25. Getting ready for the dinner
a/n: update pendek tapi...jshfsfsk. Yah maklumin deh namanya juga pengantin baru lagi honeymoon wkwkw
*
*
*
Terakhir kali aku menggunakan sebuah gaun yang terbuka adalah saat di mana aku pergi ke nightclub milik Argio dan bertemu dengannya di sana. Setelah itu, tentu saja aku tidak pernah menggunakan gaun glamour yang terbuka semacam itu lagi. Selain karena tidak ada kesempatannya, aku memang tidak punya gaun-gaun seperti itu.
Tetapi kini, aku menemukan beberapa gaun semacam itu berada di dalam koperku. Ini semua adalah pakaian yang disiapkan oleh Mama Ambar dan personal shoppernya untuk trip bulan maduku bersama Argio.
Gaun pertama adalah gaun berwarna hitam dengan potongan dada rendah, panjangnya sampai betis tetapi belahan di sebelah kirinya mencapai ke paha atasku bahkan sedikit lagi aku rasa celana dalamku bisa mengintip di baliknya. Aku tidak mungkin menggunakan gaun itu.
Ganti ke gaun kedua. Gaunnya lebih sederhana dan masih berwarna hitam. Panjangnya juga sampai bawah tanpa ada belahan. Bahannya seperti beludru tetapi tidak terasa gerah atau panas saat menyentuh kulit. Jika kugunakan sepertinya bentuknya akan mengikuti lekuk tubuhku. Potongan kerahnya berbentuk square dan kemungkinan akan memperlihatkan area dadaku.
Aku tidak membuang waktu untuk mengecek gaun ketiga dan memilih gaun kedua untuk digunakan malam ini.
Matahari sudah tampak tenggelam ketika aku selesai mandi dan mengeringkan rambutku di kamar mandi lantai atas. Keberadaan Argio tidak terlihat, mungkin ia sedang mandi di kamar mandi bawah–entahlah tapi kulihat koper miliknya juga sudah tergeletak di sebelah koperku yang terbuka yang menandakan Argio juga sepertinya sedang bersiap-siap.
Kugantung gaun itu di walk in closet, untungnya aku tidak perlu menyetrika uap lagi gaun itu karena bahannya memang tidak mudah kusut meski terlipat di dalam koper. Aku beralih mengeluarkan pouch make up milikku yang isinya tidak seberapa itu. Make up pallet yang kubawa bahkan warnanya tidak terlalu beragam dan lebih cocok untuk daily make up, aku harus berterima kasih karena Mama Ambar menyelipkan beberapa buah make up di dalam koperku juga untuk jaga-jaga.
Aku menatap rambutku yang sudah kering dan tampak tergerai lurus tak menarik setelah dikeringkan hairdryer. Aku juga membawa catokan sekaligus curling tetapi tidak tahu harus melakukan apa dengan rambutku malam ini. Aku selalu menata sendiri rambut dan riasanku setiap kali event wedding tetapi itu hanya gaya simple karena aku di sana untuk bekerja. Jika memang harus datang ke pesta pernikahan sebagai tamu, biasanya aku pergi ke salon untuk minta dibantu ditata sedikit rambutnya jadi aku tidak yakin apakah aku bisa menata sendiri rambutku malam ini untuk acara dinner.
Aku mengecek ponsel dan mengetikkan hairstyle ideas for dinner di sana sebagai referensi. Meski pada akhirnya aku menyerah karena tidak satupun bisa kuikuti. Jadi aku memutuskan menggelung rambutku ke belakang seperti biasa, namun kali ini aku sengaja membuatnya sedikit lebih messy dengan beberapa anak rambut yang kubiarkan mencuat keluar.
Setelah selesai dengan urusan rambut, aku memulai merias wajahku. Meski tidak bisa teknik-teknik make up yang rumit setidaknya untuk membuatku terlihat proper aku masih bisa. Dan aku tidak membutuhkan waktu terlalu lama sampai persiapanku untuk dinner malam itu selesai lebih cepat dari yang kuduga.
Melihat ke jendela, langit bahkan masih terlihat kebiruan meski sudah mulai bercampur dengan warna jingga. Sepertinya masih ada banyak waktu sebelum dinner kami dimulai.
Oh iya, kapal kami kini sedang berlayar menuju destinasi pertama yaitu Phuket, Thailand. Di hari pertama ini sampai kedua besok, kami akan menghabiskannya di atas laut sampai kemudian kapal berlabuh di pelabuhan Phuket Deep Sea Port di hari ketiga. Kami akan turun dari kapal dan diberikan waktu 2 hari 1 malam untuk menikmati Phuket.
"Kok sepi banget ya nggak pakai apa-apa..." Aku menatap pantulanku sendiri di kaca. Gaun, make up hingga hairstyleku sudah tampak sempurna. Tetapi aku merasa seperti ada yang kurang karena aku tidak menggunakan satupun aksesoris tambahan seperti kalung atau anting. Hanya ada cincin kawinku yang melingkar di jari manis saja.
Aku berusaha mengecek isi koper tetapi gaun yang kugunakan terlalu ketat sehingga menyulitkanku untuk berjongkok. Aku sampai harus berpegangan pada kursi rias untuk bisa berjongkok di depan koperku dan mengecek apakah ada aksesoris yang bisa kugunakan malam ini.
Perhatianku jatuh pada choker berwarna hitam berbahan senada dengan gaunku. Ah, jangan-jangan ini memang pasangan gaun ini?
Aku meraihnya dan langsung berdiri tetapi tanpa sengaja aku malah tersangkut dengan ujung gaunku sendiri sampai tubuhku oleh dan nyaris mencium lantai kalau saja Argio tidak tiba-tiba menangkap pinggangku dan menahannya.
Kejadiannya begitu cepat sampai aku tidak sadar sejak kapan Argio sudah ada di sana.
"Ma–makasih," kataku sambil berusaha berdiri tegak. Tatapanku kini terarah pada Argio yang ternyata sudah selesai mandi dan berganti baju. Ia sudah menggunakan kemeja putih fit body yang lengannya digulung sampai siku. Sepertinya kemeja itu akan ia gunakan bersama jas hitam yang pasti akan tampak sangat pas di tubuhnya. Kancing kemejanya terbuka sampai ke dada–seperti tidak berguna.
"Suami kamu ini memang ganteng, tapi lihatinnya biasa aja dong Ras." Ucapan Argio menyadarkanku dari keterpanaanku. Di waktu normal, aku pasti akan membantah, tetapi faktanya aku memang menatapnya terlalu serius karena...terpana.
Aku sudah sering mengakui kalau Argio itu tampan. Terlepas dari betapa menyebalkannya dia karena sering mengisengiku, tetapi tidak ada yang bisa memungkiri fakta kalau Argio itu jelas hot dan juga tampan. Silvania benar-benar bodoh sudah menyia-nyiakan anugerah Tuhan seperti Argio yang bukan hanya kaya raya tapi juga tampan.
Dan lelaki ini kini adalah suamiku. Aku masih tidak percaya.
"Ras?" Argio menegurku karena reaksiku tidak seperti dugaannya. "Aku jelek, ya?" tanyanya mulai tidak percaya diri karena aku memang masih diam saja tidak menanggapinya.
Aku tertawa. Bagaimana bisa dalam semenit kepercayaan dirinya langsung luntur hanya karena aku tidak memvalidasi ucapannya. "Nggak kok, kamu ganteng."
Argio terbatuk. Tidak menyangka aku akan to the point padanya. Mungkin aku lebih banyak pasif selama ini. Termasuk soal mengutarakan apa yang kurasakan. Tetapi kurasa itu sudah tidak perlu lagi sekarang. Aku ingin jadi perempuan yang lebih jujur baik soal perasaanku juga emosiku. Aku ingin move on dan menjalani kehidupan baruku dengan lebih terbuka dan positif. Dan semua itu bisa kumulai dengan menjadi jujur terhadap diriku sendiri.
"Kamu nggak masuk angin atau nggak enak badan kan, Ras?" Argio mengernyit seolah tidak percaya aku baru saja memujinya ganteng.
Mengabaikan pertanyaannya, aku memilih menyodorkan choker yang ada di tanganku ke arahnya. "Bantu aku pake ini, bisa?" tanyaku padanya. Argio menatap choker di tanganku untuk beberapa saat sambil berpikir kegunaan benda itu dan bagaimana menggunakannya. Aku tertawa dan langsung memberikan punggungku padanya. "It's a choker, semacam kalung. Bantu pasangin di leherku, Gi."
"Choker..." Argio mengulang kata itu di lidahnya seolah itu adalah nama benda teraneh yang pernah dia dengar. "Kenapa namanya harus choker, apa kalau dipakai rasanya beneran kayak dicekik?" gumamnya. Meski begitu, Argio menerima uluran choker dariku dan membantu melingkarkannya di leherku.
"Kalau kamu ngiketnya kekencengan mungkin iya." Tentu saja aku hanya bercanda. Tetapi Argio menganggap ucapanku serius sampai aku bisa merasakan ia menghentikan gerakannya mengikat choker itu di leherku dan memasangnya dengan sangat longgar. "Gi, jelek kalau ngiketnya longgar!" Tentu saja aku protes karena bentuknya jadi jelek di leherku.
"Kata kamu nanti kayak dicekik kalau iketnya kenceng?" Argio terdengar khawatir. Lucu sekali aku malah jadi ingin menggodanya.
Aku memutar tubuh menghadapnya dan kini kami saling bertatapan. Meski aku harus mendongak karena perbedaan tubuh kami untuk bisa menatap lurus ke matanya. Tangan Argio yang masih berdiam di udara kugenggam sebelum kuarahkan ke leherku seperti gerakan mencekik.
"Kamu bisa kira-kira kan cekikan mana yang bisa bikin aku kehilangan napas sama yang bikin aku...nyaman."
Mata Argio tampak membulat sedangkan aku hanya tersenyum simpul seolah yang kulakukan tadi adalah hal wajar dan normal yang bisa seorang Larasati Silvia Putri bisa lakukan. Kubalikkan kembali badanku agar Argio bisa melanjutkan mengikatkan kembali choker itu di leherku namun yang kurasakan justru tubuhku diputar paksa kembali menghadapnya dan tahu-tahu punggungku sudah menubruk lemari di belakangku.
Argio lagi-lagi menciumku dengan kasar sebagai pembuka. Sepertinya aku harus mulai terbiasa dengan ini.
"Gi–dinnernya!" Bisikku di sela ciuman panas Argio yang terasa membakar seluruh tubuhku.
"Nah, we still have much time." Argio menciumiku lagi tanpa ampun. Kedua tangannya memeluk pinggangku. Aku harus pasrah kalau riasan dan tatanan rambutku mungkin akan rusak akibat perbuatan Argio dan kemungkinan besar aku harus mmemperbaikinya lagi.
Dan entah mengapa aku tidak merasa keberatan untuk itu. Karena aku juga menyukai apapun yang sedang kami lakukan saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro