Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I. Chapter 28 : Ruang Bawah Tanah Organisasi Pendekar


Bai Lianhua tidak tahu mengapa Organisasi Pendekar harus memiliki tempat tertutup seperti ini. Tapi ketika ia melintasi pintu dinding tadi, keheningan menyergap dan ia seperti masuk ke dimensi yang berbeda.

Jika sudah mencapai Tingkat Empat Energi Alam, maka akan ada lebih banyak musuh yang sulit dilawan. Meskipun dengan Formasi Hujan Lotus Malam, itu tidak akan mampu membunuh sekumpulan Organisasi Pendekar yang mempunyai senjata misterius yang mampu melumpuhkan semua tenaga dalamnya.

Ada satu tangga lebar yang mengarah ke bawah tanah. Di sekeliling dinding berbentuk kotak itu tidak ada apa-apa lagi selain tangga itu. Di ujung tangga, nampak cahaya api berpendar di lorong itu. Bai Lianhua melangkah pelan menuruni tangga satu per satu.

Ternyata ruang bawah tanah itu dipecah lagi menjadi lorong-lorong. Bai Lianhua merasakan udara di bawah sini sedikit pengap. Lorongnya berkelok-kelok dan temaram. Hanya ada obor api menggantung di sudut lorong. Ada dua lorong, satu di kanan satu di kiri. Bai Lianhua mengikuti firasatnya dan masuk ke lorong berbatu yang panjang. Di sepanjang lorong, ia mendengar bisik-bisik. Ketika hendak berbelok lagi ke lorong berikutinya, ia melihat papan nama.

"Penjara," gumam Bai Lianhua. Hatinya bergetar. Ketika melihat nama ruangan itu, ia segera masuk dan menemukan kamar-kamar kecil terhalang jeruji besi kayu mengisi hampir seluruh ruangan. Bai Lianhua meratapi kamar-kamar penjara untuk beberapa saat. Ia memeriksa semua penjara, namun kebanyakan kosong. Ia berjalan sampai ke ujung. Di dekat pintu, langkahnya tertahan ketika ia menemukan satu sosok sedang duduk membelakangi. Rambutnya panjang dan putih. Seketika lutut Bai Lianhua lemas. Ia menghampiri kamar itu dan berbisik.

"Nenek..."

Wanita itu menoleh pelan. Wajahnya disiram cahaya kuning dari obor di samping pintu. Begitu menatap Nenek Teratai, Bai Lianhua nyaris tidak mengenalinya.

Rambut Nenek Teratai sepenuhnya putih. Wajahnya lesu dan berkerut, nampak lebih tua sepuluh tahun. Ingatan Bai Lianhua kembali ke hari terakhir ketika ia sempat pulang ke rumah dengan hati kesal. Nenek Teratai bilang kalau semua ilmu yang ia pelajari tidak akan berguna kalau ia tidak mencapai Tingkat Empat. Apalagi ketika ia tidak bisa melepaskan keluarganya. Saat itu Bai Lianhua kecewa dengan kata-kata dingin Nenek Teratai. Namun Denghou bilang kalau Nenek Teratai mengatakan itu karena ia sadar beban yang ditanggung Bai Lianhua terlalu berat dan ia sudah terlalu terlambat untuk menghentikan Bai Lianhua.

Kini, setelah mengingat itu semua, Bai Lianhua amat menyesal telah meninggalkannya.

"Xiao Hua... kau... bagaimana bisa..? Di luar ada banyak penjaga..."

Air mata Bai Lianhua menetes. Satu per satu membanjiri pipinya. Ia tidak bisa berkata-kata untuk beberapa saat karena penyesalan, kekecewaan dan kesedihan meledak di saat yang bersamaan. Bai Lianhua menyesal karena ia tidak menurut Nenek Teratai, dendam terhadap Bai Naxing kini nyaris tidak bisa dihentikan. Rencana awalnya ia ingin membebaskan Nenek Teratai, tapi apa setelah itu? Bai Lianhua hanya bisa mencapai Energi Alam Bebas di momen-momen tertentu. Sesungguhnya ia sendiri tahu kalau ia tidak akan bisa meninggalkan dendamnya begitu saja.

Sudah berapa nyawa yang ia renggut malam ini?

Sudah sebanyak apa kegelapan yang mulai mendaki puncak hatinya?

Setelah ayahnya meninggal, apakah Bai Lianhua bisa diam saja?

"Nenek, ayo kita pergi. Ayo kita keluar dari sini." Bai Lianhua menyeka air matanya dan bangkit berdiri. Ia memusatkan tenaga ke ujung jari dan hendak memutuskan rantai yang mengikat pintu kamar. Namun tenaga Bai Lianhua tidak cukup. Tenaga dalamnya hanya menabrak rantai dan membuatnya bergemerincing sekali tanpa putus.

Bai Lianhua tertegun. Ia mencoba sekali lagi.

"Xiao Hua, percuma," sahut Hua Linxing putus asa, "rantai itu sudah dimantrai dengan pusaka. Tenaga dalammu tidak akan cukup."

"Tidak mungkin." Bai Lianhua terus mencoba sampai hatinya berubah sekeras batu. Tapi rantai itu lagi-lagi hanya bergemerincing tanpa putus.

"Xiao Hua, kau pergilah."

"Tidak! Aku tidak akan pergi! Aku harus mencari kunci itu. Pasti ada di sekitar sini." Ketika Bai Lianhua hendak bangkit dan pergi mencari kunci, Nenek Teratai mencegah.

"Xiao Hua, dengarkan aku untuk yang terakhir kalinya." Kata-kata Nenek Teratai terdengar menusuk.

"Kau bukan lawan mereka. Kau belum cukup kuat," suara Hua Linxing terdengar lemah dan pelan. Bai Lianhua mendekati sel.

"Apa maksudmu? Kenapa kau masih tidak percaya padaku?"

Mata Hua Linxing bergetar, ia membuang wajah. "Aku percaya. Bahkan terlanjur percaya hingga aku tidak memiliki kekuatan untuk mencegahmu menjadi lebih menderita."

Bai Lianhua sudah tahu kalau Nenek Teratai akan mengatakan itu. Ia menahan gelagak yang menyangkut di tenggorokannya dan memilih mendengarkan.

"Dulu aku menurunkan titah dan giok lotus untuk mencari Pendekar Naga adalah karena aku bisa merasakan energi murni di dalam tubuhmu sama kuatnya seperti gadis kecil yang kumimpikan malam itu. Malam ketika aku dilumpuhkan dan nyaris bunuh diri. Aku selalu percaya pada Dewa Lotus yang mendatangiku dalam mimpi. Hingga hari ini, aku tidak pernah menyesal pernah menurunkan perintah itu padamu. Hanya saja, aku tidak bisa melempar beban itu padamu terus-terusan. Semakin besar, masalah keluargamu semakin mengusik dirimu. Aku sadar, ternyata mimpi itu tidak pernah selamanya benar.

"Kau gadis yang kuat, tapi kau tidak ditakdirkan untuk ini. Sementara aku, memaksakan keadaan karena aku sudah tidak berdaya."

"Kau bukan Dewa, Nek. Kau tidak berhak mengatakan aku tidak ditakdirkan untuk mencari Pendekar Naga. Kita pasti bisa menemukannya. Kita pasti bisa membalaskan dendam Sekte Tengkorak dan menjelaskan pada kekaisaran bahwa legenda tentang pendekar keliru. Mereka tidak perlu lagi membakar kita, dan kita tidak perlu lagi bersembunyi dari kebenaran yang sebenarnya kita miliki."

Bai Lianhua tidak pernah melihat Nenek Teratai menyerah. Ia hampir putus asa dan tidak menyangka kalau perasaan ini akan mendatangi dirinya. Perasaan takut—sama seperti ketika ia pertama kali kehilangan ayah.

Ia takut kalau ia akan kehilangan Nenek Teratai.

"Lalu bagaimana dengan Gao Renwei dan Bai Naxing? Kau bisa melepaskannya? Kau bisa melupakannya? Xiao Hua, kau mirip seperti Bai Junhui. Kau melangkah dengan arah hatimu. Tidak ada kebenaran dalam dirimu, yang ada hanya kepuasan. Dan tidak semua hal bisa memuaskan kita. Apalagi dendam."

"Ayah sudah meninggal. Itu semua karena Gao Renwei dibunuh oleh Bai Naxing. Setelah hampir sepuluh tahun hati ayah tetap pada Gao Renwei, aku selalu menjaga perasaannya. Tapi ketika Bai Naxing merenggut itu semua dariku, aku tidak bisa diam saja, nek. Bai Naxing membunuh ibunya sendiri dan ayah... ayah..." ucapan Bai Lianhua terputus. Tenggorokannya tersekat, ia tidak bisa melanjutkannya.

Hua Linxing menatap tulus, "Xiao Hua, aku seumur hidup telah mengubahmu menjadi seseorang yang keras. Pada ayahmu sajalah kau menurut hatimu. Aku sudah membuatmu kehilangan hati dan mengabaikan orang-orang yang kau sayang. Sekarang, aku tidak cukup waktu untuk mengucapkannya, tapi... selagi kau bisa, balaskanlah dendamnya. Jangan kau tunggu sampai sepertiku."

"Nenek, kenapa kau bilang begitu? Aku akan mencoba untuk tidak—"

Hua Linxing tersenyum kecil. "Sekarang kau bukan lagi gadis kecil. Aku menyerahkan hidupmu, untuk hidupmu. Kelak, jangan melakukan penyesalan lain lagi. Oke?"

Bai Lianhua merasakan hidungnya beringsut. Ia mengulurkan tangan dan memegang Nenek Teratai. Meratapi rambutnya yang berubah putih karena setiap tahun hasil kultivasi itu tidak pernah membuahkan apapun dalam memulihkan tenaga dalamnya. Nenek Teratai sudah kehilangan itu semua sejak awal Organisasi Pendekar merenggutnya.

Dendam.

Apakah rasanya akan selalu sepahit ini? Apakah ia akan menyangkut seperti paku yang tidak lepas jika tidak dicungkil?

"Pergilah. Akan ada petugas sebentar lagi. Kau tidak boleh terlihat."

Bai Lianhua merenggut tangan gurunya erat-erat. "Jika mereka ingin menangkapku, maka aku akan melawan mereka sem—"

"Menurutlah. Kau bisa melawan mereka, kau bisa membalaskan dendam mereka semua di saat yang tepat. Tapi bukan sekarang." Hua Linxing menarik tangannya secara paksa, dan mundur ke sudut kamar sel. Dengan senyum pahit bertengger di bibirnya, Bai Lianhua merasakan sesuatu seolah menghujam jantungnya.

Dibakar.

Benarkah Nenek Teratai akan merelakan dirinya dibakar?

"Tugasku di dunia sudah selesai. Kau akan menjadi satu-satunya murid yang tidak akan pernah kulupakan."

"Nenek... kau tidak boleh..."

Dari lorong terdengar suara langkah-langkah. Bai Lianhua terkesiap dan mematung menatap wanita tua itu. Separuh hatinya terasa hampa. Ada sesuatu yang kembali menyergap pandangan Bai Lianhua hingga ia merasakan panas yang begitu luar biasa dalam hatinya. Kenangan-kenangan itu pecah dalam bayangannya.

"Pergilah."

Bai Lianhua tak sanggup mengangkat dirinya. Ia mencengkeram sel kayu erat-erat. Dengan satu gerakan, Nenek Teratai berteriak panjang. Air mata Bai Lianhua menetes. Tanpa melihat kematiannya, Bai Lianhua sudah bisa melihat semua luka dan penyesalan itu terbakar dalam api keputusasaan.

Petugas di lorong berlari.

Bai Lianhua tidak mau pergi.

Tapi untuk terakhir kalinya, ia ingin menjadi murid yang patuh. Sekali saja, sebelum ia benar-benar memutuskan semuanya, ia ingin penyesalan itu tidak lagi tanggal seperti sebelumnya.

Dengan napas sesak, Bai Lianhua bangkit. Ia membuang wajah, membiarkan air mata kembali bergulir. Tidak mungkin ia bisa tidak bisa menyelamatkan Nenek Teratai. Ini bukan sebuah perpisahan.

Ini bukan akhir.

Bai Lianhua keluar dari pintu samping. Tepat pintu tertutup, petugas memasuki lorong penjara.

"Mulai sekarang, jaga dia dua puluh empat jam! Jangan sampai ada yang meninggalkannya lagi. Paham?!"

Hati Bai Lianhua seolah tersayat ribuan belati. Ia menatap langit cerah. Dalam hati bertanya pada luka-luka yang hanyut dalam tangis tanpa suara.

Apakah ini akhirnya?

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro