8. Fotografi
How was ur day, Sobel?
Siap bacanya?
Happy reading...
***
"Semesta akan tetap mencintai Mentari dengan caranya sendiri. Dengan kesederhanaan-kesederhanaan yang membuat cintanya terasa jauh lebih nyata."
***
Jika ditanya hal apa yang paling ingin Mentari lakukan saat ini? Jawabannya sudah pasti keluar dari kelasnya secepat mungkin. Atau... lebih tepatnya kabur.
Kepala Mentari benar-benar terasa pening. Selain karena mendengar teori yang sedang dijelaskan oleh dosen mata kuliah fotografi di depan sana, semalam Mentari juga kurang tidur karena lagi-lagi dirinya kesulitan tidur. Insomnia. Ya, itu adalah masalahnya sejak dulu.
"Kapan sih kelarnya?" bisik Mentari pada Jemisha, sahabatnya yang duduk tepat di sebelah kirinya. Sementara di sebelah kanannya ada Semesta yang terlihat mendengarkan penjelasan dari dosen dengan begitu saksama. Sangat berbanding terbalik dengan reaksi Mentari sejak tadi.
Jemisha balik berbisik. "Udah nikmatin aja. Makin lo pengen cepet kelar, malah makin nggak kelar-kelar nih kelas kita."
Jemisha juga bukan tipe mahasiswa yang ambis. Bahkan nilai mata kuliah fotografinya selalu mendapatkan C. Akan tetapi, ia lebih memilih menikmati penjelasan dosen di depan daripada terus-terusan mengeluh seperti Mentari.
Mentari mendengus kasar. Diliriknya sebentar ke sebelah kanan. Hingga matanya tidak sengaja menatap senyuman tipis yang Semesta lemparkan ke arahnya entah sejak kapan.
"Please kalian berdua jangan bucin di sini. Gue ini manusia hidup. Bukan patung!" decak Jemisha dengan suara setengah berbisik. Menatap jengah Semesta yang masih tersenyum manis ke arah Mentari. Sama sekali tidak memedulikan kalimat protesnya barusan.
Mentari memutar bola matanya malas. Siapa juga yang mau bucin di dalam kelas? Jelas-jelas sejak tadi dirinya justru ingin cepat-cepat melarikan diri dari sini. Salahkan Semesta saja yang selalu seperti itu. Selalu senyum-senyum tidak jelas setiap bertatapan dengannya. Dasar bucin!
"Lama banget sih kelarnya! Gue beneran pengen kabur, Jem. Izin ke kamar mandi, yuk?" ajak Mentari merengek pada Jemisha. "Tapi nanti nggak usah balik sampai kelas kelar."
Jelas saja Jemisha menolak mentah-mentah ajakan Mentari kali ini. Ia tidak mau terkena bujuk rayu sahabatnya yang akhlaknya minus itu. Ya meskipun akhlak Jemisha sendiri juga minus sih... hehe.
"Nggak. Nanti pas praktek gue bakal ngang-ngong ngang-ngong doang kalau gue keluar kelas sebelum waktunya. Iya lo ada Semesta yang siap sedia bantuin tugas-tugas fotografi lo. Nah, gue?"
Semesta mendengar ketika namanya Jemisha sebut. Namun, cowok itu hanya diam dan memilih kembali fokus pada mata kuliah favoritnya ini. Yang juga sesuai dengan pekerjaan freelance-nya beberapa bulan ini sebagai seorang fotografer. Semesta tidak mau ikut campur perdebatan antara sepupu dan pacarnya. Takut-takut kalau dirinya yang justru menjadi sasaran empuk mood buruk Mentari pagi ini. Bisa repot nanti.
"Cupu lo, Jem."
"Diem, Tar, sebelum gue sumpel mulut lo pakai kaos kaki gue."
Jemisha menghela napasnya pelan. Sampai saat ini sebenarnya ia masih merasa heran. Heran dengan sahabatnya sejak SMA ini. Dulu, waktu mereka masih SMA, fotografi adalah salah satu hal yang paling Mentari gemari. Bahkan Mentari juga yang dulunya membuat Semesta secara tidak langsung tertarik dan masuk ke dalam dunia fotografi.
Mentari pun sebenarnya sengaja masuk ke jurusan komunikasi yang di dalamnya ada pembelajaran mengenai fotografi karena memang ingin menekuni bidang tersebut. Namun, entah kenapa, semakin ke sini, ke-tidak sukaan Mentari dengan mata kuliah yang satu ini semakin terlihat jelas. Lebih tepatnya sejak Mentari menggeluti dunia modeling dengan lebih serius.
Kata Mentari, ia lebih suka jika dirinya dijadikan objek oleh seorang fotografer dengan menjadi seorang model. Daripada dirinya menjadi fotografer yang harus pintar-pintar mencari objek seperti tugas-tugasnya di mata kuliah fotografi ini.
Itulah mengapa ketika mendengarkan teori bagaimana cara mendapatkan potret moment yang sempurna dari sang dosen, Mentari malas sekali mendengarnya. Apalagi menerapkannya. Karena sekarang dirinya hanya terobsesi untuk menjadi seorang model terkenal. Bukan menjadi seorang fotografer handal seperti cita-citanya di masa lalu.
Hal itu juga lah yang membuat Semesta banyak membantu Mentari dalam mata kuliah fotografi ini. Tidak jarang hasil jepretan Semesta, Semesta berikan secara cuma-cuma pada Mentari untuk memenuhi tugas-tugas fotografi cewek itu. Setidaknya sampai sejauh ini hal tersebut tidak menimbulkan masalah besar. Dan semoga saja akan tetap seperti itu.
"Oke. Kita ketemu lagi minggu depan, ya. Jangan lupa cek tugas-tugasnya yang sudah saya share ke grup."
Mentari menghela napas lega seiring dengan kepergian sang dosen dari dalam kelas. Akhirnya momen yang ia nanti-nanti, yang ia dambakan sejak tadi, datang juga. Mata kuliah fotografi hari ini selesai. Rasanya Mentari ingin mengucap sujud syukur sebab kelas fotografi hari ini selesai lebih cepat dibanding waktu yang seharusnya. Ya meskipun terasa sangat lama karena ia tidak menikmatinya sama sekali.
"Eh, lo berdua mau pulang, kan? Nebeng dong gue," kata Jemisha pada Mentari dan Semesta sembari mengemasi barang-barangnya.
"Nggak."
Mentari memukul pundak Semesta. Membuat cowok yang baru saja menolak permintaan Jemisha itu mengaduh pelan. Pura-pura kesakitan.
"Sakit... Mentari."
"Makanya jangan pelit-pelit. Jemisha tebengin," jawab Mentari ketus.
Semesta membela diri saat melihat Jemisha justru menantangnya dengan menjulurkan lidah ke arahnya. "Dia nebeng mulu. Ganggu kita."
Mata Jemisha melotot tidak terima. "Astaga, Ta. Lo perhitungan banget sama gue? Bener-bener lo tuh 11 12 sama Kakek. Benci banget kalau sama gue," balas Jemisha dramatis dengan wajah sedih yang ia buat-buat di akhir kalimat. Jemisha ini memang si ratu drama. Persis sekali dengan raja drama, Atlas. Rasanya Semesta ingin menukar dua sepupunya itu dengan manusia lain yang lebih waras.
Semesta berdecak dengan tatapan tidak suka. "Jangan bawa-bawa dia, Jem."
Tolong ingatkan Jemisha kalau Semesta sendiri pun tidak pernah akur dengan sang kakek yang banyak menuntutnya ini dan itu. Belum lagi tadi pagi sebelum berangkat kuliah Semesta dan kakeknya juga sempat berdebat. Lagi-lagi karena masalah sepele. Ya seperti itulah keadaan mereka setiap hari. Kalau tidak berdebat ya saling diam-diaman.
Berdiri dari duduknya, Semesta tidak mau lagi menggubris Jemisha. Ia beralih menatap Mentari lembut. Kedua tangannya terulur ke atas kepala cewek yang masih duduk di tempatnya sambil bermain ponsel itu. Mengusapnya dengan sorot mata penuh kasih sayang. "Kita makan dulu, ya?"
"Nggak. Nggak. Gue mau langsung pulang!"
Bukan. Itu bukan Mentari yang menjawab. Melainkan Jemisha. Cewek itu membalas tatapan malas Semesta dengan delikan tajam.
Nah, ini yang Semesta tidak suka ketika sepupunya itu ikut pulang satu mobil bersamanya dan Mentari. Hanya menjadi perusuh saja. Sangat merepotkan, bukan?
"Jangan geer, Jem. Gue anter lo pulang dulu baru gue ngajak Mentari makan," koreksi Semesta. "Pede banget gue ajak makan."
Meskipun setengah tidak ikhlas, Semesta tetap tidak setega itu untuk benar-benar menolak Jemisha dan tidak memberinya tebengan pulang. Lagi pula selama ini sedikit banyak Jemisha juga turut membantu mengatasi beberapa masalah yang terjadi dalam hubungannya dengan Mentari. Anggap saja ini semua sebagai bentuk terima kasih Semesta pada sepupunya yang ribet itu.
"Bener-bener nggak—" ucapan Jemisha terpotong kala melihat satu sepupunya lagi tiba-tiba masuk ke dalam kelas dengan napas tersengal-sengal serta kemeja juga rambut acak-acakan tidak karuan. "Astaga. Lo kemana aja, Tlas? Lo udah bolos dua kali di kelas fotografi. Sekali lagi lo bolos, lo bakal ngulang!" heboh Jemisha menyambut kedatangan Atlas.
Sebelum Atlas buka suara, Semesta lebih dulu menambahkan. "Mimpi apa lo Tlas jam segini baru dateng? Kelas udah kelar baru nongol!" Semesta terkekeh pelan.
Atlas yang masih terlihat seperti kelelahan karena habis berlari, menarik kasar kursi bekas tempat duduk Semesta tadi. Ia duduk di sebelah Mentari terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan kedua sepupunya yang tidak berhenti mencecar dirinya dengan pertanyaan-pertanyaan menyebalkan.
"Gue capek woi!! Jangan nanya mulu. Lift-nya masih diperbaiki jadi gue harus naik ke lantai empat ini lewat tangga biasa. Mana tadi gue bangun kesiangan, terus ban motor bocor, jadinya gue baru nyampe sekarang," jelas Atlas dengan rasa kesal yang menggebu-gebu. Ia membuka air mineral yang sejak tadi digenggamnya sebelum meminumnya hingga habis tak tersisa.
"Udah tau kayak gitu, tapi masih aja dateng. Perasaan bego lo nggak kelar-kelar deh, Tlas?" geleng Jemisha tidak habis pikir. Kalau ia menjadi Atlas, Jemisha tidak akan membuang-buang waktu dengan datang ke kampus yang jelas-jelas kelasnya sudah selesai. Buat apa coba? Aneh sekali.
Mentari yang baru saja menyingkirkan kedua tangan Semesta dari atas kepalanya dengan sedikit gerutuan, ikut menyahut seraya memasukan ponselnya ke dalam tasnya. "Mana bisa kelar. Orang begonya Atlas makin nambah, Jem."
Mendapat delikan tajam dari Atlas, Mentari tidak takut sedikitpun. "Apa? Lo mau protes? Emang kenyataan, kan? Mau lupa ingatan soal tugas survei kemarin yang lo cuma numpang nama doang sama gue? Itu udah membuktikan kalau lo bego."
"Dendam banget lo, Tar. Kan kelompok kita kemarin banyak. Mereka semua juga nggak bantu ngerjain, kan? Kenapa gue doang yang lo amuk," protes Atlas tidak terima. "Lagian lo juga nggak ngerjain sendiri. Pasti dibantuin sama Semesta."
Bagaimana Mentari tidak mengamuk dan dendam? Bayangkan saja. Bayangkan baik-baik. Itu adalah tugas kelompok yang satu kelompoknya ada lima orang. Namun, karena Mentari cewek sendiri di kelompoknya, akhirnya cuma dirinya yang mengerjakan. Entah sedang sial atau karma karena ia sering merepotkan Semesta urusan tugas, kemarin Mentari mendapatkan anggota kelompok yang benar-benar tidak berguna. Sama sekali tidak bertanggung jawab dengan tugas. Padahal di kelasnya ini juga banyak cowok pintar dan rajin. Sayangnya kelompok Mentari kemarin zonk.
Memang benar apa yang Atlas bilang barusan. Semesta membantunya juga, meskipun Semesta tidak satu kelompok dengannya, tapikan tetap saja Mentari kesal karena semua anggota kelompoknya itu hanya nitip nama. Tidak peduli dengan tugasnya. Mentari sendiri yang pusing, tapi ujung-ujungnya nilai mereka semua sama. Sangat tdak adil.
"Sepupu lo yang satu ini udah bacot, nggak tau malu juga, Jem," adu Mentari pada Jemisha. "Pantes aja cewek-cewek yang dideketin pada kabur."
Atlas menoleh ke Mentari dengan tatapan tidak terima. Enak saja dibilang tidak tahu malu. Bukannya kebalik, ya?
"Heh! Ngaca! Kayak lo tau malu aja. Lo juga sering repotin Sem—"
"Tlas," sela Semesta menatap Atlas dengan tatapan memperingati.
Atlas mendengus kasar. Kalau bukan karena Semesta, Atlas juga ogah kenal apalagi sampai berteman dengan cewek seperti Mentari ini. Benar-benar menguras energi. Herannya, bisa-bisanya Semesta kecantol dengan cewek gila modelan Mentari.
Mentari melayangkan tatapan penuh dendam ke arah Atlas. "Minimal jadi cowok mulutnya nggak lemes kayak cewek!"
"Udah, Tar, elah. Lo gelut mulu sama Atlas, dah. Curiga jodoh," geleng Jemisha berusaha melerai mereka.
Mentari bergidik ngeri. "Amit-amit jodoh sama setan kayak—"
Belum sempat melanjutkan kalimatnya, Semesta lebih dulu menarik tangan Mentari hingga membuat cewek itu mau tidak mau beranjak dari tempat duduknya. "Udah, Mentari. Kita pulang, ya," ajak Semesta cepat.
Untuk beberapa detik, Semesta menatap Mentari lembut. Kalau dirinya tidak cepat bertindak, bisa-bisa pertengkaran antara pacar dan sepupunya itu bisa merembet kemana-mana. Mengingat kelas juga sudah sepi sejak tadi, membuat mereka berdua akan lebih leluasa untuk beradu mulut. Mereka dari dulu memang selalu seperti itu. Tidak pernah akur dalam hal apapun. Semesta sendiri sampai terheran-heran melihatnya. Mereka berdua seperti saling menyimpan dendam satu sama lain.
"Lo pulang sama Atlas aja, Jem," suruh Semesta sebelum ia dan Mentari keluar dari kelas. Meninggalkan Jemisha yang berdecak kesal karena ucapan Semesta. Lagi-lagi dirinya yang terkena dampaknya.
"Lo sih, Tlas."
"Kok gue sih?!"
Tak berbeda jauh dengan Atlas dan Jemisha, Semesta dan Mentari yang kini sudah ada di dalam mobil juga tengah berdebat.
"Terus sekarang kamu maunya apa, Mentari? Aku harus gimana ke Atlas biar kamu nggak marah sama aku?"
Mentari melipat tangannya di depan dada dengan raut wajah kesalnya sejak tadi yang belum juga mereda. "Kamu emang selalu kayak gitu. Selalu aja Atlas yang kamu bela. Iya, aku tau Atlas emang keluarga kamu. Tapi aku kan pacar kamu!"
Semesta terkekeh pelan. Menghadapi Mentari yang keras kepala, memang tidak bisa dengan keras kepala juga. Ia harus jauh lebih bersabar. "Ciee... ngaku juga kalau kamu pacar aku. Aku minta maaf ya, sayang."
"Dimaafin nggak?" tanya Semesta lembut. Ia memasangkan seatbelt Mentari sebelum memasang punyanya sendiri.
"Ayo jalan. Aku laper."
Semesta mengangguk. Oke, itu artinya Mentari tidak mau membahasnya lagi dan dirinya tidak boleh banyak bertanya. Semesta menurut. Ia melajukan mobilnya keluar dari area kampus untuk mencari tempat makan mereka siang ini.
"Kamu lagi pengen makan apa?" tanya Semesta sambil fokus menyetir.
"Terserah."
"Ramen mau nggak? Di deket sate taichan yang biasa kita makan ada restoran ramen baru. Enak banget rasanya."
Mentari sedikit tertarik dengan ucapan Semesta. Ia menoleh ke samping, menatap Semesta penasaran. "Kok kamu tau kalau enak banget? Udah pernah makan di sana?"
Semesta menggeleng pelan. "Belum. Tapi aku udah cari tau," jawabnya menoleh sekilas ke Mentari.
Mentari bergeming di posisinya. Tak merespon apapun selain melirik sekilas ke Semesta yang tatapannya tetap lurus ke depan.
Detik selanjutnya, senyum tipis Semesta perlahan terbit mengingat kebiasaannya yang mungkin saja belum Mentari ketahui selama ini. "Tiap malem kalau aku gabut tapi kamu nggak mau aku ganggu, biasanya aku gunain buat searching tempat makan yang enak deket kampus. Biar kalau ngajak kamu makan, aku punya banyak referensi."
Semesta tertawa pelan. "Terdengar nggak penting emang, tapi buat aku, bikin kamu nyaman sama aku itu prioritas utama," tambahnya menatap Mentari lekat-lekat saat mobilnya berhenti di lampu merah.
Apa yang Semesta lakukan ini mungkin terkesan berlebihan. Akan tetapi, sungguh Semesta tidak peduli bagaimana pendapat orang lain. Semesta akan tetap mencintai Mentari dengan caranya sendiri. Dengan kesederhanaan-kesederhanaan yang membuat cintanya terasa jauh lebih nyata.
***
lanjut dong....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro