II. Chapter 41 : Wanita Merah
Para bandit sialan! gumam Guo Fen sambil mempercepat larinya. Angin mendesing cepat ketika Guo Fen terus membelah keramaian orang-orang di sekitar pasar Huang. Sekelompok bandit yang memakai pakaian lusuh dan membawa golok serta pedang di tangannya mendorong warga setempat yang menghalangi. Mereka menjungkirbalikkan keranjang pedagang, mendorong tenda hingga ambruk, menendang boks dan kereta barang secara brutal. Napas Guo Fen berpacu semakin cepat, dadanya sesak karena sudah hampir tiga puluh menit lari dan melompat dari atap ke atap, lalu berusaha mungkin tidak menyenggol barang-barang para pedagang tanpa henti. Menuruni tangga, memanjat atap dan menyelinap sebisa mungkin.
Tapi kelompok para bandit itu terlalu banyak. Ujung kampung Shanyi juga sebentar lagi nampak. Sisa tebing-tebing tinggi di kanan dan kirinya dan hutan tipis yang menyebar hingga ke padang rumput sebelum menyentuh perbatasan kota. Guo Fen menoleh ke belakang, barangkali ia sudah sedikit lebih jauh dari kumpulan para bandit itu, tapi nyatanya...
Ketika Guo Fen menoleh, dari jauh, seorang pria bertubuh kurus melesatkan ujung pecut sambil berlari. Guo Fen minggir ke samping ketika ujung pecut panjang itu nyaris memecut pundaknya. Sebagai anak yang masih berusia duabelas tahun, Guo tahu sebesar apa kekuatan pecut itu. Tulangnya bisa langsung remuk kalau terkena pecut panjang. Ia terus berlari, berusaha mungkin menjauhkan jarak. Ternyata, dia masih belum secepat itu.
"Panah!" seru seseorang di belakang. Guo Fen menoleh lagi, melihat dengan matanya dua orang bandit sedang membidik sambil berlari. Tinggal dua tahun bersama mereka membuat Guo Fen tidak perlu mempertanyakan lagi apakah pemanah itu akan meleset bahkan ketika Guo Fen akan melompat dan menghindar pada satu detik terakhir. Itu Lan Ju Xiong. Pemanah paling jitu yang para bandit miliki. Prediksinya seperti peramal dan sangat cekatan.
Jadi sebelum Guo Fen terbunuh, ia pun berhenti dan berputar ke arah mereka sambil mengangkat kedua tangan.
"Berhenti!" seru Guo Fen yang sudah berdiri di tengah padang rumput dengan kanan dan kirinya tebing gunung. Ia terengah-engah, berburu napas sambil menghentikan sekelompok bandit yang kini mengelilinginya.
Mereka menyeringai, menatap Guo Fen sambil menggeleng-geleng. Ju Xiong menurunkan panah, dengan tenang ia menyahut, "kembalilah, Guo Fen. Kau tidak akan bisa pergi dari tempat kami. Kau sudah menerima banyak hal dari ketua, apalagi yang kurang?"
Guo Fen menarik napas cepat lalu berteriak, "aku ingin berhenti membunuh! Aku tidak bisa dan aku tidak berbakat dalam hal itu! Aku hanya ingin sekolah dan masuk perguruan—"
"Eh, anak ini," sahut seorang pemuda berambut kasar dengan gigi ompong di bagian depan, anak kembar Paman Hong. Bajunya lusuh dan di sebelah tangannya memegang kapak panjang, "tidak tahu terima kasih sama sekali. Kalau kau tidak diselamatkan ketua Han, mungkin kau sudah dimanfaatkan orang lain dan menjadi bodoh! Kau mau dimanfaatkan kaisar dan dibudak oleh mereka seumur hidupmu?!"
"Apa bedanya dengan kalian!? Aku sudah bilang bahwa aku tidak akan lagi-lagi memeras dan menembakkan panah. Aku berhenti menusukkan pedang dan aku tidak akan ikut kalian! Aku berhak memutuskan apa yang baik untuk hidupku!"
Bandit lain tertawa sampai hidungnya tersendat-sendat seperti suara babi. "Wah, wah, anak ini semakin besar semakin lucu, ya? Aku jadi tidak sabar ingin membunuhnya. Baiklah kalau kau memilih hal yang baik untuk dirimu, maka aku tidak segan-segan memberikannya. Tangkap dia!"
Dua bandit menyerang Guo Fen secara langsung. Satu memegang golok, satu lagi memegang pecut. Dua kakak beradik Shao, anak Paman Hong. Guo Fen tidak pernah menyukai mereka karena bau mereka seperti daging busuk. Sama seperti ayahnya. Tidak pernah mandi dan kulitnya kotor banyak daki. Guo Fen melompat ke belakang waktu pria itu mengayunkan golok hendak memenggalnya. Pecut datang. Kaki lincah Guo Fen langsung melompat lagi ke kiri, menghindar. Mereka menyerang bergantian. Guo Fen hanya memegang pisau es di sakunya. Ia menarik benda itu keluar. Tepat saat ia berbalik, saudara Shao sudah mengayunkan golok lagi hendak membelah Guo Fen menjadi dua.
Dengan cepat, Guo Fen menahan golok besi itu dengan pisau kecil esnya di depan wajah. Gencatan tenaga saudara Shao begitu kuat. Giginya kuning ketika ia tertawa dan menyeringai puas. Kaki Guo Fen sudah lelah berlari, peluhnya menetes-netes. Dalam hati ia tahu ia tidak akan memenangkan pertandingan ini. Tapi dari sampingnya, pecut datang dan satu sentakan dari ujung pecut itu mengenai betis Guo Fen. Membakar kulitnya dan ia jatuh tersuruk ke tanah.
Seluruh tubuh Guo Fen bergetar. Ia sudah lari sepanjang hari dan tenaganya sudah terlalu terkuras. Napasnya tersendat-sendat dan matanya sedikit kunang-kunang. Ia mendongak, berbalik melihat ke arah datangnya golok yang melayang hendak menebasnya. Dalam hati, Guo Fen berkata, jika inilah akhir dari semuanya, maka Guo Fen akan meminta maaf pada langit dan pada semua orang yang pernah membantunya selama hidup. Angin menderu cepat sebelum golok itu terhunus. Tepat Guo Fen hendak memejamkan mata, menyambut kematiannya, suara desing tajam dari pedang yang saling menabrak mengejutkannya.
Dari samping kanan, Guo Fen merasakan seseorang melesat cepat dan berdiri di sana. Ia membuka mata, mendongak dan melihat seorang wanita berpakaian merah hitam, berambut hitam legam, memegang pedang panjang dan menahan golok saudara Shao tepat di depan hidungnya. Ia melotot, memandang ke arah orang asing itu.
"Siapa kau!?" seru saudara Shao. Wanita itu tidak menjawab untuk dua detik, tapi kemudian ia mendorong goloknya dengan pedang lalu berputar sambil menendang dengan satu kaki. Saudara Shao terlempar ke belakang dan mencium tanah.
Tangan wanita itu menyentuh Guo Fen, setengah menyeretnya ke samping lalu Guo Fen berguling menurut. Tubuhnya masih bergetar dan ia tidak bisa melakukan apapun selain meratapi wanita itu mengangkat pedang, memblokir pecut panjang dari saudara Shao di tengah kepungan para bandit.
Wanita itu mengayunkan pedang, dengan tenang sekaligus tajam, serangan brutal dari golok para bandit nyaris dihabisinya. Gerakan kakinya lincah, golok berdatangan, hendak menghunus perutnya, dadanya, tapi wanita itu berputar di udara, menghindar dengan apik dan cekatan. Menari bersama pedangnya hingga angin pun ikut memutarkan musik paling lembut dalam setiap kibaran rambutnya yang tajam bagai mata pisau.
Satu persatu para bandit jatuh mencium lantai. Wanita itu menusukkan pedang dengan cekatan tepat di jantung bandit itu. Guo Fen menyaksikan itu tanpa berkedip. Seolah wanita itu tahu titik lemah manusia dan tanpa peduli langsung menghunuskan pedang ke jantung mereka tanpa ampun. Jantung Guo Fen berdebar tak teratur. Ia tidak tahu siapa wanita itu, tapi yang pasti kemampuan bela dirinya sangat tinggi dan ia... lebih berbahaya daripada para bandit.
Guo Fen harus pergi dari sini.
Ia tidak bisa mempercayai siapapun selain dirinya sendiri.
Tapi ketika ia berpikir begitu, dari belakang sekumpulan bandit, Ju Xiong membidik anak panah. Mata Guo Fen melebar, detik itu, si wanita sedang mendorong satu bandit yang hendak menyerangnya dari belakang. Bagaimanapun, wanita ini sudah menyelamatkannya dari kematian.
Guo Fen berteriak, "awas di belakangmu!"
Wanita itu menoleh, dengan rambutnya yang tersibak bersama angin, panah direntangkan, dan Ju Xiong membidik. Ketika panah dilepas, angin terbelah, wanita itu mengangkat pedang lalu tak kalah cepat, ia menepis datangnya panah dalam sekali gerakan.
Ju Xiong tidak menyangka panahnya akan ditepis dengan mudah seperti itu. Ia menarik dua panah sekaligus lagi, mulai membidik. Guo Fen mengerjap takjub. Wanita itu tidak mengatakan apa-apa, tapi ia mulai berlari dan mengangkut Guo Fen dengan satu tangannya dengan mudah.
"Ayo," katanya pelan. Dari belakang, Guo Fen bisa merasakan angin dari panah yang melesat mulai datang. Tapi dalam satu detik, wanita itu melompat cepat seperti petir. Menghindar dan membawa Guo Fen terbang, pergi dari tempat itu.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro