Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27. Sleep and punishment

a/n: sorry kemarin nggak sempet update soalnya lagi menikmati weekend. Hehe. Kali ini full moment manis-manis Argio sama Laras lagi ya.

Semoga belum pada bosen karena memang part honeymoon mereka bakalan full manis-manis sebelum nanti drama-drama huehehe.

jangan lupa ramaikan kolom komentarnya guysss!

***

"Kamu mau tidur di sini atau di bawah?" tanyaku pada Argio yang baru saja keluar dari kamar mandi dan sudah menggunakan pakaian tidurnya.

Aku sendiri baru selesai mengeringkan rambutku yang basah karena aku baru saja keramas. Aku memang suka keramas malam hari sebelum tidur karena bisa membuat tidurku lebih nyenyak.

Argio menatapku dengan ekspresi seperti aku baru saja bicara dengan bahasa alien. "Kenapa emangnya kamu nanya gitu?" tanyanya seolah tersinggung dengan pertanyaanku barusan. "Kamu nggak berpikir mau tidur di kamar terpisah sama aku, kan?"

Aku tidak menyangka reaksi Argio akan seperti itu karena pertanyaanku tadi. Padahal aku tidak berpikir soal berpisah kamar. Maksudku, aku hanya ingin bertanya padanya dia mau tidur di kamar ini atau di kamar bawah dan aku akan ikut bersamanya.

Kami sudah tidur sekamar dan sekasur di malam pertama kami. Lalu di malam kedua, kami juga tidur sekamar meskipun tidak terjadi apapun. Dan secara teknis, ini adalah malam ketiga kami. Aku sudah tidak pernah terpikir lagi untuk pisah tempat tidur dengan Argio karena merasa itu memang hal yang sudah seharusnya.

Tapi melihat reaksi Argio tadi malah membuatku jadi terpikir untuk mengusilinya sedikit. Oke, salahkan Argio yang dulu senang menggangguku hingga kini tanpa sadar aku jadi ikut terinfluence olehnya.

"Kok nggak jawab, Ras?" tanya Argio karena aku masih tidak menjawab pertanyaannya. "Kamu seriusan mau tidur pisah kasur sama aku? Really?"

"Kan sayang Gi, toh kamarnya ada dua. Kalau satunya nggak dipakai jadi mubazir."

"Nggak ada ya! Enak aja!" Argio berseru protes. Tangannya berkacak pinggang dan tatapannya seolah siap menerkamku. Terkam dalam arti buruk. "Persetan amat sama kamar yang nggak kepake! Pokoknya kita harus tidur sekasur, titik!"

Aku berusaha mengatur ekspresiku, padahal aslinya aku sudah sangat ingin tertawa. "Tapi kan Pak Tegar udah pesenin room dengan dua kamar buat kita, bukannya itu artinya Papa kamu nggak bolehin kita tidur di kasur yang sama?" tanyaku pura-pura polos.

Mata Argio semakin membulat seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Are you crazy for real, Ras?" Sepertinya Argio betul-betul merasa aku serius soal ucapanku, ekspresi tersinggungnya terlihat sangat menggemaskan sekarang. "Papaku itu cuma pesanin kamar termahal aja buat kita–he don't even care about how much room inside! Aku berani jamin, Papa cuma suruh asistennya yang booking itu jadi nggak tahu soal detailnya!" Argio benar-benar terdengar bersungguh-sungguh meyakinkanku soal alasan Papanya memesankan kamar ini untuk kami.

Aku masih berusaha terdengar tidak yakin dengan penjelasannya. Itu membuat Argio berdecak frustasi sambil mengacak rambutnya. "Sekarang gini deh Ras, whatever alasan Papa pesan kamar ini, kalaupun emang itu alasannya pun, peduli amat nggak sih? Lagian di kamar ini kan cuma ada kita berdua! Dia juga nggak bakalan tahu, tuh!" Argio lalu menatapku dengan dahi mengerut, seperti ekspresi orang yang curiga. "Atau jangan-jangan memang kamunya aja ya nggak mau tidur sekasur sama aku, Ras? Iya?" tanyanya dengan nada tersakiti.

Aku benar-benar sudah tidak tahan lagi, sudut bibirku bahkan sudah berdenyut ingin tersenyum tetapi aku berusaha menahannya. "I think we need space for tonight, Gi." Aku benar-benar akan berkata kalau ini hanya candaan semata ketika kulihat tatapan Argio benar-benar terlihat...kecewa ketika menatapku.

"Why, Ras?" tanyanya juga dengan nada yang sama kecewanya. "Aku ada salah ya sama kamu? Apa karena aku nggak bisa berhenti nyiumin kamu? Kamu nggak ngerasa aman kah tidur satu kasur sama aku?" Argio memberondongiku dengan pertanyaan yang kini membuatku jadi merasa bersalah dibanding terhibur seperti sebelumnya.

Aku tidak menyangka Argio akan berpikir demikian. Padahal kalau ditarik ulang ke belakang, meski Argio selalu menyiumiku dan bagaimana hal-hal nakal dan panas yang sudah kami lewati selama beberapa waktu ini jelas tidak ada satupun yang membuatku merasa tidak aman. Aku turut berpartisipasi aktif dalam semua kegiatan itu karena sama seperti Argio, aku pun menikmatinya.

Aku tidak bisa berhenti mencium Argio sama seperti dia yang tidak bisa berhenti menciumku. Kami berdua berada di posisi yang sama. Bahkan setelah dinner kami tadi, aku yang mencium Argio duluan begitu kami sampai di kamar.

"Ras, meski aku terkesan kayak cowok mesum sangean beberapa waktu belakangan ini tiap lagi sama kamu tapi sumpah demi apapun, aku nggak akan ngelewatin batas. Maksudku... kalau kamu nolak pas aku cium aku nggak akan paksa. Begitu pun soal seks. Aku nggak akan lakuin tanpa izin kamu, sumpah Ras!"

Mendengar itu hatiku menghangat. Aku teringat bagaimana dulu Haris ngambek dan memusuhiku selama beberapa hari karena aku menolak diajak berciuman. Kami baru berdamai setelah aku setuju ciuman dengannya meski ciuman itu akhirnya hanya berupa kecupan biasa saja. Padahal secara teknis Argio adalah suamiku yang mana sah-sah saja jika ia meminta jatah dariku, tapi sejak malam pertama kami, semua hal panas yang terjadi di antara kami semuanya terjadi dengan keinginan kedua belah pihak.

"Tapi kalau kamu memang nggak nyaman buat tidur satu kamar sama aku malam ini aku–" Aku menarik Argio dan menghentikan ia bicara dengan ciuman liar dan panas. Ciuman yang sama seperti yang kuberikan padanya begitu kami kembali dari dinner kami beberapa saat yang lalu sebagai hadiah. Tapi kini, ciuman ini untuk menghentikan Argio dari membuat hatiku semakin lemah karenanya.

Aku tidak siap jika hatiku benar-benar dibuat jatuh padanya secepat itu.

Argio awalnya tampak terkejut dengan serangan tiba-tiba dariku. Tetapi perlahan ia mulai mengikuti tempo ciumanku. Tangannya kini sudah meremas pinggangku selagi bibirnya mencoba membalas setiap hisapan dan lumatan yang kuberikan.

Aku menjauhkan wajahku ketika merasa pasokan oksigen sudah menipis dan benang saliva tercetak di antara kami begitu aku menjauhkan bibirku. Hal itu menunjukkan seberapa panasnya ciuman kami tadi.

"What was that for?" Argio akhirnya bertanya karena ia sudah super kebingungan dengan segala tingkahku. "Kirain aku kamu–"

"Itu untuk menjawab pikiran kamu soal aku yang nggak menikmati setiap ciuman kita dan anggap kamu ancaman. I just want to tell you, that you're not. Setiap ciuman dan hal-hal nakal lain yang sudah kita lakukan itu semuanya aku lakukan karena sadar dan aku mau." Meski malu aku tidak mau membuat Argio berpikir bahwa apa yang kami lakukan ini hanya ia sukai sepihak jadi aku berusaha menjelaskannya meski pipiku sudah semerah tomat hanya untuk mengakui hal tersebut. "Dan soal nggak mau tidur sekasur itu aku cuma bercanda, tadinya aku cuma mau nanya sama kamu mau tidur di mana, aku pasti ikut ke–ARGIO!"

Argio tiba-tiba saja mendorongku ke tempat tidur membuatku secara otomatis jatuh terlentang di atas sana. Untung saja kasur di kamar ini sangat empuk sehingga punggungku tidak perlu merasa sakit karena serangan tiba-tibanya. "Apa sih! Kok tiba-tiba aku didorong?" tanyaku sambil berusaha bangkit tetapi Argio lebih dulu naik ke atasku dan mengungkungku.

"Cuma bercanda kamu bilang?"

Aku menelan ludah. Tidak menyangka ia akan bersikap seperti ini karena mengusilinya. "Gi, sorry maksudku–"

Argio menghentikan ucapanku dengan meletakkan jarinya di bibirku. Otomatis aku tidak melanjutkan kata-kataku. "Udah berani isengin suaminya, minta banget dihukum ya?"

Mataku membulat. "What? Hukum? Kamu ngomong ap–"

"Sshhh!" Lagi-lagi Argio menekan jarinya di bibirku dan menahanku untuk tidak melanjutkan apapun yang ingin kukatakan. "Kamu yang minta, Ras, siapa suruh iseng."

Napasku memburu entah untuk alasan apa. Aku tidak bisa dikatakan takut meski Argio berusaha mengintimidasiku. Tetapi dibanding takut, aku malah merasa berdebar dan penasaran dengan hukuman yang Argio maksud. Ada apa denganku sebenarnya? Apa aku mulai punya pikiran mesum seperti Argio?

Tangan Argio yang semula di bibirku bergerak turun ke dagu, leher lalu ke dadaku. Kerah baju tidurku yang berbentuk kaos itu tertarik ke bawah sehingga kulit dadaku sedikit terekspos tetapi ia terus menurunkan jarinya terus ke bawah melewati perutku.

Di sini, aku sudah menahan napas. Segala pikiran liar di antara kami mulai berkecamuk dan ingatan soal apa yang kami lakukan sebelum dinner kembali membayangiku.

Di mana aku memberitahu Argio bahwa aku sudah basah di bawah sana setelah memberinya blowjob meski itu berhasil membuat seluruh wajahku merah seperti kepiting rebus. Lalu Argio yang awalnya terkejut segera menghampiriku dan kemudian dalam hitungan detik mengangkat tinggi bagian bawah gaunku. Ia memintaku mengiggit ujung gaunku seperti yang ia lakukan dengan kemejanya saat aku memberinya service oral di bawah sana untuknya.

Tentu saja lututku gemetar tetapi aku tidak memikirkan hal lain karena pikiranku juga sudah dipenuhi kabut gairah. Tangan Argio lalu masuk di selipan antara kedua pahaku. Menyampirkan celana dalamku yang sudah sangat lembab. Jarinya menyentuh, mengusap dan melakukan berbagai upaya yang kemudian membuat tubuhku menegang sebelum kemudian lemas seperti jelly.

Iya, Argio memberiku klimaks hanya menggunakan tangan dan jarinya.

Aku kembali ke masa sekarang. Bukan saatnya untuk berpikir soal itu sekarang saat tangan Argio sudah berada sangat dekat dengan organ kewanitaanku yang masih tertutup dengan pakaian lengkap di bawah sana.

Aku menelan ludah dan mataku terpejam erat. Kupikir Argio akan menyentuhku lagi di sana tetapi yang kurasakan justru tangannya hilang dari atas tubuhku.

Sedetik, dua detik aku menunggu sampai akhirnya aku membuka mata dan ekspresi usil nan tengil Argio adalah hal pertama yang kulihat di depan mataku.

"Istri nakal harus dihukum!"

"GIII!" Aku langsung menjerit sambil tertawa karena tiba-tibas aja Argio sudah menggelitiki pinggangku. Aku bukan orang yang sensitif dan mudah geli, tetapi kalau sengaja digelitiki tetap saja tubuhku merespon.

"ARGIO UDAHH AHAHAHAHAH!" Aku benar-benar tertawa tanpa henti karena Argio juga semakin meningkatkan itensitas gelitikannya di pinggangku. "Udah! Udah! Ampuuun!" Air mata sampai sudah memupuk di sudut mataku karena terlalu banyak tertawa.

Argio sendiri ikut tertawa puas melihatku tersiksa karena gelitikannya. Dan bukannya berhenti ia malah mendekatkan wajahnya dan menjatuhiku ciuman di seluruh wajahku. "Bilang dulu, ampun suamiku yang super ganteng, istrimu ini nggak akan nakal lagi. Ayo bilang!"

Aku masih memohon pengampunan dari Argio di tengah tawaku yang makin histeris. Aku akan balas dendam padanya nanti! Awas saja! "Ampun suamiku yang sup–hahahaha–super ganteng!" Aku tersengal dan tersedak oleh tawaku sendiri. Susah payah aku menyelesaikan kalimat super cringe yang diminta Argio itu demi ia menghentikan penyiksaan ini. "Istrimu ini nggak–hahahaha-nggak akan nakal lagi. GI UDAH PLEASE!"

Argio akhirnya berhenti dan tertawa puas. Harusnya aku menggunakan kesempatan ini untuk balas dendam atau paling tidak meninjunya. Tetapi Argio malah menjatuhkan dirinya yang semula hanya setengah menindihku. Aku bisa merasakan Argio meletakkan wajahnya di antara ceruk leherku. Ia menghirup aromaku dalam-dalam di sana. Tangannya melingkari perutku.

"Mama pernah bilang sama aku, kalau sehebat apapun pertengkaran antara suami-istri, sebaiknya mereka tetap tidur satu kasur." Aku bisa merasakan hangat napas Argio menerpa kulit leherku ketika ia bicara. Aku hanya mendengarkan. "That's why, soal tidur terpisah itu hal yang sensitif untuk aku. Dan aku juga mau, kalau suatu hari kita berantem...kita tetap tidur di satu kasur dan bisa menyelesaikannya sebelum hari berganti."

Aku tidak tahu sejak kapan pernikahan ini mulai terasa seperti pernikahan normal pada umumnya. Meski alasan pernikahan ini awalnya sangat konyol dan penuh keputus asaan, entah sejak kapan aku dan Argio mulai menaruh harapan kami dalam pernikahan ini.

Napas Argio semakin teratur di leherku dan itu membuatku perlahan-lahan juga mulai merasa mengantuk. Dan begitulah kami mengakhiri hari ketiga kami sebagai sepasang suami istri.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro