II. Chapter 38 : Bocah Ajaib
Gao Jinfeng dan Lan Juxiong berdiri di depan meja Han Suyang yang sedang membaca gulungan pesan yang baru di dapatnya. Di tengah siang yang begitu terik, Kampung Bandit ramai beberapa pekerja yang hendak melaksanakan tugas mereka. Ketika itu, dari menara pos perbatasan Kampung Bandit, Lan Juxiong, pemanah paling jitu yang dimiliki kelompok bandit melihat seekor elang terbang merendah dan memekik hingga suaranya menggema ke seluruh penjuru. Ketika itu Lan Juxiong langsung tahu kalau ada burung pengantar pesan lagi.
Dan burung itu pengantar pesan yang sama seperti beberapa hari yang lalu.
Kening Han Suyang mengerut pelan. Ia mengenakan baju katun hitam-kemerahan yang pas di tubuh. Rambutnya yang pendek, berponi dibiarkan acak-acakan. Nampaknya Han Suyang sama bingungnya dengan Lan Juxiong yang menerima surat itu.
"Sejak kapan kekaisaran menginginkan kita bersekutu pada mereka?" tanya Gao Jinfeng yang kelihatan bersih dan rapi. Rambut panjangnya disisir dan diikat satu ke belakang. Ia mengenakan sabuk hitam sementara baju lengan pendek berwarna biru melapisi tubuhnya.
"Ini jelas-jelas bukan kekaisaran sendiri. Bukan Kaisar Li Minglao lebih tepatnya," gumam Han Suyang setelah mempelajari pesan itu. "Tapi ini Permaisuri Bai Naxing."
Gao Jinfeng membelalak, sementara Lan Juxiong bersedekap tanpa menunjukkan satu ekspresi peduli. Lan Juxiong selalu membawa busur yang ia buat dari tulang rajawali di punggungnya. Rambutnya diikat satu, menyisakan poni di depan keningnya. Setengah menutup matanya yang sipit dan suram.
"Setelah kemenangan Organisasi Pendekar melawan Hei Lianhua beberapa minggu lalu, kurasa mereka tertarik menguasai seluruh bagian negri. Entah kenapa, aku merasa justru otak Bai Naxing lebih licik ketimbang Kaisar Li Minglao. Buktinya, buat apa dia memberitahu rencana suaminya sendiri yang mau mengungkapkan soal kebenaran pendekar?"
"Apakah Bai Naxing takut terhadap pendekar?" tanya Gao Jinfeng sambil merenung.
"Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka, tapi ini keuntungan buat kita," sahut Han Suyang menyisipkan senyum. Ia menatap kedua anak buahnya bergantian.
"Kau akan memanfaatkan Bai Naxing bagaimana, Ketua?" tanya Lan Juxiong dalam suara pelan dan rendah.
Bibir Han Suyang menaik kecil.
Selama ini kelompok bandit selalu mencuri, merampok, membunuh orang-orang demi mendapat keuntungan. Mereka hidup masing-masing menjauhi ancaman Organisasi Pendekar dan Kekaisaran. Sebetulnya Han Suyang tidak begitu perlu takut soal Organisasi Pendekar karena kelompok pembunuh itu hanya akan menangkap para pendekar yang 'katanya' masih bersembunyi selama ini.
Sudah hampir seribu tahun lebih sejak masa kekuasaan Kaisar Li Gongyi yang meratakan para pendekar hanya demi mendapat pusaka Tiga Langit. Namun, rakyat, tidak ada yang pernah tahu kebenarannya. Menjadi bandit, malah lebih baik ketimbang rakyat yang hanya dibodohi dan diberi kisah dongeng indah mengenai pendiri dan pemimpin Negara Shancha ini. Apa bedanya kekaisaran dengan kelompok bandit, pikir Han Suyang.
Jika kekaisaran mampu merebut pusaka Tiga Langit yang memiliki kekuatan ajaib, maka para bandit juga bisa menginvasi istana dan meratakan kekejaman mereka, bukan? Kadang Han Suyang selalu ingat tujuan kakeknya dulu—ketika masih hidup dan memimpin kelompok bandit dengan berani. Kakek Suyang bukan orang yang percaya terhadap kekuatan magis seperti yang diberikan para pendekar. Para pendekar dan para bandit juga sejak dulu tidak pernah punya sejarah yang akur. Para pendekar selalu menghalangi pekerjaan bandit. Mereka selalu membantu dan melindungi rakyat, membantu kekaisaran melenyapkan para tikus-tikus pembunuh; kelompok bandit itu sendiri.
Namun sejak dulu Kakek Suyang selalu direndahkan dan miskin. Ia tidak punya apa-apa selain kehebatannya bertarung dan merampok. Ia mengetahui kisah asli kekejaman Kaisar Li Gongyi yang sebenarnya terhadap para pendekar. Sejak itu, Kakek Suyang mulai menargetkan dirinya untuk membunuh keturunan kaisar dan meratakan istana untuk mengambil keadilan yang sebenarnya bukan miliknya.
Kakek Suyang bertindak di bawah 'kebenaran' hanya demi kepuasan pribadi dan dendam yang mendarah daging di masa lalu itu. Ia bukan yang ingin membalaskan dendam para pendekar—ia nyaris tidak peduli soal itu, tapi dendam dan ambisi untuk 'menguasai' sudah melekat dalam dasar hatinya dan akhirnya terbawa sampai ke Han Suyang sendiri.
Sebagai pewaris yang paling sempurna, Han Suyang bagai reinkarnasi dari kakeknya sendiri. Dan ketika ia mendapatkan kesempatan ini, tentu saja ia tidak menolak begitu saja.
"Kita turuti semua keinginannya. Hingga waktu yang tepat, aku akan membuat kita semua berhasil masuk ke istana dan meratakan semuanya," ujar Han Suyang terdengar lebih yakin daripada apapun. Lan Juxiong tidak merespons, kekhawatiran Gao Jinfeng yang muncul.
"Bagaimana caranya, Ketua?"
"Nanti malam dia akan datang. Siapkan jamuan untuk menyambutnya."
Gao Jinfeng membeku di tempat. "Kau yakin, ketua? Bagaimana kalau Bai Naxing merencanakan sesuatu yang licik?"
Sesekali Han Suyang ingat bagaimana Bai Naxing bisa menjadi permaisuri. Dulu, ketika kekaisaran memberitahu kalau perjodohan antara Putra Mahkota; Li Minglao, berakhir dengan perjanjian lama antara kakek buyut kekaisaran; Li Gongyi dan kakek buyut kepala militer kepercayaan mereka, semua orang heboh dan bertanya-tanya, gerangan siapa keturunan yang beruntung itu.
Hingga akhirnya muncul Bai Naxing yang anggun dan menjadi panutan semua masyarakat yang melihat citranya bak dewi.
Namun, lima belas tahun kemudian, Hei Lianhua, entah bagaimana memiliki dendam pribadi terhadap wanita itu dan selalu ingin membunuhnya. Masyarakat tahunya kalau para pendekar memang jahat dan ingin menghancurkan kekaisaran. Tapi, Han Suyang tahu betul kalau Hei Lianhua yang membunuh para pejabat jahat hanya untuk memancing kekaisaran supaya mungkin kaisar bisa melihat sisi lain dari permaisurinya. Han Suyang sudah sering memikirkan masalah itu.
Hingga hari ini, Bai Naxing yang mengirimkan surat dan hendak bersekutu dengannya untuk melakukan sesuatu.
"Tenang saja. Dia tidak akan berani memusnahkanku juga. Karena dia sudah menyerahkan kartunya lebih awal. Tidak mungkin dia bermain akal. Sekarang, siapkan jamuan. Buat semua orang tahu soal ini."
Gao Jinfeng dan Lan Juxiong mengangguk dan beranjak keluar.
*
Beberapa jam tinggal di kampung ini, Guo Fen yang awalnya mengira ia diselamatkan orang baik lagi, ternyata salah. Ia masuk ke kampung bandit. Sekumpulan penjahat yang bertahan hidup dengan cara bertarung dan menjarah. Ia sempat mendengarnya beberapa kali di pasar tempatnya dulu bekerja. Di satu sisi, ia merasa terancam, tapi di sisi lain, ia ingat kalau Ketua Han nampak begitu baik dan lembut. Ia tidak begitu mengkhawatirkan itu selagi dirinya masih diberi pekerjaan.
Menggunakan kaki mungilnya, Guo Fen mengangkut makanan sapi dan membersihkan kandang hanya dalam beberapa menit. Paman Hong menyuruh Guo Fen mencari kayu bakar di gunung setelah menyelesaikan pekerjaan di kandang.
"Bocah ajaib! Kemari, bantu aku membawa ini." Seorang wanita berpakaian lusuh dengan wajah kusam menenteng bakul besar berisi telur. Guo Fen melihat ke belakangnya, ternyata itu kandang bebek yang luas. Guo Fen sedikit terpana, ia belum pernah melihat bebek-bebek. Selama ini tinggal di pinggir gunung dan hanya sesekali jalan-jalan di sekitar Pasar Huang, jarang sekali ia melihat peternakan semacam itu.
Guo Fen dengan patuh membawakan bakul dari anyaman itu lalu mengikuti wanita tua itu ke sebuah rumah kecil di samping peternakan bebek.
"Bibi, apakah bebek itu punyamu semua? Bolehkah aku bermain sebentar di sana?" tanya Guo Fen setelah meletakkan bakul ke teras rumah. Wanita itu mengernyit ke arahnya.
"Kau mau bermain di kandang bebek? Sebaiknya kau bantu aku memasak ini. Malam ini kita akan kedatangan Permaisuri Naixing! Ada banyak perjamuan dan masakan yang perlu disiapkan."
"Permaisuri mau ke sini? Ke tempat para bandit? Bukankah..."
Dulu, sewaktu ia masih bekerja di pasar Huang di toko buah, beberapa orang selalu memuja-muja Permaisuri Bai Naxing. Mereka bilang, setelah Kaisar Li Minglao menikahi Bai Naxing, semua rakyat jadi merasa lebih dekat dengan kekaisaran. Bukan hanya di Kota Li Ming, namun di tiga kota besar lainnya ikut merasa demikian. Tapi, dari yang orang-orang sering katakan, para bandit tidak pernah menyukai kekaisaran dan selalu bersinggungan.
Guo Fen masih terlalu kecil untuk merasakan hal yang sama. Prinsipnya, selama ia bisa bekerja, ia bisa makan.
"Eh, tapi omong-omong, kau ini masih kecil. Kenapa sudah bekerja? Di mana ayah dan ibumu?" tanya wanita itu sambil melumuri telur bebek dengan bumbu-bumbu yang tidak Guo Fen pahami.
"Bibi, apa yang perlu kubantu untuk memasak? Apa perlu bahan lagi?"
Bukannya menjawab, Guo Fen malah menghindari pertanyaan itu. Belum sempat wanita tua itu menyahut, dari arah jalan setapak Paman Hong memanggil. Menyuruhnya naik gunung untuk mencari kayu bakar.
Sambil menelusuri hutan, Guo Fen bertanya soal permaisuri.
"Bocah, sebaiknya nanti malam kau tunggu di gubukmu saja. Jangan ikut bertemu permaisuri itu," kata Paman Hong sambil memungut ranting-ranting dan menyelipkannya ke tali di punggung.
"Kenapa?"
"Ketua Han sudah bilang padamu, bukan? Kau ini anak ajaib. Kalau kekuatanmu diketahui oleh orang lain—apalagi permaisuri, kau akan dianggap pendekar. Kekaisaran takut oleh pendekar, maka mereka mencari cara untuk membunuh mereka semua."
"Memangnya pendekar kenapa? Mereka menyeramkan?"
Paman Hong mendecakkan lidah. "Mereka tidak menyeramkan. Mereka hanya pura-pura kuat. Padahal mereka hanya keturunan dewa yang keberadaannya bahkan tidak bisa dipercaya."
"Dewa?"
"Ah, sudahlah bocah kecil. Kau ini masih anak-anak, tidak akan paham kalau kuceritakan juga. Intinya jangan keluar rumah nanti malam kalau kau tidak mau ditangkap oleh permaisuri. Sekarang, ayo cepat cari batang kayu yang banyak. Sore ini kita harus memasak untuk menjamunya."
***
halo, maaf ya baru sempat update. kemarin aku habis berduka, ayahku baru saja meninggal dunia. jadi baru sempat urus draf lagi. terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro