Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

I. Chapter 25 : Nasib Pelukis Tampan


Dua hari setelah Bai Junhui melukis di taman itu, kondisinya kembali melemah. Bai Lianhua selalu di rumah dan merawatnya. Hari ini toko Yao Yupan tutup. Kunjungan tabib setiap hari kelima selalu membawa kabar menegangkan. Karena tidak suka mendengar suara hatinya yang suka berprasangka buruk, Bai Lianhua pun pergi ke jembatan sungai di pinggir tebing dan menunggu sampai tabib pergi. Hati kecil Bai Lianhua berharap kalau kabar tabib kali ini merupakan kabar baik. Ayahnya akan segera sembuh.

Segera setelah Bai Lianhua pulang dari jembatan sungai, ia bergegas ke rumah dengan harapan bisa memikirkan rencana untuk menghadap Bai Naxing. Meski adik tirinya itu nyaris setinggi langit—karena hendak menjadi calon permaisuri, Bai Lianhua tidak peduli. Ia harus merencanakan pembalasan. Tapi sebelum pikiran Bai Lianhua bersih dari segala sesak di dada, dari pintu kediaman rumahnya, seorang wanita—tetangga rumahnya, berseru panik dengan mata membelalak.

"Lianhua! Lianhua! Cepat bantu ibumu! Dia—dia—" dengan kegugupan yang diserukan begitu, terang saja hati Bai Lianhua semakin gelisah. Ia melihat ada beberapa orang berdiri di depan ambang pintu rumah. Bai Lianhua mendesak masuk. Pikirannya semakin semerawut waktu ia berjalan ke pinggir kamar tempat ayahnya berada. Ketika ia berlari, dari lorong terdengar suara wanita menangis. Ia kenal betul suara itu.

Mendadak, jantungnya berdebar dan tangannya saling mengepal. Ketika ia tiba di bibir pintu, ia berhenti dan mematung.

Ibunya sedang menunduk di samping ranjang, menangis keras sementara seorang tabib berdiri di sana sambil berkaca-kaca.

"Aku sangat menghormati ayahmu meski beliau sempat membuat dirinya pernah membuat kesalahan. Waktu kau masih kecil, ayahmu adalah sosok pelukis yang paling dikagumi bahkan memiliki impian yang besar. Tapi... percayalah, aku sudah berusaha semampuku dan tidak pernah menemukan obat yang cocok untuk memulihkan ayahmu kembali..."

Saat tabib berkata begitu, pandangan Bai Lianhua sudah buram oleh air mata. Ia melihat ayahnya berbaring dengan mata terpejam dengan bibir mengulas senyum. Sementara ibu memeganginya dengan gemetar dan air mata bercucuran. Apa yang terjadi? Apa maksud tabib?

Kepala Bai Lianhua terasa kosong. Napasnya sesak dan kebenaran yang benar-benar hinggap dalam dadanya sudah menusuk hatinya lebih dari senjata apapun.

"Ayah...?" Bai Lianhua mendengar dirinya bergumam lirih. "Apa yang terjadi?" Di pinggir ranjang, Yao Yupan meraung keras. Buat apa Bai Lianhua bertanya lagi?

"Ayahmu... sudah meninggal."

Detik itu, lutut Bai Lianhua seperti ditembak batu yang amat keras hingga ia terperosok dan jatuh ke lantai. Matanya terpaku pada sosok ayahnya yang berbaring seperti tidur. Perutnya tidak naik turun, tanda tidak ada napas yang bergerak di sana. Ibunya terus menangis. Sangat keras sampai kepala Bai Lianhua serasa dijejal mati oleh kenyataan.

"Bukankah ayah kemarin... kemarin ayah sudah sehat... kemarin ayah sudah..." tenggorokan Bai Lianhua tercekat. Ada emosi yang tertinggal dan ada ledakan yang sangat menyengat matanya.

Ia ingin menjerit.

Tapi tidak bisa.

Sejak Gao Renwei mati, Bai Junhui terguncang hebat dan Bai Lianhua jelas tahu bagaimana perjuangan ayahnya menghadapi kenyataan itu. Putri kesayangannya yang tidak mencintainya, membunuh ibunya sendiri. Sementara itu spekulasinya, tapi—Bai Junhui dan tabib sama-sama tahu kalau hidupnya tidak akan lama lagi.

Bahkan Bai Lianhua sendiri pun merasa demikian.

Ia hanya menolak kenyataan itu dan berpikir positif—

Pelajaran lain yang harus Bai Lianhua hadapi di hari ketika dunia ingin melenyapkan orang-orang yang ia sayang, hatinya yang terbakar kini sudah bukan lagi berubah menjadi abu. Melainkan menjadi batu yang membuat Bai Lianhua semakin meneguhkan hati. Kalau ia tidak akan pernah menjadi lemah lagi.

*

Dalam emosi yang masih berkabut, dada Bai Lianhua terasa seperti dibakar oleh lidah-lidah api neraka. Bayangan akan wajah nenek teratai beradu dengan wajah ayah yang kemarin tersenyum dan mengusap kepalanya. Dalam hati, Bai Lianhua meminta maaf pada Nenek Teratai karena ia tidak bisa menepati janji yang pernah dikatakan gurunya.

"Janganlah menaruh dendam. Kalau kau ingin semuanya selesai, buatlah hatimu sedamai ibumu. Yang bisa merelakan. Yang bisa menerima."

Sayangnya, Bai Lianhua bukan ibunya. Ia tahu selama ini—ketika ia melihat perceraian ibunya, ia memendam begitu banyak kekecewaan sekaligus kebencian terhadap Gao Renwei. Tapi selama ia tahu kalau wanita itu adalah yang diinginkan ayahnya, ia tidak bisa melakukan hal lain selain membantu ayahnya. Ia masih sadar kalau hal terpenting dalam kehidupan adalah menjaga orang-orang yang kita sayang—walau itu harus mengorbankan apa yang kita inginkan.

Bai Lianhua rela melihat Bai Naxing lebih sering satu atap dengan ayahnya, ia bahkan iri dengan Gao Renwei yang begitu cantik hingga membuat ayahnya bertekuk lutut pada wanita itu. Mengalahkan ibunya sendiri, Yao Yupan. Tapi tidak pernah terlintas dalam benak Bai Lianhua ingin membalas kesalahan yang dilakukan ayahnya—kekecewaan yang ia rasakan untuk melihat ayahnya menghilang.

Tidak pernah sekalipun ia ingin membalaskan apa yang telah ibunya alami pada ayahnya. Karena ia sendiri tahu kalau itu tidak akan menyelesaikan apa-apa. Tapi—ketika itu datang pada seorang wanita yang sampai sekarang—membuat hidup Bai Lianhua tersiksa seperti ini, apakah ia bisa selamanya hidup untuk merelakan? Jika merelakan adalah menjadi lemah dan mengalah, Bai Lianhua tidak ingin melakukan itu. Dan ia memohon ampun pada nenek teratai karena sudah tidak bisa menahan semua luka ini.

Kebencian dan kekecewaan yang tadinya terkubur dalam-dalam akhirnya pecah malam ini. Jika Bai Lianhua belajar banyak ilmu silat dari nenek teratai hanya untuk mati dan melawan takdir, maka ia rela. Asal hatinya tidak lagi sepanas ini. Asal air matanya bisa berhenti membuat dadanya sesak.

Tanpa sadar, langkah Bai Lianhua sudah mencapai gerbang perbatasan istana kota Li Ming. Dia masih memegang kuas milik ayahnya. Sementara sebelah tangannya menumpu untuk melompat ke dinding perbatasan yang tidak dijaga, ia pun melangkah ringan dan mengendap-endap.

Sudah hampir tengah malam. Bai Lianhua tidak tahu apakah Organisasi Pendekar ada di sekitar gerbang perbatasan. Tapi ketika ia tidak melihat penjaga yang lewat, buru-buru Bai Lianhua menyelip di antara rumah-rumah dan memanjat atap. Mulai berkamuflase di antara langit malam.

Istana kota Li Ming selalu punya pemandangan yang menakjubkan. Meski selama ini ia sering memantau kediaman Du, tapi pemandangan itu tidak pernah ada artinya. Tapi sekarang, ketika ia berdiri di atap paviliun sebuah kediaman, ia memejamkan mata. Merasakan angin yang menghembus pelan membelai kelopak matanya yang masih basah oleh air mata. Pipinya yang terasa kaku karena bekas air mata yang tidak diusapnya. Aroma itu terasa meringankan sedikit beban dalam hatinya.

Aroma itu...

Aroma balas dendam.

Bai Lianhua membuka mata. Pelan-pelan ia memfokuskan diri dan menatap dari kejauhan kediaman istana Li Ming berada.

Sekitar lima kilometer dari pinggiran kota. Itu, bukan tempatnya? Di bawah pendar lampu-lampu dan lampion yang menerangi sudut dan blok-blok istana, dari luar, gerbang berbentuk persegi panjang memagari batas luar dan daerah istana. Paviliun Li Ming berdiri tegak, dijatuhi sinar-sinar kuning lampion yang mengelilingi atapnya.

Dari kejauhan, Istana Li Ming sangatlah indah.

Tapi sayangnya, tidak akan lama lagi, tempat itu hanya akan menjadi saksi balas dendam.

Kaisar Li Jianlong seminggu lagi akan menurunkan dekret. Hiruk pikuk dan sukacita putra mahkota yang akan naik menjadi kaisar sudah mengujung di setiap kawasan di sekitar Li Ming. Euforia yang menyangkut dalam benak Bai Lianhua itu entah kenapa berubah menjadi amunisi baru dari hatinya yang terbakar dendam.

Ia tidak akan membiarkan kebahagiaan itu membakar kota ini.

Ia tidak akan membuat Na Xing, mendapatkan apa yang dia inginkan.

Sebelum semua ini terbalas, Bai Lianhua rela menghabiskan waktunya lagi untuk mengintai adik tirinya itu.

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro