2. A Tiring Day
"Mbak Laras, Ibu pengantin protes minta ganti bunga di pelaminannya. Katanya bunganya warnanya norak."
Aku yang sedang berkutat dengan ponselku untuk mengecek list kelengkapan acara refleks menengok ke arah salah satu anggota teamku bernama Mia. Ia sepertinya habis berlari dari dalam, ada peluh menghiasi dahinya. "Gimana, Mi?"
"Itu, Ibu pengantin minta bunganya diganti. Katanya warnanya norak." Mia mengulangi ucapannya barusan. Ekspresinya tampak kesal, sepertinya karena keluarga klien kami bicara padanya dengan cara kurang mengenakkan.
Wajar, di satu hari menjelang acara itu biasanya hari yang stressful bagi semuanya. Team, tukang bagian dekorasi, calon pengantin, keluarga pokoknya semua yang terlibat dalam persiapan acara.
Dan bukan ingin sok menjadi yang paling menderita, tetapi faktanya memang aku, sebagai wedding organizer adalah pihak yang paling pusing dalam persiapan ini. Karena memang tugas kami adalah membantu persiapan sampai ke jalannya pesta.
"Aduh, kan itu request pengantin. Mereka dari awal minta pakai sunflower masa tiba-tiba ganti. Pelaminanya juga sudah sembilan puluh persen selesai."
"Nggak tahu, Mbak, Mia juga pusing ini. Si Ibu-nya marah-marah, katanya gonjreng dan kayak kincir angin." Mia sepertinya juga sudah lelah untuk sekadar emosi. "Itu tukang pasang pelaminannya sampai disuruh stop sama si Ibu itu."
Masalah seperti ini bukan sekali dua kali terjadi. Di mana orang tua mempelai biasanya protes atas apa yang sebenarnya diinginkan anaknya terkait pesta. Entah make up, baju, dekorasi. Ada yang bisa dibujuk dan akhirnya mengikuti keinginan anaknya, ada juga yang akhirnya harus membuat kami yang mengikuti kemauan mereka dan melihat pengantin hanya bisa pasrah dan memasang wajah sedihnya karena tidak bisa berbuat apa-apa.
"Ya udah aku yang ngomong, ini kamu tolong telfonin orang wedding cakenya buat pastiin kapan bisa dipick up."
"Oke!"
Setelah sedikit perdebatan dan drama, untungnya aku berhasil membujuk orang tua mempelai dan mengatakan bahwa bunga pilihan mempelai saat ini tidaklah norak seperti yang mereka bilang. Aku bahkan menunjukkan beberapa referensi lain yang terlihat mewah menggunakan sunflower sebagai dekorasi pelaminan dan akhirnya dapat diterima oleh ibu mempelai.
Baru saja satu masalah selesai, Mia mengabariku kalau wedding cake yang seharusnya sudah bisa dipick up hari ini mengalami keterlambatan. Benar-benar hari yang hectic.
"Mi, kamu bisa nyetir, kan? Kamu pick up aja sana kuenya, kalau ditungguin mungkin mereka jadi bisa buru-buru selesai. Takut nggak ada waktu lagi dan besok, kita nggak akan kerja sama dengan mereka lagi. Ini udah kesekian kalinya mereka molor dari deadline!"
Mia mengangguk, "Baik Mbak, kalau gitu Mia pick up kuenya dulu ya?" Aku melemparkan kunci mobilku yang langsung ditangkap oleh Mia dan perempuan berusia dua puluh empat tahun itu bergegas berlari dari hadapanku untuk melakukan apa yang kusuruh.
Ponselku berdering di tengah segala kepusingan ini. Biasanya aku selalu memasang ponselku dalam mode senyap saat bekerja, tetapi sepertinya aku lupa karena terlalu sibuk.
Awalnya aku ingin mereject panggilan itu karena masih banyak yang perlu aku kerjakan, tetapi melihat bagaimana panggilan it uterus menerus masuk akhirnya aku mengangkatnya.
"Kenapa, Ris?" tanyaku begitu panggilan tersambung. Haris adalah pacarku, kami sudah berpacaran sejak semester awal kuliah. Saat ini, hubungan kami sudah memasuki tahun ke lima.
Iya, aku baru saja lulus setahun yang lalu dan langsung menjalankan usaha peninggalan orang tua angkatku ini begitu aku lulus. Untungnya, usaha ini berjalan lancer meski ibu sudah tiada dan aku melakukan berbagai perubahan dan penyesuaian agar masuk di selera pasar saat ini.
Selama setahun ini, aku sudah banyak mendapatkan klien dan juga menambah banyak kerja sama dengan berbagai vendor sehingga nama sanggarku juga semakin dikenal luas.
"Sayang, boleh kirimin aku uang dulu, nggak? Mobilku masuk bengkel."
Aku menahan diri untuk tidak mengatakan 'lagi?' kepada Haris. Karena jika aku berkata begitu, Haris akan marah dan kami berujung bertengkar. Saat ini, ada banyak hal selain pertengkaran yang harus kukerjakan.
"Berapa?" tanyaku mencoba menghindari konflik dan agar bisa cepat kembali bekerja.
"Dua juta, yang."
"Kirimin aku bon-nya, kalau nggak, nggak akan aku transfer."
"TAPI YANG—"
Panggilan itu dengan segera kuputus dan ponselku langsung kuubah ke mode senyap. Aku tahu Haris akan mengamuk atau marah-marah seperti biasanya tetapi aku tidak akan meladeninya kali ini karena aku benar-benar sedang sibuk.
Ini bukan sekali dua kali Haris meminta uang dariku. Mulai dari mobilnya masuk bengkel, kucingnya sakit, inilah itulah. Semenjak dia tahu bahwa usaha sanggar pengantinku ramai, ia seolah jadi memanfaatkanku.
Aku tahu aku bodoh. Tetapi Haris sudah menemaniku sejak dulu, sebelum usaha ini berkembang, Haris juga tahu bahwa aku hanyalah anak yatim piatu yang tidak memiliki keluarga satupun. Haris tahu aku diadopsi tetapi ia menerimaku dan mencintaiku dengan tulus.
Mungkin sekarang ini Haris memang sedikit berbeda dengan ia yang dulu, tetapi bukan berarti Haris jahat. Lagipula saat aku memang memiliki uang, tidak ada salahnya aku membantunya. Itulah yang coba aku yakinkan pada diriku sendiri beberapa bulan belakangan ini.
Aku melangkahkan kaki menuju ruang rias pengantin dan berhadapan dengan Dania, make up artist yang bertanggung jawab untuk merias klienku. Dan Dania adalah sahabatku sejak kami sama-sama di panti asuhan dulu. Kami juga bersekolah dan kuliah di tempat yang sama. Kami sudah menghabiskan waktu lebih dari sepuluh tahan sebagai sahabat.
"Loh, udah selesai Dan?" tanyaku melihatnya keluar dari ruangan menenteng beauty case yang menjadi alat tempurnya.
"Sudah dong, cepet kan? Siapa duluuu!" Ucapnya bangga. Dania memang sosok yang periang dan penuh percaya diri. Selalu membawa sisi positif ke orang di sekelilingnya. "Kliennya juga anteng, nggak rese dan banyak request."
Aku tersenyum. Klienku memang tidak rese, tetapi keluarganya. "Terus lo mau ke mana? Di sini aja dulu, apa lo ada klien lagi?" tanyaku melihat Dania yang memang tampaknya sudah akan bersiap pergi. Padahal biasanya kalau tidak ada klien lagi, Dania akan menemaniku sampai acara selesai dan kami akan pulang bersama karena kebetulan kostan Dania dekat dari rumahku.
"Eh—iya nih, ada kerjaan di tempat lain. Nggak apa-apa kan gue balik duluan?" tanyanya.
Entah mengapa aku menangkap sedikit ekspresi panik tetapi hanya sekilas. Aku tidak berpikir apapun soal itu dan hanya mengangguk saja. Toh pekerjaan Dania juga memang sudah selesai. "Hati-hati ya Dan."
Dania tersenyum sebelum mencium pipiku dan kami berpisah.
***
Pada akhirnya acara pernikahan klienku hari ini usai juga. Meski acara sudah usai, bukan berarti pekerjaanku selesai juga. Aku masih harus memastikan pembongkaran dekorasi pesta klienku karena setelah ini ruangannya akan digunakan lagi oleh acara berikutnya.
"Mbak Laras, terima kasih untuk hari ini ya. Maaf sekali kalau tadi keluarga saya sempet ngedrama." Sang pengantin wanita yang kini sudah berganti pakaian dengan pakaian bebas memelukku erat. "Aku puas banget sama hasil kerja Mbak Laras dan team, semuanya sudah sesuai keinginanku."
Aku tersenyum, mendengar itu rasanya lelahku seharian ini menguap begitu saja. Melihat ekspresi klienku yang bahagia karena hari pentingnya telah terlaksana sesuai keinginannya ikut membuatku merasa ikut bahagia.
"Sama-sama Mbak Putri, terima kasih juga sudah mempercayakan pernikahan Mbak Putri ke sanggar kami."
Di era wedding organizer yang kebanyakan menggunakan nama-nama modern, aku masih mempertahankan nama asli usaha ini yaitu sanggar kenanga. Meski memang sudah banyak perombakan di dalamnya karena aku ingin menyesuaikan juga dengan selera pasar dan agar tidak ketinggalan zaman. Meski Namanya masih sanggar kenanga, yang awalnya hanya sanggar rias pengantin ini sudah menjadi bisnis wedding organizer yang tidak kalah modernya dengan WO besar.
Sanggar kenanga bahkan sudah mulai berani bekerja sama dengan beberapa gedung pernikahan yang lebih besar serta beberapa hotel kelas menengah. Karyawan yang tadinya hanya tiga sampai empat orang kini sudah bertambah menjadi kurang lebih tujuh orang.
Dan semua ini juga tidak akan bisa tercapai tanpa bantuan Dania. Seperti yang pernah kujelaskan, aku tidak berbakat dalam hal merias, apalagi rias pengantin, tetapi Dania justru memiliki bakat di sana. Jadi, begitu kami lulus, aku menawarkan kerjasama dengan Dania dan untungnya sahabatku itu setuju. Aku membayarkan pelatihan professional untuk Dania agar ia bisa memiliki sertifikasi MUA resmi. Untungnya Dania juga sangat kompeten dan kreatif sehingga ia pun memasarkan jasanya di social media sehingga dalam setahun ini, ia sudah mendapatkan banyak klien di luar klien Sanggar Kenanga. Dan dari situ juga, Dania membantu mempromosikan Sanggar Kenanga hingga semakin dikenal terutama di kalangan anak-anak muda.
Meski awalnya pasti ada satu dua yang meragukan karena Sanggar Kenanga terdengar jadul dan kolot, tidak seperti kebanyakan WO yang menggunakan nama-nama Bahasa inggris, tetapi lama kelamaan mereka mulai melihat sendiri hasil pekerjaan kami dan klienpun semakin bertambah.
Aku sampai di rumahku sekitar pukul Sembilan malam. Mobilku kini dipenuhi oleh beberapa bungkus makanan yang diberikan oleh keluarga klienku, sisa dari acara pernikahan. Katanya sayang kalau terbuang karena masih cukup banyak sisanya, jadi mereka sengaja meminta bagian catering untuk membungkuskan cukup banyak padaku. Tentu saja hal ini juga sudah biasa. Terkadang aku sampai harus membagikannya lagi pada beberapa tetangga karena kebanyakan jika harus kuhabiskan sendiri.
Tetapi tidak enak jika malam ini aku mengetok pintu rumah-rumah tetanggaku, pasti mereka sudah beristirahat kan? Lalu aku terpikir untuk membagikannya saja pada Dania dan Haris. Kebetulan kostan Dania tidak berjarak jauh dari rumahku, sedangkan rumah orang tua Haris juga hanya berbeda beberapa blok saja.
Aku memutuskan berjalan kaki menuju kost-kostan Dania. Kostan Dania adalah kostan campur berupa bangunan leter L tiga Tingkat yang dikelola oleh sepasang suami istri. Saking seringnya aku berkunjung ke kostan Dania, aku juga hampir mengenal semua penghuni kostannya.
Satpam kostan menyambut kedatanganku seperti biasa. "Malam Mbak Laras, tumben datengnya malem?" sapa satpam bernama Pak Arman padaku.
Aku tersenyum ramah, "Malam Pak. Iya nih, baru pulang kerja. Dania-nya ada kan, Pak?" tanyaku sambil sekilas melirik ke arah lantai dua di mana kamar Dania berada.
"Ya ampun malam juga Mbak kerjanya. Ada kok ada! Dari siang kayaknya udah balik terus nggak keluar lagi," terang Pak Arman meski tidak kutanya.
"Oh?" Aku mengernyit. Bukankah Dania bilang ia masih ada klien lagi setelah selesai merias pengantin di tempatku tadi? Tetapi aku tidak mengajukan itu pada Pak Arman karena tentu saja ia tidak mungkin tahu jawabannya. "Oh iya Pak, ini ada sedikit makanan untuk makan malam. Nggak seberapa sih tapi," kataku sambil menyerahkan sebungkus makanan kepada Pak Arman yang disambutnya dengan antusias.
Pak Arman mengibaskan tangannya. "Haduh Mbak Laras, begini saja saya sudah senang loh! Terima kasih ya Mbak! Semoga rezekinya makin lancar!"
Aku tertawa lalu setelah itu aku pun pamit untuk menuju ke kamar Dania.
Saat melewati area parkiran di mana motor para penghuni kost diparkir langkahku terhenti ketika menangkap motor yang tidak asing. Aku yakin itu motor milik Haris karena aku hafal plat nomornya.
"Loh, Haris di kostan Dania? Kok nggak bilang?" tanyaku pada diri sendiri. Aku merogoh ponselku yang sudah dalam keadaan hampir kehabisan battery karena memang aku tidak sempat menchargernya sama sekali karena terlalu sibuk.
Tidak ada pesan ataupun panggilan tak terjawab setelah panggilan Haris terakhir kali yang kuputus sepihak tadi setelah ia meminta uang. Padahal kukira Haris akan memohon dan mencoba membujukku agar dikirimi uang seperti biasa tetapi rupanya lelaki itu tidak melakukan itu.
Aku memutuskan mengabaikan segala perasaan curiga dan aneh yang menghampiri dadaku seketika. Aku, Haris dan Dania berteman sejak lama sebelum aku dan Haris berkencan. Jadi tidak aneh jika Haris dan Dania juga dekat. Tetapi selama bertahun-tahun hubungan kami bertiga, aku tidak tahu jika Haris mengunjungi kostan Dania di luar sepengetahuanku.
Pernah sekali, saat Dania sakit dan aku sedang sibuk bekerja, aku meminta Haris mengantarkan Dania makanan dan obat. Selebihnya, jikapun ada keperluan atau misalnya seperti saat aku meminta Haris mengantar Dania pulang karena kemalaman setelah hangout di rumahku, aku pasti mengetahuinya.
Mungkin mereka tahu kalau aku akan berkunjung? Tentu saja itu hanya pertanyaan bodoh.
Semakin kakiku melangkah, hatiku semakin berat. Seolah aku tahu, akan ada hal yang tidak sesuai dengan dugaanku setelah ini. Hal yang menyakitkan tetapi aku mencoba menghalau segala perasaan curiga dan buruk itu. Aku percaya Dania dan Haris. Mereka adalah orang terdekatku. Dan kami saling menyayangi satu sama lain.
Entah mengapa aku harus merasa perlu meyakinkan diriku sendiri. Langkahku semakin terasa berat ketika pintu kamar Dania semakin dekat. Aku bisa melihat Sepatu Haris tergeletak begitu saja di depan pintu kamar kost Dania seperti dilepas dengan sembarangan dan terburu-buru.
Tetapi kenapa pintu kamar Dania tertutup rapat saat hanya ada mereka berdua di dalam sana?
Semakin dekat ke pintu kamar Dania, aku juga bisa mendengar suara rintihan? Atau lenguhan? Kepalaku terasa pusing dan kupingku pengang. Seketika kakiku kehilangan kekuatannya untuk berdiri tegak dan secara refleks aku berpegangan pada dinding.
Seharusnya aku membuka pintu kamar itu, atau setidaknya mendobraknya jika dikunci. Atau berteriak agar seluruh penghuni kostan tahu bahwa sedang terjadi perzinahan dan perselingkuhan di balik kamar nomor 210 tersebut. Tetapi aku hanya bisa terdiam dengan tubuh bergetar dan sebelah tangan yang menutup mulut, seolah takut akan bersuara dan menghentikan apapun yang sedang mereka lakukan di dalam sana.
Aku hanya ingin mimpi buruk ini segera berakhir...
"Brengsek Mbak Dania! Ngewe apa ngapain sih kenceng banget sialan gue sampai nggak bisa—Mbak Laras?" Tetangga kostan Dania, Radifan, mahasiswa tahun akhir yang sedang struggling dengan skripsinya menyadarkanku dari keterpakuan.
Aku dan Radifan tampaknya sama-sama terkejut dengan keberadaan masing-masing dalam situasi ini.
"It's not their first time, isn't it?" tanyaku sambil menahan air mata yang sudah siap mengalir. Aku tidak tahu mengapa aku harus bertanya pada Radifan yang jelas tidak ada hubungannya dengan hal ini padahal aku bisa langsung mendobrak pintu sialan di hadapanku dan bertanya langsung pada Haris dan juga Dania.
Radifan sepertinya menyadari bahwa aku tahu siapa laki-laki yang sedang bercinta dengan Dania di dalam sana. Sudah kubilang kan kalau aku sudah sering berkunjung ke sini sehingga mengenal hampir seluruh penghuni kost. Dan tidak sekali dua kali Haris juga ikut bersamaku saat mengunjungi Dania. Jadi sudah pasti Radifan tahu bahwa Haris adalah kekasihku.
Dan bukan salah Radifan juga jika ia tidak memberitahuku karena sekali lagi, ini bukan urusannya.
"Maaf Mbak, lo mau gue dobrak pintunya?" tanyanya dengan ekspresi tidak enak. Sepertinya Radifan benar-benar bingung terjebak di situasi seperti ini padahal awalnya ia hanya ingin protes karena suara Dania dan Haris yang berisik dan mengganggu.
Bahkan suara obrolanku dan Radifan sepertinya tidak terdengar ke dalam kamar Dania. Suara desahan itu masih kencang dan terdengar makin intens.
Haris pasti sangat puas dan senang karena selama lima tahun berpacaran denganku ia harus puas hanya dengan sebuah ciuman dan pelukan. Ciuman itu bahkan terlalu innocent untuknya jika dibandingkan denga napa yang saat ini Dania berikan. Perutku langsung mual membayangkannya.
"Mbak Laras?" Radifan mencoba menarik perhatianku namun aku memilih menggeleng.
"It's okay, biarin mereka selesaikan urusan mereka. Aku mau muntah," kataku sambil beranjak pergi. Tetapi sebelum pergi, aku menyerahkan sekantung makanan yang tadinya akan kuberikan pada Dania untuk menjadi makan malam kami kepada Radifan. "Buat kamu makan malam. Soal malam ini, tolong rahasiakan dari Dania." Tanpa menunggu jawaban Radifan, aku lebih dulu beranjak dari sana.
Malam itu benar-benar terasa berkali lipat melelahkannya dari hari lainnya.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro