ras kok nangis lagi?"
Air mataku kembali mengalir mendengar bagaimana Argio meminta maaf padaku tanpa tahu apakah ia benar-benar melakukan kesalahan atau tidak. Dan ini pertama kalinya, seseorang meminta maaf dariku setulus ini.
Ini bukan lagi soal pesan singkat antara Akbar dan Argio. Bukan soal Silvania. Tetapi ini soal perasaanku terhadap Argio. Hubunganku dan Argio. Aku merasakan berbagai macam emosi semenjak Argio hadir di hidupku. Meski dalam waktu singkat, perasaanku terhadap Argio semakin berkembang tanpa bisa kucegah. Puncaknya adalah setelah malam pertama kami menjadi pengantin. Tanpa sadar, aku sudah menyerahkan bukan hanya rasa percayaku pada Argio tetapi juga hati dan tubuhku.
Tubuhku jelas sudah lebih dulu tahu apa yang hatiku inginkan. Dibuktikan dengan bagaimana aku tidak pernah menolak setiap sentuhan Argio padaku. Tetapi logikaku memaksa untuk aku bersikap defensif. Hasil dari trauma pengkhianatan Dania dan Haris yang ternyata berdampak cukup besar ke psikisku tanpa kusadari. Hal itu membuatku tanpa sadar memaksa diriku untuk terus denial soal apa yang kurasakan pada Argio sebenarnya.
Karena jika aku tidak merasakan semua perasaan itu, mengapa aku harus kecewa dan marah membaca pesan Akbar? Kenapa aku harus kesal jika ingat lagi soal alasan Argio menikahiku padahal sejak awal aku tahu dan menerimanya. Semua itu mulai mengusikku karena satu-satunya jawaban adalah aku sudah jatuh cinta pada suamiku sendiri.
Argio sudah akan menarikku ke pelukannya lagi ketika aku menarik Argio ke sebuah ciuman. Ciuman itu basah karena air mataku yang masih saja belum mau berhenti. Argio semula kebingungan, bahkan aku bisa merasakan bibirnya tidak bergerak membalas ciumanku sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyerah dan berhenti sebelum semua rasa yang meledak-ledak ini berhasil kutumpahkan.
Tidak lama, aku bisa merasakan Argio menyelipkan jemarinya di sela rambutku sebelum membalas ciumanku. Tidak peduli kami sedang parkir di pinggir jalan saat ini dengan kondisi atap mobil yang terbuka dan semua orang bisa melihat kami.
Tapi untungnya jalanan ini masih saja sepi seperti sejak kami tiba dan orang-orang yang lewat pun tidak akan mengurusi urusan orang lain selama kami tidak mengganggu jalan.
Ciuman basah itu baru berakhir setelah aku bisa merasakan dadaku sesak karena pasokan oksigen menipis. Dahi kami masih saling menempel dan napas kami menderu dan menerpa wajah satu sama lain.
"That was the saltiest kiss I've ever had..." ujarnya masih dengan keadaan dahi kami yang saling menempel. "Kamu udah siap buat cerita sekarang?" tanyanya lagi setelah hanya ada keheningan panjang di antara kita.
Aku menegakkan posisiku sambil mengusak hidung dengan punggung tanganku. Hidungku sampai mampet karena terlalu banyak menangis. "Iya," cicitku pelan. Aku malu karena suaraku super bindeng sekarang.
Argio melirik ke GPS sebelum berkata, "kalau gitu kita lanjutin jalan sampai ke Promthep Cape dulu ya? Baru kita ngobrol di sana."
Aku hanya mengangguk dan mobil kami kembali melaju menuju ke tujuan utama kami.
***
Part yang kalian tunggu-tunggu semakin dekat. Iya, asli ini nggak boong kali ini. HEHEHEHE langit Phuket jadi saksinya euy. WKWK. Commentnya please jangan lupa~~
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro