Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Chapter 45 : Misi Pertama

Satu-satunya jalan menuju wilayah istana hanya lewat atap-atap dan bersembunyi di balik jurai-jurai tanah liat. Guo Fen tentu terbiasa berjalan di atas atap. Posisinya miring dan ia harus memastikan sepatunya tidak licin ketika menginjak genteng. Meski sedikit cemas, dia tetap berhasil menyeimbangkan diri dan mengikuti Rong Mei tanpa menimbulkan suara. Langkah kaki Rong Mei tidak berbunyi sama sekali. Tapak kakinya seperti sehalus kain yang jatuh di atas tanah. Matanya dengan tajam dan sigap mengintai dari balik persembunyian dan menerka kapan petugas melintas di tengah jalan.

"Kak Rong, apakah kita akan ke istana? Posisi kita sepertinya sedang berjalan ke sana," bisik Guo Fen menatap jauh ke depan. Di tengah kota yang ramai dan sibuk, Guo Fen bisa melihat dinding besar yang megah sebagai tanda wilayah istana semakin dekat.

Mata Rong Mei memicing. Ia menjawab pelan, "tidak. Kita akan ke kediaman pejabat itu."

"Wang Chu Xie?"

Rong Mei mengangguk. "Aku harus melihat siapa saja yang berjaga di kediamannya. Bagaimana pun, aku tidak mau tertangkap dan berurusan dengan orang banyak." Setelah berkata begitu, Rong Mei melanjutkan langkahnya dan mengendap-endap di antara atap supaya tidak terlihat orang-orang yang sibuk di tengah kota.

Mereka melompat di antara atap, semakin dekat dengan wilayah istana. Gerbang dan dinding perbatasan kekaisaran nampak semakin besar. Suasana di sekitar wilayah kekaisaran pun semakin lama semakin tenang. Tidak banyak orang-orang yang melintas. Di sudut pasarnya saja, pakaian orang-orangnya sudah berubah.

Di sini pasti tempat tinggal para pejabat dan anggota menteri, pikir Guo Fen. Pakaian mereka semuanya dari sutra dan sulamannya mewah. Mereka tidak bicara keras-keras di jalan dan melangkah tenang. Orang-orang saling menyapa ketika mereka berdekatan, tidak berteriak seperti di pasar kota tadi. Guo Fen jadi ingat penampilan permaisuri ketika pertama kali ia melihatnya datang di kampung bandit.

Tapi ingatan itu sudah nyaris terkubur oleh penderitaannya selama ini di kampung itu.

Guo Fen dan Rong Mei sudah bertengger di salah satu pohon besar yang menghadap langsung ke sebuah kediaman yang tertutup. Di depan rumahnya tadi, Guo Fen sempat melihat tanda–-Kediaman keluarga Wang. Guo Fen menduga kalau Rong Mei sudah menemukan kediaman Wang Chu Xie si kepala pemetik istana teh.

Diam-diam, Guo Fen masih tidak mengerti kenapa ada pejabat yang ingin membunuh pria ini. Walaupun tidak tahu wujudnya seperti apa, tapi Guo Fen tidak pernah punya firasat buruk pada orang lain dan tidak berniat melawan orang tersebut jika tidak berurusan dengannya.

Pohon tempat Guo Fen dan Rong Mei bertengger cukup lebat. Dari luar, daun-daunnya tebal dan penuh. Cukup menghalangi aksi memantau mereka. Guo Fen berbisik pelan ke arah Rong Mei yang menatap tajam ke pintu kediaman.

"Kak Rong, sebenarnya kenapa mereka mau membunuh pejabat ini? Di pemukiman bandit, kami jelas membunuh orang karena ingin menjarah barang-barang mereka."

Mata sipit Rong Mei melirik Guo Fen dingin. "Satu hal, jika kau ingin pandai membunuh orang, kau tidak perlu repot-repot mencari tahu alasannya. Ini sebuah pekerjaan kotor. Tidak selamanya kau perlu tahu lumpur mana yang harus kau pijak ketika kau sudah dibayar."

Kata-kata Rong Mei terlalu dingin dan Guo Fen hanya mengerti sedikit. Ia sudah tahu kalau Rong Mei adalah pembunuh bayaran, tapi mengingat tujuannya untuk mengajarkan cara Guo Fen membunuh dan membantunya melepas kesedihan atas kematian ayahnya, Guo Fen berusaha keras untuk mengerti dan tidak bertanya lagi.

Hari ini rambut Rong Mei diikat sampai ke atas. Ia juga mengenakan topeng giok berwarna hijau putih. Busur disampirkan melewati bahu. Sekalian menggendong beberapa anak panah di punggung, Rong Mei lebih banyak diam hari ini. Mungkin karena dia harus berkonsentrasi untuk membunuh.

Keduanya menunggu. Dari matahari di atas kepala, sampai sore, Guo Fen sadar kalau memantau juga butuh usaha. Guo Fen sedikit lapar karena dari pagi dia belum makan. Terlebih, memantau orang cukup membosankan dan mengantuk. Tapi seseorang baru saja keluar dari gerbang rumah itu. Guo Fen kembali terjaga dan melihat anak kecil—seusia dirinya keluar membawa gulungan buku di pelukannya.

Rong Mei berbisik. Jarak pohon dengan rumah itu hanya beberapa meter. "Aneh sekali. Mereka ini keluarga pejabat. Tapi rumah mereka tidak dijaga oleh pengawal istana. Biasanya pejabat kelas atas seperti pemetik teh istana adalah orang penting. Tapi mengapa tidak ada yang menjaga?"

Guo Fen tahu betapa para bandit membenci kekaisaran. Ia ingat ketika Gao Jinfeng harus terbiasa dengan persekutuan yang Ketua Han lakukan terhadap permaisuri di malam ketika ia datang. Banyak bandit yang tidak setuju, namun demi tujuan Ketua Han yang tidak pernah Guo Fen mengerti, ia hanya terus berlatih dan mengikuti misi-misi penjarahan terhadap keluarga kaya atau para pejabat.

Bagi para bandit, para pejabat adalah pihak paling mudah untuk dijarah lebih dulu karena mereka kadang-kadang terlihat seperti warga sipil biasa, tapi sebenarnya menyimpan begitu banyak kekayaan.

"Apa kau tahu seperti apa wujud Wang Chu Xie, Kak Rong?"

"Tahu," jawab Rong Mei tidak mengalihkan tatapan.

Kalau dipikir-pikir lagi, apakah ada sumber tertentu untuk menciptakan kebencian? Guo Fen tidak tahu. Ia benci terhadap dunia yang sudah merenggut nyawa ayahnya, tapi ia tidak bisa membenci pada ibunya. Seumur hidup, Guo Fen selalu ingin melakukan yang terbaik untuk ayahnya walau takdir tidak mengizinkannya, Guo Fen masih tidak ingin menyerah. Ibu bahkan tidak menginginkanku, gumam Guo Fen. Lantas, apalagi yang bisa ia lakukan selain diam-diam menyimpan dendam itu dalam hati?

Sejak umur dua belas tahun Guo Fen hanya tahu cara membunuh berkat ajaran para bandit, dia tidak tahu kalau tidak seharusnya manusia hidup dalam dendam. Ada cara-cara lain untuk bertumbuh daripada harus berurusan dengan darah. Tapi usia muda Guo Fen sudah terlalu jauh menerima fakta lain untuk mengikhlaskan sebuah rasa benci. Ia malah berpikir kalau rasa benci itu harus dibuang dan dijadikan amunisi baru untuk membunuh. Walau sampai sekarang, Guo Fen tidak pernah sanggup menancapkan pedang ke jantung orang.

Maka itu, ia harus menyaksikan Rong Mei hari ini.

Di kediaman itu hanya ada dua orang pelayan wanita dan satu anak seumuran dengannya. Guo Fen mengira itu adalah anak dari Wang Chu Xie. Dia keluar siang hari dan pulang ketika malam. Makanan sudah disiapkan dan Guo Fen langsung tergiur. Ia meringis tapi ia harus tahan dan tidak boleh manja. Jika di kediaman bandit dia selalu kenyang, maka untuk meyakinan dirinya ikut Rong Mei, dia tidak boleh merengek. Guo Fen menahan rasa laparnya ketika melihat makan malam keluarga wang tersedia dengan apik.

Dari kejauhan, anak itu makan sendirian. Kesannya seperti kesepian dan Guo Fen sedikit iba. Seolah ia bisa melihat dirinya yang dulu, setelah ayahnya mati, ia hanya makan sendirian di pondok dan menangis sesekali untuk merindukan momen ketika makan bersama ayah setelah selesai berburu. Kenangan pahit itu justru menyangkut di tenggorokan dan tidak lagi membuatnya lapar.

"Dia akan kehilangan ayahnya hari ini..." gumam Guo Fen tanpa sadar. Rong Mei menoleh, lalu menghela napas.

"Apa kau lapar? Kau bisa pergi ke kota dulu. Aku baik-baik saja di sini."

Guo Fen menggeleng, "tidak-tidak. Aku akan berjaga di sini bersamamu. Aku kan harus belajar cara membunuh yang benar."

"Kalau begitu jangan pernah berbelas kasihan pada orang yang hidupnya akan kau bunuh. Jika kau merasa begitu, itu artinya kau masih mengasihani dirimu sendiri."

Guo Fen terdiam. Tidak mengerti. "Kenapa?" kalau Guo Fen tidak mengasihani diri sendiri, itu artinya dia melupakan semua kenangan tentang ayahnya. Jika dia melakukan itu tidak akan ada lagi hal berharga yang bisa ia miliki seumur hidup.

"Kau tidak bisa mengasihani dirimu terus, Guo Fen. Sadarlah, hidup ini berputar secepat roda kereta kuda. Jika kau masih kasihan terhadap dirimu sendiri yang dulu, itu artinya kau memanggil masa lalu. Dan jika kau memanggil masa lalu, maka seumur hidup, kau tidak akan bisa maju ke depan." Rong Mei menatap ke dalam mata Guo Fen yang terbias sinar bulan dari antara sela-sela daun. "Ingatlah, kau tidak akan bisa tinggal di masa lalu selamanya jika tidak merelakan yang membuatmu sakit. Dan jika kau ingin merelakan itu, sekarang adalah waktunya. Jangan berbelas kasihan pada dirimu. Ubahlah rasa kasihan itu menjadi kebencian dan kau tidak mau mengasihani dirimu sendiri."

"Jika tidak melakukan itu, maka... apa yang harus kulakukan kalau bukan mengasihani diri sendiri?"

Rong Mei menoleh, suaranya sangat lembut sampai Guo Fen seperti ingat ucapan ibunya, "marahlah pada dunia. Hal berharga di dunia ini adalah menjadi berani untuk maju ke depan. Kalau kau marah terhadap kematian ayahmu, maka kau bisa bangkit dan melepaskan rasa sakit itu."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro