RANJANG TERLARANG (7)
Yang mau baca bab 8 sampai 2 ekstra part dari PENAWAR LUKA YANG MENGGODA bisa langsung ke KK aku ya, mumpung lagi ada diskon 50%. Kode vocer-nya MOYZ92.
Buruan klik link di kolom komentar atau di branda profil karena diskonnya terbatas guys.
This work belong to Fielsya jangan lupa tinggalkan jejak. Happy reading !!
🔥🔥🔥
ANGGA’S POV
Sengaja aku hanya berdiam diri di kamar saat Mas Bagas datang dari perjalanan dinasnya, tidak ... mungkin lebih tepat kalau dibilang perjalanan cintanya. Beberapa kali Mbak Raline memintaku untuk makan bersama tapi aku menolak dengan alasan masih kenyang.
Lama berselang, jam dinding mulai menunjukkan waktu pukul sebelas malam. Mata ini nyaris saja terpejam kalau saja suara Mas Bagas tidak memekakkan telinga, diikuti suara barang yang jatuh terdengar cukup keras.
Aku terperanjat dan berniat ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka. Hanya saja logikaku menahan. Ini urusan rumah tangga mereka. Rasanya nggak elok kalau aku mencampurinya. Tapi, kalau sampai aku mendengar dia memukul atau melukai fisik Mbak Raline, akan kupastikan, bahwa Mas Bagas tidak akan keluar dari rumah ini dalam keadaan baik-baik saja.
“Kalau aku bilang nggak tau, ya nggak tau. Kalau kamu nggak percaya sama aku, oke, lebih baik aku pergi dari rumah ini. Pusing lama-lama di sini. Punya istri taunya cuma curigaan. Suami capek pulang kerja dari luar kota, bukannya dilayani, malah sibuk nanyain hal nggak penting.” Suara Mas Bagas makin jelas di telingaku, bisa kupastikan dia sudah ada di luar kamar.
“Oke, fine! Silakan keluar, angkat kaki sejauh mungkin dari sini. Kamu pikir aku nggak tahu kalau di luar sana, kamu sibuk sama pelacur-pelacur itu?” teriak Mbak Raline yang membuatku terpaksa harus keluar untuk melihat situasi yang sebenarnya.
“Ini ada apa, sih? Kenapa kalian ribut-ribut tengah malem gini? Malu dong sama tetangga,” leraiku sambil berpura-pura memasang ekspresi baru bangun tidur. Nggak lupa sambil ngucek mata biar terlihat lebih natural.
“Selamat ya, Ngga, kamu akan punya kakak ipar baru, seorang pelacur ....”
“Tutup mulut kamu Raline! Dia bukan pelacur.” Tampak jelas, Mas Bagas membela wanita itu di hadapan istrinya sendiri.
“Apa namanya kalau bukan pelacur? Wanita murahan? Cuma wanita nggak bener yang mau tidur sama suami orang. Dan ngaku aja, kamu akhir-akhir ini berubah juga karena wanita itu kan? Jawab!” sentak Mbak Raline yang baru pertama kali ini sangat terlihat kobaran api amarahnya dari sorot mata.
“Ngaco! Aku berubah itu ya karena kamu sendiri. Kamu nggak bisa merawat diri. Kamu terlalu sibuk sama Lita dan pekerjaan kamu. Kamu cuek sama aku. Suami mana yang betah punya istri kaya kamu?”
“Cukup Mas! Aku sudah peringatkan Mas Bagas. Hargai istrimu! Dia satu-satunya wanita yang bertaruh nyawa cuma untuk ngasih keluarga kita keturunan. Kalau dia sibuk dan nggak bisa merawat diri, harusnya Mas Bagas nyadar diri, udah baik belum nge-treat istri? Lihat papa, apa beliau mencari kesenangan di luar sana saat bosan dengan mama? Mikir pake otak, jangan cuma nafsu!”
Aku sudah muak dengan kakakku ini. Dia terus-terusan menyalahkan istrinya, tapi nggak pernah sadar diri. Benar kata Mbak Raline waktu itu, kalau Mas Bagas akan tetap mengelak sekalipun dia mendesak agar suaminya jujur tentang wanita itu.
Aku nggak tahu apa yang memicu pertengkaran mereka malam ini. Hanya saja ini semua cukup membuktikan bahwa memang Mas Bagas sangat tidak layak untuk istrinya. Dia tidak pernah menyadari bahwa kebahagiaan istri itu tergantung bagaimana suaminya. Jika ada kekurangan pada sang istri, maka yang bertanggung jawab adalah suami.
Pengen istru cantik? Ya dimodalin. Pengen punya istri yang cukup melayani suami? Beri dia asisten rumah tangga untuk mengurus hal selain suaminya di rumah itu. Mau istri fokus di rumah, ya berilah nafkah yang layak. Karena sejatinya nggak ada wanita matre, yang ada mereka realistis.
“Tau apa kamu soal rumah tangga? Jangan sok tau kalau kamu sendiri belum jadi suami. Sudahlah, nggak ada gunanya aku lama-lama di sini. Bikin tambah pusing. Aku pergi, dan akan pulang hanya kalau aku ingin pulang!” Detik itu juga Mas Bagas pergi dari rumah.
Satu yang aku salut dari Mbak Raline, kali ini dia betul-betul kuat. Nggak ada air mata lagi. Sepertinya dia betul-betul ikhlas. Tapi, boleh kan, kalau aku berpikir bahwa ini juga ada andil dariku? Dia tetap merasa tenang, karena tahu, kalau aku mendukungnya. Aku bisa menjadi rumah yang lebih nyaman untuknya. Persetan dengan perbedaan usia, toh kata orang, cinta itu nggak memandang usia.
Mbak Raline masuk ke kamarnya tanpa permisi. Aku membiarkannya melakukan apa yang dia mau saat ini. Tapi sepertinya secangkir teh chamomile bisa membuatnya sedikit lebih relax.
Aku lantas ke dapur, membuat secangkir teh untuk kakak ipar tercinta. Jangan tanya apa aku bisa membuatnya, karena sebenarnya nggak bisa. Aku nggak tahu takaran gula yang pas. Tapi kalau kita mau berusaha, apalagi untuk orang tercinta, pasti bisa juga kan.
Teh sudah jadi dan siap kuantar ke kamar Mbak Raline. Pintunya nggak dikunci, sepertinya dia tau kalau aku akan datang ke kamarnya. Aku masuk tanpa permisi, sayangnya dia lagi nggak di kamar itu.
Saat hendak memanggil namanya, seketika terdengar suara shower dari kamar mandi. Kuletakkan teh di atas nakas samping tempat tidur. Tanpa sengaja aku juga melihat baju tidur seksi berwarna biru muda yang keleleran di lantai.
“Mbak, lagi mandi?” tanyaku sambil melihat tubuh seksinya di bawah guyuran shower.
“Sini masuk, ikutan mandi!” ajaknya.
Peraturan pertama yang harus wanita tahu, jangan pernah mengajak pria dewasa untuk mandi bersama kalau tidak ingin berujung pergulatan panas, di atas ranjang.
Tanpa berpikir panjang, aku lantas melepas semua pakaianku dan menampilkan penisku yang sudah setengah mengacung. Mbak Raline memang betul-betul gila. Cuma dengan melihat tubuh seksinya saja dia mampu membangkitkan hasratku.
Aku mendekat dan mendekap tubuhnya. Melayangkan ciuman-ciuman hangat di bibirnya tanpa diinstruksi. Dia pun membalas, tangannya bahkan melingkar di leherku seolah tak ingin ciuman ini cepat berakhir.
“Angga, apa kamu bener-bener cinta sama aku seperti yang kamu omongin waktu itu?” tanya Mbak Raline.
“Sangat. Aku mungkin terlalu bocil di mata Mbak Raline, tapi aku jauh lebih bisa menghargai Mbak dibanding Mas Bagas,” jawabku dengan tegas sambil menatap matanya.
“Kalau gitu, jangan lagi panggil Mbak, panggil aku sayang, atau panggil namaku saat kita berdua,” pintanya.
“As you wish. Utamanya saat kita lagi ngentot kan, Mbak?” godaku yang mulai berulah dengan sengaja. Aku tahu Mbak Raline nggak akan risih. Dia sudah tahu bagaimana mulutku ini saat bersamanya.
Mbak Raline hanya mengangguk, lalu kembali menciumku sambil menekan payudaranya ke dadaku. Sepertinya benar kata orang. Saat wanita stres, salah satu cara untuk menyembuhkannya adalah dengan bercinta, karena saat dia orgasme, dia akan mengeluarkan beberapa hormon yang salah satunya untuk menghilangkan stres.
Aku nggak peduli kalau saat ini dia sedang bermesraan denganku karena masalahnya dengan Mas Bagas. Yang penting untukku, tubuhnya ada dalam penguasaanku.
“Mbak, kali ini aku pengen ngeluarin pejuku dalam posisi misionaris. Aku pengen penetrasi yang dalem,” pintaku.
Tanpa pikir panjang Mbak Raline menuruti keinginanku. Dia menggandengku menuju ke ranjang, lalu merebahkan tubuh polosnya di atas sana. Dia bahkan membuka kakinya dengan lebar, seolah membiarkanku untuk menguasai vaginanya.
Seperti biasa, untuk merangsangnya dengan cepat, langsung saja aku bermain-main di payudaranya. Menjilati, menghisap, dan sesekali menggigit ujungnya. Kuputar-putar lidahku di putingnya. Aku pegang kedua tangannya agar tak bisa melakukan perlawanan.
Penisku juga kugesekkan ke vaginanya. Sengaja belum kupaskan ke dalam liang senggamanya. Terlalu cepat untuk langsung mengoyak tubuhnya tanpa pemanasan yang cukup. Aku nggak pengen dia merasa sakit karena kurang pemanasan.
Puas bermain di payudara, aku beralih ke leher jenjangnya. Dia menelengkan kepalanya ke kanan dan kiri sambil mengeluarkan desahan-desahan erotis yang makin membuatku bergairah.
“Mmff ... Angga, mainin susuku lagi aja. Putingku gatal,” pinta Mbak Raline.
Kulakukan seperti yang dia inginkan. Aku kembali menghisap payudaranya, dan kali ini aku lagi-lagi membuat tanda merah di sana. Nggak ada protes darinya, membuatku memutuskan untuk memperbanyak tanda itu di sana. Dan sebagai penutup, kuhisap kedua puting susunya dengan keras secara bergantian.
Aku menegakkan tubuh, mengarahkan penisku yang sudah mengacung ke dalam liang senggamanya. Sekali hentakan, langsung kumasukkan semua batang penisku ke dalam vaginanya hingga tak terlihat sedikit pun.
“Ah ....” Mbak Raline mendesah sambil memegangi ujung bantal. Ini untuk pertama kalinya aku memasukkan batang penisku dengan sekali hentak, wajar kalau terasa sedikit ngilu untuk Mbak Raline.
Aku langsung memasuki mode cepat, tidak seperti biasanya yang terkadang menggodanya dengan gerakan perlahan. Kuangkat kaki jenjangnya ke atas bahu.
“Ah ... Angga ....”
“Kenapa, Sayang? Enak?” Mbak Raline hanya mengangguk. “Apanya yang enak?”
“Kontolmu enak, Ngga, di dalem mentok banget, kerasa penuh,” jawabnya dan aku suka itu.
“Memek kamu juga enak banget, Sayang. Aku ketagihan. Memekmu cuma punyaku.” Aku menghunjam berkali-kali vagina kakak iparku itu. Desahan demi desahan menggema ke seluruh ruangan.
“Ssshh ... oh, Angga. Cepetin Ngga. Sodok lebih dalem, Ngga!” pinta Mbak Raline.
Aku menggerakkan pinggulku dengan sangat cepat. Tangan yang ada di betis mulus Mbak Raline kualihkan ke payudaranya.
Kaki jenjang itu sedikit melebar seiring tubuhku yang sedikit membungkuk untuk meraih payudaranya.
“Raline ... agh, agh ....”
Mbak Raline menarik kepalaku. Aku tahu apa yang dia mau. Kuhisap kencang satu payudaranya. Sedangkan payudara lainnya dia mainkan sendiri.
Dia meremas dan memilin putingnya sendiri. Kakinya juga melingkar di pinggulku seolah tahu kalau sesaat lagi aku akan mencapai klimaksku.
“Dalemin, Ngga!”
“Apanya Sayang? Apa yang harus aku dalemin?”
“Kontolmu Ngga. Masukin lebih dalem lagi.”
Sesuai permintaan. Aku mulai melakukan penetrasi lebih dalam dan cepat. “Agh, Raline, aku mau keluar.”
“Aku juga. Cepetin lagi Ngga. Sodok terus mekiku, Sayang. Oh....”
Tak lama aku berhasil menyemburkan spermaku ke dalam rahimnya, dan di saat yang bersamaan, dia bisa kurasakan denyutan hebat diiringi rasa hangat di dalam sana.
Aku mencium bibirnya beberapa kali, tak lupa dengan kening, pipi, dan mata sebagai ungkapan terima kasih karena bersedia menuntaskan hasratku di rahimnya.
***
Hai, Hai, gimana dengan bab ini?
Kita ketemu lagi besok. Buat kamu yang hobi baca cepat, marathon, silakan ke Karyakarsa thewwg.
Hanya dengan Rp. 60.000 sudah dapat 4 cerita sampai tamat plus dua extra part. Gimana? Murah meriah kan? Yuk klik link-nya.
https://karyakarsa.com/Thewwg/kloter-1-iam-fielsya
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro