Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12. Lelaki Yang Sedang Merindu

"Kamu tunggu sebentar di sini ya Ras, aku masuk jemput Argio dulu," ucap Akbar begitu kami sampai di parkiran sebuah bar. Aku pikir Argio mabuk di nightclub miliknya sendiri, tetapi lelaki itu malah mabuk-mabukan di tempat lain. Benar-benar menyusahkan. Aku hanya mengangguk sambil melepas seatbelt.

Akbar bergegas berlari ke dalam selagi aku memutuskan untuk mengecek ponselku yang sejak tadi hampir tak tersentuh di dalam tas. Ada beberapa chat soal pekerjaan dan aku memutuskan untuk mengabaikannya dulu dan mengecek lagi besok.

Saat aku masih sibuk bermain ponsel aku mendapati Akbar yang sedang memapah Argio dari dalam bar dibantu seorang staff. Aku buru-buru meninggalkan ponselku dan turun dari mobil untuk berinisiatif membukakan pintu belakang.

"Thanks, Ras," kata Akbar ketika melihatku membantunya membukakan pintu.

Aku bisa mencium bau alkohol menusuk dari arah Argio yang terlihat sangat kacau saat ini. Ia bahkan benar-benar tidak bisa berdiri tegak. Berapa banyak alkhohol yang dia konsumsi sih?

"Sil???"

Aku mengernyit ketika Argio tiba-tiba berhenti melangkah dan menunjukku dengan tangannya.

Akbar masih berusaha membopong Argio untuk masuk ke mobil tetapi lelaki itu melawan bahkan mencoba melepaskan diri dari rengkuhan Akbar. "Bentar–itu Silvania, my baby!"

"Bukan anjir Gi, itu–Gi!!!"

"Wha–"

Argio melemparkan dirinya ke arahku dengan tiba-tiba. Aku sampai harus terdorong ke belakang hingga punggungku menabrak body mobil Akbar karena berusaha menahan bobot tubuhnya yang jelas tidak sebanding denganku.

"Sayang aku kangen!" Argio berkata di ceruk leherku karena wajahnya kini terbenam di sana. Ia memelukku dengan sangat erat membuatku bahkan kesulitan untuk melepaskan diri. "I misssss youuu so much babyyyy, jangan tinggalin akuu!"

"I swear to God..." Aku bisa mendengar Akbar berdecak di belakang Argio sambil berusaha menarik bosnya itu lepas dariku. Tetapi pelukan Argio padaku terlalu erat. Aku bahkan mulai sesak. "Argio sadar anjir, itu bukan tunangan lo!"

Aku berusaha melepaskan pelukan Argio tetapi ia malah semakin erat. Ini pertama kalinya untukku bersentuhan sedekat ini dengan laki-laki selain Haris. "Argio–"

"Don't call me that, call me Juna, like you used to."

Aku bisa merasakan perlahan tidak ada pergerakan lagi dari Argio selain gumaman-gumana tak koheren. Tubuhnya juga sudah tidak berusaha memelukku dan aku yakin ia sudah sepenuhnya kehilangan kesadarannya. Entah tidur atau pingsan.

Akbar akhirnya berhasil menariknya dariku dan segera menaruhnya di jok belakang. "Sumpah ya, gue resign beneran aja kalau gini terus!" Akbar setengah membanting pintu. Sepertinya ia benar-benar kesal pada Argio. Lelaki itu lalu menatapku, "Laras I'm so sorry, beneran maaf banget sama kelakuan Argio barusan..."

Aku menggeleng karena ini bukan salah Akbar. "It's fine, aku nggak apa-apa kok, Bar." Aku berusaha meyakinkan Akbar yang terlihat tidak enak dan bersalah padaku. "Kita pulang, yuk? Udah malem banget."

"Oh right, ayo. Maaf ya Ras sekali lagi."

Aku hanya tersenyum sebagai jawaban. Dan Akbar pun mengantarku pulang dengan Argio yang juga masih terlelap di kursi belakang. Sesampainya di depan rumahku, Akbar sudah berniat turun dan memastikanku masuk ke rumah. Tetapi aku melarangnya karena sudah terlalu malam dan ia masih harus mengantar Argio pulang. Jadi kamu pun berpisah setelah itu.

Ketika masuk ke rumah dan membersihkan diri, aku tidak sengaja melihat pantulan punggungku di cermin dan terkejut karena benturan akibat pelukan Argio yang tiba-tiba tadi meninggalkan bekas memar kecil di sana.

Anehnya memar itu bahkan tidak meninggalkan rasa sakit, melainkan bekas pelukan Argio lah yang justru meninggalkan jejaknya di tubuhku. Karena saat aku melepaskan kemejaku, aku bisa mencium aroma perfume Argio yang tertinggal di sana.

***

Beberapa hari kemudian aku bertemu Argio dan Akbar lagi untuk fitting jas. Lelaki itu sepertinya tidak tahu apa yang terjadi beberapa hari lalu. Entah Akbar yang memang tidak memberitahunya atau memang Argio sendiri yang merasa hal itu bukan sesuatu yang penting.

"Nah Pak Argio, mari bisa dicoba dulu kemeja dan jasnya." Jas Argio dibuat oleh pembuat jas terkenal bernama Pak Elio. Pak Elio ini sudah menjahit jas untuk orang-orang penting di Indonesia, termasuk Presiden. "Silahkan kamar gantinya di sebelah sini." Asisten Pak Elio yang sejak tadi membantu kami menunjukkan arah kamar ganti kepada Argio. Pak Elio sendiri sedang ada telpon dan akan menyusul kami beberapa saat lagi.

"Mau dibantuin?" tanya Akbar meledek yang dibalas Argio dengan acungan jari tengah. Aku dan Argio lalu sempat bertukar tatap beberapa detik sebelum Argio mengalihkan tatapannya dengan cepat dan bergegas masuk ke ruang ganti.

Apa-apaan itu?

"Ras, kamu mau kopi?" tanya Akbar padaku begitu Argio sudah masuk ke ruang ganti. "Aku mau beli kopi dulu nih, ngantuk banget nggak kuat."

Aku memang sadar kalau Akbar tidak sesegar biasanya. Rupanya karena ia belum mendapatkan jatah cafein hariannya. "Boleh deh."

"Oke, tunggu sini sebentar ya. Aku lihat di sebelah ada coffee shop. Ice coffee latte less sugar, kan?" tanyanya memastikan. Akbar ingat kopi yang kupesan di coffee shop tempo hari. Lalu setelah mendapatkan anggukan dariku, Akbar berlalu untuk membeli kopi.

"Bu Laras sebentar ya saya mau ke belakang dulu, sebentar aja nanti saya kembali lagi." Staff Pak Elio bernama Rendy yang sejak awal membantu kami izin padaku karena saat ini memang hanya ada aku di sana saat itu.

"Oh shit! Bar! Akbar!"

Aku tersentak ketika mendengar suara Argio mengumpat dan kemudian memanggil Akbar dari balik kamar ganti. Apa lagi yang ia lakukan kali ini???

"AKBAR!"

Aku berdecak sambil berjalan menghampiri ruang ganti tersebut. "Akbar lagi beli kopi, kamu perlu bantuan?"

"What? Ngapain dia beli kopi di jam kerja gini sih?" Argio terdengar mengomel di balik sana. Benar-benar tidak ada wibawanya sama sekali. "Ada siapa lagi di situ? Panggilin kek siapa."

"Kamu kenapa sih?" tanyaku bingung. "Kamu perlu bantuan?"

Pintu kamar ganti terbuka dan aku bisa melihat Argio di sana dengan kemejanya yang tersangkut di rambut. Aku tidak bisa menahan diri untuk tertawa.

"Kamu pikir ini lucu?" tanyanya galak. "Lebih baik kamu pergi kalau nggak mau bantu!"

Aku tidak menyangka lelaki ini bisa sangat kekanakan juga. Aku menahan pintu kamar ganti yang berusaha ia tutup lagi dan melangkah ke dalam untuk membantunya. Ternyata rambut Argio terbelit di kancing baju kemeja yang sedang ia coba. Padahal dia bisa menariknya saja sampai lepas tetapi lelaki ini malah memilih cara susah untuk menunggu seseorang melepaskannya.

"Aduh!" Ia mengaduh ketika aku menarik paksa rambutnya terlepas dari kancing yang tersangkut. "Pelan-pelan dong!"

"Maaf." Aku secara refleks mengusap kepala Argio di tempat ia tersangkut tadi. Karena perbedaan tinggi kami, aku harus berjinjit kecil untuk bisa melakukan hal itu. Untuk sepersekian detik, aku bahkan tidak sadar apa yang sedang kulakukan bersama Argio di tempat sempit ini.

Deruh napas Argio menyentuhku karena posisi kami yang sangat dekat. Aku segera menjauh ketika Argio berdeham. Apa sih yang barusan aku lakukan?

Aku buru-buru berbalik badan untuk segera keluar dari ruang ganti itu ketika Argio tiba-tiba menahan lenganku. "Apa?" tanyaku karena ia tidak kunjung bicara setelah menahanku di sana.

Aku bisa melihat Argio kesulitan menatapku balik sejak tadi. Awalnya aku tidak merasa hal yang aneh. Tetapi saat kami berhadapan dengan sangat dekat kali ini, semuanya jadi terlihat jelas. Sebenarnya ada apa dengannya?

"Waktu itu...did I hurt you?" Aku berkedip. Hening sejenak sebelum kemudian Argio kembali bertanya karena aku tidak kunjung menjawabnya. "Kata Akbar saya mabuk berat dan nggak sengaja peluk kamu sampai kamu kebentur mobil. Apa kamu luka?"

"Oh..." Seketika aku teringat lagi soal bagaimana eratnya Argio memelukku malam itu. "Nggak, nggak apa-apa."

"Okay, sorry by the way. I wasn't really in my right mind that night."

Aku hanya mengangguk karena tidak tahu harus berkata apa. Aku bahkan tidak terlalu memikirkan hal itu sampai kemudian Argio membahasnya. Aku pun memutuskan keluar dari sana karena khawatir menimbulkan asumsi tidak baik berduaan dengan klienku di ruang tertutup seperti itu.

Tetapi sebelum aku benar-benar menjauh, aku bisa mendengar Argio bergumam kecil.

"I just miss her so much, and somehow you just looks like her."

Aku tidak tahu apa aku harus merasa tersanjung karena dianggap 'mirip' dengan perempuan secantik Silvania yang notabennya adalah seorang idol terkenal. Tetapi yang jelas, perasaan yang kurasakan saat ini justru adalah sebaliknya.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro