9. Rooftop Langit Jingga
"Semesta menyukai senja karena ia selalu hadir sebagai penutup yang indah untuk semua hal yang terjadi di hari itu."
***
Kedua sudut bibir Semesta melengkung ke atas. Sorot mata teduh miliknya menatap kagum hamparan langit senja yang terbentang megah di hadapannya. Warna langitnya cantik. Cantik sekali. Berwarna jingga keunguan dengan sedikit semburat merah di beberapa bagian.
Senyum Semesta mengembang kian lebar seiring dengan tiupan angin yang menyapu rambut kecoklatan miliknya. Atmosfer seperti ini selalu berhasil membuat hati Semesta menghangat penuh ketentraman. Mengingatkan ia akan sosok Bunda yang pergi satu tahun lalu.
Cowok dengan kamera yang tergantung di lehernya itu menyukai senja. Alasannya sederhana. Senja selalu hadir sebagai penutup yang indah untuk semua hal yang terjadi di hari itu. Semesta percaya, begitu juga dengan hidup, bagaimanapun takdir membawa manusia pada perasaan-perasaan tidak nyaman, seperti rasa sedih, kecewa, terluka, amarah, semua pasti akan berujung pada sesuatu yang indah jika kita mau bersabar atas segalanya.
Selain itu, Semesta juga merasa jika kehangatan dan keindahan senja mampu membuat ia kembali merasakan kehadiran sang Bunda. Semesta tidak tahu sejak kapan ia bisa merasakan hal demikian, yang pasti ketika ia merindukan Ayah dan Bundanya, ia akan pergi ke sini. Melihat senja. Semesta merindukan pelukan hangat mereka. Terutama sang Bunda. Sangat. Sayangnya mustahil sekali bagi Semesta untuk bisa merasakannya lagi.
Kini, Ayah dan Bundanya sudah bahagia di surga. Setidaknya kalimat itulah yang membuat Semesta ikhlas ketika rasa tidak terima akan kepergian mereka tiba-tiba kembali hadir dan menyerang dirinya. Membuat dadanya berdenyut ngilu menahan rasa sesak yang sulit dijelaskan.
Akan tetapi, bukankah kehidupan memang selalu seperti itu? Ada yang datang, lalu ada pula yang pergi. Seolah ditakdirkan untuk menggantikannya karena masa yang dimiliki oleh orang lama telah habis. Seperti... Mentari hadir dalam hidupnya, lalu tidak lama setelah itu kedua orang tuanya pergi selamanya. Mau sekeras apapun Semesta menyangkal, ia tetap tidak bisa menghindari takdir itu, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah mencoba menerima segalanya.
Senyum Semesta perlahan menipis dan memudar. Ekspresi sendunya berubah menjadi sedikit panik. Ia teringat akan sesuatu. Buru-buru ia mengecek ponsel. Sayangnya, nihil. Notifikasi dari seseorang yang ia harapkan muncul di layar ponselnya, ternyata tidak ada. Mentari belum memberikan kabar apapun.
Sore ini harusnya ia mengajak Mentari pergi melihat senja bersama setelah acara makan siang di restoran ramen tadi gagal. Mentari membatalkannya begitu saja. Cewek itu bilang ada sesi pemotretan mendadak yang tidak bisa ditunda. Dengan penuh pengertian, Semesta tidak mempermasalahkan. Bahkan, tadi Semesta juga yang mengantarkan Mentari ke tempat pemotretan. Namun, Semesta harus pulang terlebih dahulu karena Mentari memang tidak mau ditunggu.
Sebagai ganti makan siang mereka yang gagal secara dadakan, Mentari menjanjikan waktu luangnya di sore hari setelah pemotretan selesai untuk Semesta ajak kemanapun cowok itu mau. Sayangnya hingga detik di mana langit mulai gelap dan semakin pekat warnanya, kabar dari Mentari tidak kunjung datang. Itu artinya Mentari belum bisa Semesta jemput, dan Semesta hanya bisa pasrah jika rencana mereka sore ini kembali gagal.
Tidak mau overthinking, Semesta hanya terkekeh pelan setelah ponselnya ia masukkan ke dalam saku celana. Iya, lagi-lagi dirinya harus menelan janji Mentari yang tidak ditepati. Lagi-lagi dirinya harus menikmati indahnya langit senja sendiri di tempat favoritnya ini.
Rooftop langit jingga. Semesta memberinya nama seperti itu. Setidaknya sampai rooftop gedung kosong ini tetap terbengkalai dan tidak ada yang mengusirnya dari sana setiap ia menyaksikan senja.
Semesta tidak tahu pasti, entah ini gedung apa dan milik siapa, yang jelas rooftop langit jingga ini ia temukan saat ia masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sekitar 7 tahun yang lalu, saat usianya masih 13 tahun.
Letak gedung ini memang tidak terlalu jauh dari komplek perumahan tempat Semesta tinggal. Hanya berkisar sekitar lima menit jika menggunakan mobil. Akan tetapi, karena letaknya tepat di pinggir jalan raya dan dipenuhi oleh semak belukar di sekitarnya, orang-orang tidak mengetahui tempat ini. Lebih tepatnya mereka tidak sadar jika ada sebuah gedung kosong di pinggir jalan dengan rooftop yang mempunyai pemandangan cantik ketika senja datang.
Kala itu, sepulang sekolah, Semesta tidak dijemput oleh Bunda yang mendadak sakit. Sementara itu, Ayah yang sedang tugas di luar kota tidak bisa menggantikan tugas sang Bunda untuk menjemputnya. Hal itulah yang membuat Semesta nekat pulang berjalan kaki. Beberapa teman Semesta sudah sempat menawarkan tebengan meski semua berujung penolakan darinya.
Dari kecil, Semesta memang tipe orang yang tidak enakan. Ia tidak suka merepotkan orang lain. Selagi dirinya bisa melakukan sendiri, Semesta akan melakukannya sendiri. Tanpa meminta bantuan pada siapapun. Ditambah jarak antara sekolah dan rumahnya memang tidak terlalu jauh. Membuat Semesta kala itu semakin yakin jika dirinya bisa pulang sendiri dengan berjalan kaki. Tidak perlu naik angkot atau transportasi umum lainnya.
Namun, saat itu kejadian tak terduga menimpa Semesta di pertengahan jalan. Siapa sangka, tiba-tiba seekor anjing berwajah garang berlari ke arahnya. Dengan terkejut Semesta yang sebenarnya tidak takut dengan anjing, reflek berlari karena anjing itu terus mengejarnya dengan gonggongan keras seperti ingin menyerang.
Semesta berlari dengan arah tidak menentu. Kemana saja asal dirinya mendapatkan tempat aman untuk menghindari amukan anjing tersebut. Sampai akhirnya ia menemukan gedung kosong dengan rooftop luas yang bisa ia akses dengan mudah. Tak banyak berpikir, kala itu Semesta buru-buru berlari menaiki tangga untuk bersembunyi di sana. Memastikan anjing yang menunggunya di bawah sudah pergi menjauh. Beruntung tidak lama kemudian, anjing liar itu benar-benar pergi. Sore itu Semesta selamat dari kejaran anjing dan bonusnya ia mendapatkan tempat favorit dengan pemandangan cantik ini.
Sejak kejadian tidak terduga itulah, Semesta sering mendatangi rooftop langit jingga. Terutama di waktu-waktu jika dirinya ingin menyendiri untuk mencari ketenangan. Tak jarang, Semesta ke tempat ini sambil membawa gitar dan kamera kesayangannya seperti sekarang. Ia akan bernyanyi menggunakan petikan gitar diiringi aroma angin sore kesukaannya. Juga mengambil beberapa potret langit senja dari kameranya untuk ia jadikan koleksi.
Setidaknya untuk saat ini Semesta merasa tenang karena tidak ada yang tahu tempat favoritnya ini selain dirinya dan Atlas. Termasuk sang Kakek. Pria tua itu tidak pernah tahu jika Semesta sering pergi ke tempat rahasia ini.
Tangan Semesta bergerak ke atas. Ia menyugar rambutnya ke belakang setelah mengambil beberapa potret langit dari kamera yang kembali ia gantungkan di leher. Seharusnya sore ini Mentari ia tunjukkan tempat ini untuk pertama kalinya. Sayangnya, rencana mengenalkan rooftop langit jingga pada Mentari harus gagal karena tidak adanya kabar dari cewek itu sampai sekarang.
Jika boleh jujur, sebenarnya Semesta sedikit kecewa. Pasalnya ia sudah menyiapkan semuanya. Ia juga berniat akan menyanyikan sebuah lagu dengan petikan gitar untuk Mentari saat menyaksikan matahari terbenam bersama. Sayangnya itu semua hanya menjadi sebatas rencana dan harapan belaka.
"Waduh. Nggak jadi makan-makan sama Mentari, nih?"
Entah sejak kapan, tiba-tiba Atlas, sepupunya yang kadang-kadang—ralat, sering menyebalkan itu sudah duduk di atas karpet penuh makanan dan camilan yang tadinya Semesta siapkan untuk menyambut kedatangan Mentari. Selain menikmati senja diiringi nyanyian dan petikan gitar, Semesta memang berencana untuk mengajak Mentari makan di rooftop dengan konsep ala-ala piknik. Konsep yang kemungkinan besar akan Mentari sukai.
Semesta memang selalu memerhatikan semua hal tentang Mentari. Dari hal kecil yang Mentari sukai dan tidak sukai. Sampai hal besar sekalipun. Hal-hal yang membuat Semesta merasa lebih hidup meski setelah kepergian Ayah dan Bunda sebagian dari hidupnya terasa mati.
"Mentari belum selesai pemotretan kayaknya." Semesta menghampiri Atlas dan ikut duduk di atas karpet. Meletakkan kameranya, lalu meraih gitar yang sejak tadi tergeletak di sana. "Gue nggak berani ganggu."
"Ini boleh gue makan dong kalau gitu?" tanya Atlas. Cowok itu tiba-tiba beralih pada makanan yang berjejer tepat di hadapannya. Ada untungnya juga Mentari tidak datang. Ia bisa kenyang tanpa harus beli makanan. Kira-kira pemikiran seperti itulah yang ada di kepala Atlas sekarang.
Semesta akhirnya mengangguk setengah tidak ikhlas. Makanan yang sudah ia siapkan dengan sepenuh hati untuk Mentari, kini harus ia relakan dimakan oleh orang lain. Terlebih orang menyebalkan seperti Atlas yang memakannya.
"Makan. Habisin," kata Semesta.
"Ta," panggil Atlas saat Semesta mulai menarik senar-senar gitar menggunakan jemarinya dan bernyanyi lagu dengan judul Sayap Pelindungmu yang dipopulerkan oleh TheOvertunes. Sementara Atlas sendiri sedang sibuk mengunyah makanan.
Mendengar panggilan Atlas, Semesta menoleh dengan satu alis terangkat. Ia tetap melanjutkan nyanyiannya.
"Gue dengar-dengar, sekarang lo nggak mau nerima tawaran project bareng Mentari, ya?"
Seingat Atlas, sejak kejadian di mana Mentari tiba-tiba memutuskan Semesta di ruang pemotretan dengan alasan bosan satu bulan lalu, Atlas tidak pernah melihat Semesta dan Mentari satu project dan menjadi partner sebagai fotografer dan model lagi seperti biasanya.
Menghentikan nyanyian juga petikan gitar, Semesta menatap jauh ke depan sebelum menjawab dan menghela napas panjang. "Bukan gue yang nggak mau nerima tawaran project sama Mentari, tapi Mentari yang emang nggak mau satu project lagi sama gue."
Dahi Atlas mengernyit penasaran. "Kenapa?"
"Nggak ada alasan yang jelas sih. Mentari bilang nggak mau aja dan gue cuma perlu nurut."
Semesta tidak berbohong. Mentari memang melarangnya menerima tawaran project jika di project itu ada Mentari juga. Kata Mentari, ia tidak mau satu project lagi dengan Semesta seperti yang sudah sudah. Takut mereka tidak bisa bersikap profesional selayaknya partner kerja.
Awalnya, berkali-kali Semesta mencoba meyakinkan dan berjanji bahwa ia akan berusaha bersikap seprofesional mungkin ketika mereka ada si satu project. Namun, bukannya luluh, Mentari justru mengatakan kalimat yang membuat Semesta hanya bisa terdiam pada akhirnya. Mentari bilang, ia bosan jika di sisi mana pun kehidupannya selalu ada Semesta di dalamnya. Bayangkan saja. Mereka pacaran. Satu kampus. Satu fakultas. Satu jurusan. Satu kelas. Bahkan seringkali satu kelompok saat pembagian kelompok di beberapa tugas mata kuliah. Haruskah mereka satu pekerjaan juga? Mentari merasa tidak nyaman akan hal itu.
Semesta yang pada dasarnya memang posesif, tidak suka ketika fotografer-fotografer cowok di luaran sana beberapa ada yang genit dengan Mentari, awalnya keras kepala. Ingin tetap satu project dengan Mentari apapun keadaannya. Akan tetapi, keras kepala Semesta perlahan luruh ketika tahu Mentari benar-benar tidak nyaman jika dirinya selalu terlibat dalam kehidupan cewek itu. Mau tidak mau, demi Mentari, Semesta akhirnya memilih mengalah meski dengan berat hati dan perasaan sedih.
"Bucin banget lo, Ta."
Semesta tertawa renyah. Diledeknya balik sepupunya itu. "Nggak apa-apa bucin, orang ada objeknya. Lo nggak bisa bucin karena belum nemu objek yang bisa lo bucinin."
"Kampret lo, Ta!" umpat Atlas.
"You too," balas Semesta kemudian mereka tertawa bersama.
Sore itu, Semesta menghabiskan waktunya untuk bermain gitar di rooftop langit jingga sambil sesekali menanggapi ocehan Atlas yang membosankan karena hanya membahas mengenai cewek-cewek incarannya. Saking asyiknya dengan dunianya, Semesta sampai tidak sadar, ada beberapa notifikasi panggilan tidak terjawab dari Mentari di ponsel yang ia letakkan begitu saja.
Sementara itu, di tempat lain Mentari tengah menggerutu sebal karena Semesta tidak kunjung mengangkat telfon darinya. Cewek itu meremas tangannya kuat-kuat untuk menyalurkan rasa kesal. Tidak biasanya Semesta seperti ini. Semesta itu orang yang paling sigap jika menyangkut tentang dirinya. Namun, berbeda halnya dengan sore ini. Semesta tidak bisa dihubungi dan berhasil membuatnya marah.
"Ck! Nggak guna banget sih jadi cowok!"
bersambung....
***
Waduh, waduh, waduh....
Kayaknya bakal ada huru hara nih.
tapi 300 komen dulu sebelum next part!!!!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro