15. Karena kamu...
"POKOKNYA MAMA NGGAK SETUJU!"
"Ma dengar dulu!"
"Kamu yang harusnya dengar Mama, Juna!" Tante Ambar menggebrak meja. "Pa! Jangan diam saja! Papa juga nggak setuju, kan?"
"Menurut Papa, it's not a bad idea."
Aku tidak tahu sejak kapan undangan makan siang dari Tante Ambar ini berubah menjadi sebuah acara pertengkaran keluarga yang harus kusaksikan. Makananku bahkan belum tersentuh sama sekali karena sejak tadi meja ini malah dipenuhi oleh teriakan.
Lebih tepatnya teriakan Tante Ambar. Dan lebih gilanya lagi, akulah yang sedang menjadi objek pertengkaran mereka. Sepertinya sejak bertemu Tante Ambar, hidupku benar-benar dipenuhi kejutan setiap harinya.
"Not a bad idea? Apa Papa sudah gila?!" Tante Ambar tampak benar-benar tidak habis pikir dengan ucapan suaminya. "Pernikahan itu bukan untuk dipermainkan seperti ini!"
"Nggak ada yang main-main, Ma, you know how serious I am with this fuckin wedding. Apa Mama pikir Juna akan bertindak sejauh ini kalau Juna juga cuma main-main?"
"Apapun alasannya, ide kamu itu gila dan Mama nggak setuju!" Tante Ambar melempar serbet dari atas pangkuannya ke meja. "Laras, ayo ikut Tante!"
"No, she will stay here!" Kini giliran Pak Tegar yang membuatku terkejut. Setelah sedikitnya reaksi yang ia tunjukkan sejak tadi, kini ia malah mengatakan hal yang benar-benar tidak kuduga. "At least until she give us an answer."
"Nggak! Laras–"
"Kamu silahkan saja kalau mau pergi. Laras tetap di sini sampai dia jawab."
Kenapa aku harus ada di situasi ini? Aku hanya datang karena Tante Ambar mengundangku makan siang. Lalu aku bertemu Argio di lift. Kami bertemu Tante Ambar dan Pak Tegar. Berbicara ringan sebagai basa-basi pembuka sambil menunggu hidangan disajikan lalu kemudian Argio tiba-tiba saja berkata,
"Juna akan tetap menikah." Hening sejenak sebelum kemudian Argio melanjutkan, "bukan dengan Silvania tapi dengan Laras."
Aku bahkan tidak memiliki waktu untuk merespon atau bahkan memproses ucapan Argio karena kemudian Tante Ambar menyatakan dengan keras ketidak setujuannya. Argio mencoba menjelaskan dengan alasan yang menurutku sangat tidak masuk akal–katanya demi menjaga nama baik Pradana, ia akan tetap melanjutkan pernikahan itu tetapi denganku.
Dia bahkan tidak bertanya apapun padaku dan memutuskan ini sendirian. Benar kata Tante Ambar, Argio sudah gila. Harusnya aku marah, tetapi entah mengapa Tante Ambar justru yang paling marah di sini.
Aku tahu aku juga tidak akan setuju dengan ide ini, tetapi melihat penentangan dari Tante Ambar, entah mengapa membuatku merasa sedikit sedih. Tentu saja meski ia sebaik ini padaku dan katanya menganggapku keluarga, ia tidak mungkin menerimaku yang anak yatim piatu sebatang kara ini menjadi menantunya meski hanya sebagai cadangan.
Iya. Cadangan. Kata Argio, aku adalah pengantin cadangan untuknya. Aku bahkan tidak tahu harus bereaksi apa lagi. Semuanya campur aduk dan aku hanya bisa terdiam bingung di kursiku.
Lucu bukan? Aku jadi bertanya-tanya eksistensiku di mata orang-orang kaya ini.
Bagi Tante Ambar, aku hanya tempat untuknya membalas utang budi kepada orang tua angkatku.
Bagi Pak Tegar, aku berguna untuk menyelamatkan namanya dari rasa malu akibat pernikahan anaknya yang gagal.
Dan bagi Argio, aku hanyalah seorang pengantin cadangan.
"Saya–"
"Kami pasti akan bayar kamu, Laras, kamu nggak usah khawatir soal itu."
Tanganku terkepal. Apa mereka pikir ini hanya soal uang? Apa di mata mereka, aku benar-benar hanya sebatas itu?
"MAS TEGAR CUKUP!" Aku tersentak ketika mendengar Tante Ambar membentak suaminya. Selama ini, Tante Ambar selalu tampak segan dengan suaminya yang memang tegas dan berwibawa itu. Ini pertama kalinya aku melihat Tante Ambar benar-benar semarah itu. "Laras, nggak usah dijawab! Ayo kita pergi!" Tante Ambar lalu bangkit dari kursinya dan menarik tanganku.
Argio juga hanya bergeming di kursinya begitu pula dengan ayahnya melihat Tante Ambar membawaku pergi dari sana.
Aku sedikit kesulitan karena Tante Ambar benar-benar setengah menyeretku sampai mencapai lift. Sepertinya Tante Ambar benar-benar emosi saat ini. Bahkan ia jauh lebih emosi dibanding saat mengetahui Silvania membatalkan pernikahannya dengan Argio minggu lalu.
"Mereka benar-benar gila. Dosa apa Tante punya suami dan anak seperti mereka! Tante nggak habis pikir!" Tante Ambar terus menggerutu sambil menekan-nekan tombol pemanggil lift karena lift tak kunjung tiba.
"Tante..."
"Laras, pokoknya nggak usah dengerin omongan Juna ataupun Papanya. They're really out of their mind!" Pintu lift akhirnya terbuka dan Tante Ambar menarikku lagi masuk ke dalamnya. Beliau menekan lift ke lantai dasar. Lebih tepatnya ke basement tempat parkiran berada.
"Tante tapi sebentar lagi Laras harus balik ke–"
"Nggak! Udah kamu ikut Tante, nanti biar Daisy yang bilang ke bawahan kamu kalau kamu izin pulang!"
Aku akhirnya hanya bisa menutup mulutku tanpa punya banyak pilihan. Sejak awal aku sadar aku bukan siapa-siapa di sini, kan? Aku hanya bisa mengikuti apa yang mereka inginkan dan putuskan untukku. Bahkan mereka saja berpikir bisa menjadikanku seorang 'cadangan', bukankah sudah jelas bagaimana posisiku?
"Laras bawa mobil?" tanya Tante Ambar begitu kami sudah sampai di basement. Aku mengangguk. Tante Ambar lalu mengulurkan tangan menunjukkan gesture meminta. "Sini kuncinya, biar Tante yang bawa mobilnya."
"Apa?"
"Kunci, Laras."
Lagi-lagi aku hanya bisa pasrah sambil menyerahkan kunci mobilku pada Tante Ambar. Ia menekan tombol kunci dan mobilku berbunyi tidak jauh dari kami. Tante Ambar pun bergegas berjalan menuju mobilku dan aku mengekor di belakangnya.
***
"Tante sudah pernah menikah sebelum bertemu Mas Tegar."
Tanganku yang sedang mengaduk minuman di gelas seketika berhenti. Perhatianku kini tertuju pada wanita setengah baya di hadapanku yang masih tampak cantik meski wajahnya sudah dihadiri oleh beberapa garis usia.
"Dan pernikahan itu adalah masa-masa paling menyedihkan dalam hidup Tante. Bahkan jauh lebih menyedihkan dibanding saat keluarga Tante bangkrut. Karena apa? Karena Tante menikah tanpa cinta."
Tante Ambar lalu menceritakan soal pernikahan pertamanya dengan seorang pria yang dijodohkan oleh orang tuanya. Setelah menyelesaikan kuliah dengan bantuan dari Budhe dan Pakdhe, orang tua Tante Ambar mencarikan Tante Ambar seorang lelaki mapan untuk dinikahi. Sebut saja mereka sudah putus asa dan lelah dengan tuntutan ekonomi sehingga ketika seorang kerabat jauh mereka yang kaya dan mapan menyatakan keinginannya untuk meminang Tante Ambar untuk anak laki-laki mereka, orang tuanya setuju bahkan tanpa mempertimbangkan pendapat Tante Ambar sendiri.
Karena Tante Ambar adalah anak yang penurut, ia tidak punya pilihan selain menerima lamaran tersebut. Tante Ambar akhirnya menikah dengan lelaki yang bahkan baru dua kali ia temui sebelum pernikahan.
Pernikahan itu awalnya berjalan baik-baik saja. Meski mereka menikah karena dijodohkan, lelaki itu baik, sopan dan sabar. Bahkan ketika Tante Ambar menolak untuk melakukan malam pertama mereka sampai tiga bulan pernikahan pun, lelaki itu tidak pernah marah atau sekalipun memaksa. Akhirnya Tante Ambar luluh dan mencoba membuka hati untuk suaminya hingga akhirnya Argio lahir.
Iya, aku cukup terkejut saat tahu Argio ternyata bukanlah putera kandung Pak Tegar. Padahal secara fisik mereka cukup mirip. Tetapi kini aku sadar, mungkin itu alasan Argio terkadang terlihat berbeda di hadapan Pak Tegar.
Kembali ke Tante Ambar, saat beliau mulai berusaha membuka diri, saat itu juga bertepatan dengan bisnis suaminya yang sedang berkembang pesat dan membuatnya jadi lebih sering bepergian dan meninggalkan Tante Ambar seorang diri di rumah mereka yang besar. Tante Ambar juga dilarang bekerja dan sehari-hari hanya menghabiskan waktu berdua dengan bayinya dan para ART yang dipekerjakan untuk membantunya di rumah.
Meski tidak kekurangan secara finansial, jika saja ada cinta di antara mereka, setidaknya Tante Ambar bisa menjalani kesendirian itu dengan perasaan rindu dan bukan dengan kekosongan. Hatinya terasa sangat hampa dan Tante Ambar mulai menjalani hari-harinya seperti mayat hidup. Tanpa cinta, tanpa sesuatu yang dinantikan. Monoton. Satu-satunya yang membuat Tante Ambar tetap bisa menjalani hari adalah keberadaan Argio.Tante Ambar pikir, tidak apa-apa jika tidak bisa merasakan cinta dari suaminya, setidaknya suaminya bisa memberikan cintanya itu pada Argio.
Sayangnya, sama dengan Tante Ambar, Argio juga tidak mendapatkah cinta dan perhatian yang seharusnya dari ayah kandungnya. Mereka berdua dibiarkan kesepian tanpa kasih sayang dari sosok suami dan ayah.
Tante Ambar sadar bahwa pernikahan mereka sejak awal hanyalah penyatuan dua pasang badan, bukan hati.
Sampai Tante Ambar bertemu Pak Tegar suatu hari tanpa sengaja di sebuah acara. Padahal acara itu ia hadiri bersama suaminya, tetapi Tante Ambar justru merasakan debaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya dengan kolega bisnis suaminya.
Pernikahan Tante Ambar dengan suami pertamanya itu pun akhirnya kandas karena Tante Ambar yang semakin depresi menjalani hari-hari pernikahan tanpa cinta dan dingin itu ditambah hatinya mulai tertambat pada pria lain. Akhirnya pernikahan itu kandas. Butuh waktu cukup lama sampai akhirnya Tante Ambar setuju untuk menikah lagi dengan Pak Tegar tetapi untungnya, pernikahan keduanya benar-benar keputusan terbaik untuknya dan Argio.
"Mungkin banyak orang yang bilang kalau menikah itu nggak hanya butuh cinta. Tapi perlu digaris bawahi, tidak hanya butuh, bukan berarti benar-benar tidak ada. Cinta itu tetap diperlukan dari sebuah pernikahan." Tante Ambar kini mengulurkan tangannya padaku dan menggenggamnya erat. Tangannya terasa hangat. "Laras, Tante bukan nggak mau menerima kamu sebagai menantu. Tante bahkan akan sangat bahagia kalau kamu lah yang jadi menantu Tante. Tante sayang sama Laras karena itu Tante nggak mau kamu mengalami hal yang sama dengan Tante, sayang."
Aku bisa melihat mata Tante Ambar berkaca-kaca. Sepertinya baru kali ini ia menunjukkan emosinya setelah huru-hara yang terjadi sejak pembatalan pernikahan Argio seminggu yang lalu.
"Tante tahu gimana Juna. Cintanya mungkin sudah habis di Silvania." Tante Ambar menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Juna itu sayang sekali sama Mas Tegar, Juna selalu nurut apa kata Papanya. Mungkin karena dari kecil dia nggak dapat kasih sayang sosok ayah sampai akhirnya Tante nikah lagi sama Mas Tegar dan beliau sangat menyayangi Juna jadinya Juna sangat-sangat attached sama ayah sambungnya itu. Semua kata Papanya ia turuti kecuali satu, yaitu menjauhi Silvania.
"Berbagai usaha untuk memisahkan Juna dan Silvania sudah dilakukan sama kami dari lama. Bahkan dari awal mereka pacaran. Mereka satu sekolah waktu di Australia, Silvania itu adik kelasnya Juna dan rumah kami juga bertetangga. Mas Tegar nggak pernah suka sama Silvania karena latar belakang keluarganya yang kurang baik ditambah Mas Tegar yakin Silvania itu hanya memanfaatkan Juna saja.
"Suatu hari Silvania nemuin Mas Tegar, katanya dia bersedia jauhin Juna asal kami bisa bantu dia untuk jadi idol di Korea. Dari situ kecurigaan kami terbukti, she really just take him for granted. Tanpa sepengetahuan Juna, akhirnya kami setuju biayai Silvania untuk bisa masuk agensi di Korea sampai kemudian debut jadi idol. Tapi ternyata di belakang, mereka masih berhubungan."
Aku benar-benar tidak habis pikir bahwa Argio memiliki kisah hidup yang cukup complicated. Kupikir lelaki itu hanyalah seorang anak orang kaya sombong dan semaunya, yang bisa hidup tanpa aturan dan benar-benar hanya sesuai keinginannya saja karena privilege orang tuanya dan nama belakangnya.
"Kenapa Tante nggak kasih tahu Argio yang sebenarnya?" tanyaku penasaran. Bukankah justru ini tidak adil bagi Argio karena dialah satu-satunya yang tidak tahu soal orang yang dicintainya.
"It will break him, Tante nggak siap lihat Juna hancur." Tante Ambar menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. "Waktu Juna bilang mau menikah dengan Silvania, Tante pikir, ya sudahlah mungkin memang wanita itu jodohnya. Sudah dipisahkan beberapa kali pun masih kembali lagi juga jadi daripada dipaksa pisah lebih baik kami yang ngalah. Akhirnya Papanya Juna kasih syarat, Juna diizinkan menikah dengan Silvania tapi harus tahun ini. Sekalian kami juga mau lihat apa wanita itu lebih pilih Juna atau karirnya. Waktu wanita itu setuju, ya kami pikir dia memang sudah berubah. Tapi ternyata malah seperti ini."
"Lalu kenapa harus Laras, Tante?" tanyaku setelah keheningan panjang di antara kami.
Aku mulai sedikit mengerti alasan Argio mencetuskan ide untuk melanjutkan pernikahan meski dengan pengantin pengganti. Mungkin ini sebagai pertanggung jawabannya kepada Pak Tegar setelah melawan restunya namun malah berakhir seperti ini. Tapi masalahnya, kenapa harus aku?
Tante Ambar bahkan tidak punya jawaban untuk pertanyaanku. Dan satu-satunya yang bisa memberiku jawaban itu hanyalah Argio.
***
"Karena kamu kandidat yang paling aman sejauh ini."
"What?" Mataku terbuka sepenuhnya ketika Argio dengan entengnya menjawab pertanyaanku soal alasan mengapa harus aku yang menjadi pengantin penggantinya.
"Jangan tersinggung, itu justru pujian."
"Saya nggak merasa kalimat kamu barusan itu sebuah pujian." Aku benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Argio. Kalau ini soal bayaran, jelas dia bisa membayar orang lain untuk melakukan ini dibanding aku. Aku di sini hanya bekerja untuk menjadi wedding plannernya, bukan untuk menjadi pengantin cadangannya.
"Karena kamu kerja di sini dan kita sering ketemu, bahkan sebelum kamu kerja di sini. Itu bisa jadi alibi ke orang-orang."
"Alibi ke siapa? Yang tahu siapa jati diri calon kamu itu cuma pegawai-pegawai kamu dan beberapa orang yang terlibat dalam pernikahan ini. Tamu-tamu kamu dan Papa kamu bahkan nggak akan tahu sekalipun kamu menyewa cewek bule buat jadi istri bohongan kamu!"
"Ck–ini dia alasan gue nggak terlalu suka cewek pintar. But yeah, saya akui kamu itu pintar. Cerdas. Kamu selalu bisa bertindak cepat apalagi kalau ada masalah. Cara kamu menganalisis omongan saya barusan juga contohnya."
"Argio, stop mengada-ada. Pernikahan ini kan hanya kamuflase untuk nutupin dari tamu-tamu kamu dan Papa kamu saja supaya kalian nggak malu. Sekalipun kamu menikahi seseorang yang nggak pintar, mereka nggak akan tahu! It's not like you'll marry her for real." Argio tidak menjawab ucapanku kali ini dan itu membuat dahiku mengernyit hebat. "Argio, kamu nggak beneran mau menikah kan?"
Argio menolak menatapku kali ini dan itu membuatku melangkah mendekatinya. Aku benar-benar ingin tahu apa yang sebenarnya ada di otak lelaki ini ketika mengatakan ingin menjadikanku pengantin cadangannya.
Awalnya kupikir ini memang sebuah ide gila, jujur saja. Tapi setelah kupikir lagi, latar belakang Argio berbeda denganku. Ia adalah pengusaha dan juga anak pengusaha terkenal. Nama baiknya adalah sebuah aset yang perlu dijaga. Gagal menikah memang bisa terjadi pada siapa saja, tetapi bagi Argio dan keluarga Pradana itu adalah sebuah cela bukan musibah.
Tapi tetap saja. Argio tidak perlu benar-benar menikah. Dia bisa hanya pura-pura menikah, atau nikah kontrak seperti yang biasa dilakukan di kalangannya. Dan tentu saja bukan dengan aku. Karena aku tidak akan mau melakukannya.
"Kalau saya jawab, kamu mau nikah sama saya?" Tiba-tiba Argio menatapku saat aku sudah berdiri di hadapannya. Aku bisa lihat raut frustasi dari wajahnya. "Kalau kamu nggak mau, saya nggak akan jawab."
"Ya sudah, kalau gitu saya nggak mau tahu." Aku pun berbalik untuk pergi tetapi Argio dengan cepat menahan lenganku.
"KARENA SILVANIA NGGAK SUKA SAMA KAMU!" Argio lalu melanjutkan, "Karena kalau kita nikah, aku bisa balas dendamku ke Silvania."
Aku pikir dianggap sebagai pengantin cadangan sudah cukup menyinggung perasaanku. Tapi ternyata sepertinya aku salah.
***
a/n: siapa yang mau nimpuk Argio, ayo batunya diambil satu-persatu. Hehe.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro