10. First Client
Aku pikir reaksi Argio akan sama keras dan menyebalkannya seperti saat pertama kali Tante Ambar memintaku menjadi WO pengganti di The Grand Lavish. Apalagi kali ini aku bukan hanya akan menjadi WO untuk klien The Grand Lavish melainkan WO untuk pernikahan pribadi Argio dan kekasihnya.
Omong-omong soal kekasih, aku jadi tahu bahwa wanita bergaun merah muda yang bersama Argio waktu itu adalah kekasihnya. Atau malah tunangannya? Karena kalau dari percakapan Argio dan Tante Ambar, mereka sudah melalui proses tunangan.
Intinya, Argio tidak protes dengan ditunjuknya aku sebagai WO sekaligus wedding planner yang bertanggung jawab untuk pernikahannya. Ia hanya terkejut karena Tante Ambar memutuskan itu tanpa rundingan dengannya. Aku tidak tahu Argio hanya pura-pura setuju karena ada Ayahnya juga di sana atau tidak tapi yang jelas aku bisa melihat sikap Argio yang jauh lebih tenang–bahkan tampak menjaga sikap di depan sang ayah. Sangat berbeda jika di depan ibunya.
Setelah itu, tidak lama kemudian makanan penutup datang sekaligus menutup makan malam kami malam itu.
Setelah berpamitan pada Tante Ambar dan Pak Tegar aku berjalan kembali ke kamar hotelku, Argio rupanya mengekoriku ke lift yang sama–berkata pada orang tuanya kalau ada barang yang tertinggal di ruang kantornya sedangkan orang tuanya memutuskan untuk pulang lebih dulu.
Kami masuk ke lift yang sama tetapi hanya aku yang menempelkan kartu di mesin scan lift. "Bukannya kamu mau ke kantor?" tanyaku karena lelaki itu tak kunjung mentap access cardnya.
"Luka kamu sudah sembuh?"
Hening sejenak sebelum aku sadar apa yang baru saja ditanyakannya. "Apa?' tanyaku memastikan bahwa aku tidak salah dengar.
"Kenapa nggak bilang kalau sepatunya kekecilan?"
Oh. Argio menyadari luka di kakiku kemarin? Bahkan ia sadar bahwa kakiku terluka karena sepatu yang diberikannya.
"Kamu pakai plaster luka yang saya kasih?"
Aku tidak tahu harus seberapa banyak lagi aku dibuat terkejut olehnya. "Oh itu dari kamu? Terima ka–"
"Sepatu dan baju itu harusnya untuk pacar saya, tapi dia nggak suka dan kebetulan kamu butuh itu kemarin dan saya pikir ukuran kalian nggak terlalu jauh beda. Harusnya kamu bilang kalau semua itu kesempitan jadi saya bisa suruh staff saya belikan kamu baju dan sepatu dengan ukuran yang sesuai."
Aku berkedip. Tidak tahu harus bereaksi seperti apa karena terlalu banyak informasi yang harus aku proses sampai kemudian lift berdenting dan pintu terbuka di lantai dua puluh dua.
"Kamu nggak mau keluar? Mau ikut saya ke kantor?" tanya Argio lagi karena aku masih terdiam di tempat.
Dengan cepat aku pun berjalan keluar dari lift. Dan ada perasaan aneh yang tidak bisa kujelaskan.
***
Teamku benar-benar terkejut dengan info yang kuberikan pada mereka setibanya kami semua di kantor setelah kembali dari menginap di The Grand Lavish. Dan tentu saja, tidak satupun dari mereka menunjukkan protes apalagi kecewa. Ok, kecuali Mia.
Mia tidak sepenuhnya kecewa sih, dia juga tetap senang karena itu berarti secara tidak langsung karirnya juga meningkat. Tetapi di sisi lain, Mia yang tahu seberapa berartinya Sanggar Kenanga untukku. Ditambah aku kehilangan Sanggar Kenanga karena kelicikan orang yang aku percaya membuat Mia menyayangkan aku yang hanya bisa pasrah melepaskan bisnis yang kubangun ini dengan keringat dan air mata. Serta salah satu peninggalan terpenting dari mendiang orang tua angkatku.
"Nggak apa-apa Mia, nanti hasil kerja sama The Grand Lavish bisa Mbak pakai untuk rebut Sanggar Kenanga lagi dari mereka."
"Kadang Mia bingung sama hati Mbak Laras itu sebenarnya seluas apa, minimal bilang JANCOOOOK gitu Mbak!" Mia benar-benar selalu berhasil membuatku tertawa di segala situasi. "Jadi ini kita tinggal aja atau gimana?"
Aku masih belum menemukan solusi sebenarnya. Aku hanya perlu membawa diri dan teamku ke The Grand Lavish karena mereka sudah menyiapkan ruangan kantor khusus untuk kami. Itu berarti, semua barang termasuk bangunan kantor ini harus kutinggal. Bisa saja jika aku masih ingin meneruskan usaha ini, tetapi itu berarti aku harus mencari orang yang bisa menghandlenya ditambah lagi aku harus melanjutkan usaha itu dengan nama baru. Dan memikirkan itu membuatku tidak rela. Jadi keputusan sementaranya aku akan menutup Sanggar Kenanga milikku sampai waktu yang tidak kutentukan.
Kenanga Wedding Team by The Grand Lavish
Itulah nama kami sekarang. Kami secara resmi menjadi in house wedding organizer and planner untuk hotel The Grand Lavish. Grand Lavish bahkan mengubah term & condition mereka untuk mewajibkan klien yang akan menyewa venue menggunakan in house WO. Secara otomatis, aku mulai menjalin kerja sama dengan vendor-vendor yang skalanya lebih besar dan mewah dibanding sebelumnya.
Aku masih mendapatkan beberapa kontak dari orang yang ingin menggunakan jasa Sanggar Kenanga. Sayangnya mereka harus kecewa karena aku mengatakan bahwa Sanggar Kenanga sedang tutup untuk waktu yang tidak bisa ditentukan dan menyarankan mereka mencari WO lain.
Karena aku juga harus menjadi wedding planner untuk pernikahan Argio, aku sudah harus memulai persiapannya dari saat ini. Rencananya pernikahan Argio akan diadakan akhir tahun ini yang berarti sekitar lima bulan dari sekarang.
Kekasih Argio namanya Silvania Aurelie dan bekerja sebagai seorang anggota group idola di Korea Selatan. Aku tidak begitu tahu soal group idola apalagi K-pop karena memang tidak mengikutinya. Aku hanya tahu beberapa aktor karena sempat suka dengan drama Korea. Sebatas itu. Aku pun baru tahu kalau Silvania bukan satu-satunya orang Indonesia yang berkarir menjadi idol di Korea.
Secara usia, Silvania masih sangat muda. Ia baru berusia dua puluh empat tahun tetapi di Korea sana, Silvania sudah menjadi senior. Dia sudah debut hampir enam tahun saat ini tetapi groupnya masih aktif karena memang ia berasal dari group yang lumayan populer. Terutama di Korea Selatan dan Jepang. Mungkin itu sebabnya aku tidak begitu tahu soal ini.
Ketika aku memberitahu Mia soal ini, Mia nyaris menjerit sambil memukul punggungku. Silvania itu adalah member paling populer di groupnya meski ia foreigners. Fansnya sangat banyak dan terdiri dari pria dan wanita. Fanbase khusus Silvania sendiri bahkan punya pengikut ratusan ribu di social media menandakan ia memang seterkenal itu.
Kata Mia juga, member idola itu sangat sulit untuk memiliki kehidupan pribadi. Terutama kekasih apalagi menikah. Mia bahkan bertanya bagaimana bisa Argio berkencan dengan Silvania dan akan menikahinya padahal setahu Mia, group Silvania berada (STARDUST) masih aktif sampai saat ini.
"Jadi, Argio terkenal juga di Korea?" tanyaku pada Mia.
Bukannya menjawab ia malah melempariku dengan tatapan maut. "Nggaklah, Mbak! Kayaknya mereka backstreet deh!" Mia lalu memutar laptopku yang ia pakai ke arahku. Layar itu sudah dipenuhi oleh berbagai info soal Silvania dan tidak ada satupun artikel mengenai statusnya atau pun berita kencannya dengan seorang anak pengusaha terkenal.
"Jadi penasaran mereka kenalannya di mana? Jangan-jangan Pak Argio itu fanboynya Silvania terus dikejar sampai dapet karena dia berduit."
"Hush!" Aku menegur Mia. Gadis itu mungkin lupa sekarang kantor kami berada di gedung hotel milik orang yang sedang ia bicarakan.
"Hehe maaf Mbak, belum biasa."
Aku menyuruh Mia melanjutkan pekerjaannya mencari informasi dan beberapa referensi yang nantinya akan aku presentasikan pada Argio di meeting pertama kami.
Aku melirik lagi ke layar laptop di hadapanku yang masih menampangkan foto-foto Silvania. Bagaimana bisa seseorang hidup sesempurna itu? Berbakat, cantik dan memiliki pasangan yang setara. Dan yang pasti, Argio mencintainya. Itu jelas. Aku masih ingat bagaimana Argio bahkan mengabaikan sekeliling ketika Silvania berada di pelukannya. Bagaimana Argio menatap Silvania. Semua itu sangat menjelaskan perasaannya.
Aku menggelengkan kepala. Kenapa harus sok tahu soal perasaan orang lain saat diriku sendiri bahkan dengan mudahnya ditipu oleh dua orang yang kupercaya. "Ayo Ras, fokus!"
***
Di meeting pertama ini, hanya ada Argio yang ditemani sekretaris pribadinya, Akbar, serta aku dan Mia. Tidak ada keberadaan Silvania sejauh ini dan itu membuatku bertanya-tanya.
"Nona Silvania sudah kembali ke Korea karena ada pekerjaan. Tapi dia sudah memberikan sedikit catatan–nggak sedikit juga sih tapi intinya sudah ada daftar hal apa saja yang dia mau." Akbar menjawab rasa penasaranku dengan penjelasan selagi Argio hanya diam saja tak bersuara di kursinya.
Setelah berbagai ekspresi yang sudah pernah kulihat kemarin, kini aku melihat ekspresi baru lagi dari Argio. Ia tampak...murung. Mungkin Argio kesal karena sudah harus berpisah lagi dengan tunangannya. Entahlah.
Sepanjang meeting diskusi ini malah kulakukan dengan Akbar. Sedangkan Argio tampak tidak minat di kursinya selain bermain dengan ponselnya. Hal itu membuatku tanpa sadar memperhatikannya.
"Layar laptop kamu di depan sana, bukan di sini nona WO."
Aku tersentak ketika Argio lagi-lagi menangkap basahku memperhatikannya. Aku bahkan tidak sadar sudah terlalu lama menatapnya sampai ia menyadari itu.
"Apa dari Pak Argio sendiri tidak ada yang ingin ditambahkan?" tanyaku berusaha mengalihkan rasa malu dan salah tingkahku. "Mungkin biar bisa dijadikan satu dengan keinginan Bu Silvania juga."
"Nope, ikuti saja semua yang dimau tunangan saya. And it should be perfect, tanpa kecuali."
"Tentu saja." Aku tidak tahu mengapa aku berani menjawab dengan sangat percaya diri seperti itu. Padahal dialah klien pertamaku saat ini (acara anak Pak Subroto tidak bisa dihitung karena jatuhnya aku hanya meneruskan yang sudah ada). Sedangkan untuk acara Argio, aku benar-benar mempersiapkannya dari nol.
Setelah semua permintaan Silvania yang disampaikan melalui Akbar kucatat, kami melanjutkan dengan penyusunan jadwal. Termasuk semua kegiatan pra-acara sampai hari-h.
"Pertemuan berikutnya, kami akan menyiapkan daftar vendor hasil pengembangan dari semua request yang diinginkan Bu Silvania. Saya usahakan tiga hari–"
"Besok." Argio memutus ucapanku. "Saya mau besok kamu presentasikan daftar vendornya."
"Bos kayaknya kalau besok itu agak–"
"Lusa," potongku. Aku bisa merasakan tatapan tajam Mia dari sebelahku. Tetapi aku mengabaikannya. Lusa pun terdengar mustahil karena vendor-vendor yang diperlukan untuk acara pernikahan Argio jelas vendor yang berbeda yang sebelumnya tidak pernah bekerja sama dengan kami. Tetapi entah mengapa aku tidak ingin membuat Argio meremehkan kinerjaku lagi. Itu sebabnya aku menyanggupinya.
"Fine, lusa. See you then." Argio lalu bangun dari kursinya dan pergi meninggalkan ruangan.
Akbar, sekretaris pribadinya lah yang membungkuk memohon maaf dan berpamitan padaku dengan layak sebagai ganti perlakuan bosnya yang menyebalkan. Oh, aku lupa secara teknis Argio juga sudah menjadi bosku saat ini karena kini aku bekerja di hotelnya. Menyebalkan. Dia menjadi klien sekaligus atasanku. Dua peran yang membuatku benar-benar berada di bawah kakinya.
"MBAK LARASSS! Yakin apa lusa udah selesai? Ini kita tuh harus survey ulang tahu, karena kan nggak bisa pakai vendor-vendor lama untuk menuhin pernikahan fairytale ini!"
Mia tidak berlebihan ketika mengatakan pernikahan fairytale karena memang Silvania menginginkan konsep fairytale untuk pernikahannya.
"Bisa, kita pasti bisa."
Mia geleng-geleng kepala. "Huft untung inget gajiku naik hampir tiga kali lipat, jadi nggak bisa protes."
Aku hanya tertawa sambil membereskan berkas dan laptopku. Aku akan membuat pernikahan Argio dan Silvania seindah yang diinginkan mereka. Atau bahkan jauh lebih indah dari yang mereka bayangkan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro