Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Chapter 47 : Kembalinya Wanita Lotus

Rong Mei menurunkan Wang Chu Xie di pundaknya setengah membanting ke tanah. Mereka ada di tengah kebun teh. Guo Fen berdiam diri di belakang, memandangi gadis itu mengeluarkan pisau dari sakunya lalu menusuknya dalam satu gerakan, napas Wang Chu Xie yang tersendat-sendat langsung terputus. Suara hening menyambar. Angin dingin menderu pelan. Ujung daun-daun teh yang ada di sekitar kebun teh ini bergoyang pelan. Mengembuskan pesan selamat tinggal yang terakhir untuk merayakan kematian Wang Chu Xie.

"Hendaklah bunga lotus ini membawamu pergi ke tempat yang seharusnya. Selamat tinggal," bisik Rong Mei sambil meletakkan sebuah bunga teratai putih di atas jasad Wang Chu Xie yang terkapar di atas tanah. Di belakangnya, batu besar menyandarkan pria itu. Ternyata, panah Guo Fen tadi hanya mengenai tenggorokan Wang Chu Xie. Tidak benar-benar tertusuk ke sana.

Dalam rasa bersalah, Guo Fen tetap berdiam diri di tempat hingga Rong Mei berbalik dan menemukannya masih memegang busur dengan perasaan campur aduk.

"Sudah selesai. Ayo kita kembali," ucap Rong Mei pelan.

Guo Fen mengikuti Rong Mei ke ladang kebun teh dan berjalan hampir lima belas menit. Untung saja Guo Fen masih punya energi untuk melompati atap-atap dengan langkah kakinya yang cepat dan kuat. Kalau tidak, mungkin ia sudah tertinggal jejak Rong Mei.

"Kak Rong," suara Guo Fen bergetar. Ia menyerahkan busur di tangannya dengan mata berkaca-kaca. "Aku tidak bisa. Maafkan aku."

"Kalau begitu," Rong Mei menerima busur lalu berdiri di depan Guo Fen dan mementangnya. "Bersiaplah menerima bayarannya."

Guo Fen membelalak, dia tidak mengelak. Malah menutup mata. Rong Mei menghela napas.

"Ayo kita pergi."

Guo Fen berbalik, mencegat Rong Mei. "Kak Rong, aku—aku—"

"Kenapa?" gadis itu berbalik. Membuat roknya berkibar pelan. Angin malam di sekitar ladang kebun teh ternyata cukup keras.

"Apa kau... tidak memecutku?" pertanyaan itu membuat Rong Mei tergelak pelan. Ia berkacak pinggang lalu menyampirkan busurnya ke pundak.

"Lihatlah kau bocah kecil. Aku tidak akan memecutmu. Sekarang, kita harus pergi. Aku akan memikirkan hukuman paling berat untukmu. Lebih daripada pecutan bandit."

Meski kata-kata itu tidak terdengar serius, tapi hati Guo Fen sedikit lebih baik. Ia tidak suka melihat dirinya gagal untuk orang lain. Jika dia gagal karena dirinya sendiri, maka itu karena kesalahannya sendiri. Tapi tadi, kalau semisal Rong Mei tidak buru-buru membawa Wang Chu Xie ke sini, mungkin dia sudah ketahuan orang-orang dan misinya gagal.

Mereka kembali ke pondok di Gunung Shen. Perjalanan memakan kurang lebih satu jam. Melewati kota yang sudah sepi dan malam yang membayang, Guo Fen sempat melihat kediaman Wang Chu Xie ramai orang. Ternyata pelayan mereka sudah melaporkan orang hilang. Karena mereka melintas cepat bak tikus malam dan melangkah tanpa suara melewati bayang-bayang orang, Guo Fen tidak sempat melihat apakah anak Wang Chu Xie menyadarinya.

Dalam hati ia berharap putra Wang Chu Xie bisa sekuat dirinya.

*

Ketika tiba di pondok, Guo Fen sedikit kelelahan dan langsung duduk di dekat tungku kayu bakar. Rong Mei sedikit tersenyum melihat bocah itu kini mengisi kekosongan yang telah lama hinggap dalam hatinya. Hampir lima tahun lebih, dan baru kali ini ia kembali merasakan adanya sosok seseorang lagi di sampingnya.

Begitu ia ikut duduk, bayangan di tanah menunjukkan seseorang berdiri di atas atap pondok. Sinar bulan cukup membuat siluet itu berbentuk jelas. Seketika Rong Mei bangkit dan mengeluarkan pedang. Ia melotot dan darahnya mendesir panik. Siapa yang mengikutinya? Tadi selama ia berjalan pulang, ia sudah memastikan berkali-kali tidak ada orang yang mengikutinya. Tidak mungkin—

Rong Mei menarik pedang dari pinggang. Aksi itu membuat Guo Fen ikut terkejut dan berdiri melihat ke atap pondok. Terhalang sinar bulan di belakangnya, Rong Mei tidak bisa melihat dengan jelas tampangnya. Tapi postur itu...

Hati Rong Mei seketika terasa ditekan. Napasnya terasa sesak seiring matanya memanas dan air mata mulai menggenang. Di balik siluet itu, rambut seorang wanita terkibar di antara malam. Tubuhnya berdiri sedikit membungkuk namun tangannya yang saling mengait ke belakang punggung cukup membuat Rong Mei sadar siapa sosok gerangan.

"Guru..." kata-kata itu terasa asing sekaligus penuh gelagak rindu yang nyaris pecah ketika wanita itu mengeluarkan suara lembut di tengah embusan angin.

"Sudah beberapa jam aku mengikutimu, baru kali ini kau menyadari keberadaanku?"

Air mata Rong Mei tumpah, ia tersenyum dan Guo Fen terkesima menyaksikan keduanya. Bai Lianhua turun dari atap dalam lompatan yang lembut ke depan pondok. Rambut panjangnya sudah memutih dan sedikit berkilau. Wajahnya sedikit berkeriput, tapi ia masih kelihatan cantik seperti dulu pertama kali ia bertemu. Pakaiannya sedikit lusuh. Hanya memadukan katun tipis berwarna putih dan ikat pinggang berwarna merah.

Sebelum Bai Lianhua mengatakan sesuatu, Rong Mei sudah berhambur ke arahnya dan memeluk wanita itu.

"Guru... kukira kau benar-benar telah tiada. Kukira apa yang Denghou bilang benar. Bahwa aku sebaiknya tidak mengharapkanmu kembali..." napas Rong Mei tercekat, ia menangis tersedu-sedu sementara tubuh ringkih dan kurus Bai Lianhua dipeluknya erat-erat. Ia merasakan wanita itu kini mengusap rambutnya lembut.

"Jangan percaya pria bodoh itu. Dia selalu meragukan sejak kecil." Bai Lianhua melepaskan pelukan dan menatap Rong Mei yang pipinya penuh air mata. Ia tersenyum singkat lalu pandangannya teralihkan oleh Guo Fen yang berdiri terpekur di dekat api unggun.

"Siapa dia?" tanya Bai Lianhua.

Tanpa Rong Mei menjawab lebih dulu, Guo Fen sudah mengatupkan dua tangan dan membungkuk. "Tetua, aku Guo Fen. Kakak Rong Mei menyelamatkanku dari kejaran bandit beberapa hari yang lalu dan ia telah merawatku di pondok ini."

Kening Bai Lianhua mengerut. Ia menatap Rong Mei bergantian dengan anak itu.

Rong Mei menarik napas panjang sambil menenangkan dirinya. "Guru, bagaimana kalau kita duduk dulu dan bicara?"

Setelah Bai Lianhua mengangguk, mereka berkumpul di tengah api unggun selagi Rong Mei memasak sup daging kelinci seperti biasa. Guo Fen diam seribu bahasa dan hanya membakar potongan kayu yang nyaris padam. Sementara aroma hangat dari sup daging kelinci mulai menguar di udara.

"Kau bisa mempercayainya?" tanya Bai Lianhua datar.

Rong Mei berjalan dari arah pondok dengan segenggam pisau es di tangannya. "Aku sudah menanyakan asal usulnya," ujarnya sambil menyerahkan pisau es itu pada Bai Lianhua yang terpana, "dia tidak lebih dari seorang anak kecil yang diperalat oleh para bandit. Nasibnya terlalu menyedihkan."

Wajah Guo Fen meringis. Ia hanya memperhatikan Bai Lianhua. Diam-diam ia bergumam seolah pernah melihat wajah itu. Sepertinya ada di antara tumpukan poster di ruang Ketua Han waktu dulu. Salah satu pendekar yang dicari. Tapi siapa...

"Pisau ini bernyawa."

"Apa maksudmu, Guru?" tanya Rong Mei sambil memperhatikan pisau es milik Guo Fen.

Bai Lianhua menatap Guo Fen yang sedikit melirik ke arah lain. Entah kenapa, tatapan Bai Lianhua begitu dalam seolah bisa membaca pikirannya.

"Ini milikmu?"

Guo Fen mengangguk tipis.

"Rong Mei, kita harus bicara."

Setelah mengatakan itu, Rong Mei mengangguk. Ia menyuruh Guo Fen yang terheran-heran untuk masuk ke pondok dengan sup daging kelincinya. Walau dalam hati ia merasa penasaran, tapi ia tetap menurut dan menunggu di pondok.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro