Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

II. Chapter 35 : Malam Pembantaian


Sebenarnya sulit mengejar Gurunya, namun Rong Mei secepat mungkin mengimbangi langkah Bai Lianhua yang melesat bagai terbang di atas atap-atap.

Suatu hari, di tahun-tahun ketika Bai Lianhua masih melatih Rong Mei secara ketat, Gurunya itu pernah menunjukkan sebuah peta dan jalan pintas yang ia buat sendiri untuk bolak-balik mengintai ke Istana Li Ming. Sekarang, Rong Mei tidak lagi heran dengan jalan-jalan setapak dan gang kecil yang dipilih gurunya untuk masuk ke wilayah Istana Kota tanpa melewati gerbang utama.

Malam itu langit tertutup awan. Angin sesekali menderu. Kaki mungil Rong Mei menuruni jurai atap yang melengkung lalu berdiam di sudut atap sambil memicingkan mata ke arah wanita berselimut pakaian hitam dan memakai topi jerami.

Mereka sudah sampai di tengah aula Istana Li Ming yang sepi. Rong Mei sesekali juga sering mengintai gurunya, ikut beberapa misi untuk membunuh pejabat bengis yang tidak tahu aturan di sekitar kota. Bukan hal yang sulit lagi untuk membaca gerak-gerik gurunya itu.

Di tengah aula terbuka itu, tubuh ramping Bai Lianhua nampak seperti hantu. Ujung jubah dan rok hanfunya tersapu ke udara. Langkahnya sehalus bayangan. Sementara jantung Rong Mei mulai berdentam tak keruan.

Apa yang bakal Guru lakukan?

Apa rencananya?

Rong Mei tinggal menunggu beberapa menit para prajurit Organisasi Pendekar keluar dan menyapanya.

Baru beberapa detik berpikir begitu, sebuah anak panah melesat dari arah berlawanan. Rong Mei terkesiap dan melihat ke arah atap di bangunan depan aula Istana Li Ming. Di antara temaram, ia tidak bisa melihat dengan jelas sosok itu. Namun sosok yang mementang panah sekarang juga memakai penutup wajah sampai hidung. Dengan gerakan cepat, panah kembali datang, namun Bai Lianhua hanya dengan mengayunkan satu tangan, ia memblokir anak panah itu di depan mukanya dengan gerak tenang.

Dari kejauhan Rong Mei menyaksikan tenaga dalam Bai Lianhua membentuk udara kosong di sekitar tangannya. Lalu panah jatuh ke tanah.

Bai Lianhua mendongak ke arah atap, lalu ia melompat dengan satu kali entakan. Ia naik ke atas atap, lalu dengan satu gerakan cepat, ia memakai cakarnya untuk membentuk cengkeraman dan menekan tenaga dalam di udara untuk menjatuhkan pria tadi. Ia bahkan mencekik tanpa perlu menyentuh pria itu. Tenaga Guru bukan main-main, pikir Rong Mei.

Rong Mei mengernyit, Gurunya itu nampak bertanya sesuatu tapi pria itu menggeleng dan kemudian dalam sekali gerakan, Bai Lianhua memutuskan nadi dengan satu gerakan tangan. Pria itu terkulai lemas dan jatuh.

Bersamaan dengan itu, gerombolan prajurit memasuki aula terbuka. Langkah mereka menghantam tanah dengan seruan ancaman. Kira-kira ada sepuluh, para prajurit itu semua mengenakan penutup wajah sampai hidung. Sama seperti pria yang tadi memanah Bai Lianhua. Di belakang pohon ceri yang ada di samping aula, sebuah tembok terbuka bagai pintu geser. Bai Lianhua dengan tenang turun dari atap lalu menunggu seorang pria bertubuh besar masuk ke aula terbuka.

"Sudah kuduga," katanya dengan suara bariton menembus keheningan malam. Pria itu berdiri di tengah aula, berhadapan langsung dengan sosok Bai Lianhua. Di belakangnya, para prajurit mulai mengeluarkan pedang dan panah.

"Aku sudah menunggu kehadiranmu seperti kata Permaisuri. Ternyata benar, kau pasti akan kembali," ada nada mencemooh sekaligus tawa remeh dari pria tadi. Rong Mei mengepalkan tangannya tanpa sadar. Ia tidak bisa bergerak sekarang, ia masih harus sabar.

"Kaisar Li Minglao tidak seperti Li Gongyi. Meskipun seribu tahun sudah berlalu, tapi kami tidak akan pernah melupakan kebenaran yang seharusnya menjadi milik kami," ucap Bai Lianhua dingin. Wanita itu berdiri tanpa memegang senjata apapun. Rong Mei baru sadar, apakah sang guru membawa tongkatnya dan disimpan di balik jubah? Tidak mungkin ia melawan Organisasi Pendekar dengan tangan kosong.

Terlebih...

Mereka membunuh Nenek Teratai. Mereka banyak berhutang nyawa padaku...

Kata-kata sang guru seketika berkelebat. Rong Mei setuju. Ini adalah dendam antara dirinya dengan masa lalu. Jika Rong Mei ikut membantu, yang ada malah merusak rencana sang guru.

"Memang benar. Dia sedikit patuh dan malah berencana mengungkapkan kebenaran. Tentu saja kami tidak bisa membuatnya begitu," jawab pria tadi.

"Kami? Ah, jadi kalian resmi menjadi kacung-kacung adik tiriku itu, ya? Menyedihkan. Kalian kuat, tapi tetap dikendalikan. Apa bagusnya?" ujar Bai Lianhua balik meremehkan.

Pria tadi mendecih, "Lebih bagus daripada kalian para pendekar busuk."

Seketika pria itu menarik pedang hitam dari ikat pinggangnya lalu dengan ayunan cepat, ia memutarkan pedang ke udara. Seberkas sinar hitam seperti asap melesat seiring pedang diayunkan. Sinar hitam itu memiliki energi aneh yang padat. Angin menyerbu seiring sinar tadi mengarah ke arah Bai Lianhua.

Tidak diam saja, dari lengan bajunya, Bai Lianhua mengeluarkan tongkat kecil lalu ia menekan ujung tongkat hingga ujungnya berubah panjang. Sambil membuat gerakan baling-baling, tenaga dalam Bai Lianhua bergabung dengan energi tongkat lalu membentuk barier pelindung. Kedua energi saling menabrak di udara, meledak dan pecah menjadi serbuk debu.

Rong Mei mengerjap takjub. Kekuatan apa barusan itu?

"Beraninya menggunakan Pusaka Tiga Langit!" seru Bai Lianhua.

"Kenapa? Mau ambil? Sini, coba ambil." Pria tadi mengacungkan pedangnya lalu tanpa dijawab, Bai Lianhua segera mengentakkan kaki dan melesat terbang ke muka pria itu.

Gerakannya tiba-tiba. Tongkat di tangan Bai Lianhua berputar hendak menebas muka pria itu dengan ujung tongkat. Namun pria tadi mengangkat pedang, menahan serangan. Para prajurit mundur. Menyisakan ruang untuk duel mereka.

Keganasan meluncur dari serangan Bai Lianhua. Udara mengelilingi pertarungan keduanya. Bai Lianhua berputar, mengangkat tongkat dan menebas udara kosong. Pria itu juga memiliki teknik yang bagus. Pedang pria itu terus menusuk udara, melesat ke muka dan hampir mengenai muka Bai Lianhua. Di ujung senjata mereka kini bukan hanya tongkat atau pedang biasa. Namun tenaga dalam yang panas dan siap meledak jika saling menghantam. Rong Mei mencengkeram ujung atap, ketakutan menyergap pandangannya.

Tanpa sengaja, ketika Bai Lianhua berputar untuk menghindari serangan pedang, sebelah tangan si pria tadi teracung ke udara dan menepis topi jerami yang dikenakan Bai Lianhua. Wanita itu terkesiap. Mata kecoklatannya membelalak ke arah pria itu. Rambut hitam dan panjangnya terhempas di udara. Setiap helainya melambai lembut menyambut dinginnya ekspresi di wajahnya.

"Hei Lianhua, apakah rasanya begitu menyakitkan melihat Hua Linxing dibakar?"

"Cukup untuk membakar diriku yang sekarang," jawab Bai Lianhua.

Pria tadi tersenyum miring. "Sayangnya, kau hanya akan bernasib sama dengan wanita tua itu."

Pedang kembali diangkat, pria tadi maju ke muka sambil berseru. Bai Lianhua dengan tenang menggerakkan pergelangan tangan. Dari balik lengan bajunya, ia mengeluarkan empat Jarum Perak lalu dengan cepat, ia melesatkannya ke udara. Para prajurit di belakang melihatnya. Lalu pemanah mulai mementang busur dan empat panah sekaligus melesat di udara.

Rong Mei melihat gurunya itu mengentakkan satu kaki dan terbang di udara untuk menghindari tembakan panah. Di antara temaram, Bai Lianhua tidak langsung memijak tanah kembali. Dengan dua tangan, Bai Lianhua membentuk sebuah formasi.

Di bawahnya, pria tadi dan para prajurit terpaku sesaat. Udara menderu ribut. Angin melesat ke sana kemari, mengantar kebingungan. Semakin diam, semakin ribut. Debu-debu dan helaian daun yang terangkat udara berputar di sekitar aula terbuka dan semua itu dikendalikan oleh Bai Lianhua yang sedang terpejam.

"Formasi apa...? Apakah Guru sedang mencoba melumpuhkan dan melepaskan tenaga dalamnya sendiri?" seketika Rong Mei tersadar kata-kata Bai Lianhua waktu itu.

"Dulu nenek teratai dilumpuhkan tenaga dalamnya oleh Organisasi Pendekar. Mereka punya cara magis—yang kabarnya berasal dari pusaka dewa yang disimpan di istana. Memang tidak ada yang tahu cara kerja pusaka dewa. Tapi aku berusaha mencari tahu itu lewat perkembangan kultivasiku. Jika para Organisasi Pendekar bisa melumpuhkan tenaga dalamku, maka aku sendiri bisa melakukannya pada diriku."

Dari antara prajurit, seseorang berseru, "Serang sekarang, Komandan!"

Pria yang dipanggil komandan itu menoleh. Pandangannya sedikit terhalau angin kencang. Namun ia mengeluarkan sebuah batu kecil berbentuk segi empat diagonal yang dikelilingi tembaga perak dan tali di ujungnya. Dengan satu tangan, pria itu mengangkat batu kecil yang kini bersinar pelan-pelan di tangannya. Menggunakan tenaga dalam, batu itu melayang di atas tangannya. Lalu di antara energi yang berkelebat di antara Bai Lianhua, pria itu mengacungkan batu dan mendorong batu yang bersinar keunguan itu ke tengah putaran angin di sekitar Bai Lianhua.

Bai Lianhua berseru, "akh!" matanya membuka, energi yang berputar di sekelilingnya seketika pecah. Bersamaan batu ungu tadi, di udara, Rong Mei melihat ada seberkas cahaya yang melilit dan berusaha memasuki jantung Bai Lianhua. Wanita itu tersentak ketika tenaga dalam batu mendorong dan memecahkan udara yang berputar di antaranya tadi. Lalu dalam sentakan yang keras, Bai Lianhua jatuh dan terjerembab ke lantai batu.

Rong Mei bangkit, kakinya membeku dan matanya terpaku. Tubuh Bai Lianhua bergetar di tanah, batu ungu tadi melayang di atas kepalanya seolah menyerap energi. Semua energi yang tadi berputar. Bai Lianhua mengepalkan tangan, Rong Mei ingin masuk ke sana, tapi komandan tadi mengacungkan tangan dan memberi tenaga ke batu ungu tadi.

Dalam kendalinya, Bai Lianhua mengerang pelan lalu bangkit. Dengan kedua tangan, udara yang tadi berputar kini mulai menderu lagi. Seolah menolak hisapan energi dari batu. Justru ketika Bai Lianhua kembali memejamkan mata, udara yang tadi menderu, kini mulai menghantam batu ungu. Komandan terkejut panik. Ia menahan tangannya, tapi pandangannya tidak bisa lepas dari formasi yang dibuat Bai Lianhua.

"Komandan, apa itu?" tanya salah satu prajurit.

"Dia melawan," gumamnya pelan. "Dia menggunakan teknik pelepasan energi untuk mengangkat inti energi ke luar. Dia yang kini menghisap energi pusaka."

"Apa?! Komandan, kita harus menghentikannya—"

Tepat ketika itu, sebuah energi meledak dalam sekali entakan. Bai Lianhua terjatuh ke tanah, energi pecah bagai bom yang meledak. Udara menghempas ke segala penjuru, bersamaan udara yang melesatkan Jarum Perak, Rong Mei terkesiap dan segera bersembunyi di balik dinding atap untuk berlindung.

Jarum Perak menembak bagai hujan deras. Ujung-ujungnya menancap pada pilar, tubuh para prajurit dan dinding-dinding pembatas. Merobohkan para prajurit sekaligus komandan tadi. Pecah menjadi kosongan yang dingin dan keretak beku mulai melapisi lantai aula. Perlahan-lahan, Rong Mei mengintip dari balik dinding atap ke tengah aula.

Di tengah aula yang kosong, di antara angin yang menderu lemah, bayangan sang guru yang berubah berambut putih bangkit perlahan. Matanya menunjuk kebengisan, namun sisa-sisa dendam memberkas di udara. Jantung Rong Mei mencelos.

"Guru..."

Bai Lianhua mengibaskan lengan bajunya, lalu berputar. Dengan cepat, ia menghilang bagai bayangan malam. Menyisakan udara dingin yang menyesakkan dalam dada Rong Mei.

*** 

Wah, tiba juga di bab yang sangat sulit buat aku bikin wkwkw. Semoga hasilnya bisa dimaklumi ya, karena buat menulis bab ini cukup menguras emosi... yah, nanti kalian bakal tahu setelah baca bab selanjutnya hehe. 

Terima kasih sudah membaca sampai sini, dukungan kalian berarti banget buatku <3

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro