Penerbit Tidak akan Mengecek Isi Laptopmu
Aku membenci ayahku yang suka memukuliku, aku benci ibuku yang selalu membela ayahku, aku membenci kakakku yang selalu disayangi orangtuaku, dan aku benci diriku sendiri yang tak bisa hidup mandiri dengan layak. Namun, pagi ini rasa sayangku pada mereka menyeruak dari sisi hatiku tersembunyi setelah membaca pesan dari kakakku.
Ayah dan ibu meninggal, kecelakaan.
Ini adalah bagian terburuk dari hidup. Namun, kalimat itu tak jarang kukatakan, bahkan sejak usiaku belum bisa dihitung dengan seluruh jari tangan.
Kukira aku benar-benar membenci mereka, tapi ternyata aku terlalu kecewa. Bahkan mereka tak pernah menunjukkan rasa sayang padaku hingga akhir hidup.
Ini adalah bagian terburuk dari hidupku. Aku melangkah ke dapur agar aku mampu berdiri tegap di pemakaman orangtuaku, tapi aku hanya menemukan sebungkus mi instan.
Ponselku berdering. Aku mengenal nomor ini, nomor kakakku.
"Hmm?" aku menjawab telepon sembari menyalakan kompor.
"Sudah baca pesanku?" suara laki-laki di seberang sana terdengar getir.
Tiba-tiba dadaku sesak. Entah, karena aku memang sedang berduka atau kesal karena gas kompornya ternyata habis.
Aku melempar panci berisi air ke sudut dapur, persis seperti perangai ayahku. Lalu air mataku menetes tanpa kumau.
Aku roboh di lantai, membiarkan kakakku bertanya-tanya di dalam telepon. Ini benar-benar bagian terburuk dari hidupku. Aku mengedarkan pandangan ke ruangan 2 petak ini. Aku tidak bisa makan, dompet kosongku bahkan sudah lama kuabaikan di kolong tempat tidurku, tumpukan naskah yang ditolak penerbit sudah semakin tinggi dengan kertas yang mulai kecoklatan berdampingan dengan tumpukan buku yang sengaja kuterbitkan lewat penerbit indie, namun hanya terjual beberapa oleh teman yang kupaksa membeli. Selain itu beberapa toko buku mulai mengembalikan sisa buku yang tidak terjual, membuat ruang 2 petak ini semakin terasa sesak.
Sebanyak itu aku menulis, sebanyak itu aku ditolak. Temanku bilang, 'sebagus apapun tulisanmu, orang-orang tidak tertarik membaca genre fantasy, kecuali kau JK Rowling.'
Aku mematikan panggilan telepon kakakku tanpa penjelasan. Lalu beranjak ke kamar mandi. Toh, aku memang tak pernah sarapan sebelumnya. Aku memutar kran, ke kanan, lalu ke kiri. Bahkan tak ada setetes pun air keluar.
Lagi, ini memanglah bagian terburuk dari hidupku.
Aku mencuci muka dengan sisa air di bak mandi. Tanpa mengeringkannya, aku mengambil tasku serampangan dan bergegas.
Rumah orangtuaku tak terlalu jauh dari kontrakanku, jika menggunakan kendaraan. Berhubung aku tak memiliki kendaraan dan sepeserpun uang, aku memilih berjalan kaki.
Pagi ini terlalu cerah untuk berduka. Sepanjang perjalanan aku selalu menunduk, kepalaku terasa penuh. Terlalu penuh hingga aku tak bisa fokus dengan salah satunya. Kakiku terus melangkah seolah berusaha menginjak bayangan kepalaku di atas trotoar.
"Niki?" suara seseorang yang sudah lama tak kudengar.
Aku menoleh, sedikit merunduk agar bisa sejajar dengan siempunya suara yang sedang menyetir. Entah, aku merasa lega melihat kakakku.
"Pasang sabuk pengamanmu!" ucap kakakku, tak seperti biasanya.
Klik!
***
Beberapa saat aku hanya diam termangu menatap ke luar jendela mobil. Entah sejak kapan, pemandangan di luar sana tak seperti yang seharusnya. Deretan rumah, jalanan rusak yang sempit, beberapa lahan kosong yang ditanami singkong. Ini lingkungan rumah lama kami. Bukan. Ini suasana lingkungan rumah kami dulu. Karena beberapa tahun terakhir, lingkungan ini sudah banyak berubah.
"Nathan," gumamku masih terpaku dengan hal mustahil di hadapanku.
Gardu kecil yang setiap malam digunakan untuk ronda dan setiap pagi digunakan untuk bermain anak-anak. Kakakku menepikan mobilnya di depan gardu. Pagi ini terasa hangat dengan jerit tawa anak-anak yang bermain. Aku melihat salah satu anak yang tak asing, anak perempuan dengan setelan kaos bergambar Donald bebek, anak itu aku saat masih kecil.
Aku menatap kakakku. Bukan. Beberapa saat lalu dia kakakku, tapi sekarang...
"Niki," ucap laki-laki yang sedari tadi duduk di jok pengemudi. "Aku ingin kamu berdamai dengan lukamu."
Aku tak bisa melihat dengan jelas, mataku berair, tapi aku tetap turun dari mobil dan berlari pada diriku sendiri yang diseret paksa oleh ayah untuk pulang.
Pipiku basah begitu mendengar aku yang masih anak-anak menangis terputus karena ditendang seorang pria dewasa di sepanjang jalan sebagai bahan tontonan tetangga. Seperti biasa, hal yang harus kulakukan hanyalah belajar.
Aku masih ingat, usia anak itu--usiaku saat itu belum genap 5 tahun. Tapi aku sangat takut dengan kotak pensilku. Setiap lembar bukuku bahkan hampir semuanya keriting, bekas tetesan air mataku yang mengering.
Lalu ibuku pamit dengan pakaian rapi. "Ibu mau melayat ke neneknya Tito, kamu di rumah belajar," ucapnya.
Saat itu aku yang masih anak-anak itu gemetaran menatap ibuku yang pergi menghilang di balik pintu. Aku ingin menggenggam tangan kecil yang gemetar itu.
"Jangan takut," ucapku pada aku yang masih anak-anak.
Namun, aku yang masih anak-anak pasti tak menyadari kehadiranku. Aku menangis ketakutan di hadapan ayahku sendiri. Semakin keras setiap dia membentakku untuk berhenti menangis. Selanjutnya, seperti dalam ingatanku. Tangan besar seorang pria dewasa melingkar di leher seorang anak-anak.
Aku menyaksikan diriku sendiri yang hampir mati di tangan ayahku sendiri. Aku menatap mata ayah yang sedang mencengkeram leherku, dia membenciku karena aku perempuan, dia tak pernah menginginkan aku, dan aku tak pernah membuatnya senang.
"Bunuh aku! Biar ayah masuk penjara dan jadi penjahat!"
Aku tak menyangka kalimat itu keluar dari mulutku, seorang anak yang bahkan belum genap 5 tahun.
Hari ini aku yang sudah 20 tahun paham, ayah sedang dalam masa sulit menjalani hidup miskin dengan memikul beban menghidupiku.
Terdengar suara ketukan pintu. Sebelum ayah membukanya, aku masih ingat siapa pengetuk itu, nenekku.
Aku yang masih kecil hanya mengintip dari balik pintu. Itulah hari pertama Nathan datang, orang asing yang dibawa nenek untuk membuat hidup kami terbebas dari kemiskinan, meski aku tetap tak terbebas dari rasa takut setiap harinya.
Aku yang masih anak-anak saat itu tak terlalu mengerti pembicaraan orang dewasa, aku pun tak terlalu ingat inti pembicaraan itu. Jadi aku memutuskan mendekati mereka yang berbicara di depan pintu.
"Rawat anak ini! Ibu masih peduli padamu, meski kamu sudah menentangku untuk tetap menikahi perempuan yang tidak berkualitas! Pada akhirnya dia hanya melahirkan anak perempuan dan kamu tetap tidak mau meninggalkan mereka. Ayah menyerah karena kakakmu memaksa memberikan warisan pabrik padamu. Jangan punya anak lagi! Aku tidak mau mendengar kabar dia melahirkan anak perempuan lagi!" ucap nenek sembari mendorong Nathan dengan lembut ke sisi ayah.
"Anak siapa ini, Ma?" tanya ayah dengan raut yang sedikit bahagia, namun matanya dipenuhi air mata.
Aku menatap wajah angkuh nenek. Selama ini aku hanya menebak-nebak, tapi aku kecewa dengan tebakanku yang benar, nenek memang membenciku hanya karena aku terlahir sebagai perempuan.
Sejak hari itu hidup kami menjadi lebih baik, tapi tidak dengan hidupku. Aku tetap tak bisa bermain dengan temanku, teman-temanku bahkan menolak bermain denganku karena takut pada ayahku.
Satu-satunya yang menghibur hanyalah majalah langganan ibu. Mungkin ibu sengaja membeli majalah yang menyediakan rubrik untuk anak-anak. Aku selalu membaca cerita dongeng di sana, membayangkan jika aku menjadi tokoh utamanya. Beberapa komik singkat dengan tokoh sayuran adalah favoritku.
"Jangan baca cerita terus, nanti dimarahin ayah," ucap ibu.
Baru beberapa menit ibu memperingatkanku, tiba-tiba ayah merampas majalah dari tanganku. Lagi-lagi aku bergidik ketakutan, bersiap menerima pukulan darinya.
"Sudah dibilang, jangan baca yang tidak penting!" teriaknya sambil mengarahkan tangannya ke kepalaku, meski terhalang tanganku.
Ayah menyeretku ke meja belajar. Menyalakan lampu belajar, lalu menyeret kursi satu lagi di sampingku.
"Belajar! Ada PR apa?" ucapnya terdengar mengintimidasi aku yang masih anak-anak.
Aku melihat diriku sendiri saat masih anak-anak terus meneteskan air mata di lembaran demi lembaran buku tulis. Sesekali bergidik takut akan dipukul dengan kotak pensil yang beratnya seperti batu bata.
Aku terus menerus memeluk diriku yang masih kecil, seolah sedang menenangkan anak lain, padahal aku sedang menenangkan diriku sendiri.
"Tidak apa-apa, nanti setelah dewasa, kamu akan bahagia," bisikku.
Ah, sebentar. Itu adalah kalimat yang selalu muncul di kepalaku dari dulu. Pada kenyataannya, setelah dewasa aku tetap tidak bahagia meski terbebas dari ayahku.
"Niki, ayo kembali," ucap seseorang yang sebelumnya menyerupai kakakku.
"Menangislah! Kamu harus memeluk lukamu agar kamu menyadari betapa hebatnya kamu bisa bertahan hingga hari ini."
Aku tidak ingin menangis, tapi orang di belakangku membuat air mataku berjatuhan. Aku tak tahan lagi. Aku menangis keras, memeluk aku yang masih anak-anak dengan erat.
"Kamu bukan Nathan, kan?" tanyaku begitu aku merasa lega.
Aku menoleh ke belakang, mencari sumber suara yang mengajakku bicara.
"Benar," jawabnya begitu kedua mata kami bertemu dan seketika ruang kelam tadi berubah menjadi di dalam mobil. Aku sudah terduduk di bangku kiri seperti semula.
Tentu saja aku terkejut. Aku memperhatikan seisi mobil, lalu beralih ke luar mobil. Sudah kembali. Semuanya kembali seperti seharusnya. Jalanan raya yang tak terlalu ramai, bukan lagi jalanan sempit.
"Aku peri pelindungmu. Seharusnya aku hanya melindungimu secara diam-diam, tapi aku tak tahan melihatmu terus menyakiti diri sendiri," terangnya.
Aku merespon ucapannya dengan menutupi beberapa bekas luka di pergelangan tangan kiriku. Hidupku terlalu menyedihkan, bahkan peri pun turut mengasihaniku.
"Aku akan mengantarmu ke rumah duka. Setelah itu, berjanjilah kau harus bangkit dan bersinar."
Aku diam dan peri itu tak menunggu jawabanku.
Setibanya, aku hanya memperhatikan tenda di depan rumah duka, rumah yang dulu juga kutinggali, alih-alih janur kuning yang berkibar di depannya malah bendera kuning.
Kakakku menemukanku, ia menatapku dari depan pintu. Beberapa tetangga turut menuntunku masuk, meski kakiku terasa berat. Kerabatku menyambutku di dalam, kecuali nenekku yang tetap angkuh meski usianya semakin dekat dengan ajal.
Meski kami bukan keluarga rukun yang bahagia, setidaknya kami memiliki foto keluarga dengan senyum palsu yang tersungging untuk menghiasi rumah.
Aku bahkan tak mampu melihat mereka, meski akhirnya aku tetap mengantar mereka ke tempat peristirahatan terakhir.
***
Seusainya, aku turut membereskan rumah. Barang yang sudah tidak terpakai kumasukan ke dalam gudang, namun ada satu kotak kardus besar yang tak pernah kulihat dan tak pernah ada sebelum aku meninggalkan rumah ini.
Isinya? Sangat mengejutkanku. Kukeluarkan satu per satu dan semuanya sama, novel yang kuterbitkan sendiri di penerbit indie.
"Itu novelmu, kan?" ucap kakakku sambil meletakkan meja kecil di sudut ruang.
"Siapa..."
"Ayah dan ibu yang memborong semua itu," jawabnya tanpa menunggu pertanyaanku selesai.
Aku menatap sampul biru novel karyaku. Selama ini, penghasilannya dari menjual novelku sendiri tak terlalu banyak, namun aku tetap senang ada orang yang mau membelinya dan setidaknya terpaksa membacanya karena sudah terlanjur membuang uang.
Lagi-lagi orangtuaku mematahkan anganku. Tidak ada seorang pun yang membaca karyaku, tidak ada siapa pun yang benar-benar tertarik membaca tulisanku.
"Sepertinya penggemar pertamamu adalah ayah dan ibu, mereka langsung pergi ke toko buku begitu mendengar kau menjual karyamu. Aku pernah penasaran kenapa mereka tak lagi menghabiskan waktu menonton TV saat waktu luang, lalu aku melihat mereka sedang membaca novelmu dan mendebatkan alur ceritanya seolah mereka paham cara membuat novel."
Aku diam.
"Mereka tidak mengkritik karyamu," lanjutnya, seolah bisa membaca isi pikiranku, "mereka menikmati ceritanya."
"Aku ingin berhenti menulis," kataku dengan setetes air mata membasahi sampul novelku.
"Kenapa?"
"Tidak ada yang menyukai tulisanku. Aku hanya bisa menulis cerita fantasy, tali tidak ada yang membaca cerita fantasi dari penulis lokal, apalagi amatir. Kata temanku, 'orang-orang tidak membaca genre fantasy kecuali kau JK Rowling'."
"Kalau begitu tulis yang mereka sukai? Romance?"
Aku menggeleng. "Aku bahkan tidak tau rasanya dicintai dan mencintai, bagaimana aku bisa menulisnya."
"Bagaimana kalau menulis di platform saja? Blog? wattpad? Atau semacamnya? Tulis saja apa yang kamu suka. Kamu sudah mulai menulis lama, lebih baik mempostingnya daripada hanya kamu simpan dan menunggu penerbit mengecek file dalam laptopmu padahal kamu bukan JK Rowling."
"Aku akan memikirkannya," jawabku tanpa berpikir panjang. Sebenarnya, aku sedang tidak ingin memikirkan itu.
***
"Niki, ingat?! Kau harus bangkit dan bersinar!" bisik sang peri tanpa menunjukkan dirinya.
Aku termangu di depan laptop, memandangi draft naskah yang selalu kusembunyikan, bergantian dengan tumpukan naskah yang berhasil ditolak penerbit di pojokan sana.
"Bagaimana kalau menulis di platform saja? Blog? wattpad? Atau semacamnya?..."
Apa aku mencoba menulis di platform? Ah, tapi aku takut membaca respon orang-orang. Bagaimana kalau mereka bilang tulisanku lebay? Bagaimana kalau dibilang tulisanku sampah? Terlalu banyak mengkhayal? Tidak berkualitas?
Suara pesan masuk membuyarkan pikiranku. Meski ayah dan ibu sudah meninggal, aku tetap tidak akan tinggal di rumah itu. Rumah itu pasti akan dikuasai nenek, dan nenek akan selalu menyayangi kakakku lebih dari apapun. Membayangkannya saja sudah membuatku sakit hati.
Kalau kamu kesulitan, bilang padaku, aku akan selalu membantumu. teruslah menulis. Semangat! 🤗
Aku tak membalas, bukan berarti aku mengabaikan pesannya.
Aku mencoba mengunduh beberapa platform menulis. Menuliskan blurb, menuliskan tagar, mengunggah 3 bab awal. Satu jam, dua jam, memang tidak terlalu banyak pembaca. Sudah kuduga, tidak ada yang tertarik, tapi aku akan tetap mengunggah bab demi bab hingga selesai. Setidaknya aku tetap menulis, mengedarkannya untuk dibaca semua orang tanpa risiko rugi banyak, mengingat penerbitan karyaku kemarin akhirnya hanya menjadi tumpukan sampah di dalam kontrakan sempitku.
Sementara aku tak bisa menghasilkan uang untuk bertahan hidup, akhirnya aku menuruti permintaan kakakku untuk kuliah. Hal yang membuatku pergi dari rumah karena menolak kuliah demi menjadi penulis. Nyatanya dari amatir menjadi profesional itu tidak mudah dan cepat, jadi saat ini aku tidak bisa mengharapkan bisa menghasilkan uang dari karya amatiranku. Menjadi mahasiswa sekaligus penulis juga tidak buruk sebenarnya.
***
Waaah, masih baru ya? Semoga rutin posting deh biar nggak mati penasaran
Apa itu? Aku nggak bisa baca tulisan bersambung 😣 buruan lanjutin, kak
Aku nggak tau kenapa settingnya di dalam laut tapi masih ada sungai. Tapi ya namanya fantasy, suka-suka penulisnya aja lah, Spongebob aja tetep mandi meski udah di dalem air, xixixi.
Blurbnya menarik, tapi isinya aneh. Aku mau baca kalo ada cuwu tamvan yang akhirnya jatuh cinta sama Azzura.
Bukannya dewa laut itu Posseidon, kenapa anaknya namanya Azzura? Wkwk Poseidon kawin sama orang Jepang apa
Di situ ditulis update setiap Senin, Rabu, Sabtu, semoga penulisnya nggak omdo
***
Baru 2 minggu aku mengunggah tulisanku, kukira bahkan tidak akan ada yang membaca, ternyata malah ada yang mau repot-repot menuliskan komentar. Meski tidak semua komentar membuatku senang, tapi aku tetap senang ada orang yang mau meluangkan waktunya membaca dan menunggu karyaku, padahal aku bukan JK Rowling.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku akan mengatakan, ini adalah bagian terbaik dalam hidupku. Aku bahkan tak bisa berhenti tersenyum menatap layar laptopku.
Nathan, terimakasih
Aku mengirimi pesan kakakku untuk pertama kalinya.
"Terimakasih juga, peri pelindungku," gumamku sembari mengusap luka kering di pergelanganku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro