Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Chapter 40 : Misi Pembunuhan

Satu minggu setelah kedatangan permaisuri Bai Naxing, Gao Jinfeng dan Han Suyang sering mengobrol serius. Kadang, perintah Han Suyang masih dijalankan setengah hati oleh si wakil ketua, Gao Jinfeng. Jelas saja kalau pria itu tidak menerima keputusan Han Suyang yang menerima persekutuan. Gao Jinfeng merasa, Han Suyang mengkhianati sejarah kakeknya sendiri dan tidak memikirkan patriotisme bandit yang lain.

Sementara Han Suyang berkali-kali menjelaskan kalau dengan mendapatkan hati permaisuri, dengan cara ini, justru mereka bisa berbalik keadaan. Han Suyang selalu berjalan tenang seperti ular. Hingga tiba di ujung jalan, ia akan menikam dan meracuni semua orang. Tapi, Gao Jinfeng masih cukup sulit untuk menerimanya. Hingga akhirnya, Guo Fen mulai memahami situasi sendirinya.

Dalam satu minggu itu juga, Guo Fen mulai dipisahkan oleh Lan Juxiong dari Paman Hong. Ia tidak lagi bekerja di kandang atau membantu mencari kayu bakar. Melalui izin Lan Juxiong, ia mulai belajar cara memanah dan menggunakan pisau. Han Suyang tahu soal ini dan ia begitu senang melihat Guo Fen ternyata cepat belajar.

Tapi Guo Fen sendiri terlihat tidak begitu menyukainya. Beberapa kali di sore hari, Han Suyang sering melihatnya bermain di kandang bebek, mengejar-ngejar bebek sambil tertawa-tawa. Di kampung bandit tidak ada anak kecil seusianya. Semuanya rata-rata sudah remaja dan pria-pria dewasa. Para wanita yang tinggal kampung bandit hanya orangtua atau istri. Tidak ada anak muda selain Guo Fen. Hal itu sedikit membuat Han Suyang memberi perintah kepada Lan Juxiong untuk memperketat latihan Guo Fen lebih cepat.

"Gunakan empat anak panah sekali menembak. Itu lebih efisien," ucap Lan Juxiong sambil menyerahkan empat anak panah dari bambu yang sudah diikat dengan pisau batu yang dikikir tajam di ujungnya. Mereka sering latihan di atas tebing, memanah elang atau burung-burung kecil yang sesekali melintas. Tanpa diajarkan dengan detail, bidikan Guo Fen selalu tepat sasaran dan yang terpenting, anak itu mampu mementang busur kuat-kuat hingga anak panah meluncur ganas dan mengerikan.

"Hari ini aku sudah cukup membunuh burung-burung. Aku tidak mau melakukannya lagi," kata Guo Fen dengan nada sedih.

"Mereka hanya burung. Mereka tidak tahu untuk apa hidup selain bertahan."

"Tapi mereka berhak hidup."

"Dan kita berhak memutuskan," sahut Lan Juxiong tajam.

Setiap menerima perintah untuk terus latihan, hati Guo Fen seolah terasa berat dan tidak sanggup. Tapi ia masih belum bisa menolak. Pernah sekali Guo Fen menolak, besoknya Lan Juxiong memecut anak itu tanpa ekspresi di depan gerbang menggunakan pecut panjang milik si kembar Shao. Kedua anak laki-laki Paman Hong yang giginya sama-sama kuning dan menjijikan.

Bagi Guo Fen, itu pecut mengerikan dan tubuhnya langsung biru-biru. Darah di balik kaos bajunya selalu mengingatkannya pada sang ayah. Sesekali, Guo Fen ingin menangis tapi ia ingat kata-kata ayahnya. "Laki-laki harus kuat, laki-laki tidak boleh menangis." Jadi, demi tidak mengecewakan ayahnya, ia pun bertahan.

Malamnya, Lan Juxiong memanggil Guo Fen bersama dua kembar Shao pemilik pecut panjang, bersama Gao Jinfeng ke bangunan Han Suyang. Mereka ternyata sedang membicarakan misi untuk merampok di kampung kecil yang ada di bawah kaki Gunung Zainan, Kampung Shanyi.

Di bawah lantai, tersebar kertas kayu yang sudah tergambar peta kampung itu. Untungnya Guo Fen sudah bisa membaca. Ia paham tulisan-tulisan yang tertera di sana.

"Kampung Shanyi dibagi jadi empat bagian. Kita sudah pasti tidak menyerang bagian utara, khawatir akan ketahuan permaisuri karena areanya lebih dekat Istana Kota. Sementara bagian selatan adalah sasaran empuk. Kudengar di sana ada keluarga kaya penjual garam. Kita jarah semua persediaannya dan kita ambil alih dagangnya. Dengan begitu, kita tidak perlu menggunakan pasokan yang permaisuri berikan. Seperti yang Gao Jinfeng bilang, pasokan itu najis."

Gao Jinfeng menyisipkan senyum di bibirnya begitu mendengar Han Suyang berkata.

"Bagus, aku suka kata-kata itu," ujar Gao Jinfeng.

"Sepertinya, pasukanmu tambah satu orang, Juxiong?" tanya Han Suyang melirik Guo Fen yang mendelik tipis.

Tanpa ekspresi, Juxiong menyahut, "Dia akan mulai turun malam ini."

"Apa?" Guo Fen tersentak. Han Suyang mengangguk puas.

"Setuju. Kau anak ajaib. Seharusnya sejak awal sudah berguna lebih banyak. Aku berharap banyak darimu."

Setelah berdiskusi lebih lagi, mereka sama-sama beranjak ke gudang di belakang kampung. Lan Juxiong memberikan Guo Fen panah dari bambu yang mudah membengkok dan lima anak panah. Han Suyang memasangkan penutup wajah pada Guo Fen sementara anak itu tertegun heran.

"Lihat? Tanpa menunjukkan wajahmu seutuhnya saja kau nampak begitu menarik perhatian. Terutama mata biru itu," ujar Han Suyang seolah tenggelam dalam warnanya yang jernih bagai langit biru di siang hari. Guo Fen mengerjap, ia melengos ke arah lain.

Di belakangnya, Lan Juxiong berbalut tudung dan jubah hitam. Hanya ia yang tidak menutup setengah wajahnya.

"Kita harus pergi sekarang," kata Lan Juxiong. Han Suyang mengangguk, ia mendorong Guo Fen kecil lalu menyampirkan panah ke belakang punggung.

"Bekerjalah dengan baik. Aku akan menunggumu pulang." Setelah mengatakan itu, Guo Fen hanya menghela napas kecil lalu mengikuti Lan Juxiong bersama beberapa bandit lain keluar gerbang.

*

Udara malam berembus dingin. Bulan ini sudah masuk pertengahan musim dingin. Guo Fen mengeratkan jubahnya dan untungnya Ketua Han memberikan penutup wajah, entah kenapa itu terasa hangat. Ia mengikuti Lan Juxiong yang memanjat rumah-rumah dan berjalan pelan di atas atap tanpa suara. Awalnya Guo Fen kesulitan mengikuti Lan Juxiong, tapi lama-lama ia terbiasa dan bisa menyeimbangkan diri.

Mereka tiba di depan sebuah pekarangan yang luas. Ada empat bangunan utama yang berbentuk U di tengah taman. Jalan-jalan kecil dan kolam mengisi bagian depan pekarangan itu. Samar-samar, Guo Fen mendengar suara obrolan di salah satu paviliun kecil. Di antara temaram, ternyata ada dua orang pria sedang duduk mengobrol di sana.

"Paman Lan, ada orang. Apa itu orang yang kita cari?" bisik Guo Fen di belakangnya. Lan Juxiong nampaknya tidak memperhatikan dari antara gelap. Keempat bandit terlatih—yang disebut prajurit oleh Ketua Han itu ikut melihat ke arah yang ditunjuknya. Mereka langsung mengangguk begitu melihat isyarat Lan Juxiong.

"Kau tunggu sini, dan saksikan," ujar Lan Juxiong dingin. Sebelum Guo Fen sempat bertanya, pria itu sudah beranjak turun dan mengejutkan kedua pria tadi. Satu bandit berjaga di depan pintu, sementara Lan Juxiong mengeluarkan panah, mementang busur lalu dalam sedetik, dua panah secara horizontal sudah melesat cepat ke dua orang pria itu.

Guo Fen terkesiap, ia membeku di tempat.

Lan Juxiong memberi perintah ketiga bandit untuk menyerbu rumah. Teriakan lain terdengar bersamaan suara logam dan kaca pecah membentur lantai. Seseorang menyerbu keluar. Seorang wanita tua. Lan Juxiong menangkapnya dan menggorok nadi lehernya cepat tak kurang dari sedetik. Tanpa peduli, pria itu melepaskan wanita yang kini berhenti menjerit dan menjatuhkannya begitu saja ke tanah.

Darah membercak di rumput-rumput pendek. Guo Fen bisa jelas melihat warnanya yang kelam dan gelap. Sama seperti di malam ketika ia melihat ayahnya terkapar persis seperti itu. Mata dan mulut membuka penuh teror dan yang paling menyakitkan, tidak ada suara yang keluar darinya.

Ingatan itu merembes naik ke pangkal tenggorokan Guo Fen dan ia langsung bergetar tanpa sadar. Air matanya menggenang dan napasnya terasa sesak. Wanita itu tergolek di tanah dan matanya perlahan-lahan tertutup.

Ketiga bandit sudah keluar dari rumah dengan tangan memeluk dua boks besar. Lan Juxiong berdiri di sana sambil memantau. Ketika ia mendongak, melihat keadaan Guo Fen, bocah itu sudah tidak ada di tempatnya.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro