3. Membuang Sampah
Radifan menjaga rahasia semalam seperti yang kuminta, karena keesokan harinya, baik Dania dan juga Haris bersikap seperti tidak terjadi apa-apa.
Hari itu kami memiliki janji untuk makan siang bersama dengan keluarga Haris sambil merayakan ulang tahun keponakannya. Acara sederhana yang diadakan di sebuah rumah makan padang tidak jauh dari area perumahan kami.
Dania menyenggol lenganku dengan sikunya, "Nggak tidur ya lo semalem?" tanyanya terlihat khawatir. Atau pura-pura khawatir. Bagaimana bisa aku tidur saat aku tahu bahwa sahabatku bermain api dengan kekasihku. Semalaman aku hanya sibuk berpikir apa yang seharusnya aku lakukan. Dari mulai menampar, melabrak, atau bicara baik-baik. Tetapi pada akhirnya aku memilih tidak melakukan semuanya dan hanya bersikap seolah tidak tahu apa-apa.
Aku menggeleng tipis sebelum mengalihkan tatapan. Berpura-pura sibuk dengan macam-macam lauk yang bahkan tidak membuatku berselera sama sekali.
"Tante Dania makasih kadonya! Ira suka sekali!" Ira, keponakan Haris tiba-tiba berseru begitu kado dari Dania berhasil ia buka. Isinya macam-macam mainan dan printilan berbau Frozen yang ia sukai.
"Sama-sama Ira sayang!" Dania mengusap kepala Ira yang memang kebetulan duduk di sisi kirinya. "Tapi kado dari Tante Laras lebih bagus loh daripada kadonya Tante, udah dibuka belum? Ira suka?"
Semua mata dan perhatian keluarga Haris kini tertuju padaku. Aku menoleh ke arah Dania. Dan soal semalam kembali terngiang di kepalaku. Aku mencoba mengenyahkan sambil tanpa sadar meremas tasku yang ada di atas pangkuan.
"Nggak ah, abis kadonya gitu doang."
"Ira, nggak boleh gitu!" Itu suara Mbak Dewi, kakaknya Haris sekaligus ibu kandung Ira. "Makasih juga ya hadiahnya, Tante Laras."
Aku hanya tersenyum tipis. Bahkan kalimat menyakitkan dari anak kecil itu tidak begitu penting dan menyakitiku saat ini. Aku sungguh tidak peduli. Aku hanya ingin cepat pergi karena aku kembali mengingat semua yang terjadi semalam. Aku mual.
"Sayang, kamu sakit? Kok daritadi diam aja?" Kini giliran Haris menyenggolku. "Makanannya juga nggak disentuh." Haris melirik pada piringku yang memang tak tersentuh.
Aku tahu aku begitu bodoh dengan tetap berada di sini sambil berpura-pura semua baik-baik saja. Kini, akibat kebodohanku itu, aku juga yang harus menanggungnya karena tidak bisa melakukan apapun.
Aku terlalu takut mengonfrontasi Haris dan juga Dania. Alam bawah sadarku, masih mencoba menyangkal bahwa dua orang terdekatku sudah mengkhianatiku. Iya, aku bodoh. Aku tahu itu.
Makan siang itu terasa begitu lama. Entah waktu yang bergerak lambat atau karena aku memang sejak awal tidak merasa nyaman di sana dan ingin cepat pergi saja. Tetapi pada akhirnya aku bertahan di sana, setidaknya sampai Ibu Haris membuka suara.
"Nah, mumpung lagi kumpul gini semua Ibu mau tanya dong sama Laras dan Haris kira-kira kalian kapan mau melangkah ke jenjang yang lebih serius, nak?"
Aku terbatuk. Seketika hening dan lagi-lagi seluruh focus keluarga Haris tertuju padaku.
"Ibu, kok tiba-tiba?" tanya Haris yang tampaknya juga terkejut dengan pertanyaan ibunya.
"Habis, kamu sama Laras udah kelamaan loh nak pacarannya. Nggak baik, Ibu juga sudah sering ditanyain temen-temen ibu."
Aku baru akan angkat bicara tetapi harus terhenti ketika Dania bangkit dari kursinya. "Saya permisi ke toilet dulu ya semuanya," pamitnya sebelum kemudian meninggalkan meja.
Aku tidak sempat melihat bagaimana wajah Dania, jika ini terjadi sebelum aku tahu semuanya, mungkin aku tidak akan menganggap sikap Dania tadi tidak wajar. Tetapi setelah aku mengetahui semuanya, aku tidak bisa berpikir baik lagi tentang Dania.
Ditambah lagi, Haris yang ikut pamit ke toilet beberapa saat setelahnya. Mereka benar-benar berpikir aku sebodoh itu untuk tidak menyadari perbuatan mereka. Mungkin, jika aku belum mengetahui tentang hubungan mereka di belakangku aku tidak akan curiga.
Sebelum Dania dan Haris kembali, pada akhirnya aku memberanikan diri bersuara. "Bu, Pak, Mbak Dewi...semuanya, saya mau bicara..."
***
"LARAS! LARAS BUKA PINTUNYA!!!" Suara geduran itu makin keras. Aku bisa mendengar bagaimana Haris bahkan berkali-kali mencoba membuka paksa handle pintu rumahku. "LARAS AYO KITA BICARA! AKU BISA JELASIN RAS!"
Aku merapatkan kedua tanganku di telinga, mencoba untuk tidak mendengar suara kegaduhan di luar sana.
"RAS! LARAS KITA BISA JELASIN!"
Persetan. Apa yang mau dijelaskan oleh mereka? Karena apapun penjelasannya, tidak ada satupun yang bisa menjustifikasi perbuatan mereka di belakangku.
Mereka hanya ingin menjelaskan karena aku sudah tahu. Jika sampai detik ini aku tidak tahu, apa mungkin mereka akan memberitahuku?
"Ras—"
Aku bisa mendengar suara ribut-ribut yang lebih ramai. Sepertinya satpam kompleks dan beberapa warga mulai datang untuk mengusir Haris dan juga Dania karena sudah membuat keributan. Aku memang sudah menghubungi Satpam kompleks untuk mengusir mereka lewat whatsapp. Aku tidak peduli akan kehebohan di luar sana, mengabaikan seruan Haris dan juga tangisan Dania sambil memanggil namaku. Persetan.
Aku memasang headphone yang sangat jarang kugunakan setelah kubeli beberapa bulan lalu. Semua keributan di luar sana perlahan mengilang begitu musik mulai kunyalakan. Aku pikir aku akan menangis kali ini, tetapi nyatanya tidak satupun air mata keluar.
Aku hanya ingin tidur.
***
Menghindari Haris bukan hal yang sulit karena lelaki itu memiliki harga diri setinggi langit. Setelah diusir seperti kemarin, Haris berhenti mendatangi rumahku. Aku tidak tahu apakah dia mencoba menghubungiku lewat pesan atau telfon karena sudah memblockir semua akses darinya. Dan sepertinya Haris juga tidak punya usaha lebih untuk menebus semua itu.
Bukan karena masih mencintainya, tetapi egoku menginginkan setidaknya ada sedikit dari tindakan Haris yang menunjukkan bahwa ia menyesal. Bahwa hubungannya dan Dania tidak sedalam seperti hubungan kami. Bahwa ia lebih mencintaiku disbanding Dania. Nyatanya, aku menemukan diriku berharap pada hal yang sia-sia. Mungkin memang Dania-lah wanita yang diinginkan Haris di dalam hidupnya.
Dan itulah masalahnya. Aku tidak bisa menghindari Dania. Seluruh pekerjaanku kini berkaitan dengannya karena bisnis kami secara teknis dijalankan bersama. Bukan hanya satu atau dua klien yang akhirnya setuju menggunakan jasa sanggarku karena dibawa oleh Dania. Tetapi mendengar namanya saja membuatku mual. Apalagi jika harus berhadapan dengannya. Tetapi menghindar jelas tidak mungkin kecuali kami menghentikan kerja sama kami dan itu berarti aku tidaklah professional.
Nyatanya, aku memang tidak bisa professional. Aku memutuskan untuk menghentikan hubungan bisnisku dan Dania, mengambil risiko kalau mungkin aku harus merombak banyak sekali hal dan menjalin hubungan bisnis baru dengan yang lainnya. Aku tidak peduli. Aku akan menghadapi ratusan hal yang lebih sulit disbanding harus tetap bekerja sama dengan sahabat yang sudah mengkhianatiku.
Aku pikir, Dania setidaknya punya sedikit harga diri dan integritas pada dirinya. Nyatanya, aku baru sadar bahwa aku tidak benar-benar mengenal Dania selama ini.
"Mbak Laras, client untuk bulan Januari tahun depan nelfon dan minta cancel." Mia memberi info hampir serupa yang sudah terjadi kurang lebih selama tiga bulan sejak aku memutus hubungan bisnisku dengan Dania. Sebelum aku bertanya pada Mia mengenai refund, ia lebih dulu menjelaskan, "Client setuju buat potongannya Mbak, katanya berapapun refundnya mereka terima."
Aku memijat pelipis. Sudah tiga client yang mengajukan pembatalan dan juga ada lebih dari sepuluh calon client potensial yang tiba-tiba juga membatalkan rencana janji untuk meeting hingga tidak pernah terdengar lagi kabarnya. Hal itu membuat banyak vendor mengeluh dan protes. Bukan hanya rugi secara finansial, hal ini membuat citra Sanggar Kenanga menjadi buruk. Mulai banyak info mengenai banyaknya orang yang batal menggunakan jasa kami dikarenakan service kami yang buruk. Ditambah lagi, Dania, yang juga sudah memiliki cukup banyak pengikut di social media kini sudah tidak bekerja sama lagi denganku membuat tuduhan-tuduhan itu terdengar masuk akal.
"Rating google dan website kita juga terus turun, Mbak, makin banyak akun bodong ninggalin bad review. Aku nggak tahu gimana caranya mereka bisa ngereview padahal pakai jasa kita aja nggak." Mia sama pusingnya denganku karena ia yang lebih banyak berkutat dengan hal-hal tersebut. Membaca komentar jahat memang mampu membahwa emosi negative juga. "Mbak apa nggak mau nuntut si jablay itu aja?" tanya Mia yang sudah diluputi emosi. Mia tahu ceritaku soal Haris dan Dania.
Entah mengapa aku malah sempat-sempatnya tertawa mendengar ucapan Mia. "Sudahlah, aku males urusan sama mereka, biarin aja."
"Tapi Mbak, kalau nonton kontennya dia tuh kelihatan banget tahu dia giring opini nggak langsung soal mistreatment di tempat kerja lamanya, yaitu di sini. Playing victim banget sialan!"
Aku lagi-lagi tertawa. "Udah Mia, aku nggak apa-apa kok. Lagian masih ada client yang percayakan jasa kita, nggak termakan omongan orang karena memang yakin dengan kualitas kita. Sekarang gimana kita tinggal jaga kepercayaan mereka dan ningkatin lagi service kita lebih baik ke depannya." Aku tahu aku terdengar sangat naïve saat ini. Tetapi aku hanya mencoba untuk tidak terlalu ambil pusing agar tetap bisa waras dan bekerja untuk membayar hutang modal usaha yang kuambil untuk mengembangkan bisnis ini.
Hutang itu masih tersisa beberapa puluh juta lagi dan seharusnya dapat lunas setidaknya awal tahun depan. Tapi dengan segala hal yang terjadi, aku tidak yakin lagi.
***
Surat cinta pertama akhirnya datang juga. Iya, surat tagihan dari salah satu aplikasi pinjam uang online mengenai cicilan hutangku karena aku belum membayarnya meski sudah hampir jatuh tempo. Bukan, tagihan ini bukanlah tagihan hutang usahaku karena aku sudah membayarnya bahkan sebelum tanggal jatuh tempo.
Aku memijat pelipis. Aku lupa kalau pernah meminjamkan Haris dataku untuk mengambil pinjaman online. Aku sudah memblockir seluruh akses Haris tanpa memikirkan bahwa lelaki itu bahkan memiliki hutang yang ia bebankan kepadaku. Aku terlalu percaya padanya sampai tidak pernah benar-benar mencari tahu berapa uang yang ia pinjam dan berapa cicilan yang harus dibayarnya. Akun itu hanya terdaftar atas namaku saja tetapi Haris yang membayarnya selama ini jadi aku tidak pernah mau tahu. Oh, apa lagi ini namanya kalau bukan super bodoh?
Tagihan itu sebesar dua setengah juta. Tidak terlalu besar jika bisnisku berjalan baik-baik saja. Masalahnya, aku saja mulai kesulitan untuk membayar hutang usahaku dan juga berbagai kebutuhan hidup juga membayar gaji karyawan. Dua setengah juta itu terdengar begitu besar untukku saat ini. Apalagi untuk membayari hutang mantan pacar yang sudah menyelingkuhiku dengan sahabatku sendiri. Aku tidak sudi. Tetapi aku juga tidak sudi menghubungi Haris karena ia akan merasa menang. Aku dilemma.
"Mbak ini ya, nasi pakai tunjang dan perkedel semuanya tiga puluh ribu." Aku disadarkan Uda penjual nasi padang tempatku membeli makan siangku hari ini tidak jauh dari kantorku.
Aku mengeluarkan dompet dan membayar pesananku itu setelah memasukkan kembali ponselku ke kantung celana. Aku akan memikirkan soal hutang Haris nanti saja setelah mengisi tenaga.
Letak RM Padang tersebut hanya beberapa puluh meter dari kantorku. Kantor Sanggar Kenanga merupakan bangunan ruko yang letaknya bukan di pinggir jalan besar, bahkan bisa dibilang sedikit masuk ke area pemukiman meski sisi kiri dan kanannya juga ditempati beberapa pertokoan. M
Oh ya, meski di kantor aku memiliki office boy yang biasanya membantu membelikan makan siang para karyawan, hari ini aku memilih untuk berjalan-jalan sendiri sambil mencari udara segar. Meski sebenarnya hal itu mustahil didapatkan dengan kondisi Jakarta yang penuh polusi ini.
Sebuah suara mesin mobil meraung terdengar dari kejauhan. Bising sekali dan norak. Aku tidak pernah suka bunyi mesin mobil seperti itu digunakan di jalan raya—bikin polusi suara saja. Dan benar saja, beberapa detik berikutnya suara itu diikuti sebuah mobil sport berwarna merah menyala yang melesat sangat kencang melewatiku sampai anginnya menghempas debu-debu di jalanan.
"Apaan sih, bahkan ini bukan jalan raya?" Aku benar-benar super kesal sambil mengibas debu tak kasat mata yang berterbangan akibat mobil tersebut. Siapapun pengendara mobil itu semoga jempol kakinya tersandung kaki meja hari ini!
Kakiku berhenti melangkah ketika kulihat mobil sport merah sialan tadi terparkir di depan kantorku. Tidak benar-benar parkir sih lebih tepatnya berhenti sejenak karena kulihat mobil itu masih dalam keadaan mesin menyala dan seseorang duduk di balik kemudi. Aku tidak begitu peduli dan melanjutkan langkahku masuk ke dalam kantor.
Aku disambut dengan Mia yang sedang berbicara dengan seseorang yang berdiri membelakangiku. Mia tampak begitu excited, terlalu bersemangat untuk ukuran bicara dengan client atau mungkin calon client. Aku bisa melihat bagaimana senyumnya sangat lebar dan wajahnya berseri cerah.
Mia menyadari kehadiranku dan dengan antusias menginfokan sosok yang berdiri di depannya tersebut. "Nah itu dia Bu, pemilik sanggar ini! Mbak Laras, ini ada yang mau ketemu Mbak Laras!" Mia mengatakannya dengan begitu bersemangat. Hal itu membuatku semakin mengernyit penasaran.
Wanita di hadapan Mia akhirnya berbalik badan. Aku bahkan tidak sadar wanita itu ternyata sudah cukup berusia karena dari belakang gaya pakaiannya dan posturnya masih tampak sangat muda.
Dari penampilannya tidak sulit untuk mengetahui bahwa wanita di hadapanku ini bukan dari kalangan biasa. Ia memandangiku sejenak dari atas dan bawah dengan tatapan meneliti. Aku baru akan buka suara untuk menyapa ketika ia tiba-tiba saja menghambur ke pelukanku.
"Oh dear finally, Larasku sayanggg!"
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro