20. Resepsi
a/n: Absen dulu yang mau diundang ke kondangan Laras Argio di sini! Pakai emot yang cocok untuk mempelai pengantin kita!
***
"Kayaknya gaunnya kekecilan deh Mbak..." Mia menatapku khawatir yang sejak tadi tampak berusaha menahan napas ketika Lula dari team designer sedang berusaha memasang risleting gaun pengantin yang kugunakan.
"Iya Mbak, ini jahitannya sudah kami lepas tapi sepertinya masih tetap sempit..." Lula akhirnya menyerah memaksa gaun itu tertutup. Selain takut merusak gaun seharga ratusan juta itu, ia juga takut aku semakin kesulitan bernapas.
Semua ini karena permintaan Silvania yang menginginkan ukuran gaun ini satu ukuran di bawahnya. Padahal ukuran asli tubuhnya juga sudah satu ukuran di bawahku, secara otomatis, gaun ini berarti dua ukuran lebih kecil dari tubuhku. Seharusnya aku memang tidak memaksakan diri menggunakannya.
Gaun ini sebenarnya tidak akan kugunakan untuk acara resepsi nanti. Selain karena sejak awal gain itu memang tidak didesain untukku, aku sudah tahu kalau gaun itu juga tidak akan muat. Tetapi gaun itu sudah terlanjur dibuat dan akan sangat sayang jika sama sekali tidak kugunakan, jadi aku berinisiatif untuk menggunakannya meski hanya untuk difoto saja. Lagipula masih ada waktu panjang sebelum acara resepsi nanti malam.
Riasan dan rambutku juga sudah selesai diganti untuk acara resepsi. Jadi aku benar-benar punya waktu luang untuk sekadar berganti pakaian dan berfoto menggunakan gaun tak terpakai itu.
Pintu ruangan make upku dibuka dan aku bisa melihat Argio masuk ke dalam ruangan. Argio masih belum berganti baju dan masih menggunakan pakaian santainya ketika masuk. Dari penampilannya yang tampak segar, aku yakin ia baru mandi setelah tidur siang. Enak sekali dia sempat tidur siang saat aku bahkan harus langsung lanjut melepas riasan dan sanggul akad untuk ganti ke make up dan hair do untuk resepsi tanpa jeda.
"Oh–sorry." Argio tampak kikuk ketika sadar posisiku sedang berganti baju. Ia buru-buru mengalihkan pandangannya salah tingkah. Posisiku yang membelakangi pintu membuat siapapun yang masuk ke ruangan bisa langsung melihat punggungku yang terbuka sekarang.
Pintu kembali dibuka dan dari cermin, aku bisa melihat itu Akbar tetapi sebelum Akbar bahkan benar-benar masuk melewati pintu, Argio langsung mendorongnya kembali keluar ruangan.
"Ups–sorry aku lupa kunci pintunya." Mia meringis tidak enak sebelum berjalan ke pintu dan memutar kuncinya. "Udah Mbak, sekarang aman."
Aku menghela napas. "Ya sudahlah Mbak, pakai gaun yang untuk resepsi langsung aja," kataku pada Lula yang mengangguk bersemangat. Tampaknya ia juga sudah frustasi membantuku memaksa menggunakan gaun yang jelas-jelas bukan untukku itu.
"Gaun Mbak Laras juga nggak kalah cantik kok sama gaun itu." Lula mengambil gaun yang jauh lebih sederhana dibanding gaun sebelumnya. "And it just fits you perfectly, Mbak," pujinya lagi.
Meski gaun itu tidak dijahit khusus untukku karena tidak ada waktu cukup, gaun itu memilikki ukuran dan bentuk yang lebih sesuai seleraku. Bahkan aku langsung cinta dengan gaun itu di pandangan pertama.
Setelah gaun itu terpasang sempurna di tubuhku, aku menyuruh Mia membukakan pintu dan membiarkan Argio masuk karena jas dan kemeja yang akan digunakannya untuk resepsi juga ada di ruangan ini. Tergantung bersebelahan dengan gaun Silvania yang tidak jadi kugunakan.
Argio masih tampak canggung saat masuk ke ruangan tetapi kemudian aku bisa melihat ia menjadi lebih rileks saat sadar aku sudah selesai menggunakan gaunku.
"Itu Pak Argio, jas dan kemeja untuk Bapak." Mia menunjukkan di mana pakaian Argio agar ia bisa berganti baju. Lelaki itu lalu langsung mengambil setelan jasnya di gantungan.
Kupikir ia tidak akan menotice gaun tak terpakai di sana. Tetapi Argio tampak berdiam diri cukup lama di depan gantungan sambil melihat gaun yang seharusnya digunakan Silvania tersebut.
Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Argio sekarang saat melihat gaun itu. Tetapi seharusnya aku memang tidak membawa gaun itu ke sini dan membuat suasana hati lelaki itu buruk karena harus teringat Silvania lagi. Tapi mana mungkin ia juga tidak mengingat Silvania saat pesta pernikahan ini bahkan didesain sesuai keinginan wanita itu.
"Kenapa gaun ini ada di sini?" tanyanya sambil melihat ke arah Lula dan Mia yang kini berdiri bersisian.
"Ah itu–" Lula dan Mia saling tatap, kebingungan harus menjawab karena di satu sisi takut disalahkan di sisi lain juga takut akan menyebabkan masalah untukku.
Tapi dengan cepat aku menyela sebelum dua orang tak bersalah itu terkena amukan Argio. "Aku yang minta," kataku mencoba tenang lalu memberikan lirikan pada Mia agar ia pergi keluar ruangan bersama Lula.
Argio kini menatapku dengan tatapan heran. "What for?" tanyanya padaku. "Mau kamu apain gaunnya memang?"
Seharusnya aku tahu ini akan jadi masalah. Kenapa aku tidak bisa berpikir panjang?
"Tadinya mau aku pakai untuk–"
"Apa kamu sudah gila?" Argio tampak kesal sekarang. "Ngapain kamu mau pakai gaun itu? It wasn't even meant for you!"
Oh right. Memangnya ada hal yang benar-benar untukku di sini? Bahkan pernikahan ini juga sejak awal bukan untukku. Tapi apa perlu ia menegaskannya dengan cara seperti itu?
"Maaf." Aku memilih untuk tidak mendebat. Semua yang terjadi belakangan ini sepertinya membuatku sejenak lupa kalau pernikahan ini bukan benar-benar pernikahanku. Sekalipun ada kesepakatan antara aku dan Argio soal pernikahan ini, tidak mengubah fakta bahwa aku memang hanyalah pengantin cadangan untuknya.
"Bar!" Teriak Argio memanggil Akbar. Sepertinya Akbar juga masih berada di luar ruangan sejak tadi. "AKBAR!"
"Iya anjir sab–ar..." Akbar langsung bisa merasakan atmosfer menegangkan di ruangan begitu masuk. Ia melemparkan tatapan khawatir padaku seperti yang biasa ia berikan setiap kali Argio menunjukkan sikap tidak mengenakan saat kami meeting. Tapi kali ini, tatapan itu tidak menghiburku melainkan jadi membuatku merasa semakin menyedihkan. "Kenapa, Bos?" tanya Akbar pada Argio saat sudah berdiri di dekatnya.
Argio menarik gaun berharga ratusan juta itu dengan kasar dari gantungan dan melemparnya kepada Akbar. Bu Berliana Hermawan selaku designer gaun itu pasti akan tersinggung jika tahu karya buatannya yang seharga sebuah mobil itu dilempar tanpa belas kasihan. "Throw that dress away!" katanya dengan kasar.
"What?" Aku dan Akbar sama-sama tahu nilai gaun itu melongo. Maksudku, sekalipun Argio ingin memusnahkan gaun itu dia bisa menjualnya lagi karena pasti akan ada yang membelinya! "Bos apa nggak berlebihan? Kita masih bisa–"
"Nggak. Buang, bakar or whatever. Gue nggak mau sampai dia tahu gaunnya masih ada–she would think that I'm still into her sampai ngehancurin dressnya aja nggak mampu."
Lagi-lagi ini karena Silvania, kan?
"Jangan dihancurin..."
Argio dan Akbar kini menatapku. "Apa kamu bilang?" tanya Argio lagi tidak terima.
"Itu cuma buang-buang uang, Argio. Semarah dan sebenci apapun kamu, tetep aja. Apalagi gaun itu juga dibuat oleh hasil kerja keras orang lain–ya meski mereka dibayar sih. Tapi it such a waste. Jangan." Aku tahu bicara soal sayang uang tidak akan relate dengan Argio pada dasarnya. Tetapi tetap saja, menurutku membakar dan menghancurkan gaun semahal itu terlalu berlebihan sekalipun Argio membencinya.
"Nggak usah ngatur-ngatur, itu uangku. Aku yang bayar aku yang–"
"Dengerin dulu kenapa, sih? Kamu tuh selalu pakai emosi duluan!" Aku yang mulai jengah dengan mood swing dan emosi Argio yang tak terkontrol itu akhirnya hilang kesabaran juga. Meski aku bertanggung jawab akibat moodnya yang jelek sekarang, tetapi lelaki itu juga tidak bisa mengontrol dengan baik moodnya tersebut!
"Waduh...urusan rumah tangga...gue nggak ikutan." Akbar mundur dan memilih pergi dari ruangan tersebut. Membiarkan aku berdua saja dengan Argio. Dan lelaki itu tetap membawa pergi gaun penyebab pertengkaran kami tersebut. Semoga ia tidak benar-benar membakarnya sesuai arahan Argio.
"Ya kamu lagian, ngapain bawa-bawa gaun itu ke sini!" Protesnya kesal.
"Udah aku bilang, tadinya aku mau pakai karena sayang!" Balasku tidak mau kalah. "Tadinya mau aku pakai buat foto, kan nggak ada salahnya!"
"Ya salahlah! Kamu gila apa? Sengaja mau bikin aku kelihatan menyedihkan kalau sampai Silvania lihat?" Suara Argio masih sama tingginya.
"Apa sih! Nggak semua soal Silvania, ya!" Aku tidak tahu kenapa aku sangat marah sekarang. Padahal tadinya aku tidak merasa semarah ini. Tetapi kenapa mendengar Argio terus membawa nama mantannya itu membuatku kesal? "Biarin aja dia lihat, salah sendiri dia batalin nikahnya sama kamu!"
Argio tampak tidak percaya akan apa yang didengarnya. "Yaudah sana pakai aja kalau gitu. Lagian memangnya muat? Gaun kecil begitu, nggak bakal muat di badan kamu!"
Wah, lelaki ini kelewatan. Apa maksud ucapannya itu? Dan kenapa aku merasa SANGAT tersinggung??? Apa secara tidak langsung ia mengataiku gendut???
"Okay, aku pakai kalau memang mau kamu gitu!" Aku tahu aku kedengaran sangat kekanakan sekarang. Tetapi entah mengapa ada keinginan tidak mau kalah di dalam diriku ini. Ada apa sebenarnya denganku?
"Ya udah sana pakai! Begitu kamu pakai, bakalan aku robek gaun itu dari badan kamu dan aku telanjangin kamu di tempat detik itu juga!"
Hening. Hanya ada deruh napas kami yang sama-sama terdengar. Kami tidak sadar sudah berdebat dengan sangat membara barusan sampai-sampai kedua wajah kami memerah.
What the hell are we doing on our wedding day?
"Waduh... udah main telanjang-telanjangin aja, sabar dulu kali Mas Juna..."
Aku dan Argio sama-sama terkejut mendengar suara tersebut. Ternyata itu Mikayla, adik sepupu Argio dari pihak Pak Tegar. Aku sudah dikenalkan oleh beberapa sepupu Argio setelah acara resepsi tadi meski tidak banyak yang kuingat. Khusus Mikayla, aku ingat karena ia sangat cantik dan cute. Seperti boneka hidup.
"Sejak kapan kamu di situ, Mika?" tanya Argio pada adik sepupunya tersebut yang usianya mungkin masih di awal dua puluhan.
Mungkin Argio khawatir Mikayla mendengar keseluruhan pertengkaran kami yang absurd lalu mengadukannya pada Tante Ambar atau Pak Tegar.
Mikayla hanya memasang cengiran jahil. "Dari bagian telanjanginnya sih..." Lalu gadis itu tertawa saat melihat Argio memelototinya. "Yaudah sih nggak apa-apa namanya pengantin baru!"
"Ada apa Mika, ada yang bisa dibantu?" tanyaku mengalihkan perhatiannya.
Mikayla lalu masuk dan mendekat ke arahku sambil menggeleng. "Nggak kok Kak, aku bosen aja nunggu di dalem jadi kepo mau lihat make up sama gaunnya Kak Silvi!" Meski Silvia memang namaku, rasanya aneh mendengar orang lain memanggilku begitu.
Tapi tidak salah. Karena inisial nama yang digunakan di pesta ini memang menggunakan S, orang-orang mengira memang nama panggilanku memang Silvia.
"Laras aja, Mika. Aku lebih sering dipanggil Laras," kataku.
Mikayla mengangguk. "Oke deh, Kak Laras. Kakak cantik banget by the way, gaunnya juga cantik! Tapi kenapa nggak jadi pakai gaun yang dibawa Mas Akbar tadi, kayaknya cantikan gaun itu deh?" tanyanya penasaran.
Rupanya Mikayla melihat Akbar membawa gaun itu keluar. Tentu saja, siapapun yang melihat gaun itu pasti langsung sadar secantik apa gaun tersebut. Orang jelas bertanya mengapa aku memilih gaun yang lebih sederhana dibanding gaun indah tadi.
Aku melirik Argio yang kini sedang berganti baju di sudut ruangan. Mengobrol dengan Mikayla membuatku tidak sadar bahkan Argio sudah melepas bajunya dan sedang memakai kemeja sekarang. Aku tidak mau membuat Argio ngamuk lagi jadi aku harus mencari pengalihan topik dari gaun itu.
"Nggak, itu–"
"Nggak penting secantik apa gaunnya, semua yang dipakai istri Mas otomatis jadi cantik kok!" Argio menyelaku dan kemudian menarik Mikayla dan mengarahkannya ke pintu. "Udah sana kamu keluar, berisik bikin pusing tahu!"
"Ihh–"
Dan blam! Pintu itu tertutup. Argio juga mengunci pintu tersebut sebelum Mikayla kembali menerobos masuk. Argio lalu kembali menyelesaikan kegiatannya mengancing jas kemejanya seolah tidak baru saja mengatakan apapun.
Sedangkan aku? Hanya bisa terdiam dengan jantung berdebar hebat.
***
Kami baru selesai sesi foto dengan keluarga Argio yang nyaris tidak ada habisnya. Aku tahu keluarga Argio banyak saat sesi akad nikah tadi karena separuh ballroom hampir dipenuhi oleh mereka. Tetapi ternyata itu belum semuanya karena masih ada yang baru datang saat resepsi.
Untuk sesi foto dari pihakku sendiri bisa dihitung jari. Satu sesi teman-teman pantiku yang mencakup beberapa teman SD juga SMP sekaligus. Lalu teman-teman SMA yang mungkin hanya sekitar enam orang. Lalu kuliah yang sedikit lebih banyak–sekitar sepuluh orang. Dan ditutup dengan rekan-rekan kerjaku yaitu staff Sanggar Kenanga. Dari sini juga keluarga Argio jadi tahu bahwa aku adalah pemilik wedding organizer yang digunakan di pesta ini.
Kupikir teman-teman Argio jelas lebih banyak dariku. Nyatanya, hanya ada beberapa yang kata Argio adalah temannya karena diajak berfoto. Itu juga bukan teman sekolah melainkan teman kuliah yang memang kebetulan tinggal di Indonesia saja. Lalu beberapa yang lain adalah kolega bisnisnya yang tampaknya pertemanan mereka hanya formalitas dan untuk kebutuhan bisnis saja karena aku bisa merasakan betapa kakunya interaksi mereka.
"Temen kamu dikit banget," kata Argio ketika kami akhirnya sudah bisa mengistirahatkan kaki kami meski hanya sebentar sebelum ada tamu lagi yang naik ke pelaminan untuk bersalaman. Kami baru bisa duduk setelah hampir setengah jam full berdiri untuk sesi foto dengan teman-teman sosialita Tante Ambar.
Aku meneguk air mineral yang diberikan Mia sesaat yang lalu. "Temen kamu juga nggak sebanyak itu." Aku tidak bermaksud mendebat atau tidak mau kalah. Aku hanya menyatakan fakta.
Aku bisa melihat Argio mendelik sebal lewat ekor mataku sebelum kemudian merasakan tangannya tiba-tiba terulur ke wajahku dan kepalanya yang mendekat. Aku yang sedang minum seketika tersedak ketika lelaki itu tiba-tiba berada sangat dekat denganku.
"Apa sih, aku cuma mau minta air minum!" Argio tampak tersinggung dengan sikapku yang defensive tersebut. Padahal aku hanya kaget!
"Ya bilang aja kalau mau minum, jangan tiba-tiba ambil airku." Aku membela diri. Lalu tanganku berusaha mengambil sebotol air lagi di samping kursi pelaminanku yang memang disiapkan Mia untukku dan Argio tetapi Argio lebih dulu merebut minum di tanganku dan menyedotnya menggunakan sedotan yang sama denganku.
"Lama, ini aja lah kan sama-sama air."
Aku berkedip. Bahkan di sedotan itu masih tercetak jelas jejak lipstickku dan Argio benar-benar tidak merasa terganggu dengan itu.
Tanpa sadar aku masih memandangi Argio ketika lelaki itu sudah menandaskan isi botol tersebut dan tersenyum sambil mendekat padaku dan berbisik, "Trial ciuman nggak langsung dulu sebelum nanti ciuman benerannya."
"Aduh!"
"Kenapa Juna?" Tante Ambar yang semula sedang berbincang dengan suaminya menoleh ke arah kami ketika mendengar Argio mengaduh sambil memegangi jidatnya.
"Laras–"
"Nggak Tan–maksudku nggak apa-apa Ma, Mas Juna cuma kecapekan," kataku sambil membekapmulutnya dengan tangan. Trauma dengan mulut Argio yang senang asal bunyi di depan ibunya membuatku waspada.
Tante Ambar–yang kini sudah harus kupanggil dengan sebutan Mama hanya geleng-geleng kepala.
Tiba-tiba aku bisa merasakan telapak tanganku basah karena Argio menjilatnya dasar gila!!!
Aku baru akan protes tetapi ada tamu lagi yang harus kami salami jadi aku harus bersabar untuk membalasnya nanti.
Seorang perempuan bergaun merah menyala menaiki pelaminan bersama seorang lelaki muda berkacamata yang menggunakan kemeja hitam. Aku bisa melihat Mama menyambut hangat wanita itu dengan sangat akrab.
Perempuan itu kini menyalami Argio dengan senyum yang tak bisa kuartikan. Argio sendiri tampak tersenyum lebar melihatnya. Itu adalah senyuman terlebar yang kulihat dari Argio sepanjang acara ini.
"Cie kawin juga akhirnya!" kata perempuan bergaun merah itu pada Argio. Tangan mereka masih saling memegang.
"Udah sering itu sih."
"TMI, anjir!" Perempuan itu lalu menggoyang tangannya meminta dilepaskan sedangkan Argio malah dengan sengaja menahannya dan mereka lalu tertawa dengan jokes yang hanya dimengerti oleh keduanya.
Sedangkan aku dan lelaki berkacamata di samping perempuan itu hanya bisa diam seperti tidak diajak dalam obrolan mereka.
Akhirnya Argio melepaskan tangan perempuan itu setelah mereka berbisik entah apalah itu yang tidak ingin kuketahui. Perempuan itu kini beralih padaku sedangkan Argio bersalaman dengan lelaki berkacamata yang datang bersama perempuan itu.
Perempuan bergaun merah ini sangat cantik. Aku tidak tahu apa dia seorang model atau artis, tetapi wajahnya benar-benar sangat cantik. Ditambah gaun merahnya yang menyala itu membuat kulit putihnya semakin standout. Ia mengingatkanku pada seekor rubah. Menggoda, cantik, tapi licik. Aku tidak mengatakan ia benar-benar licik. Tetapi vibesnya seperti itu.
"Halo...selamat ya Silva–eh maksudku Silvia." Senyumku seketika luntutr. Aku terkejut ketika mendengarnya. Bagaimana perempuan itu tahu soal... Ia mendekatikud an berbisik, "It's okay, your secret is safe with me." Ia mengedipkan sebelah matanya dan turun meninggalkan pelaminan diikuti lelaki berkacamata di belakangnya yang menyalamiku dengan ekstra kilat.
What the hell was that?
*
*
*
a/n: AYO CIEIN BARENG-BARENG PASUTRI BARU KITA DI SINI!
btw ini gambaran gaun Silvania
Dan ini gaunnya Laras
Cantikan mana menurut kalian???
Btw siapa nggak sabar sama first nightnya pasutri ini? Kira-kira bakalan 'panas' nggak ya?
Aku seneng banget tiap bikin part mereka ribut tuh WKKWKW lucu soalnya si Argio ngomel-ngomel, si Laras yang tadinya sabar akhirnya ikut kepancing. Memang butuh kesabaran ekstra ngadepin si Argio ini bahkan perempuan sesabar Laras aja jadi emosian baru sehari jadi istrinya wkwk. Nggak sabar kan mau lihat kehidupan rumah tangga mereka? Tapi jangan pada terlena dulu ya guys itu part di prolog belum keluar loh.
Ramaikan part ini!!!
Jangan lupa follow IGku juga @ rapsodiary.archive buat info update dan kemungkinan nanti akan update-update juga misal ada chat-chatan mereka!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro