I. Chapter 10 : Istana Kota
Nenek Teratai sudah mulai menyendiri untuk berkultivasi di hutan terdalam rawa. Bai Lianhua hanya meninggalkan sepenggal surat untuknya di pondok sebelum ia pergi ke Istana Kota. Ia juga tak lupa mampir ke kediaman Sekte Macan Salju untuk bertemu Denghou.
"Ke Istana Kota? Sendirian?" tanya Denghou. Hari sudah malam, tapi Bai Lianhua justru sengaja pergi malam-malam supaya dia bisa sepuasnya menggunakan ilmu meringankan tubuh. Ilmu yang bisa membuat dirinya terbang dengan satu hentakan kaki. Dengan ilmu itu, ia bisa menghemat waktu dan uang. Tidak perlu menyewa kuda.
"Ya. Urusan keluargaku sedikit rumit. Nanti aku ceritakan setelah aku pulang."
"Adik Hua, bawalah kuda ini. Jangan pergi dengan ilmu ringan tubuh. Kau bisa ketahuan Organisasi Pendekar."
Bai Lianhua mengernyit tipis. Ia menerima kuda yang dibawa Denghou dari depan pintu gerbang kediaman sekte.
"Memangnya ilmu ringan tubuh bisa dideteksi sebagai energi murni?" tanya Bai Lianhua.
"Tentu saja. Organisasi Pendekar menangkap para pendekar dengan cara menunjukkan kekuatan energi dalamnya. Ilmu ringan tubuh sendiri menggunakan energi murni. Walau tidak memakai tenaga dalam, tapi tetap saja, satu kategori itu sudah membuatmu masuk ke perangkap mereka."
"Jadi selama ini kalian tidak pernah melompat di udara hanya untuk menghemat waktu?" tanya Bai Lianhua—yang setiap malam hampir berlatih ilmu ringan tubuh di pohon-pohon rawa bersama Nenek Teratai.
"Tentu saja tidak. Semua sekte pendekar diam-diam mengajarkan ilmu energi murni dan tenaga dalam. Kami hanya berpura-pura mengajarkan mereka ilmu bela diri dan bertarung sederhana."
"Kalau begitu, kalian juga tahu kalau sebetulnya Legenda Tiga Langit yang sudah menjadi sejarah hampir dua ratus tahun di negara ini itu sebenarnya keliru?"
Denghou mengangguk.
"Aku dibesarkan oleh guru Laozi. Dia adalah salah satu keturunan pendekar yang selamat dari kejaran Kaisar Li Gongyi waktu itu. Jadi aku tahu apa yang terjadi dan bagaimana kekaisaran menutupi kebenaran."
Setelah menceritakan itu, Bai Lianhua pun memasukkannya dalam pikiran dan menerima kuda. Di jalan menuju Istana Kota, Bai Lianhua harus melewati pasar Huang, jalan terbuka di antara tebing-tebing tinggi antara Pegunungan Zainan dan Gunung Shen, lalu baru tiba di dinding perbatasan Istana Kota.
Hari sudah hampir pagi. Bai Lianhua jarang berkuda. Tapi ia pernah diajarkan berkuda oleh sang ayah. Jadi ia tahu bagaimana caranya supaya pinggangnya tidak pegal-pegal. Ia menggunakan energi dalam untuk mengatur saraf-saraf supaya tidak tegang. Setelah hampir empat jam berkuda, tanpa tidur dan tanpa makan, hari mulai pagi. Bai Lianhua tidak langsung masuk ke dinding perbatasan Istana Kota. Di luar dinding perbatasan, ada beberapa toko kecil penjual makanan. Ada beberapa pedagang juga yang menjajakan barang-barangnya.
Ini kali pertama Bai Lianhua pergi sendirian ke Istana Kota. Waktu umur 5 tahun, Bai Lianhua pernah pergi ke bangunan penting di Istana Kota bersama akademi. Jadi bukan pengalaman asing lagi. Hanya saja, ketika pergi sendiri, Bai Lianhua sedikit merasa ragu. Kadang ia jadi takut kalau ada Organisasi Pendekar yang bisa mengetahui kemampuannya.
Bai Lianhua melipir ke gang sempit dan mengikat tali kuda ke kakinya sementara ia tidur beberapa jam. Selain punggung yang lelah, ia juga mengantuk. Sehabis terlelap beberapa jam, matahari bersinar terang. Toko-toko mulai buka. Keramaian membangunkan Bai Lianhua. Sekarang, tampangnya mirip pengemis. Karena baju putihnya terkena debu sepanjang perjalanan, warnanya jadi kusam dan kotor. Bai Lianhua mempunyai sisa uang. Ia membeli baju yang ada di toko lalu berganti langsung. Ia sempat membeli dua roti untuk sarapan dan menggiring kudanya ke pintu perbatasan.
Denghou berpesan, kalau mau ke Istana Kota harus punya kartu identitas. Untung saja Denghou, dengan segala kebaikannya menjadi kakak seperguruan memberikannya kartu identitas yang dibuat secara resmi menggunakan cap Sekte Macan Salju. Biasanya cap itu bisa digunakan untuk alasan anggota sekte yang ingin menjadi prajurit atau pelayan istana secara sukarela. Untung saja semudah itu. Kalau tidak, Bai Lianhua akan memaksa masuk menggunakan kekuatannya dan pasti, malah jadi sulit.
Di sekitar dinding perbatasan, banyak prajurit berseragam perak dengan topi biru. Itu adalah pakaian prajurit kelas bawah kekaisaran. Sementara di sekitar gerbang perbatasannya, banyak prajurit Organisasi Pendekar yang mengenakan baju besi berwarna keemasan. Bai Lianhua menjaga matanya supaya tidak menatap para prajurit itu lama-lama. Di sekitar akademi sering ada beberapa prajurit itu. Bai Lianhua sangat suka melihat perawakannya. Mereka nampak gagah dan berani. Tapi semenjak tahu kalau sebenarnya mereka jahat, pandangan itu langsung berubah.
"Tolong tunjukkan kartunya, nak."
Bai Lianhua menyerahkan kartu, lalu penjaga gerbang sedikit mengernyit. "Kau masih terlalu kecil untuk pergi ke mana-mana sendiri. Mau apa ke Istana Kota?"
"Mau membeli peralatan senjata baru untuk sekte kami. Katanya di Istana Kota punya banyak tombak bagus. Kebetulan kami sedang—"
"Baik. Silakan lewat." Petugas itu tanpa minat langsung mengusir Bai Lianhua dari antrean dan membiarkannya masuk.
Di balik dinding perbatasan yang besar dan tinggi, pemandangan langsung berubah. Bangunan-bangunan dengan beragam jenis tersebar di satu kota. Di tengah kota, ada pagoda tinggi dan besar. Dari kejauhan, Bai Lianhua bisa melihat aura istana begitu menarik perhatiannya. Soal pusaka yang dimiliki kaisar, besar rasa penasarannya untuk mencari tahu itu sendiri. Dari dalam sini, semua terlihat tenang dan damai-damai saja. Padahal di luar sana, Sekte Tengkorak baru saja meratakan Sekte Lotus demi mencari Pendekar Naga untuk merebut pusaka itu. Orang-orang kekaisaran mungkin tidak ada yang tahu soal itu. Ketika kekacauan di luar sana terjadi, mereka hanya senang-senang tinggal dalam kemewahannya.
Bai Lianhua menarik kudanya sambil menghela napas pelan. Ia tidak boleh memikirkan hal itu dulu sekarang. Tujuan utamanya mencari ayah. Ia harus fokus mencari kebenaran lebih dulu sebelum mengurus masalah Nenek Teratai. Jadi, walau tidak tahu harus memulai dari mana, Bai Lianhua mendekati salah satu toko tembikar dan masuk ke dalam toko untuk bertanya.
"Nona Gao pemilik toko kain... Oh! Maksudmu Gao Renwei?"
Bai Lianhua samar-samar mengingat namanya. "Betul."
"Ah, dia wanita kaya yang tinggal di pusat kota. Kau berjalan dari sini sekitar sepuluh menit ke pusat perbelanjaan. Di sana ada toko kain besar di jalan utama. Begitu melihat, kau pasti tahu."
"Baik. Terima kasih."
Pasar istana kota Li Ming sangat teratur dan jarang ada tawar-menawar. Pembelinya juga orang kelas atas semua. Baju-baju mereka terbuat dari sutra dan dijahit dengan sulaman tinggi. Barang-barang di sekitar istana kota juga mahal-mahal. Walau nyatanya, di pasar ini semua yang dijual hampir mirip seperti di pasar Huang di kampung Shanyi—beberapa tembikar dan mainan kayu, bedanya mereka mematok harga yang sangat mahal.
Meski Bai Lianhua ingin sekali menikmati pemandangan mewah di sekitar jalan utama Istana Kota, ia tidak bisa berlama-lama. Kepalanya sedikit pusing karena masih mengantuk, tapi semangat untuk mencari ayahnya lebih besar dan menggebu-gebu. Ia penasaran kenapa Gao Renwei bisa meyakinkan ayahnya semudah itu. Sambil bertanya-tanya, Bai Lianhua melintasi toko-toko perhiasan, kedai teh, toko kancing, beberapa restoran dan toko-toko lain yang dari luar terlihat sangat berkelas.
Berbeda dengan toko yang ada di Pasar Huang. Mereka bisa menjajakan barang-barang hanya dengan tenda. Tapi di sekitar sini tidak ada tenda sama sekali. Semua ada di dalam bangunan dan teratur. Orang-orang juga berpakaian mewah dan kain baju mereka terlihat impor langsung dari Kota Enshu.
Bai Lianhua tiba di ujung jalan utama. Ia langsung menemukan toko kain dua lantai yang dari luar nampak lumayan ramai. Waktu mau masuk, dari luar, Bai Lianhua menemukan sosok Gao Renwei–-wanita cantik itu, sedang berdiri berkacak pinggang memarahi seseorang. Seketika Bai Lianhua tidak jadi mendekat dan menitipkan kudanya di salah satu toko yang ada di dekat sana. Ia diam-diam menguping dari jarak dekat.
"Maksudmu apa? Kaisar tidak butuh pelukis istana lagi? Yang benar saja! Kau berbohong padaku, ya? Dasar tidak berguna. Pergi dari mukaku sekarang!" Suara Gao Renwei cukup keras untuk bisa didengar para pelanggan yang baru mau masuk ke tokonya. Tapi pelanggan itu tetap saja masuk tanpa menaruh rasa enggan. Padahal Gao Renwei baru saja memarahi seseorang dengan tidak sopan begitu. Seolah mereka sudah terbiasa dengan sikap Gao Renwei.
"Keluarga kaya, ya?" gumam Bai Lianhua teringat kata pemilik toko yang tadi ia temui ketika bertanya.
Nampaknya, semua yang ditunjukkan Gao Renwei sejak kemarin benar-benar palsu. Ini semua sudah cukup membuktikan kalau perkataan ibunya benar.
Setelah menunggu sampai sore, Gao Renwei keluar toko dan pergi ke suatu tempat. Bai Lianhua mengikuti wanita itu diam-diam. Gao Renwei sempat menepi ke sebuah toko arak bernama Toko Arak dan Gadis Musim Semi. Dari luar, toko arak itu kelihatan mewah. Pintu depannya dihias rantai-rantai dari mutiara. Bingkai jendelanya terlihat dari emas karena dicat warna kuning. Dindingnya berwarna merah terang. Nampak sangat mencolok tapi tetap mewah.
Gao Renwei sempat mengobrol beberapa menit lalu kembali berjalan. Setelah mengikutinya, ternyata wanita itu tiba di sebuah kediaman.
Tempatnya cukup sepi. Jadi Bai Lianhua harus sedikit berhati-hati mengendap-endap. Di depan kediaman, ada papan nama keluarga—Kediaman Keluarga Du.
Bai Lianhua mengernyit tipis. Apa ini yang dimaksud kediaman tetap itu? Jadi Gao Renwei sudah mendapatkan apa yang dia mau? Lalu ayahnya ada di mana? Bai Lianhua bukan anak yang gegabah. Walau dia sangat bersemangat, ia tetap tenang dan mengikuti Gao Renwei sampai ke rumahnya. Di samping rumah ada pohon besar. Pohon itu mampu menaungi dua kediaman sekaligus saking besarnya. Bai Lianhua memanjat dan menggunakan ilmu ringan tubuh untuk bertengger seperti burung di dahan kecil yang menjuntai masuk ke atap rumah kediaman Du.
"..sudah kukatakan. Aku mengusahakan segalanya sejak dua hari terakhir ini, tapi tetap saja kaisar tiba-tiba tidak jadi membutuhkan pelukis istana, apa sekarang ini salahku?" suara Gao Renwei membahana.
"Aku tidak peduli. Kau sudah membawaku sampai ke sini, lalu buat apa aku tidak melakukan apapun?"
"Tunggu saja rencanaku—"
"Rencanamu apa? Kau hanya memikirkan uang terus selama dua hari ini!"
Pertengkaran, kah? Bai Lianhua bisa mengenali suara ayahnya sendiri. Walau dari atas sini suara mereka sulit tergapai, tapi pertengkaran itu sengit. Membuat suara mereka berdua menggelegar sampai ke luar rumah. Bai Lianhua refleks khawatir. Kalau tidak sadar sedang menguping, ia pasti langsung turun dan menghajar Gao Renwei.
"Aku tentu memikirkan uang! Siapa yang tahu kalau jaminan berkeluarga masih belum cukup untuk membayar kediaman tetap di sini? Seharusnya kau bersyukur aku mengizinkanmu tinggal di sini dan biar semua rencananya aku yang putuskan. Kau hanya bisa melukis. Sementara aku tidak bisa membiarkanmu berkeliaran di luar kediaman dan menunjukkan suami yang bakatnya tidak begitu luar biasa. Kau bahkan tidak bisa bertemu dengan kesempatanmu sendiri—"
"Kau berbohong padaku, Gao Renwei..." suara ayahnya terdengar pelan. Hati Bai Lianhua seketika bergetar. Tangannya sudah mengepal. Dari atas pohon ia bisa menyaksikan tubuh Gao Renwei bagian belakangnya. Wanita itu mengenakan pakaian mewah, perhiasan yang menempel di tubuhnya. Tapi dia kekurangan uang darimana? Bukankah dia berasal dari keluarga kaya?
Atau soal itu juga dia berbohong?
"Jangan sok merasa yang paling menderita, deh. Kalau bukan untuk membayar uang sewa dan menutupi kerugian di tokoku sendiri, mungkin aku tidak membutuhkanmu untuk mengambil jaminan kediaman tetap di antara kediaman para pejabat. Orangtuaku? Mereka sudah meninggal sejak lama. Kekayaan mereka tentu habis untuk semua modal usaha. Orang-orang tahunya aku wanita karir yang punya toko kain dengan penghasilan memukau. Kenyataannya, tidak seindah itu."
"Betapa liciknya pemikiranmu itu. Membohongi semua orang demi terlihat baik di depan mereka..."
"Apa pedulimu? Kau juga hanya ingin melukis di istana, membahagiakan dirimu sendiri. Kalau bukan karena bakat pas-pasanmu, aku mungkin akan mencari orang lain. Sayangnya, semua orang di Istana Kota sudah mengenalku seperti apa. Mereka tidak ada yang menyukaiku, semua laki-laki takut padaku. Jadi, begitu aku mendengar namamu, langsung saja aku mengajakmu kemari."
"Kau bukan mengajakku, tapi memaksaku. Meninggalkan aku dan keluargaku..."
"Cih. Cepat atau lambat, nantinya kau akan tahu arti dari sebuah keluarga yang sebenarnya. Daripada keluarga, aku lebih takut jatuh miskin dan tidak punya rumah. Sekarang, berdiamlah di rumah. Aku akan mendapatkan uang lagi dari Toko Arak."
"Tunggu. Kau mau apakan Bai Naxing?"
Nama itu terdengar asing di telinga Bai Lianhua. Ia sedikit mengerutkan alis. Bai Naxing? Siapa selain dirinya yang bermarga Bai?
"Naxing akan kusuruh mencari uang, tak usah khawatir. Kau tinggal tunggu saja."
"Kau gila! Kau mau membawa anakmu berumur enam tahun bekerja di Toko Arak?" Bai Junhui terdengar panik dan tidak terima. Jadi Gao Renwei ini sudah punya anak lebih dulu? Bai Lianhua tidak mengerti. Ia terus mendengarkan.
"Anakku ya urusanku. Untuk apa kau menghalangi!? Awas, jangan berdiri di sana. Naxing, kemari. Ikut ibu ke toko."
"Gao Renwei, berhenti!" Bai Junhui berseru, tapi Gao Renwei tidak mendengarkan. Wanita itu keluar rumah sambil menggandeng seorang anak perempuan yang masih kecil di belakangnya. Anak itu dengan langkah patuh mengikuti ibunya. Entah ingin digunakan untuk apa, tapi Bai Junhui tidak berani bertindak lebih. Bai Lianhua melihat Gao Renwei mengunci gerbang lalu berjalan ke luar jalan utama. Meninggalkan Bai Junhui sendirian, menangis tersedu-sedu di teras rumah.
Melihat itu, hati Bai Lianhua sangat pedih. Ia tidak pernah melihat ayahnya menangis begitu. Ia bahkan tidak pernah melihat ibunya dan ayahnya bertengkar hebat seperti yang baru saja ia saksikan tadi. Sebenarnya, Gao Renwei ingin apakan Bai Naxing? Dan kenapa ayahnya tidak berani melawan Gao Renwei? Kenapa baru dua hari tidak bertemu, Bai Lianhua langsung merasa ayahnya berbeda dari yang ia kenal sebelumnya?
Pertanyaan semakin menumpuk dalam benak Bai Lianhua.
Setelah memastikan Gao Renwei sudah pergi jauh dari rumah, Bai Lianhua memberanikan diri turun dan menghampiri ayahnya yang sedang terduduk di paviliun kecil dengan tampang lesu. Air mata menetes, ketika Bai Lianhua mendekat, ia memanggil pelan.
"Ayah..."
Bai Junhui kontan kaget. Ia menoleh dan berseru, "Xiao Hua! Kau...bagaimana kau bisa ada di sini?" Walaupun kaget, Bai Junhui tidak bertanya lagi dan ia langsung memeluk Bai Lianhua sambil tersedu-sedu.
"Xiao Hua, ayah bersalah. Ayah banyak bersalah pada kalian...semua ini..."
"Aku tahu, aku sudah dengar semuanya dari atas pohon tadi," jawab Bai Lianhua sedikit menyisipkan senyum. "Ayah, ayo kita pulang. Jangan dengarkan kata-kata Nona Gao lagi."
Bai Junhui menunduk, ia menggeleng pelan. "Aku masih belum bisa, Xiao Hua." Lantas Bai Lianhua bingung, kenapa sudah tahu orangnya jahat begitu tapi ayah masih mau tinggal di sini? Tapi sesuai yang Bai Lianhua duga, ayahnya pasti masih mau mencoba kesempatan lain mengenai pelukis istana itu.
"Kenapa?" tanya Bai Lianhua pelan.
"Ayah tidak bisa meninggalkan Xiao Xing begitu saja. Waktu itu, ketika ayah tiba di Istana kota, hari itu.... Gao Renwei masih tinggal di tokonya sendiri. Aku merasa malu, melihat semua orang berpakaian mewah. Tapi kemudian Renwei langsung membawaku ke kantor walikota dan ia membuatku menandatangani sebuah surat tentang kediaman tetap pejabat yang dijamin oleh kekaisaran. Aku lantas senang, kukira ini rumah untuk keluarga kita. Ternyata ini rumah untuknya dan anak perempuan itu..."
Bai Lianhua mendengar dengan seksama. Penuturan ayahnya membuat dirinya sendiri ikut iba. Ayahnya jelas-jelas tidak sadar sudah ditipu sejak awal.
"Lalu Bai Naxing...? Kenapa dia bermarga Bai?"
Pelan-pelan Bai Junhui menceritakan, "Nama Xiao Xing tadinya Du Naxing. Mengikuti marga ayahnya yang telah meninggal. Kediaman ini diambil alih oleh Renwei demi Xiao Xing. Tapi karena Renwei bermulut manis, sehari setelah kami pindah ke sini, dia langsung mengganti marga Xiao Xing menjadi Bai."
"Kalau begitu, dia adik tiriku?"
Bai Junhui tersenyum. "Xiao Hua, aku tidak pernah membenci Renwei ataupun Xiao Xing. Begitu aku melihat keinginan mereka, aku sadar kalau aku juga seperti mereka. Renwei yang takut jatuh miskin, maka memanfaatkan aku untuk mengambil kediaman ini atas nama suaminya yang telah meninggal. Sedangkan aku... walau dia mengatakan aku sudah tidak dibutuhkan untuk melukis di istana, tapi aku tidak mau usaha ini berakhir begitu saja. Aku harus mencoba lagi. Mencari kesempatan lagi."
Perkataan ayahnya membuat Bai Lianhua terdiam. Ia tahu ayahnya pasti akan mengatakan ini. Ia sendiri paham bagaimana keinginan ayahnya begitu mendalam. Terhadap bakatnya, dan terhadap usahanya. Jadi, jika ia masih menginginkannya, Bai Lianhua tidak bisa memaksa juga. Seperti kata Yao Yupan. Setidaknya, Bai Lianhua sudah tahu bagaimana keadaan ayahnya selama ini.
"Xiao Hua, biarkan ayah menetap di sini sampai semua masalah ini selesai, ya?"
"Kapan selesainya?"
Wajah Bai Junhui terlihat menyesal. "Ayah tidak bisa berjanji sekarang. Tapi... Bai Naxing masih sangat kecil. Sekarang dia dimanfaatkan oleh ibunya sendiri, ayah tidak tega..."
Begitupun Bai Lianhua. Anehnya, walaupun dia belum kenal dengan Bai Naxing, tapi keberadaan 'adik tiri' terdengar menyenangkan di telinga Bai Lianhua. Selama ini ia tinggal sendirian, tidak tahu rasanya punya adik seperti apa. Jadi waktu menyadari posisi itu, ia merasa perlu melindungi satu orang lagi di dunia ini.
"Baiklah," sahut Bai Lianhua mengangguk tipis. Ia menatap ayahnya, "kalau ayah memutuskan seperti itu, aku akan membiarkanmu. Tapi, kau pasti kembali, kan?"
Bai Junhui mengangguk-angguk. "Tentu saja, Xiao Hua. Kau jangan khawatir. Jagalah ibumu di rumah. Beritahu ibumu kalau ayah sangat amat menyayanginya."
Setelah memeluk erat untuk yang terakhir kalinya, Bai Lianhua naik ke atas pohon menggunakan ilmu ringan tubuh lalu buru-buru pergi menyusul Gao Renwei.
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro