Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Is it a joke?

Dari semua persiapan pernikahan yang pernah kukerjakan, sejujurnya mempersiapkan pernikahan Argio dan Silvania adalah persiapan pernikahan yang paling aneh dari semuanya.

Bagaimana tidak? Hampir delapan puluh persen persiapan ini hanya dilakukan sepihak saja oleh pihak pengantin pria, itupun hampir sebagiannya diurus oleh sekretaris pribadinya. Sedangkan kedua calon pengantinnya justru sibuk sendiri-sendiri tanpa benar-benar peduli.

Ok, ralat. Argio sebenarnya sangat perduli dengan acara pernikahannya. Tetapi setiap kali kami meeting untuk acara pernikahannya ini, moodnya selalu saja buruk dan pada akhirnya ia hanya akan diam sama di kursi menatap kosong ke layar ponsel atau tablet di tangannya. Terkadang ia juga berubah menjadi sangat sensitif dan suka marah-marah untuk hal kecil.

Sedangkan Silvania? Jangan ditanya. Wanita itu benar-benar tidak berkontribusi apapun dalam pernikahan ini selain memberikan tema di awal.

"Mbak Laras, gimana ya? Bu Silvania-nya minta ukurannya diturunin satu ukuran lagi karena katanya dia lagi program diet jadi nanti pas hari-h pasti ukuran tubuhnya mengecil."

Aku bisa menangkap ekspresi kebingungan Lula, asisten designer yang menangani khusus gaun pengantin Silvania. Gaun pengantin Silvania didesain khusus oleh salah satu designer gaun pengantin terbaik dan termahal di Indonesia yaitu Berliana Hermawan. Untuk jasa designnya saja, orang-orang harus mengeluarkan dana paling sedikit enam puluh juta. Belum dengan pembuatan gaun beserta detailnya.

Menjadi in house WO untuk Grand Lavish benar-benar membuatku jadi tahu bahwa ada orang-orang yang bisa mengeluarkan dana sampai ratusan juta untuk gaun yang dipakai hanya satu kali saja itu.

Bu Berliana dan beberapa asistennya baru saja kembali dari Korea Selatan kemarin untuk melakukan fitting dengan Silvania setelah selama ini konsultasi mengenai design gaunnya dilakukan secara online saja. Bahkan dibanding Silvania, aku dan Mia sepertinya sudah lebih dulu tahu bagaimana detail gaun itu.

"Mbak Lula apa sudah coba jelaskan ke Bu Silvania-nya?" tanyaku karena sejujurnya masalah ini benar-benar di luar kendaliku.

Bahkan secara teknis, masalah ini sebetulnya bukan urusanku. Posisiku di sini sebagai WO hanyalah untuk mengkoordinasi jadwal antara calon pengantin dan designer. Biasanya calon pengantin lebih nyaman untuk mendiskusikan masalah baju secara pribadi dengan team designer. Tetapi dalam kasus Silvania, jelas aku tidak bisa melakukannya karena ia bahkan tidak sepenuhnya ikut serta dalam diskusi.

"Sudah, tapi dia tetap maksa begitu. Masalahnya kami takut nanti malah nggak bagus pas hari-h karena bajunya kesempitan atau apa. Bagian dada sampai perutnya tuh modelnya kan press body gitu, Mbak, to be honest itu saja lumayan sesak meski sesuai ukuran. Apalagi kalau diturunkan satu ukuran lagi, bisa-bisa susah napas."

Aku mengerti posisi mereka. Karena ini bukan soal bisa atau tidak bisanya mengikuti kemauan client tetapi juga soal nama baik. Jika pada hari-h gaun itu justru jadi tidak bisa dipakai atau membuat pengantin kesulitan, tentu nama designer akan ikut tercoreng.

"Kalau gitu nanti saya jadwalkan meeting untuk mediasi lagi ya, Mbak Lula. Saya juga coba bicarakan dengan pihak calon pengantin." Tentu saja yang kumaksud adalah Argio karena aku bahkan hampir tidak pernah berhubungan dengan Silvania sejauh ini.

Iya, ini juga adalah pertama kalinya sepanjang karirku bekerja menjadi WO di mana aku bahkan tidak pernah berdiskusi langsung dengan sang calon pengantin wanita selama persiapan pernikahan.

***

"Just do whatever she wanted to. Ikuti semua permintaannya, tanpa terkecuali."

Aku menghela napas. Bahkan setelah penjelasan panjang yang kujabarkan pada Argio termasuk kemungkinan Silvania nantinya bisa saja sesak napas karena pakaiannya terlalu sempit–Argio tetap menyuruhku menuruti kemauan calon istrinya yang tidak masuk akal itu.

"Pak, Bapak sendiri tahu Bu Berliana itu bukan designer sembarangan. She's a pro, the best of the best whatever you called it. Mereka tidak bisa mengikuti permintaan Bu Silvania bukan tanpa alasan. Tetapi juga untuk kenyamanan calon pengantin."

"Lalu kamu mau saya gimana?"

Mana aku tahu?! Dia kan tunangan kamu, sialan! Ingin sekali aku berteriak seperti itu di hadapan Argio tetapi tentu saja itu mustahil. Selain kini Argio adalah klienku, dia juga atasanku di sini. Ah sial.

"Bapak bisa bicarakan ini baik-baik sama Bu Silvania." Sebenarnya aku pun tidak tahu mengapa Silvania harus sekeras kepala atas alasan tidak jelas begini. Padahal menurutku jika memang di hari-h nanti dietnya berhasil dan tubuhnya menyusut, baju yang kebesaran lebih mudah diakali untuk dikecilkan dibanding sebaliknya.

"As if she wants to listen to me."

Lagi-lagi Argio bergumam terlalu keras yang bisa kudengar. Aku tidak tahu mengapa ia harus repot-repot bergumam jika pada akhirnya aku bisa mendengarnya. Atau mungkin dia memang tanpa sadar melakukannya?

"She's your fiance and this is about your marriage, not only hers or yours. Diskusi bahkan berdebat dalam persiapan pernikahan itu hal yang wajar. Juga ada kalanya kamu nggak harus selalu mengikuti keinginan tunanganmu saja. You surely have your own opinion, which is just as important as hers." Aku tidak tahu mengapa mulutku pada akhirnya berkata demikian. Tetapi sepertinya aku sudah kepalang jengah dengan persiapan pernikahan tidak normal ini di mana semua hanya dilakukan satu pihak yang mengikuti satu pihak lainnya yang bahkan kontribusinya pun tidak ada.

Apa benar ini bisa disebut pernikahan?

Aku kadang bertanya-tanya, bagaimana mereka bahkan bisa berkencan dan memutuskan menikah dengan kondisi seperti ini?

"Maaf Pak Argio kalau ucapan saya kurang berkenan atau kelewatan." Aku tersadar bahwa ucapanku mungkin kelewatan dan di luar batas sebagai seorang wedding organizer & planner. Aku terlalu terbawa perasaan pribadiku yang bahkan tak kusadari.

"You definitely crossed the line, nona WO." Argio akhirnya bersuara setelah beberapa saat hanya diam saja sejak aku bicara. Dan ini adalah nada terdingin Argio yang pernah ia gunakan padaku sejauh ini. "Lain kali, lebih baik kamu nggak perlu bicara kalau saya nggak minta," tambahnya sebelum kemudian memutar kursinya hingga membelakangiku.

Tidak perlu dikatakanpun aku tahu gesture itu berarti sebuah usiran. Dengan tangan terkepal, aku bangkit dari kursiku dan pergi dengan kaki yang terhentak lebih keras dari yang kumaksud.

Baru kali ini aku ingin menangis saat menghadapi seorang client.

***

"Pernikahannya tinggal dua minggu lagi dan pengantinnya bahkan belum pernah sekalipun datang meeting, ini beneran bukan nikah bercanda, Mbak?"

"Shht!" Aku menyenggol bahu Mia sebagai teguran karena sudah bicara sembarangan. "Nggak enak nanti kedengeran orang."

"Siapa yang dengar? Pihak sananya aja nggak kelihatan batang hidungnya sama sekali, Mbak! Cuma Ibu sama adiknya yang dateng mewakili itu juga nggak tahu apa-apa dan nggak kontribusi apapun sama sekali. Dari empat kali meeting, cuma muncul sekali. Calon pengantin wanitanya malah belum pernah sama sekali."

"Mia..." Aku benar-benar ingin membekap mulut Mia kali ini. "Udahlah biarin aja, bukan urusan kita. Yang penting kita jalanin kerjaan sesuai jobdesk."

Mia masih menggerutu tetapi aku mencoba mengabaikannya. Lalu kami kembali fokus pada pekerjaan kami masing-masing. Sore ini kami akan melakukan technical meeting final untuk finalisasi semua detail teknis, memastikan semua pengaturan sesuai dengan rencana serta persiapan telah diselesaikan dan siap untuk hari H.

The Grand Lavish telah menyiapkan sebuah ballroom berukuran sedang untuk agenda hari ini karena technical meeting final ini memang dihadiri oleh cukup banyak pihak. Mulai dari keluarga pengantin, WO, perwakilan hotel baik koordinator venue dan tim katering hotel, tim dekor, tim desainer pakaian, MUA, hair styelist, vendor audio, vendor food extra, fotografer, entertainment, MC, florist, hingga staff logistik.

Sebagai wedding planner di sini, tentu saja akulah yang memiliki peran paling utama atau bisa dibilang bahkan akulah kepala dari keseluruhan persiapan acara ini. Meskipun kini staffku juga sudah bertambah, tetap saja tanggung jawab yang kuemban justru semakin besar.

Akan ada banyak tamu pejabat dan orang penting yang hadir ditambah aku tidak ingin mengecewakan kepercayaan Tante Ambar yang sudah ia berikan padaku. Jadi bukan hanya bagi pihak pengantin, tetapi pernikahan Argio ini juga sama pentingnya untukku.

Pintu ballroom terbuka dan Tante Ambar memasuki ruangan ini bersama dengan Daisy, asisten pribadinya. Aku sudah beberapa minggu ini tidak sempat bertemu Tante Ambar karena mempersiapkan pernikan Argio yang cukup merepotkan. Tante Ambar sendiri sepertinya juga disibukkan oleh berbagai kegiatan sosial bersama teman-temannya sehingga jarang berkunjung ke Grand Lavish belakangan ini.

Entah mengapa, aku juga merasa Tante Ambar tidak terlalu 'turun tangan' dalam pernikahan Argio. Melihat bagaimana Tante Ambar yang bahkan sangat peduli pada pernikahan clientnya yang waktu itu nyaris berantakan karena ditipu WO, cukup aneh melihatnya justru tidak terlalu peduli dengan persiapan pernikahan anak semata wayangnya sendiri.

Satu-satunya yang Tante Ambar lakukan sejauh ini hanya menanyakan progress persiapannya melalui aku dan itupun hanya selewat saja yang lebih terdengar seperti basa-basi.

Benar kata Mia, pernikahan ini bahkan terasa seperti sebuah candaan.

Tante Ambar tersenyum cerah begitu melihatku. Aku langsung memeluk dan mencium pipinya seperti biasa. "Tante, apa kabar?" tanyaku. Meski beberapa minggu tidak bertemu, sebenarnya kami beberapa kali berhubungan lewat telfon.

"Baik sayang. Laras sendiri gimana kabarnya? Capek ya pasti ini persiapannya ngebut?"

Aku menggeleng dengan tidak jujur. Soal fisik, mungkin memang tidak terlalu melelahkan. Tetapi mental? Entah sudah berapa kali perasaanku terombang-ambing dalam persiapan ini. Padahal persiapan pernikahan Argio dilakukan kurang lebih dalam waktu lima bulan. Sedangkan pernikahan Putri Pak Subroto kemarin yang kukerjakan dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam saja rasanya mentalku tidak selelah ini.

Kami berbincang basa-basi sedikit sebelum mengarahkan Tante Ambar duduk di kursi yang sudah disediakan untuk pihak keluarga. Tidak lama kemudian, Ibu dan adik laki-laki Silvania hadir sebagai satu-satunya perwakilan pihak calon pengantin wanita.

Silvania sudah tidak memiliki ayah. Katanya, ayahnya adalah WNA Korea yang dulunya bekerja di Indonesia kemudian bertemu ibunya dan menikah. Aku tidak dijelaskan lagi soal itu lebih jelas selain penjelasan bahwa yang akan menjadi wali nikah untuk Silvania nanti adalah adik laki-lakinya. Namanya Hadyan.

Sekarang kami tinggal menunggu Argio dan Silvania datang agar meeting ini bisa dimulai. Iya, kabarnya Silvania sudah kembali ke Indonesia kemarin malam dan akan stay sampai hari pernikahan.

Pintu ballroom kembali terbuka tetapi yang muncul di sana hanya Akbar. Tidak ada pertanda Argio ataupun Silvania bersamanya. Dan aku bisa lihat jelas ekspresi Akbar yang tampak...keruh. Entahlah.

Lelaki itu berjalan mengitari ruangan menuju ke arahku. Kupikir ia ingin bicara sesuatu dengan Tante Ambar yang kebetulan duduk tidak jauh dariku, tetapi rupanya ia menghampiriku.

"Ras–ekhem maksudnya Bu Laras, bisa kita bicara sebentar di luar?" Aku mengernyit. Lalu melirik ke orang-orang di ruangan ini yang kini perhatiannya jadi tertuju pada kami. "Urgent," tambah Akbar lagi untuk mempertegas situasi ini. Perasaanku semakin tidak enak. Sesuatu pasti terjadi.

Aku mengangguk dan mengekori Akbar ke luar ruangan. Kupikir kami hanya akan bicara di luar ballroom tetapi Akbar membawaku sedikit jauh dari sana. Ini pasti benar-benar bukan sesuatu yang baik.

"Can we cancel the meeting?"

"What?!" Aku nyaris berteriak tetapi untungnya aku masih bisa menjaga volume suaraku meski aku terkejut setengah mati. "Why?"

"Ugh nggak–maksudku...bisa ditunda dulu? Atau ganti hari lain?"

"Hold on, Bar, sebenarnya ada apa? Did something happen to Pak Argio or Bu Silvania?" tanyaku mulai khawatir. Tidak mungkin kan Argio sampai minta menunda meeting besar ini kalau memang tidak ada hal yang serius.

"Something like that. Aku juga masih nunggu kabar, Argio masih dalam penerbangan sekarang."

"Apa?" Ada apa ini sebenarnya? Penerbangan? Kenapa tiba-tiba lelaki itu terbang? "Terbang ke mana?"

"Seoul." Akbar memijat dahinya. Ia sepertinya sama frustasinya denganku, bahkan mungkin lebih. "Silvania batalin pernikahannya dengan Argio."

Wait what???

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro