II. Chapter 36 : Lima Tahun Sejak Bai Lianhua Menghilang
"Untuk sementara Raja Kota Yu Meng membantu kita diam-diam mencari Sekte Tengkorak. Namun sudah hampir lima belas tahun, mereka benar-benar hilang. Tanpa jejak sama sekali," ujar Denghou yang duduk di depan bangunan asrama Sekte Macan Salju.
Sama seperti Guru.
"Rong Mei," panggil Denghou pelan. Rong Mei mendongak dan segera tersadar dari lamunannya.
"Ya, Tetua Denghou?"
"Kau bilang, Bai Lianhua sempat menggunakan jurus anti-ilmu hitam. Tapi sebenarnya, apa dia benar-benar melakukan itu untuk melawan Organisasi Pendekar?"
Pertanyaan itu menggantung di udara dalam kegetiran yang tak pernah usai. Sudah hampir lima tahun, tapi Rong Mei tidak akan pernah lupa kedahsyatan yang terjadi antara pertarungan Gurunya dengan komandan Organisasi Pendekar malam itu.
Ledakan dari aura yang kuat, rambut sang guru yang berubah menjadi putih, serta udara yang menderu melindunginya dari batu ungu di tangan komandan.
"Aku tidak tahu," jawab Rong Mei dengan merenung. Kepalanya selalu terasa berat setiap mengingat keberadaan sang guru yang tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Selama lima tahun terakhir ia sudah mencari Bai Lianhua ke segala penjuru. Bahkan sampai ke Sekte Lotus yang bangunannya sudah menjadi abu. Setiap lokasi yang kemungkinan ditinggali gurunya, namun semuanya nihil.
Bai Lianhua lenyap dan hilang setelah pertarungan malam itu.
Denghou menghela napas. "Aku sengaja tidak bertanya padamu soal Bai Lianhua. Seminggu setelah kau akhirnya memutuskan kemari, aku berharap kau tidak berlama-lama bersedih."
"Aku tidak bersedih," ujar Rong Mei cepat. Malam itu, di sekitar sekte, suasana sudah sepi. Para murid sudah berdiam diri di ruangannya masing-masing.
Satu minggu setelah lima tahun tidak memberi kabar apapun kepada Denghou dan Zhou Peng, Rong Mei pikir ia masih bisa menemukan gurunya itu lebih dulu sebelum melapor. Namun pertarungan waktu itu membuat kehebohan dan gosip simpang-siur. Di sekitar pasar dan jalanan lebar di antara Istana Kota, mulai banyak berita kalau Hei Lianhua—alias pendekar yang penuh dendam itu—akhirnya mati setelah dilumpuhkan oleh Organisasi Pendekar.
Rong Mei marah. Itu semua tidak benar. Permaisuri lagi-lagi membuat kabar palsu demi menenangkan para rakyat. Para petinggi istana selalu menakut-nakuti para warga sipil dengan keberadaan pendekar lalu kembali memenangkan hati mereka dengan tangan kotor. Kalau dipikir-pikir lagi, apakah permaisuri tidak lelah memainkan sandiwara sampah ini?
Oh tentu, itu karena Permaisuri tidak punya pilihan lain selain menutupi masa lalu yang hendak diungkapkan Bai Lianhua.
Dalam lima tahun terakhir itu, pikiran Rong Mei seketika tersendat di antara Lukisan Hitam Bai Junhui—ayah Gurunya, sekaligus masalah permaisuri dan kekaisaran. Ada banyak berita baru; Puteri Mahkota yang kini menjadi sorotan publik karena keramahannya mirip ibunya, Kaisar Li Minglao yang berhasil membangun Istana Rakyat, beberapa jembatan besar serta akses perdagangan terutama dari Kota Modern Chu. Kini, warga yang tinggal di sekitar Istana Kota, khususnya yang tinggal di bawah kaki Gunung Zainan dan kampung Shanyi, mulai mendapat pengaruh ekonomi lebih baik dari Istana Kota.
Namun, di antara gegap-gempita dan sukacita yang diberikan Kaisar serta Permaisuri, tiga sekte utama masih terus diam-diam menyelidiki musuh terbesar mereka; Organisasi Pendekar dan Sekte Tengkorak.
"Kalau kau tidak bersedih, lalu kenapa kau meneruskan pekerjaan kotor Bai Lianhua sebelumnya?" tanya Denghou santai.
Wajah pria itu diselimuti sedikit kerut tipis. Rambutnya panjang dan sedikit keputihan di beberapa helainya. Ia mengenakan baju lengan panjang kebesaran berwarna abu-abu dengan tongkat kayu yang menyanggahnya setiap berjalan. Matanya menatap lelah, namun tetap terpancar kekuatan tersendiri.
"Aku tidak mau orang-orang berpikir kalau Organisasi Pendekar yang memenangkan pertarungan malam itu. Aku ingin mengungkapkan kalau kebenaran bukan seperti itu," jawab Rong Mei pelan setengah menunduk.
Dari sakunya, Denghou mengeluarkan secarik kertas lusuh. Di atasnya ada gambar wanita berambut panjang dengan sanggul pita merah dan pakaian serba merah yang pas di tubuh. Garis mukanya lancip, matanya sipit dan tajam, bibirnya melengkung ke bawah, ekspresinya dingin dan menunjukkan rasa tak gentar.
"Sekarang kau malah membahayakan dirimu sendiri, Rong Mei," ujar Denghou sambil menunjuk kertas di atas meja. Rong Mei menghela napas.
Sebenarnya Rong Mei hanya ingin diam-diam melakukan itu. Namun nampaknya, para pejabat yang pengecut selalu melaporkan penyiksaan yang dilakukan Rong Mei setiap malam dalam sisa lima tahun kemarin.
"Mereka pantas mendapatkannya. Semua orang yang kusiksa itu adalah orang-orang yang sudah Guru tulis namanya di sebuah daftar."
Denghou menghela napas lagi. Kali ini lebih panjang namun tidak ada kesan marah dalam wajahnya. Denghou adalah sahabat terbaik Gurunya. Sepanjang Rong Mei mengenal Bai Lianhua, Gurunya itu selalu menyebut-nyebut kalau tiga sekte utama adalah teman sekaligus sisa keluarga yang ia punya. Bahkan melebihi ibunya sendiri, Yao Yupan yang tinggal di Istana Kota. Maka Rong Mei yakin kalau Denghou juga paham sebesar apa dendam yang Bai Lianhua punya selama hidupnya. Dan pertarungan lima tahun yang lalu bukan hal aneh lagi.
"Seharusnya tidak kuberitahu dia soal jurus anti-ilmu hitam yang pernah ia tanyakan. Aku seharusnya sudah menduga kalau ini hanya untuk ilmu tambahan dendam pribadinya."
"Walaupun aku tidak melihat secara langsung masa lalu yang Guru lalui secara tragis itu, aku tetap bisa merasakan bagaimana dendam itu tumbuh dan menempel erat dalam hatinya. Malam itu, sebenarnya Guru berusaha menangkal Pusaka Langit dengan melumpuhkan tenaga dalamnya sendiri."
Denghou membelalakkan matanya. "Apa?"
Pikiran Rong Mei melesat ke malam itu. "Aku tidak tahu bagaimana caranya guru melakukan itu. Yang aku lihat hanya ledakan dan angin menderu kencang. Pusaka Langit... bentuknya sangat magis dan seperti batu ungu yang cantik. Dari dalamnya terkandung energi kuat yang berusaha melepaskan kekuatan guru. Namun, entah bagaimana... guru berhasil menangkalnya dan malah menarik energi pusaka masuk ke tubuhnya. Gara-gara itu, rambut guru berubah putih. Pertukaran energi keduanya sangat besar."
Seiring mendengarkan cerita, Denghou mengerjap takjub. Rong Mei memang belum pernah menceritakan ini sejak seminggu yang lalu ia datang kemari. Itu karena Rong Mei sulit mengingat-ingat nyeri di dadanya karena ditinggal begitu saja oleh sang guru.
Dari ikat pinggangnya, Rong Mei menyerahkan Giok Lotus Putih ke Denghou. "Apa aku tidak bisa menyerahkan lencana ini padamu saja, Tetua Denghou?"
Denghou menunduk, melihat giok itu kembali sambil mendengus. "Ini kali kedua ada orang yang menyerahkan giok ini padaku. Sebelum dirimu, Bai Lianhua juga ingin lepas dari tanggungan ini."
Rong Mei tahu cerita itu. Dulu Bai Lianhua sempat cerita kalau dirinya tidak sanggup menanggung tugas Hua Linxing, alias Nenek Teratai yang dibakar oleh Organisasi Pendekar. Kalau bukan karena dedikasi Nenek Teratai yang membesarkan Bai Lianhua dengan teknik dan sejarah kebenaran mengenai dunia pendekar, mungkin Bai Lianhua tidak tertekan dalam tanggungan itu. Terlebih, masalah pribadi keluarganya—terutama terhadap Bai Naxing dan kematian Bai Junhui, segalanya langsung menutup jalan bebas untuk membantu misi para pendekar yang jatuh di tangan Hua Linxing.
"Kau juga mau membalaskan dendam Bai Lianhua?" tanya Denghou.
Rong Mei menggenggam giok lotus erat-erat. Ia tidak mau mengulang kesalahan sang guru, namun apa yang dia bisa lakukan untuk mencari Pendekar Naga? Dia belum menjadi pendekar sehebat gurunya, bahkan ia tidak seperti Hua Linxing yang mendapat mimpi-mimpi petunjuk dari para dewa. Ia hanya anak kecil yang diselamatkan Gurunya oleh dua roti bakpau sepuluh tahun yang lalu.
"Sekarang, tolong tepati janjimu. Dan jangan menjadi seperti aku yang hanya bisa mengemban dendam dan rasa sakit hati."
"Bai Lianhua menempuh kehidupan yang berat. Kematian Bai Junhui dan kekejaman Bai Naxing—masih menjadi ganjalan terbesar dalam hatinya. Meskipun dulu Bai Lianhua selalu tidak mengaku demikian pada Tetua Hua, tetap saja. Ia sebenarnya sudah mendendam marah dan ketidakrelaan sejak kecil. Dulu, ketika Bai Lianhua terus mengintai bolak-balik ke Istana Kota dan Sekte Bai hanya untuk memastikan ia masih memiliki kendali atas segala takdir yang ia pikir bisa diubah, sebenarnya itu hanya membuat takdirnya semakin berubah ke arah yang berbeda.
"Siapa yang menduga kalau adik tirinya, yang dicintai ayahnya sebegitu dalamnya ternyata Permaisuri yang berhati kejam seperti iblis? Kalau bukan karena jejak masa lalu yang ditinggalkan Bai Junhui, mungkin Bai Lianhua tidak akan mengungkit lagi dendam pribadinya. Melihat Bai Naxing malah hidup di istana dan mendapat banyak dukungan dari rakyat, siapa yang tidak geram? Aku pun geram. Namun aku tidak bisa selamanya mendukung pilihannya.
"Aku sadar kalau cara untuk menjatuhkan dendam hanya dengan membawa kebenaran para pendekar kembali. Titik awalnya di sana. Namun Bai Lianhua sudah gelap mata dan ia seperti Bai Junhui yang terlalu percaya pada suara hati. Hingga akhirnya, ia malah berjalan semakin jauh dan jauh..."
Rong Mei tidak ingin meneruskan dendam itu lagi. Jika ia ingin berhenti, maka ia harus mencari cara untuk menemukan Pendekar Naga. Namun, bagaimana caranya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro