I. Chapter 16 : Bai Naxing
Pekan musim panas, matahari menyinari dengan ganas. Orang-orang memegang kipas, mengayunkan angin ke wajah mereka yang berkeringat. Bai Lianhua tiba sepekan setelah ia berkuda lima hari penuh ke Istana Kota. Ia belum pernah kembali lagi ke sini dan entah bagaimana dengan nasib kuda dan pekerjaan yang sempat ia tinggalkan. Tapi ia kembali mampir ke kedai teh dan menyapa si bos.
"Bos, masih ingatkah kau denganku?" Bai Lianhua menampakkan wajahnya yang kusam. Ia memakai topi jerami dan menerima secangkir teh yang ia pesan. Pria bertubuh bongsor sedikit mengernyit, lalu matanya membelalak waktu menyadarinya.
"Adik kecil! Eh, apa yang terjadi padamu waktu itu? Kenapa langsung pergi?"
"Ah, waktu itu ada urusan mendadak. Maaf ya aku harus pergi begitu saja."
"Tidak masalah. Nampaknya kau kemari tidak untuk meminta pekerjaan..." si bos memperhatikan gaya berpakaian Bai Lianhua. Walau tidak semewah orang-orang di sekitar Istana Kota, tapi Bai Lianhua yang remaja tumbuh cantik dan menawan. Kulitnya putih bersih dan matanya besar.
"Tidak-tidak. Aku hanya mampir sebentar untuk menyapa. Aku masih ada urusan." Bai Lianhua bangkit.
"Eh? Baik-baik. Kau uruslah urusanmu. Kalau ada sesuatu, kami masih bisa menerima satu pelayan cantik sepertimu!"
Bai Lianhua hanya tertawa lalu ia pergi ke luar kedai teh. Tak jauh dari kedai, tempat penginapan Bai Lianhua dulu tinggal, ia menitipkan kudanya dan masuk ke dalam untuk menyapa. Si pemilik penginapan ternyata masih ingat dengannya. Bai Lianhua bilang ia akan menitipkan kudanya lagi dan membayar satu kamar untuk malam ini. Setelah dari sana, ia berjalan ke jalan utama sampai menemukan toko kain Gao Renwei berada.
Meski cuaca panas, keramaian tidak mencegah kesibukan kota. Di ujung jalan, toko kain Gao Renwei masih berdiri apik. Bai Lianhua bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang bisa ia dengar jika pergi mendekat. Jadi ia melipir ke jalan kecil di antara toko-toko dan mengintai.
Sayangnya tidak ada yang berbicara mencurigakan. Semuanya obrolan biasa dan sesekali orang ada yang menyebut masalah pengangkatan Putera Mahkota. Bai Lianhua mengabaikan itu dan langsung menuju Kediaman Du.
Jantungnya mendadak berdebar-debar. Entah kenapa selama perjalanan satu minggu dari Sekte Bai, ia sudah memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Bisa saja Bai Junhui sudah tidak ada di Kediaman Du, dan dia sudah berhasil menjadi pelukis istana. Tidak lagi tinggal di Kediaman Du. Besar harapan Bai Lianhua seperti itu. Atau, Gao Renwei sudah tidak lagi bersama Bai Junhui dan Bai Junhui mendapat kesempatan lain; misalnya mempunyai toko sendiri di sekitar Istana Kota.
Bai Lianhua memanjat pohon, mengintip dari jurai atap kediaman lalu menemukan seorang pria berkumis sedang duduk di depan sebuah lukisan kasar serba hitam. Seketika Bai Lianhua tertegun.
Ayahnya masih di sini?
Hati Bai Lianhua mendambakan temu. Ketika kakinya hendak turun, dari pintu gerbang, seseorang berjalan masuk. Nyaris saja, Bai Lianhua menghentikan pergerakannya dan mengamati seorang gadis yang kelihatan lebih muda darinya menghampiri Bai Junhui.
"Ayah, mereka tidak suka arak Embun Pagi. Rasanya terlalu hambar. Kau ini bagaimana, sih? Katanya arak itu arak paling bagus untuk pelanggan? Gara-gara aku merekomendasikan arak itu, banyak pemuda-pemuda yang pergi dari toko dan aku kena rugi!"
Bai Naxing?
Seketika Bai Lianhua menajamkan pendengarannya. Bai Junhui menghentikan aktivitasnya sesaat lalu menatap Bai Naxing beberapa saat.
"Xiao Xing, kau sudah bekerja hampir dua tahun di toko arak tersebut. Setelah tiga tahun berlatih menjadi pelayan, apakah kau tetap bersikeras ingin membantu ibumu? Kenapa kau tidak berhenti saja dari tempat seperti itu?"
Mata Bai Naxing melotot. "Ini semua gara-gara kau! Kalau ibu tidak menikahimu hanya karena kediaman ini dan menyembunyikanmu karena malu—lihat saja, sudah berapa tahun kau melukis lukisan hitam itu? Kata orang kau pelukis handal dari Kampung Shanyi. Nyatanya mereka hanya membual dan kau sama-sama menipu. Cih!"
Nyaris saja Bai Lianhua hendak melemparkan jarum perak dari saku tangannya. Tapi ia menahan gerakan itu karena ayahnya menyentuh pundak Bai Naxing dengan lembut. Entah kenapa, melihat ayahnya memperlakukan Bai Naxing demikian lembut membuat dirinya iri. Ia juga mau ditatap begitu oleh sang ayah. Sudah lama sekali ia tidak mendapat perlakuan seperti itu. Waktu ia melihat orang lain justru mendapat apa yang ia inginkan, hatinya langsung bergetar iri.
"Xiao Xing, aku tidak menipu. Kau jelas-jelas tahu ini semua perbuatan ibumu. Aku tidak boleh keluar sudah hampir lima tahun pun demi kebaikanmu."
"Demi kebaikanku! Haha, benar sekali. Setidaknya aku bisa menghasilkan uang tanpa menerima malu darimu. Kau selalu bilang bercita-cita bakal menjadi pelukis istana, tapi itu semua tidak akan pernah terjadi. Aku heran kenapa ibu bisa menjadi suami payah sepertimu."
Rasanya Bai Lianhua ingin memelintir mulut Bai Naxing. Bagaimana dia bisa sekasar itu pada orangtua? Bai Lianhua tidak pernah mendengar seorang anak perempuan secantik itu bicara kasar. Ia meratapi Bai Naxing yang berbalik hendak pergi tapi ditahan oleh Bai Junhui.
"Kelak kau akan tahu kalau semua ini hanyalah aturan ibumu. Ibumu yang tidak pernah percaya padaku dan ibumu yang malu terhadapku. Dia bilang aku orang kampung dan bakatku tidak pernah cukup untuk memuaskan siapapun. Tapi aku tahu kalau aku tulus menyayangimu."
Bai Naxing menepis pegangan ayahnya. Lalu pergi begitu saja dari rumah tanpa mengunci pintu. Gadis itu pergi dengan kereta kuda yang sejak tadi terparkir di depan rumah. Selepas Bai Naxing pergi, Bai Lianhua turun dengan gerak lembut dan tanpa suara dari atas pohon.
"Ayah, apa kabarmu baik?"
Bai Junhui berbalik, sedikit terkejut, ia melebarkan matanya. "Xiao Hua!?" Bai Lianhua mengangguk. Lalu tanpa mengatakan apapun ia menarik putrinya ke dekapan.
"Terima kasih pada para Dewa, kau kembali..." Bai Junhui menatap anaknya haru. Bai Lianhua juga tak bisa berkata apa-apa selain menatap ayahnya yang sudah berbeda jauh dari lima tahun yang lalu.
"Bagaimana bisa kau di sini? Apa yang terjadi? Bagaimana keadaan ibumu?"
Bai Lianhua mendengar pertanyaan itu, tapi matanya belum teralih dari bagaimana kumis sang ayah menutupi atas bibirnya, tubuhnya yang makin mengurus dan rambutnya yang mulai memutih. Ada kerut samar di sekitar matanya dan tatapannya putus asa.
Sepertinya setengah dari harapan Bai Lianhua tidak terwujud sama sekali.
"Ayah, selama ini kau berdiam diri di sini? Kenapa kau tidak ada niat untuk keluar? Kenapa kau membiarkan para iblis seperti mereka menahanmu di sini?"
Bai Junhui tahu putri semata wayangnya itu mengkhawatirkannya. Jadi perlahan, ia menceritakan.
Selama lima tahun terakhir sejak Bai Lianhua pergi, memang benar Bai Junhui tidak pernah keluar dari kediaman selain berharap cemas kalau Bai Naxing kembali. Sesekali ia setiap malam ia mengendap-endap keluar rumah tapi Gao Renwei tahu dan mengikat Bai Junhui di luar sampai ia kedinginan. Kekejaman itu sesekali malu untuk Bai Junhui ceritakan, tapi Bai Junhui selalu bilang kalau alasan pertama ia bertahan adalah karena ia khawatir pada Bai Naxing.
"Kenapa kau khawatir pada anak tidak sopan santun seperti itu? Apa bagusnya dia?"
"Xiao Hua, bersyukurlah kau dibesarkan oleh ayah dan ibumu yang baik hati dan tidak pernah berkata kasar atau memaksakan kehendak. Bai Naxing bukan anak yang beruntung. Sejak kecil ia tidak punya ayah dan ibunya tidak pernah memedulikannya. Yang Gao Renwei pedulikan selama ini hanyalah uang. Jadi selain aku, siapa lagi yang bisa memperhatikannya? Walau kesannya aku bodoh, tapi aku peduli. Meskipun aku gagal dan tidak pernah nampak kesempatan untukku lagi mencoba menjadi pelukis istana, tujuan itu perlahan-lahan berubah karena aku merasa kasihan pada Bai Naxing."
Kasihan dan bodoh hanya setipis benang. Bai Lianhua tahu ayahnya sejak dulu memang baik hati, tapi sebagian diri ayahnya—sebagian jiwa seninya—percaya pada tuntutan perasaan. Jadi tidak pernah mudah untuk melihat bahwa apa yang ayahnya lakukan di sini justru sia-sia.
"Kalau kau tidak berencana menjadi pelukis istana, bagaimana kalau kita pulang saja? Buat apa kau melindungi dan berbaik hati pada Bai Naxing jika dia sendiri tidak sopan padamu. Ayah, aku mohon padamu. Kembalilah. Aku masih membutuhkanmu." Bai Lianhua menggenggam erat tangan sang ayah.
Bai Junhui menunduk. Wajahnya penuh rasa bersalah.
"Xiao Hua, ayah sudah bersalah banyak padamu dan ibumu. Bagaimana kalian bisa memaafkan ayah begitu saja? Ayah pikir, suatu hari nanti kau akan datang untuk menjemput ayah lagi. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, ayah tidak ingin kau datang. Ayah sadar betapa kejamnya ayah dulu meninggalkanmu yang masih kecil sendirian untuk menjaga ibu. Tanpa memikirkan kehidupanmu berkembang bagaimana. Maka itu ayah ingin di sini, membiarkan ayah menghukum diri ayah sendiri."
Sifat Bai Junhui memang mudah terpengaruh, tapi ia sendiri sadar kalau kesalahan harus dibayar dengan hukuman. Terlebih pada orang-orang yang ia sayang.
"Tidak usah kau pikirkan masalah itu. Aku dan ibu sudah memaafkanmu sejak dulu. Kalau kau kembali, bukankah semua penderitaanmu akan usai? Kau tidak perlu memikirkan Bai Naxing lagi. Dia bukan salahmu. Tapi ibunya."
"Tapi..."
"Ayah, ayo kita melihat festival lampion dan musim gugur lagi." Bai Lianhua menatap ayahnya berkaca-kaca. Bai Junhui sadar kalau rindu yang mengikat dirinya tidak pernah terputus. Bukan hal mudah untuk memutuskan pergi begitu saja setelah lima tahun tinggal di sini. Jadi Bai Junhui bilang ia akan memikirkannya semalaman.
Bai Lianhua pun memberi waktu.
Keesokan paginya, sebelum Bai Lianhua kembali ke Kediaman Du, ia melihat Bai Naxing sedang menari dengan gerak gemulai di depan Toko Arak dan Gadis Musim Semi. Ada panggung kecil di depan toko. Dengan papan iklan besar bertuliskan. 'Pertunjukkan gratis! Bagi siapapun yang membeli arak hari ini akan mendapat potongan harga sepuluh persen!" Bai Lianhua memandangi papan itu lalu melihat ke arah Bai Naxing yang bergerak dengan gemulai.
Jadi benar, kan? Lima tahun yang lalu Gao Renwei menjual Bai Naxing menjadi penghibur. Hingga sekarang, gadis itu tumbuh seperti bunga liar. Cantik dan memesona. Sayangnya tumbuh di tanah kering yang sering kali diabaikan. Betapa kasihannya dia.
Setelah selesai pertunjukkan, Bai Lianhua mendekat dan mencoba menghampiri Bai Naxing. Di belakang panggung ada beberapa penari latar yang berpakaian sama. Tapi karena Bai Naxing bintang utamanya, Bai Lianhua dapat dengan mudah menemukannya berdiri tak jauh dari depan toko. Sedang memandangi wajahnya sendiri di cermin yang ada di tangannya.
"Xiao Xing?"
Bai Naxing menoleh terkejut mendengar namanya disebut 'xiao'. Ketika melihat Bai Lianhua, keningnya mengerut samar.
"Siapa?"
"Tidak penting aku siapa. Tapi, terima kasih sudah membuat ayahku bertahan di rumah itu dan memedulikanmu."
Bai Naxing melirik ke samping kiri dan kanan lalu menyeret Bai Lianhua ke sudut toko yang sepi.
"Apa yang kau bicarakan? Kau putri dari ayahku?"
"Ya. Dan sekarang, aku akan membawanya pulang kembali."
Bai Naxing terkekeh. "Baguslah. Aku pernah mendengarnya kalau dia punya putri kandung di Kampung Shanyi. Aku dengan senang hati membiarkanmu. Bawa saja pria tidak berguna itu. Aku bosan melihatnya di teras rumah. Mengotori kediaman kami yang agung saja." Ia berkata sambil mengendikkan bahunya.
"Begitu, ya? Lalu apa bedanya dengan dirimu yang menari-nari seperti menjual paras dan tubuhmu sendiri di atas panggung tadi?"
Bai Naxing menoleh tajam dan ia hendak menampar Bai Lianhua. Tapi gerakan itu mudah ditepis oleh Bai Lianhua. Ia tersenyum miring.
"Dibanding ayahku, kau hanya manusia paling menyedihkan. Sama seperti ibumu. Kau tahu, dulu aku berpikir mempunyai adik tiri sepertimu adalah hal yang menyenangkan. Aku diam-diam mencari tahu apa yang ibumu lakukan padamu di kedai ini. Ternyata dia menjualmu dan membawamu entah ke mana. Sekarang, waktu aku melihatmu berdiri di sini dengan nasib seperti pelacur, aku berharap kau bisa lepas dari rencana ibumu sendiri. Aku bersungguh-sungguh, Xiao Xing."
Bai Naxing melotot. Ia hendak menyerang lagi tapi Bai Lianhua cepat-cepat pergi dari sana. Rasa kesalnya kemarin waktu melihat ayahnya diperlakukan kasar begitu terbayar sudah. Sekarang, ia tinggal membawa ayahnya pulang. Karena entah bagaimana, Bai Lianhua yakin kalau ayahnya tidak akan menolak.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro