Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17. Teman, katanya

a/n: this part almost hit 3k words. Semoga ga bosan. Isinya full of Laras-Argio hihi. 

Absen di sini dulu ayo sebelum mulai baca! (tinggalkan jejak pakai emot yang mau kalian kasih buat Argio)

Kalau teman-teman ada yang udah difollowback base wattpad di twitter boleh dong bantu promosiin cerita ini biar semakin banyak yang baca hehe. Thank you and love u all! Happy reading~

*

*

*


"Mau sejauh apa lagi kamu maksa aku nikah sama kamu, Argio?" tanyaku pada lelaki di sampingku saat ini. Kami sudah berada di mobil Argio yang tengah bersatu di kemacetan malam ibukota.

Selepas mendeklarasikan diri sebagai calon suami di hadapan Dania dan Haris dengan dalih menolong, Argio membawaku pergi dari hadapan Dania dan Haris yang tampak terkejut dengan pernyataan palsu Argio.

Entah mana yang lebih membuat mereka terkejut. Fakta karena aku sudah punya calon suami atau karena lelaki yang datang mengaku sebagai calon suamiku adalah seseorang yang mengendarai mobil sport dan menggunakan pakaian bermerk di seluruh tubuhnya. Atau bahkan mungkin karena mereka mengenali siapa Argio. Aku tidak tahu.

Yang pasti, reaksi terkejut dan tidak percaya di wajah Dania dan Haris cukup untuk membuatku akhirnya setuju saja ketika Argio merangkul pinggangku dan membawaku ke mobil seharga entah berapa miliar ini.

"Yang tadi pure cuma mau nolong kamu. Nggak ada maksud lain." Argio menjawab datar sambil fokus menyetir.

Tentu saja mana mungkin aku percaya begitu saja dengan kata-katanya. "Nolong aku nggak harus sambil ngaku kalau kamu calon suamiku," kataku sambil menyandarkan tubuh pada sandaran kursi mobil Argio.

Hari ini betul-betul melelahkan. Lebih dari hari di mana aku harus menyelamatkan acara pernikahan waktu itu ataupun mempersiapkan pernikahan Argio beberapa bulan ini. Rasanya aku bahkan tidak punya lagi energi untuk bernapas.

Hening mendera. Tidak ada satupun dari kami membuka obrolan. Aku bahkan tidak ada tenaga untuk sekadar bertanya ke mana Argio mau membawaku sekarang. Aku sudah tidak peduli.

Aku hanya ingin memejamkan mataku dan terbangun dengan keadaan bahwa semua hal yang terjadi di hidupku ini hanyalah sebuah mimpi.

***

Aku bisa merasakan bahuku diguncang pelan. Perlahan mataku terbuka dan menemukan bahwa aku sudah berada di... di mana ini?

Aku masih berada di dalam mobil Argio. Tetapi mobil Argio kini sudah terparkir di dalam halaman sebuah rumah besar minimalis dengan taman yang cukup luas. Tidak terlalu jelas karena memang sudah malam dan gelap. Aku hanya bisa melihat sedikit karena ada beberapa lampu taman yang tersebar di sana.

Ini jelas bukan rumah keluarga Argio karena aku sudah pernah dibawa Tante Ambar ke rumahnya beberapa waktu lalu. Setahuku ini juga bukan rumah pribadi Argio karena ia tinggal di apartment. Aku menoleh dan menemukan Argio yang masih duduk di balik kemudi, menatapku.

"Berapa lama kamu nggak tidur, sih?" tanyanya setelah yakin aku sudah sepenuhnya terjaga saat ini. "We've been here for hour dan aku udah bangunin kamu lebih dari dua puluh menit."

Aku bahkan tidak sadar tidur selama itu. Aku hanya ingat ingin menutup mata dan kabur sementara dari semua masalahku.

"Ayo masuk!"

"Ini di mana?" tanyaku pada akhirnya karena sudah tidak bisa menahan lagi rasa penasaranku.

"Rumahku–" Ada hening sejenak sebelum kemudian Argio menghela napas dan melanjutkan, "Rumah yang tadinya akan aku tempati sama Silvania."

Oh.

Aku turun dari mobil dan mengekori Argio masuk ke rumah itu. Aku tidak tahu mengapa pada akhirnya aku mengikuti Argio dan bukannya pulang ke rumah. Aku bahkan tidak menyatakan protes apa-apa ketika Argio membawaku ke sini tanpa persetujuan. Mungkin karena dalam hati kecilku, aku juga sedang tidak ingin kembali ke rumah saat ini.

Beberapa lampu langsung menyala otomatis ketika kami masuk. Dan aku bisa melihat betapa cantiknya interior rumah ini. Semuanya terlihat modern tetapi ada sentuhan klasik. Aku tidak terlalu mengerti soal design interior jadi aku hanya mengatakan apa yang kuketahui.

Argio melepas sepatunya dan menggantinya dengan sandal rumahan. Ia juga memberiku satu dan sandal itu tampak sepasang dengan miliknya. Ini pasti sendal couple.

"Kamu tinggal di sini?" tanyaku penasaran karena melihat bagaiman Argio tampak sangat nyaman dan leluasa di sini seolah memang ia tinggal di sini sebelumnya.

"Hm, aku udah mulai tinggal di sini dari sebulan lalu."

"It must be so lonely." Aku mengatupkan mulutku karena tidak bermaksud mengucapkan hal itu dengan keras. Kalimat itu seharusnya hanya ada di kepalaku.

"Yeah, it's too big for me alone."

Berdua juga tetap terlalu besar, tapi aku tidak mengatakannya kali ini.

"Kamu mau minum apa? Aku ada kopi, teh sama susu. Eh tunggu, kayaknya susunya udah basi soalnya udah dua minggu di kulkas."

Setelah melewati ruang keluarga, ada sebuah kitchen island dan mini bar yang tampaknya berfungsi sebagai dapur bersih. Semua peralatan di rumah ini memang sudah lengkap dan siap ditinggali untuk pasangan baru.

"Kopi deh, tapi dingin."

Aku sedikit terpukau melihat bagaimana Argio tampak natural ketika berjalan menuju rak penyimpanan teh dan berbagai kopi itu. Jujur, melihat sikapnya yang lebih sering arogan dan sombong, kupikir Argio adalah tipe yang tidak pernah melakukan hal domestik seorang diri tanpa bantuan asisten rumah tangga. Termasuk untuk membuat kopi atau teh sekalipun.

Nyatanya, Argio lebih lihai daripada yang kuduga. Ia tampak sangat percaya diri dan tahu apa yang dilakukannya. Menunjukkan kalau dia biasa melakukan ini sendiri. "Tunggu, tapi kamu belum makan malam, kan? Kalau minum kopi apa lambung kamu nggak sakit nanti?" tanyanya sambil melipat tangan di dada.

Aku bahkan tidak ingat kalau belum makan. Dan kini aku jadi sadar kalau aku memang lapar.

"Kamu mau makan apa biar aku pesan. Tapi kalau kamu udah laper banget, aku punya nasi instan dan telur di kulkas."

Mendengar itu entah kenapa aku malah jadi ingin makan nasi hangat dengan telur mata sapi dan kecap. "Boleh deh... aku mau nasi dan telur aja."

"Oke."

Aku pikir maksud Argio adalah aku bisa memasak sendiri makananku tetapi ternyata Argio lah yang akan membuatnya dan itu benar-benar kembali mengejutkanku. Harus berapa banyak aku dibuat terkejut lelaki ini. Aku tidak pernah merasakan begitu banyak jenis emosi dalam satu waktu ketika menghadapi seseorang seperti saat dengan Argio. Sesaat ia membuatku marah, sesaat kemudian ia bisa membuatku nyaman.

"Kamu nggak usah takut, cuma nasi sama telur doang aku bisa. Aku bahkan bisa bikin opor ayam meski pakai bumbu instant. Gini-gini, aku pernah belajar masak."

Sepertinya Argio sadar aku memperhatikannya memasak dengan ekspresi tidak yakin. Jujur saja, aku sanksi apakah lelaki ini memang bisa masak atau mau mengerjaiku saja. Nyatanya, ia benar-benar tampat biasa menggunakan peralatan dapur.

Ya meski memasak telur ceplok itu bukan hal sulit. Tapi kita bisa tahu kok mana orang yang menggunakan penggorengan dan kompor sehari-hari, orang yang hanya sesekali pakai saat perlu dan terpaksa atau yang sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Argio jelas terlihat yang pertama.

"For God sake, ini cuma telur ceplok doang, aku beneran bisa!" Kali ini Argio tampak tersinggung dengan tindakanku yang masih memandanginya memasak. Padahal aku hanya memandanginya karena memang takjub saja. "Atau kamu takut telurnya aku kasih racun? Just fyi, aku masih butuh kamu buat jadi pengantinku."

Aku mendelik. Akhirnya aku memutuskan untuk turun dari kursi bar yang berhadapan langsung ke arah kompor tempat Argio memasak itu untuk melihat-lihat sekeliling. Membiarkan Argio menyelesaikan memasak telur ceploknya untukku.

Aku sedang melihat-lihat ke rak buku yang ada di sudut ruangan saat Argio memanggilku karena ternyata telurnya sudah matang. Aku menghampirinya dan menemukan sudah ada dua piring kosong, dua buah nasi instan yang sudah dimicrowave.

Argio membawa telur ceploknya yang masih di atas wajan ke dekat piring dan meletakkan masing-masing dua telur di piring. "Aku barusan lihat ternyata ada sosis instan di kulkas jadi aku panasin sama nasi sekalian, kamu mau pakai itu juga?"

Aku menggeleng. Argio mengangguk dan membuka dua bungkus sosis instan untuknya sendiri dan menambahkannya ke piring. Ia menyodorkan sebotol saus dan kecap ke arahku seolah tahu bahwa aku akan menambahkan salah satu dari kedua itu ke telurku.

Aku menuang kecap ke atas telurku sedangkah Argio memilih memakan telur dan sosisnya dengan saus dan mayonaise. Lalu kami mulai makan ditemani keheningan.

Aku tidak pernah membayangkan akan makan malam berdua dengan Argio di rumah pribadinya dengan menu simple seperti ini. Bahkan siang tadi pun aku kesal dengannya dan ingin sekali menendangnya. Bagaimana bisa malamnya kami duduk berhadapan sambil menikmati makan malam dengan tenang seperti tidak terjadi apa-apa.

"Soal tawaranku–"

"Aku nggak mau nikah sama kamu, Argio!" Kataku kesal. Baru saja aku pikir kami akan melewatkan waktu kami dengan tenang sampai kemudian Argio kembali menjadi menyebalkan. Seharusnya aku tahu tidak mungkin Argio membawaku ke sini tanpa tujuan. Aku betul-betul naif berpikir kalau Argio membawaku ke sini tanpa alasan apapun. "Berapapun kamu mau bayar aku, aku nggak mau!"

Makananku sudah tinggal setengah saat Argio mulai bicara. Dan itu benar-benar merusak selera makanku. Padahal aku sedang menikmati kenikmatan telur ceplok yang sudah berlumur kecap itu.

"Kamu bilang kamu mau sebuah keluarga."

Tanganku yang sedang menyendok nasi seketika berhenti bergerak. Tatapanku yang semula terfokus pada piring di hadapanku kini teralih padanya.

"Aku mungkin nggak bisa kasih kamu itu, Ras," katanya. Dan aku tahu ia masih belum selesai bicara sehingga tanpa sadar aku menunggu ia melanjutkan ucapannya. Argio menatapku lurus dan serius. Kali ini, aku tidak melihat sedikitpun tatapan menyebalkan dan ekspresi angkuhnya seperti tadi siang. Bukan juga tatapan frustasi seperti yang ia tunjukkan padaku karena aku terus menolaknya. "Tapi aku bisa kasih kamu seorang teman. I'll be your friend so you won't die alone. I'll cry on your funeral. I'll be the friend you can come to."

"Lalu kalau kita menikah terus apa, Argio? Kalau kamu sudah selesai sama dendam kamu atau kamu ketemu wanita lain dan jatuh cinta sama dia lalu apa? Kita cerai, gitu?" Argio benar-benar melakukan semua cara untuk bisa membuatku setuju menikahinya. Termasuk dengan mengatakan hal-hal tidak masuk akal itu. Teman katanya? Teman macam apa yang dipaksa menikah untuk menjadi pengantin pengganti.

"Aku nggak akan ceraikan kamu kecuali kamu yang minta." Argio berkata mantap kali ini. Bahkan lebih serius dibanding saat ia berkata akan membayarku lima miliar untuk menikah dengannya. "I told you, I'll be your friend so you won't die alone. That's mean I'll be your friend until we old!"

Andai saja aku bisa, aku ingin sekali membelah kepala Argio untuk melihat apa yang ada di kepala lelaki ini sebenarnya.

"Why'd you do that?" tanyaku masih tidak mengerti. Sejauh apa Argio ingin membalaskan dendamnya pada Silvania sampai ia mengambil tindakan dan keputusan seperti ini.

"Kamu pasti pikir aku cuma cowok obses yang nggak terima ditinggal nikah gitu aja, kan? Aku nggak akan sepenuhnya ngelak. Tapi ini bukan hanya soal itu." Argio mendorong piringnya yang juga masih tersisa setengah isinya. Kami berdua sudah sama-sama kehilangan selera makan kami saat ini. "Waktu denger kata-kata kamu soal keluarga dan ketakutan kamu buat mati sendirian aku jadi mikir. Kenapa aku ingin menikah in the first place. Selain rasa cintaku ke Silvania, aku nggak betul-betul punya alasan untuk mau menikah. Aku cuma mau hidup sama Silvania, aku nggak pernah mikirin hal lainnya karena tujuanku hanya Silvania.

"Tapi setelah dia ninggalin aku, tentu aja aku jadi kehilangan tujuan dan alasanku. Aku memang mau membuat Silvania menyesal, aku juga menggunakan pernikahan ini untuk melindungi nama baik keluargaku dari malu. Tapi bukan berarti aku main-main sama pernikahannya. Meski kita mungkin nggak bisa saling mencintai dalam pernikahan ini, at least kita punya satu sama lain sebagai teman untuk menjalani hidup. Kita mungkin kenal belum terlalu lama, tapi aku nggak menemukan hal yang buruk dari kamu sejauh ini. Kamu mandiri, kamu cerdas, kamu juga peduli sama orang-orang di sekitar kamu. Kamu bahkan disayang sama Mama, hal itu sendiri udah jadi point paling besar di antara semuanya."

Aku masih terdiam di tempatku tak bersuara. Aku berusaha memproses semua ucapan Argio. Soal menikah. Soal teman menjalani hidup. Semuanya. Jujur, semua itu terdengar masuk akal tapi di sisi lain juga terdengar sangat menggiurkan. Tapi Argio masih belum menjawab pertanyaanku soal bagaimana jika suatu saat nanti dia menemukan orang lain dan jatuh cinta dengannya. Bagaimana denganku?

Lalu teringat ucapan Tante Ambar waktu itu. Soal cinta Argio yang mungkin sudah habis di Silvania. Sisanya hanya menjalani hidup. Dan ia bersedia menjalaninya denganku. Lalu bagaimana dengan hatiku? Apakah masih ada cinta tersisa di hatiku untuk seseorang nanti?

"Tapi Ras, kalau kamu memang nggak mau aku juga nggak akan paksa kamu lagi. Aku ngerti kalau kamu mungkin punya prinsip yang beda soal pernikahan. Kamu mungkin masih mau menikah sama seseorang yang kamu cinta, aku ngerti." Argio menatapku lurus. Mungkin ini adalah percakapan terpanjang yang kami lakukan tanpa perdebatan atau aku yang merasa kesal dengannya sejauh ini. "Aku juga nggak akan batalin undangan besok, biarkan saja pesta itu jadi pesta tanpa pengantin, I don't care anymore."

Aku terkejut dengan pernyataan akhir Argio. Itu berarti Argio memang tidak main-main soal ucapannya. Lagipula setelah apa yang kualami dengan Haris dan Dania, aku bahkan tidak yakin bisa lagi percaya pada cinta apalagi pernikahan. Bahkan untuk percaya lagi saja aku kesulitan. Termasuk percaya pada ucapan Argio bahwa ia akan menjadi temanku dan tidak akan menceraikanku kecuali aku yang menginginkannya. Tapi ya sudah, sekalipun dia meninggalkanku di tengah pernikahan ini memangnya aku rugi apa? Aku tidak mencintai Argio begitupun sebaliknya, anggap saja urusan bisnis kami dan hubungan pertemanan itu selesai. Iya, kan?

Oke, Laras, lo mungkin memang sudah mulai gila.

"Fine katakanlah aku setuju sama pernikahan ini. Lalu gimana soal...itu?" tanyaku dengan suara pelan. Pipiku seketika panas dan aku tidak berani bertanya sambil menatap Argio langsung. Aku tahu aku hanya mempermalukan diriku di hadapan Argio tetapi menurutku ini lumayan penting untuk dipertanyakan.

"Itu? What do you mean?" tanyanya bingung. Tentu saja, siapa juga yang mengerti dengan caraku bertanya. Tapi aku hanya tidak berani mengatakannya terang-terangan. Ini memalukan.

"Physical activity......in bed. Bagaimana soal itu?"

Hening mendera. Aku memberanikan diri melirik Argio yang ternyata sudah melipat tangannya di dada sambil tersenyum ke arahku. Senyum menyebalkan khas Argio akhirnya muncul lagi! Sialan! Dia pasti benar-benar menertawakan pertanyaanku dan menganggapnya lelucon.

"Apanya yang gimana, hm?" tanyanya. "Aku nggak ngerti."

Ugh, aku ingin sekali mencolok mata Argio karena tatapannya itu. Dia sengaja ingin mendengarku menjabarkannya saat tahu aku bahkan perlu usaha ekstra untuk bisa menanyakan hal itu padanya.

Tapi apa aku salah? Kami adalah dua orang dewasa yang sehat yang kelak akan menjalani hidup bersama sebagai suami istri meski tanpa cinta. Sejauh ini, aku bukanlah seorang aseksual yang sama sekali tidak memiliki gairah seksual. Aku memang hanya menjaga diriku dan bertekad untuk memberikannya hanya jika sudah terikat pernikahan. Dan kami akan menikah, itu sebabnya aku bertanya soal ini pada Argio. Bukan maksud lain.

"Ugh. Seks, Argio! Seks! Apa kita juga akan melakukan itu dalam pernikahan ini?" tanyaku pada akhirnya. Sudahlah aku lelah berputar-putar. Terserah Argio mau meledek atau apa.

"Laras, dari semua pertanyaan yang aku prediksi akan kamu tanyain, aku nggak nyangka kalau kamu malah menanyakan ini. I mean you could ask me about where we will live, or how much money I'll give you every month–kamu beneran nggak bisa ditebak." Argio benar-benar tertawa setelah mendengar pertanyaanku dan itu membuatku ingin benar-benar kabur dari sana.

"Yaudahlah lupain aja!" Aku bertanya hanya untuk tindakan preventif. Bukan maksudku untuk melakukannya atau apa. Wajar kan aku bertanya soal itu? Aku hanya ingin tahu apa pernikahan ini hanyalah pernikahan platonic tanpa hubungan seksual sama sekali atau tidak. Maksudku soal cinta itu sudah jelas, kami tidak saling mencintai. Tetapi romansa dan seksualitas jelas dua hal yang berbeda. Tidak ada cinta bukan berarti tidak ada gairah seksual kan?

Aku berdiri dari kursiku, berniat untuk pulang. Tetapi Argio buru-buru berlari melewati kitchen island demi mencegahku. "Kamu mau ke mana? Kita belum selesai ngobrolnya."

"Nggak, nggak ada lagi yang harus dibahas." Aku mungkin terdengar kekanakan dan tidak dewasa saat ini. Terserahlah.

"Yaudah ini aku jawab pertanyaan kamu, Ras, tadi aku beneran nggak maksud ngeledek kok. Tapi pertanyaan kamu memang lu–iya Ras, iya aku nggak ketawa lagi!"

Aku dan Argio yang sekarang sekuat diri menahan dirinya untuk tidak tertawa saling berhadapan saat ini. Sepertinya sesekali aku memang harus menendangnya.

"Soal itu...aku juga nggak tahu. Aku terbiasa LDR dan sekalipun ketemu kami nggak selalu melakukan itu, aku cukup bisa ngontrol kebutuhan diriku soal itu. Kalau lagi nggak tahan banget ya aku tinggal main sendiri–"

"TMI, ARGIO!" Seruku dan lagi-lagi ia malah tertawa.

"Ya pokoknya itu. Jadi kalau kamu tanya soal activity in bed ya it depends ajasih... maksudku..." Argio tiba-tiba juga kebingungan menyusun kata-katanya sendiri. Hah, bukan aku saja kan yang harus awkward membahas soal ini di sini. "Maksudku...ah Ras, ya gitu deh. Ngerti nggak sih? Memangnya kamu sendiri gimana? Kamu butuh itu?"

Aku berkedip. Aku bahkan tidak tahu soal itu. Aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Sejauh ini hal intim yang pernah kulakukan hanya sebatas berciuman itu pun hanya saling mengecup. Tidak lebih. Tapi bukan berarti aku juga menutup diri soal itu. Maksudku, kalau kita memang menikah, secara teknis itu sah untuk dilakukan kan?

"Aku juga nggak tahu." Akhirnya hanya itu yang bisa kukatakan padanya. Sumpah, kenapa juga aku harus membahas soal ini jika pada akhirnya aku bahkan tidak tahu apa tujuanku bertanya. Memangnya jawaban seperti apa yang kuharapkan? Aku bahkan tidak tahu.

"Nggak tahu? Maksudnya?" Argio menatapku heran. Mungkin ia bingung dengan jawaban dan reaksiku sekarang. Padahal aku duluan yang membahas ini tetapi aku juga yang tidak tahu. "Don't tell me you are still virgin?"

"Is that a problem?" tanyaku bingung. Don't get me wrong, aku tidak gimana-gimana dengan mereka yang melakukan seks sebelum nikah. Itu semua soal pilihan. Termasuk aku juga yang memilih tidak melakukan itu di luar nikah.

"Nggak gitu, aku pikir kamu sexually active... maksudku kamu kan pacaran sudah lama. Kalau aku jelas karena LDR tapi kamu–ya nggak semua orang pacaran berhubungan seks sih. Tapi maksudku, aku pikir kamu kayak gitu karena kamu bahas duluan soal ini."

"Sekalipun aku perawan, bukan berarti aku nggak punya gairah atau ketertarikan soal hal seksual. Aku juga manusia dan wanita normal pada umumnya. Aku cuma nggak melakukannya sebelum nikah."

Suasana di antara kami seketika berubah jadi sangat canggung. Aku benar-benar ingin segera pergi tetapi Argio bahkan masih memegangi lenganku.

"Kalau gitu...kamu mau coba?"

***

a/n: COBA APA ITU ARGIOOO WKWKW. AYO COMMENT DONG GIMANA CHAPTER INI!!! Bisa nggak ya tembus 50 komentar di part ini sebelum aku lanjut part berikutnya hehe? Bisa dong ya bisaaa

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro