Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

29. Phuket Day 1

a/n: Lumayan panjang nih partnya 2.5k words padahal biasanya nggak sampai dua ribu hehe. Semoga tidak bosan karena ini masih edisi Laras-Argio honeymoon.

Part ini tapi nggak sepenuhnya manis doang kok, ada asinnya dikit biar nggak bosen :p

Jangan lupa tinggalin komentar!!!

Enjoy!

***

Kami tiba di Phuket Deep Sea Port sekitar pukul delapan pagi. Orang-orang sudah memenuhi setiap restaurant untuk sarapan sejak pagi sekali karena tidak sabar untuk turun dari kapal dan berkeliling kota Phuket.

Aku dan Argio memutuskan turun dari kapal di sekitar pukul sembilan setelah sarapan. Kata Argio, sudah ada orang dari kenalan Papanya yang merupakan seorang pengusaha asal Thailand menyiapkan mobil untuk kami pakai selama di Phuket ini.

Sebuah Mercedes-Benz SLK berwarna kuning menyambut kami di sebelah seorang lelaki yang memegang tulisan Mr. & Mrs. Pradana.

Argio sempat protes melihat warna mobil berwarna kuning itu karena katanya tampak terlalu mencolok dan terang. Padahal menurutku mobil itu bagus-bagus saja.

Aku menaruh tas kecil berisi beberapa pakaian untuk jaga-jaga mulai dari pakaian ganti dan baju renang juga dalaman. Begitupun Argio. Aku sudah memintanya memasukkan beberapa barang miliknya juga ke dalam tas itu. Meski sebenarnya, kami tidak tahu apakah nanti akan bermalam di hotel di Phuket atau kembali untuk tidur di kapal tetapi berjaga-jaga itu tetap perlu.

"Oke...sekarang kita ke mana dulu?" tanya Argio sambil menekan layar di dashboard mobil.

Aku membuka notes di ponselku yang berisi itinerary yang kubuat secara mendadak semalam sambil mengisi waktu luang saat Argio sedang meeting.

"Phuket Old Town," kataku sambil mengetikkan tujuan itu di layar gps. "Deket kok dari sini."

"Oke, kita berangkat!" Argio mengusap kepalaku sekali sebelum kemudian memegang stir dan mulai menjalankan mobil.

Di Phuket Old Town sebenarnya tidak ada destinasi khusus selain deretan bangunan dengan cat warna-warni dan aksitektur yang khas itu sebagai icon dari daerah tersebut. Aku bisa melihat beberapa turis baik lokal maupun internasional berfoto di sepanjang jalan atau di gang-gang yang tampak menarik.

Argio mendapatkan tempat parkir di sisi jalan yang memang disediakan untuk mobil. Kami turun dan berkeliling untuk berfoto di beberapa spot.

Bagiku yang tidak selalu punya kesempatan berlibur ke luar negeri, aku sudah terbiasa untuk selalu memanfaatkan waktuku setiap kali ada kesempatan. Jika sedang berlibur, aku akan mengexplore sebanyak mungkin agar uang yang sudah kubayarkan jadi tidak sia-sia. Karena belum tentu aku bisa berkunjung ke negara yang sama lagi, kan?

"Ras, sinian!" Argio menarik lenganku karena berjalan terlalu kepinggir. Aku selalu excited setiap kali sedang liburan dan berpetualang. "Kamu tuh kecil, kalau kesenggol bule-bule itu kamu yang mental."

Aku berdecak karena sempat-sempatnya Argio meledekku tetapi hanya sebentar saja karena selanjutnya aku dibuat salah tingkah karena Argio merangkulku di bahu selama kami menyusuri trotoar di sepanjang Phuket Old Town. Argio akan menarikku lebih dekat setiap kali ada orang yang berjalan terlalu dekat denganku dari arah berlawanan agar tidak saling bersenggolan bahu.

Sesekali aku juga memperhatikan ekspresi Argio karena jujur saja aku takut kalau Argio akan protes dengan pilihanku mengajaknya ke sini. Aku khawatir jika bagi Argio yang mungkin sudah terlalu sering berlibur ke luar negeri mungkin kegiatan seperti ini akan membosankan untuknya. Tapi untungnya, sejak tadi aku tidak melihat ekspresi bete atau protes Argio sekalipun. Bahkan Argio juga tidak menggerutu seperti yang biasa ia lakukan saat ada sesuatu terjadi tidak sesuai keinginannya. Bisakah aku menyimpulkan kalau Argio memang tidak keberatan ke tempat ini bersamaku?

"Ras, ada es gelato tuh. Enak kayaknya panas-panas gini."

Udara di Phuket memang panas sekali meski ini baru mau jam sepuluh pagi. Untung aku dan Argio sama-sama mengenakan baju yang nyaman dan menyerap keringat.

Aku melihat ke arah yang ditunjuk Argio. Sebuah kedai kecil yang menjual es krim gelato. "Boleh deh." Kami lalu berjalan memasuki toko tersebut dan keluar dengan memegang es gelato mengenakan cone di masing-masing tangan kami. Aku rasa matcha dan Argio memilih rasa milky mango.

Kami memutuskan untuk makan sambil jalan dan melihat-lihat agar tidak hanya menghabiskan waktu di satu tempat saja karena setelah ini kami harus pergi ke tempat berikutnya yang jaraknya lumayan dari sini.

Aku menjilat es krimku dan merasakan sensasi pahit dari matcha itu menyapa lidahku. Ini adalah tipe matcha kesukaanku karena masih ada rasa pahitnya. Enak.

"Abis ini kita ke mana?" tanya Argio padaku sambil menjilati es krimnya juga. Karena udara begitu panas, es kami sangat cepat mencairnya jadi kami harus selalu menjilatinya agar tidak belepetan ke mana-mana.

"Uhm...kalau di itinerary-nya sih kita langsung ke Big Buddha aja biar abis itu bisa lanjut ke Wat Chalong terus cari makan siang sebelum lanjut ngejar sunset di Promthep Cape."

Argio hanya mengangguk-anggukan kepala tanpa bertanya lebih padaku tempat-tempat apa saja itu dan seberapa jauh tempatnya.

"Kok kamu nggak nanya sih Gi, itu tempat apa aja? Nggak takut tempatnya nggak seru dan ngebosenin?" tanyaku mulai merasa ada yang aneh. Aku takut karena itinerary ini semua dibuat berdasarkan keputusanku seorang saja tanpa berdiskusi lebih dengannya. Bagaimana kalau Argio juga punya tempat yang ingin ia datangi?

"Nggaklah, nggak bakal ngebosenin kok."

"Loh kenapa?" tanyaku semakin bingung dengan jawabannya. Aku sampai melupakan es krimku yang mulai mencair dan meleleh di tanganku karena terlalu fokus ingin mendapatkan jawaban jujur Argio. "Kenapa bisa yakin nggak bakal ngebosenin?"

Argio berhenti menjilati es krimnya dan menatapku. Tampaknya dia tidak mengira kalau aku akan overthinking dengan jawabannya tadi. Mata Argio menatapku beberapa saat sebelum ia menunduk dan menjilat es krim di tanganku.

Bukan. Bukan es krimnya yang Argio jilat tetapi justru tanganku yang menggenggam cone es krim tersebutlah yang dijilatnya. "Meleleh tuh es-nya, kamu kebanyakan bengong." Seolah tidak baru saja melakukan hal yang membuatku menahan napas, Argio menjilat kembali es krimnya seperti tanpa dosa dan berkomentar, "Es krim kamu rasanya kayak rumput."

Aku berkedip. Argio sudah beberapa langkah meninggalkanku ketika sadar aku berhenti berjalan dan menoleh. Senyum badung menyebalkan itu muncul lagi. Tetapi kali ini tidak membuatku kesal seperti biasanya malah melainkan senyuman itu membuatku berdebar.

Argio melangkah kembali ke arahku sebelum menarik pinggangku dan merangkulnya di sana. "Dijilat dong es krimnya, Ras, sebelum kamu yang aku jilat nanti."

***

"Gila, ini sih naik-naik ke puncak gunung!" Argio berkomentar ketika mobil kami sudah berbelok dari jalan raya besar memasuki jalanan dua arah yang lebih sempit.

Argio tidak salah. Kami memang sedang naik ke atas gunung menuju ke salah satu kuil atau temple yang menjadi salah satu destinasi wisata terkenal di Phuket ini. Namanya Big Buddha. Seperti namanya, icon dari temple ini adalah sebuah patung Buddha raksasa yang letaknya berada di dataran tinggi di Phuket.

Kami melewati beberapa kebun dan pepohonan sepanjang perjalanan menuju ke atas. Yah, mirip-miriplah dengan jalanan ke daerah pegunungan di Indonesia terutama di Pulau Jawa.

Jalanannya menanjak dan di beberapa titik lumayan curam juga berkelok-kelok.

Lagi-lagi aku memandang khawatir ke arah Argio. Takut jika lelaki itu merasa kesal atau tidak suka dibawa ke tempat ini. Tetapi Argio hanya mengeluh sekali soal jalanannya karena tidak pernah membawa kendaraan di medan seperti ini. Selebihnya, ia tidak mengatakan apapun dan bersikap biasa saja.

"Nanti dari sini mau gantian aku yang nyetir, Gi?" tanyaku kepada Argio karena merasa tidak enak dengannya.

Argio mengernyit sambil melirikku sekilas. "Kenapa? Kamu mau nyetir?" tanyanya bingung.

"Takut kamu capek aja."

"Apa sih Ras, nggak usah lebay." Lagi-lagi Argio mengusap kepalaku seperti itu kini sudah menjadi kebiasaan baru baginya. "Disuruh nyetir sampai ke ujung Phuket juga aku kuat asal abis itu recharge energi sama kamu."

Selain jadi clingy, aku bisa merasakan perubahan lain dari Argio. Dulu, Argio juga sering berkata hal-hal menggoda atau gombal tetapi dengan maksud membuatku kesal. Kini, semua kata-kata gombal Argio itu tidak lagi berefek seperti itu padaku. Aku jadi bertanya-tanya sebenarnya siapa yang berubah di sini? Aku atau Argio?

Atau malah kami berdua?

"Emangnya aku powerbank bisa dipake ngecas?" Aku berusaha terdengar biasa saja karena gombalannya barusan. Entah mengapa sesuatu di hatiku mengatakan bahwa aku tidak boleh terlalu terbawa suasana saat semua ini belum jelas.

Tapi memangnya apa yang mau diperjelas? Fakta bahwa kami adalah sepasang suami istri yang terikat janji suci baik secara agama dan negara bukankah sudah lebih dari cukup?

Atau aku hanya ingin mendengar langsung dari mulut Argio sendiri jika memang sesuatu telah berubah di antara kami berdua?

"Kan sama-sama bisa dicolok–ADUH!" Argio mengusap bahunya yang baru saja terkena pukulanku. "Lubang hidungnya Ras, maksudku! Ampun! Kamu tuh kok seneng banget mukulin aku sih?"

"Makanya jangan suka ngomong sembarangan."

Tidak lama dari itu kami sampai di temple Big Buddha. Dari gerbang depan saja, patung Buddha super besar itu sudah menyambut kami. Dan aku baru sadar seberapa besarnya patung itu dari dekat.

Tempat ini merupakan wisata gratis yang bisa didatangi siapapun. Warga lokal ataupun turis. Baik untuk mereka yang memang ingin beribadah atau hanya melihat-lihat isi temple, patung Buddha besar dan juga pemandangan indah Phuket dari atas ketinggian. Yang penting semua pengunjung mengikuti aturan dan menjaga kebersihan serta adab mereka karena meski ini terbuka untuk umum, temple ini tetaplah sebuah rumah ibadah.

Saat kami sampai, sudah banyak turis yang juga berdatangan. Aku lihat ada beberapa mini van yang terparkir di dekat mobil kami parkir tadi yang sepertinya memang mengantar rombongan turis ke sini. Tetapi tempat ini sangat luas jadi ada banyak tempat untuk orang-orang bisa menikmati pemandangan.

Aku termasuk yang jarang mengambil gambar diriku sendiri saat liburan. Tetapi aku fokus mengambil gambar-gambar tempat yang kukunjungi. Tetapi karena Argio menawarkan diri untuk mengambil foto untukku sejak di Phuket Old Town tadi, aku jelas tidak menolak. Apa lagi hasil foto yang Argio ambil hasilnya sangat bagus.

"Miring dikit Ras–nah iya bagus gitu. One...two...three!" Argio sampai sedikit berjongkok untuk mengambil angle foto yang bagus untukku padahal foto biasa saja juga cukup. Dan hal ini mau tidak mau jadi mengingatkanku pada Haris.

Aku tidak pernah bermaksud untuk membandingkan. Apalagi jelas, Haris bahkan tidak layak untuk dibandingkan dengan Argio. Sama sekali. Tetapi otakku mau tidak mau tetap melakukannya. Mungkin karena Haris adalah satu-satunya mantan pacar yang kupunya dan juga hubungan kami berakhir dengan cara yang buruk dan belum terlalu lama.

Salah satu yang jadi alasan aku malas berfoto saat liburan adalah karena Haris selalu tidak niat ketika mengambil foto untukku. Hasilnya buram, ratio fotonya tidak proporsional, bad lighting atau bahkan ada foto yang membuatku jadi kelihatan sangat pendek.

Aku tahu kalau mengambil foto itu punya teknik tersendiri. Tetapi tidak semua orang harus jadi profesional untuk bisa mengambil gambar yang bagus. Yang mereka butuhkan hanyalah effort. Iya, usaha.

Aku baru sadar bahwa selama ini aku benar-benar tidak pernah diusahakan oleh Haris dalam banyak hal. Bahkan sekecil minta difotokan, Haris melakukannya dengan setengah hati.

Aku benar-benar sudah dibutakan oleh cinta selama ini.

"Ras?" Panggilan Argio menyadarkanku dari lamunan. Aku sampai tidak sadar sudah melamun karena mengingat-ingat soal Haris. "Kok bengong? Capek?"

Aku menggeleng. Kulihat Argio mengernyit di bawah terik matahari siang itu yang menerpanya. Pipinya juga sedikit kemerahan karena paparan sinar matahari yang semakin terik itu karena sekarang juga sudah mendekati tengah hari.

Aku berjalan mendekati Argio dan menyeka keringat yang mulai membasahi dahinya. Kacamata hitamnya terpasang di atas kepala, menarik poninya yang tidak ia tata dengan gel rambut seperti hari biasa itu ikut tersibak ke belakang. "Kamu udah pakai sunscreen sama sunblock kan, Gi?" tanyaku memastikan. Khawatir Argio terkena sunburn karena kulihat kulitnya gampang memerah jika terkena matahari.

"Udah kok, tapi ini memang panas banget sih jujur." Argio mengibas kemejanya di bagian yang tidak terkancing. Hari itu Argio menggunakan kemeja berbahan linen lengan ¾ berwarna aqua blue serta celana pendek selutut berwarna putih. Tampak sangat casual tetapi tetap tampan. "Pipi kamu juga udah merah gini, kita ngadem yuk?"

Aku secara refleks menyentuh pipiku sendiri. Khawatir kalau merah di pipiku bukan karena matahari tetapi karena lelaki yang berdiri cukup dekat di hadapanku saat ini.

"Boleh, tadi aku lihat sebelum masuk ke sini ada toko-toko gitu yang jualan souvenir dan makanan sama minuman. Kita beli minum sambil ngadem di sana aja kali, ya?"

Argio hanya mengangguk sambil memasukkan ponselnya yang ia gunakan untuk mengambil fotoku ke kantung celananya. Sebenarnya aku meminta Argio mengambil foto menggunakan ponsel pribadiku sebelumnya, tetapi kata Argio kamera hpnya lebih bagus karena memang tipe hp Argio adalah keluaran terbaru pro. Sedangkan hpku adalah dua tipe di bawah hpnya dan bukan tipe yang pro. Jelas kualitas kameranya tidak bisa dibandingkan.

"Aku mau lihat foto-fotonya dulu boleh nggak, Gi?" tanyaku saat kami berjalan menuju ke pintu keluar ke arah di mana toko-toko yang kumaksud tadi berada.

Argio mengeluarkan lagi ponsel itu dan memberikannya padaku setelah kuncinya terbuka. "Bagus-bagus kok fotonya, lagian semua tergantung objeknya."

Lagi-lagi Argio dan gombalannya.

"Maksudku objeknya tuh patung Buddhanya, kamu jangan ge-er!"

Aku hanya mendelik sedangkan Argio malah terbahak dengan jokesnya sendiri. Kami masih berjalan bersisian sambil aku yang melihat-lihat foto-foto yang Argio ambil tadi.

Jumlah fotonya lebih banyak dari yang kuduga. Mungkin karena aku terlalu senang sampai tidak sadar kalau aku mengambil banyak sekali foto. Ada juga foto kami berdua yang diambil secara selfie dan juga hasil meminta tolong turis lain.

Kami sampai di toko yang menjual beberapa snack dan minuman dan lain-lain yang tidak kuperhatikan. Argio menyuruhku duduk di kursi kayu panjang yang tersedia di toko selagi ia yang membeli. "Kamu mau apa, Ras?" tanyanya padaku yang masih fokus ke layar ponselnya.

"Uh–air mineral dingin aja, Gi, thanks," kataku tanpa melihat ke arahnya.

Selagi Argio membeli, aku melanjutkan kegiatanku menscroll isi galeri foto Argio. Selain foto-foto yang Argio ambil untukku dan bersamaku, ada juga beberapa fotoku yang diambil saat aku sedang tidak sadar kamera.

Foto-foto itu adalah foto candid yang Argio ambil ketika aku sedang fokus foto-foto pemandangan dan objek di sekitarku yang kurasa menarik menggunakan ponselku sendiri.

Lalu ada sebuah video pendek juga yang durasinya tidak sampai lima belas detik. Video itu diambil dari posisi yang lebih rendah dari tempatku berdiri. Sepertinya itu di tangga di depan patung Big Buddha. Aku sudah duluan naik ke atas saat Argio masih beberapa anak tangga di bawahku.

Fokus video itu adalah aku yang juga sedang merekam pemandangan di sekitar sambil tersenyum sangat lebar. Tadinya kupikir itu hanya video asal saja, tetapi ternyata ketika kudekatkan ponsel itu ke telinga ada suara Argio yang ikut terekam di sana.

"Lihat istri gue kena panas tengah hari bolong gini bisa-bisanya masih ceria."

Shit. Lagi-lagi debaran itu datang lagi tanpa bisa kucegah. Bahkan kali ini rasanya jauh lebih intens dari biasanya. Padahal kata-kata itu tidak spesial. Tidak ada pujian apapun bahkan di sana tetapi cukup untuk membuat jantungku berdebar keras dan perutku mulas.

Ting!

Ponsel Argio berdenting diiringi sebuah pop up notification dari aplikasi pesan singkat. Aku tidak bermaksud membaca pesannya tetapi mau tidak mau pesan itu terbaca juga. Dari Akbar.

Akbar: Stop pamer soal istri lo boss

Akbar: Udah iya gue akui lo menang sekarang jadi stop ganggu gue ngerjain kerjaan lo yang harus gue handle karena lo cuti honeymoon anjinggg

Akbar: *boss maksudnya, anjingnya typo

Aku langsung menggeser pop up notification itu ke atas dan mengunci ponselnya. Khawatir Argio mengira aku membaca pesannya tanpa izin. Apalagi pesan itu sedang membicarakan aku.

Menang? Mengapa Akbar harus berkata seperti itu saat sedang membahasku? Apa yang Argio menangkan dari Akbar? Apa jangan-jangan Argio bertaruh sesuatu dengan Akbar soal aku?

Seketika perasaan dan pikiranku mulai berkecamuk. Satu-persatu perubahan Argio yang terlampau drastis dalam waktu singkat ini membuatku mulai bisa mengambil kesimpulan.

Seharusnya aku tahu kalau tidak mungkin perasaan Argio berubah secepat itu. Sejak awal ia menjadikanku pengantin cadangan untuknya karena ia masih terlalu mencintai Silvania. Argio terlalu mencintai Silvania sampai di tahap ia bahkan rela menikah dengan orang yang baru dikenalnya hanya karena ia ingin balas dendam dan membuat marah Silvania.

Untuk pertama kalinya sejak kami menikah, aku merasa marah karena semua fakta itu.

***

a/n: jiakh lagi honeymoon malahan berantem HAHHAHA main juga belum.

Btw aku penasaran dong kalau kalian maunya Laras-Argio bobo barengnya setelah udah sadar dan ngaku saling cinta aja atau justru bobo bareng dulu biar sadar perasaan mereka? Comment di sini coba! [Btw jawaban kalian nggak akan mempengaruhi plotnya ya, ini pure aku penasaran pendapat kalian aja~]

Ohiya ini beberapa gambar tempat yang Laras dan Argio kunjungin biar bisa kebayang di kalian hehe.

Phuket Old Town

Big Buddha Temple

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro