PENAWAR LUKA YANG MENGGODA (6)
"Em ... aku penasaran kenapa kamu bilang sudah memendam perasaan sama aku lumayan lama? Bukanya kita pertama kali ketemu waktu acara pemakaman Papa kamu? Setelah itu nggak pernah ketemu lagi." Aku bertanya pada Rafa yang kini tengah mendekap ku pada dada bidangnya. Kami masih enggan beranjak dari kasur setelah percintaan panas tadi meski jam sudah menunjukan waktu makan siang. Pipiku kembali memanas kala mengingat semua momen pertamaku dengan Rafa di ranjang.
Mungkin aku akan butuh waktu berhari-hari untuk lupa sentuhannya yang memabukkan. Atau paling parah aku akan mendambanya setiap waktu. Karena laki-laki ini benar-benar pandai memanjakanku.
Rafa terdiam, dia menatap aku sejenak sebelum menjawab. "Emm ... lebih lama dari bayangan kamu."
Mendengar jawaban laki-laki tampan itu, aku refleks merubah posisi menjadi duduk agar bisa menatap Rafa dengan leluasa. "Kapan? Aku penasaran ... ayolah katakakan sama aku." Aku memohon sambil mengarahkan tatapan pupy eyes. Sebab pengakuannya tadi benar-benar mengundang rasa penasaranku untuk tahu apa yang laki-laki ini sembunyikan sebenarnya.
Bukanya menjawab, Rafa tiba-tiba malah mendaratkan kecupan di bibirku. Tindakannya membuat aku diam seketika. "Rafa, ih, kamu tuh ya ...!" Aku merajuk manja lalu memukul bahunya. Namun, apa yang aku lakukan malah membuat laki-laki di sampingku tertawa. Suara tawanya yang renyah akhirnya menular padaku. Karena gemas aku pun memukulnya dengan bantal.
Hening setelahnya karena Rafa kini menjegal pergelangan tanganku yang memegang bantal. Lalu dengan gerakan cepat dia merubah posisi kami, mengungkung aku di bawahnya. Mata kami kembali saling beradu, perlahan wajah Rafa mendekat ke arahku. Namun, ketika sejengkal lagi bibir kami saling menempel, sebuah suara terdengar dari arah luar.
"Kayra!" suara panggilan itu memaksaku mengakhiri momen hangat itu dengan Rafa. Mataku membulat dan refleks mendorong tubuh laki-laki berambut hitam itu agar bangkit dari atasku.
"Gawat, itu suara Mama sama Stella! Kenapa aku bisa lupa kalau hari ini mereka pulang dari Singapura, gimana dong ... kalau kita ke-"
"Ssst ... tenang, jangan panik. Biar aku yang urus. Kamu jangan dulu keluar, aku akan coba mengalihkan perhatian mereka. Nanti kalau udah aman aku akan kasih tahu kamu. Sekarang bersihin dulu tubuh kamu biar aroma percintaan kita hilang, sementara aku turun." Rafa memotong kalimatku agar tenang dan tak khawatir lagi. Entah mengapa aku begitu mudahnya percaya pada laki-laki ini, seolah bersamanya aku merasa lebih aman.
Sebelum pergi Rafa mengecup bibirku lebih dulu. Namun, bukanya cepat-cepat melepas, dia malah menekan tengkukku agar memperdalam pagutan kami.
"Ah brengsek! Kenapa mereka harus pulang sekarang, sih," gerutu Rafa, lalu dengan enggan melepas ciuman kami. Aku pun tersenyum geli karena tingkahnya.
"Besok akan aku pastikan kamu nggak bisa keluar kamar, Kayra," sambung Rafa sambil bergegas mengenakan pakaian. Dia sama sekali tak terlihat risi meski telanjang bulat di depanku. Sedang aku setengah mati menahan hasrat yang tiba-tiba muncul karena melihat tubuh sempurna Rafa. Ah ... laki-laki ini benar-benar membuatku gila.
Setelah membersihkan diri aku pun mengendap-endap keluar dari kamar Rafa. Aku lebih dulu mengawasi situasi yang ada, mengintip sedikit dari celah pintu. Kala melihat ibu mertua dan Stella tengah bicara serius dengan Rafa di ruang tamu, aku pun gegas keluar. Beruntung kamarku dan kamar Rafa masih berada satu lantai.
Namun, saat aku baru akan memutar kenop pintu, suara ibu mertuaku yang tengah bicara pada Rafa terdengar di telinga. Aku mengepalkan tangan karena ucapannya yang terdengar sinis dan menghina Rafa. Entah kenapa melihat laki-laki itu dihina sedemikian rupa dadaku rasanya panas dan ingin sekali membalasnya. Padahal biasanya aku paling malas meladeni wanita berusia enam puluhan itu.
"Kamu mau sampai kapan jadi anak nggak berguna kayak gitu, Rafa? Keluyuran nggak jelas. Contoh dong kakak-kakakmu yang udah jadi orang sukses. Abangmu seorang pengacara terkenal sekaligus direktur di PT Timah Jaya, Stella juga udah jadi desainer terkenal. Sedang ka-"
"Apa kesuksesan harus diukur dengan pekerjaan yang mentereng, Ma? Percuma sukses kalau hobinya gonta-ganti suami dan menyakiti istrinya." Aku menyela ucapan ibu mertua dari lantai atas, berdiri tepat di atas anak tangga sambil menatap datar ke arah mereka. Kalimatku yang mengandung sindiran untuk dua saudara Rafa tak pelak memancing emosi dua wanita itu.
"Kamu ..." Ibu mertuaku dan Stella menggantung kalimat karena tak bisa berkata-kata. Tak memedulikan kemarahan itu, aku memilih berjalan tanpa ragu ke lantai bawah, meski kini Stella dan mertuaku tengah mengarahkan tatapan penuh amarah.
"Berani sekali kamu bicara gitu sama Mama," ujar Stella sambil menunjuk wajahku. Kemarahan itu hanya aku balas dengan raut datar. Rafa pun menatap aku memberi kode agar aku tak meladeni ibunya.
"Sudahlah, bawa saja dokumen ini ke kantor Alex, dia tadi menghubungi butuh ini segera." Ibu mertuaku meletakan sebuah dokumen di meja. Aku hanya menatap benda itu tanpa minat.
"Tapi, Ma, apa Mas Alex nggak akan marah kalau aku datang ke kantornya seperti tempo hari?"
"Terus menurutmu, musti aku yang anterin ini, gitu?" Stella mengatakan itu sambil menatap aku kesal.
"Biar aku yang anter Kayra sekalian ketemu temen." Rafa akhirnya menyela perdebatan kami. Aku pun dengan senang hati akan pergi jika dia yang ingin mengantar.
***
"Ya ... baik, Bos, saya akan segera ke sana." Rafa menutup panggilan, lalu memutar balik mobilnya setelah pembicaraan itu.
Aku mengernyit karena tindakannya yang tiba-tiba. "Loh, Raf, bukannya kita mau ke kantor Mas Alex?"
Rafa terdiam, dia menatapku sejenak seolah tengah berpikir sesuatu. "Mas Alex lagi nggak di kantor hari ini. Dia sedang ada pertemuan penting bersama koleganya dan Cassandra di tempat biasa," ujarnya, kemudian kembali mengalihkan perhatian pada jalan raya.
"Kamu kok bisa tahu?" Aku memicingkan mata curiga.
"Nanti aku cerita, sekarang bukan itu yang terpenting." Perkataan Rafa hanya aku jawab dengan anggukan paham.
Hening ... tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutku setelahnya, karena aku sibuk bergelut dengan pikiran sendiri, aku kembali mengingat bukti-bukti yang kemarin ditunjukkan Rafa. Benarkah Alex berselingkuh dengan wanita itu di belakangku?
"Kayra, kamu nggak pa-pa? kalau kamu belum siap biar aku aja yang-"
"Nggak, Raf, ayo kita temui saja mereka, bukannya kamu bilang ingin membantuku agar sadar dan mau membuka mata bahwa Alex tak sebaik yang aku pikirkan? mungkin ini sudah saatnya." Aku berkata penuh tekad dan keyakinan, aku tak bisa terus-terusan lari dan tak mau menerima kenyataan bahwa selama tiga tahun ini, Alex memang sudah memanipulatif aku, bahkan menghancurkan mental dan fisikku agar aku merasa terbuang dan sendiri.
Rafa mengangguk, matanya menatap aku sendu, lalu tangan besarnya yang tak memegang kemudi meremas tanganku yang ada di pangkuan, seolah ingin aku tahu bahwa dia akan selalu ada. Baru kali ini setelah orang tuaku meninggal, aku merasa tak sendirian lagi. Rafa membuatku merasakan apa itu dukungan moril dan rasa aman yang tak pernah diberikan Alex selama kami menikah.
Tak berapa lama mobil yang dikemudikan Rafa akhirnya sampai di depan hotel mewah. Tempat yang familier karena aku pernah menemui Alex di sini.
"Ganti pakaianmu, dan ikut aku masuk," ujar Rafa sambil menyerahkan paper bag dengan merek pakaian mahal. Aku terdiam karena tak menyangka Rafa benar-benar sudah mempersiapkan segalanya.
Tak ingin banyak berkomentar aku pun meraih tas itu. "Kamu keluar dulu," ujarku.
Namun, bukannya melaksanakan perintahku Rafa malah tersenyum menggoda. "Untuk apa malu-malu, bukannya aku sudah melihat se-"
"Rafa, diam dan cepat turun atau aku nggak mau pakai ini," ancamku tak main-main. Jika dia tetap di mobil aku yakin kami akan berakhir bercinta lagi.
Rafa pun hanya berdecak kesal lalu dengan enggan keluar dari mobil. Tanpa membuang waktu aku gegas mengganti pakaian dengan deres midi sifon bermotif bunga-bunga, bagian kerahnya yang persegi busur chic sukses mengekspos bagian leherku yang putih bersih, di tambah dengan belahan di bagian bawahnya sampai ke paha.
Setelah usai aku pun membuka pintu dan membuat Rafa yang tengah menyesap nikotin Reflek mengalihkan perhatiannya padaku. Rafa terdiam sejenak, matanya memindai keseluruhan penampilanku dari kaki sampai kepala. Matanya berhenti pada bagian paha mulusku yang tak sengaja terekspos karena hendak turun dari mobil. tiba-tiba Rafa membuang puntung rokoknya, lalu mendorong aku masuk kembali ke mobil.
"Raf, apa yang-" Kalimatku terputus karena bibir hangat dan lembut Rafa menciumku dengan menggebu. Bukannya menolak aku justru membalas ciuman itu, tak peduli kini kami tengah berada di basement yang bisa saja ada orang lewat dan melihat apa yang tengah kami lakukan.
Dengan napas terengah kami terpaksa mengakhiri ciuman yang mulai saling menuntut. Mata Rafa dipenuhi kabut girah, laki-laki itu mengumpat kesal. "Brengsek! Aku menginginkanmu. Tapi kalau kita melakukannya di sini bisa-bisa misi kita akan gagal. Jadi tunggulah sampai ini selesai dan aku benar-benar akan membuatmu tak bisa berjalan, Kayra... ayo kita turun." Rafa mengusap pipiku lembut lalu memakaikan aku kacamata hitam. Sedang dia sendiri memakai masker, lalu kami pun bergegas keluar.
Rafa membawaku masuk menuju sebuah privat room di restoran Korea, berada di lantai paling atas hotel ini. Dari gelagat dan caranya mengendap-endap, aku yakin dia tengah bersembunyi dari seseorang.
"Tunggu aku di sini, jangan mengeluarkan suara apa pun kalau kamu melihat atau mendengar sesuatu di ruang sebelah, atau mereka akan berbuat hal nekat sama kamu." Rafa memperingatkan. Ucapannya membuat jantungku tiba-tiba berdetak karena rasa takut yang melanda.
"Aku akan mematikan lampu di ruangan ini dan memberi celah sedikit di pintu penghubung agar kamu bisa mengawasi mereka dari sini tanpa ketahuan," sambung Rafa yang hanya aku jawab dengan anggukan. Lalu laki-laki itu pun keluar.
Suasana tegang semakin terasa saat wajah-wajah familier yang dulu sering aku lihat bersama almarhum Papa satu persatu masuk, lalu di susul Rafa.
"Kamu sudah mengurus semuanya?" Suara merdu Cassandra terdengar bertanya.
"Sudah, Bos, sesuai permintaan Anda, saya sudah menyterilkan semua room di sini agar tak ada yang mendengarkan pembicaraan kalian."
Aku menautkan alis kala mendengar Rafa memanggil Cassandra 'bos'. Sebenarnya apa hubungan laki-laki itu dengan sahabat kecil Alex? Apa suamiku tahu bahwa adiknya bekerja dengan Cassandra? Sebab Rafa terkesan menyembunyikan identitasnya dari sang kakak.
"Bagus, sekarang kamu boleh keluar." Rafa pun menjawab perintah itu dengan anggukan patuh.
Aku tersenyum sinis kala membayangkan Rafa ternyata juga ada di pihak mereka. Lalu untuk apa dia membawaku ke sini? Apa dia ingin menjebakku? Entah mengapa mengetahui itu aku jadi kesal. Aku baru saja memutuskan akan pergi kala suara Alex tiba-tiba terdengar bicara.
"Jadi, apa keputusan yang akan kita buat untuk Pak Iskandar? Kalian tahu bukan dia mulai berulah dengan terus mengancam akan membeberkan perbuatan kita?"
Mendengar suaranya yang tegas dan penuh intimidasi, jantungku semakin keras berdetak. Namun, aku berusaha menahan rasa khawatir dan ketakutan demi sebuah fakta yang akan terkuak nantinya. Aku pun urung melangkah dan memilih kembali fokus pada pembicaraan mereka.
"Nggak perlu dibikin pusing, Lex, kita lakukan saja cara yang sama ketika dulu kamu menjebloskan ayah mertuamu ke penjara,” jawab laki-laki bernama Om Hartono.
“Har benar, kami menyerahkan masalah ini sepenuhnya sama kamu. Terserah mau gimana asal beres,” sambung Om Irawan.
Aku hapal betul nama-nama mereka karena beliau-beliau ini adalah sahabat Papa.
Tubuhku menegang, tanganku mengepal kuat si sisi tubuh. Amarah seketika menguasai diriku kala mereka membawa-bawa Papa dalam pembicaraan itu. Fakta bahwa Alex selama ini ikut andil menghancurkan hidup keluarga Lesmana, benar-benar membuatku ingin membunuhnya detik ini juga. Mereka semua benar-benar iblis, teganya menusuk Papa dari belakang. Benar kata orang, politik itu busuk, kawan bisa jadi lawan bahkan saudara sekali pun bisa saling menghancurkan.
Aku baru saja akan mendobrak pintu geser yang terhubung dengan ruangan mereka, ketika tangan besar Rafa menarik tubuh dan membekap mulutku dengan cepat. "Sst ...." Rafa meletakkan jari telunjuk di depan bibir sebagai kode agar aku diam, mata tajamnya menatap aku lekat-lekat. Penuh peringatan.
Perasaanku kacau, aku ingin marah dan berteriak dengan kencang untuk semua ketidak adilan yang menimpa keluargaku. Bulir bening pun tak terasa jatuh di pelupuk mata. Mengetahui itu, Rafa langsung mendekap aku ke dadanya untuk memberi kekuatan. Dia menopang tubuhku yang bergetar sambil terus berusaha mengawasi mereka.
"Kamu sendiri apa ada ide, Sayang?"
Suara lembut Alex dan tatapan matanya yang begitu memuja saat melihat Cassandra, membuat amarahku kian memuncak. Dari cara mereka bicara dan saling menatap, orang bodoh pun tahu bahwa keduanya memiliki hubungan spesial.
"Aku setuju sama usul Om Hartono, kita bikin saja Pak Iskandar yang menanggung semuanya. Sudah saatnya kita mencari kambing hitam, mengingat belakangan ini orang-orang pemerintahan mulai mengawasi kita.”
Ketiga laki-laki di depan Cassandra pun tampak mengangguk setuju. Lalu tak berapa lama, dua laki-laki teman Papa pun akhirnya pamit keluar. Kini hanya menyisakan Alex dan Cassandra di ruangan itu.
"Lalu, Alex, kapan kamu akan menceraikan istrimu? Kamu bilang akan segera menikahi aku, kan?"
"Tunggu sampai masalah Pak Iskandar selesai, dan aku bisa mengambil alih perusahaan milik mertuaku sepenuhnya, aku janji akan membuang wanita tak berguna itu."
Aku semakin mengeratkan pelukan di pinggang Rafa kala Alex mengatakan fakta mengejutkan itu. Tanganku tanpa sadar mencengkeram pinggang laki-laki itu karena amarah yang menguasai. Air mata ini sudah tak mampu lagi aku bendung. Aku tersenyum miris sambil menenggelamkan kepala pada dada bidang Rafa, meredam suara tangisku yang hampir saja keluar. Dapat aku rasakan tangan Rafa makin mendekap aku erat.
Hatiku hancur menyadari selama ini hanya dijadikan tawanan dan alat oleh Alex. Ternyata selama ini, itu alasannya menikahi aku. Alex pernah bilang bahwa perusahaan Papa sudah bangkrut dan dia terpaksa mengambil alih sahamnya. Itu kenapa aku selalu menurut padanya karena merasa Alex adalah penolongku. Luka apa lagi yang belum aku tahu selain ini? Kenapa kamu selama ini naif sekali Kayra?
"Tolong ... bawa aku pergi dari sini, Raf, aku takut benar-benar akan membunuh mereka," lirihku dengan suara serak.
Rafa hanya mengangguk, lalu benar-benar membawaku keluar dari sana ... tak memedulikan di dalam ruangan lain, kini suamiku tengah bercumbu mesra dengan Cassandra.
***
Hai, Hai, gimana dengan bab ini?
Kita ketemu lagi besok. Buat kamu yang hobi baca cepat, marathon, silakan ke Karyakarsa thewwg.
Hanya dengan Rp. 60.000 sudah dapat 4 cerita sampai tamat plus dua extra part. Gimana? Murah meriah kan? Yuk klik link-nya di kolom komentar.
https://karyakarsa.com/Thewwg/kloter-1-iam-nurmoyz
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro