Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

7. Jealous

"Namun, seperti itulah bentuk kebahagiaan. Terkadang terlihat tidak berarti apapun bagi banyak orang, akan tetapi akan sangat bermakna untuk sebagian orang lainnya."

***

"Mentari."

Mata Mentari membulat sempurna begitu dirinya berbalik badan sepenuhnya menghadap cowok bertubuh jangkung yang sudah berdiri di depannya dengan satu alis terangkat. Detik itu juga Mentari menghela napas lega. Tanpa aba-aba jemari lentiknya memberikan cubitan kecil di pinggang cowok itu. Disertai decakan kesal dari bibirnya hingga membuat cowok di hadapannya mengaduh kesakitan.

"Sakit, Sayang... " adunya pelan. Ia meraup jemari Mentari dan membawanya ke dalam genggaman.

Iya, cowok itu adalah Semesta. Mentari kaget karena tiba-tiba saja pacarnya itu sudah ada di sana. Pasalnya tadi di gazebo yang letaknya tidak jauh dari panggung tempat acara kampus diselenggarakan, hanya ada dirinya dan teman cowoknya yang kini sudah pergi entah kemana. Tadi Mentari sempat mengobrol sebentar dengan temannya itu, sebelum akhirnya ia ingin kembali mencari Semesta yang kemungkinan besar pasti ada di backstage.

Mentari mendengus kasar sambil menatap sebal ke arah Semesta. "Hobi banget ngagetin!"

Helaan napas pelan terdengar dari Semesta. Cowok dengan rambut kecoklatan yang berantakan dan dahinya sedikit berkeringat itu melepas tangan Mentari. Ia beralih memegang kedua pundak Mentari dengan tatapan lekat-lekat.

"Kamu ngapain di sini, hm?" tanya Semesta tampak khawatir. "Aku nyariin kamu kemana-mana. Sampai ke parkiran juga. Aku kira kamu udah nunggu aku di mobil, tapi ternyata nggak ada juga."

Benar, tadi Semesta memang sudah mencari Mentari kemana-mana. Sayangnya Semesta tidak menemukan keberadaan cewek itu di tempat-tempat yang tadi ia datangi. Semesta sempat frustrasi apalagi mengingat ucapan Biru saat di backstage tadi. Sialan! Hingga akhirnya Semesta memutuskan ke area parkiran untuk mencari keberadaan Mentari yang mungkin saja ada di sana sekaligus untuk meletakkan gitar kesayangannya ke dalam mobil.

"Aku khawatir sama kamu, Mentari. Kamu nggak bisa aku hubungi dari tadi," tambah Semesta. Tangannya beralih untuk membelai lembut kepala Mentari. Meskipun ketakutan-ketakutan yang sejak tadi bersarang di kepalanya tidak kunjung reda, demi apapun Semesta lebih khawatir jika Mentari kenapa-kenapa dibanding memikirkan jika Mentari mengkhianati dirinya. Syukurnya kini Mentari tampak baik-baik saja.

Mentari memutar bola matanya jengah. Pacarnya ini pikun atau hilang ingatan, sih? Jelas-jelas tadi dirinya sudah pamit. Lebay memang!

"Kan tadi aku udah bilang aku mau ngobrol dulu sama temen aku. Hp aku mati. Baterainya habis," jelas Mentari sebelum menyingkirkan tangan Semesta dari kepalanya dan menarik tangan cowok itu menuju ke parkiran. Mata Mentari mengantuk. Ia ingin mengakhiri perdebatan tidak penting ini untuk segera pulang dan istirahat di rumah.

Semesta hanya bisa menurut. Ia membiarkan tangan kirinya di genggam oleh Mentari hingga mereka sampai di parkiran.

"Kamu tadi ngobrol berdua doang?" Pertanyaan itu terlontar dari Semesta selesai ia membukakan pintu mobil untuk Mentari dan menyusulnya masuk ke dalam.

Bersidekap dada, cewek yang baru saja menghapus liptint-nya sambil berkaca di kaca kecil yang ia ambil dari dalam tasnya itu menoleh pada Semesta dengan tatapan lelah. Oh ayolah! Dirinya ini sedang tidak ingin berdebat. Sepertinya sikap posesif Semesta memang benar-benar kambuh lagi.

"Terus kamu maunya aku ngobrol ber berapa Semesta? Jelas-jelas aku bilang temen aku. Bukan temen-temen aku. Artinya satu orang doang, kan?"

"Jadi, ya udah pasti berdua doang. Bukan bertiga apalagi satu RT!" decak Mentari dengan nada sedikit—ralat, sangat ngegas.

Semesta membalas tatapan Mentari dengan tatapan tenang yang 180 derajat sangat berbeda dengan tatapan Mentari ke dirinya saat ini. Benar, Mentari memang selalu melemparkan tatapan berapi-api dan penuh amarah jika dirinya banyak bertanya. Apalagi jika mood Mentari sedang tidak baik-baik saja. Entahlah, Semesta sendiri tidak paham, kenapa Mentarinya itu selalu begitu?

"Aku cuma mau mastiin aja, sayang," ucap Semesta lembut. "Itu teman kamu dari—"

Belum sempat Semesta melanjutkan kalimatnya, Mentari lebih dulu menyela secepat kilat. "Dia salah satu fotografer di project aku bulan depan."

Semesta mengangguk paham. Baru saja ia ingin menyalakan mobil, pergerakannya terhenti ketika mendengar lanjutan ucapan dari Mentari.

"Dia juga anak komunikasi. Kakak tingkat kita."

"Siapa namanya?" tanya Semesta penasaran dengan raut sedikit kaget di wajahnya.

Mentari melipat tangannya di depan dada seraya menyandarkan punggung ke jok mobil untuk mencari posisi ternyaman. Ia menyesal memberitahu Semesta hal tersebut. Pasti setelah ini rasa ingin tahu Semesta akan membuatnya kesal.

"Penting banget ya kamu tau?"

Tanpa ragu Semesta mengangguk. Jelas saja ia ingin tahu. Tidak usah ditanya lagi. "Iya lah, aku mau tau. Ngga boleh, ya?"

"Sepenting itu? Dia cuma temen di kerjaan aku loh."

"Penting banget banget banget."

"Kepo banget kamu."

"Sayang..."

"Ck! Udah ayo jalan. Kita nggak pulang-pulang kalau kamu banyak tanya. Udah malem ini, besok kita ada kelas pagi."

Dengan terpaksa Semesta menurut. Ia mulai menjalankan mobilnya keluar parkiran. Mobil BMW hitam itu melewati gedung-gedung mewah Harnus University yang menjulang begitu tinggi dan kokoh. Sampai akhirnya mobil Semesta benar-benar jauh dari area kampus dan berakhir melewati jalanan-jalanan malam yang tidak terlalu ramai. Membuat isi kepala Semesta yang tadi begitu kacau kini sedikit mereda. Ya, walaupun hanya sedikit. Sangat sedikit.

Setelah berpikir beberapa saat, Semesta akhirnya memutuskan untuk kembali bertanya. Perasaannya tidak tenang kalau beberapa pertanyaan yang masih bersemayam di dalam kepalanya belum menemukan jawaban yang pasti dari cewek di sampingnya yang kini tengah mencoba memejamkan kedua matanya itu.

"Kamu beneran nggak mau kasih tau aku siapa nama temen cowok kamu itu?" Semesta menoleh ke arah Mentari. Ia mencoba bertanya dengan kalimat yang sudah ia pilih dan pilah dengan sangat amat hati-hati. Semua itu demi menjaga mood Mentari yang tidak pernah bisa ia tebak. Kadang tenang, tak jarang juga meledak-ledak tanpa alasan.

Berbeda dengan Semesta yang merasa semakin gelisah meski fokusnya pada jalanan tetap terjaga, Mentari, cewek itu justru masih bergeming di posisinya. Terlihat tidak ada sedikitpun niat cewek itu untuk menjawab pertanyaan dari Semesta. Padahal Semesta benar-benar sedang gelisah sekarang. Sebut saja Semesta terlalu berlebihan. Namun, memang seperti inilah Semesta. Mudah overthinking jika itu menyangkut tentang Mentari.

"Aku tau kamu ngga tidur, Mentari."

Semesta mendengus. Lagi-lagi ia diabaikan. "Kamu mau ngasih tau aku siapa nama cowok yang tadi ngobrol sama kamu itu atau aku sendiri yang bakal cari tau?"

Dan, ya! Ucapan—ralat, itu semacam ancaman, bukan? Berhasil membuat Mentari seketika menegakkan badannya, menatap Semesta yang tengah fokus menatap ke depan dengan tatapan heran.

"Apa sih?" tanya Mentari tidak habis pikir. "Kenapa kamu suka banget gede-gedein hal yang sebenarnya nggak perlu dibahas?"

"Perlu, Mentari."

"Kenapa perlu?"

"Ya karena aku mau tau, Mentari," ucap Semesta lembut. Meskipun tengah berdebat dengan Mentari, Semesta tetap menjaga agar nada bicaranya tidak membuat Mentari tersinggung atau bahkan takut.

Mentari menjawab dengan malas. "Terus kalau udah tau kamu mau ngapain? Sepenting itu sampai ngotot banget mau tau namanya dari tadi?"

"Sespesial itu sampai kamu nggak mau ngasih tau nama cowok itu ke aku?"

Jawaban tidak terduga dari Semesta itu berhasil membuat Mentari berdecak pelan. Pacarnya ini benar-benar hobi sekali memancing emosinya. Padahal Semesta tahu betul bagaimana dirinya. Namun, seringkali cowok itu terlihat sengaja ingin membuat amarahnya memuncak dan berujung perdebatan tidak berguna seperti sekarang.

"Tuh, kan. Aneh banget kamu. Ujung-ujungnya pasti nuduh yang enggak-enggak dan nyalahin aku." Mentari menatap Semesta kesal. Selalu saja berujung seperti ini.

"Aku nggak nuduh dan nyalahin kamu, sayang. Aku cuma nanya," bantah Semesta tetap dengan sikap tenangnya meski kekhawatiran-kekhawatiran di dalam kepalanya semakin membuncah. Ya, memang setakut itu seorang Semesta Auriga kehilangan seorang Mentari Gauri. Semesta tidak pernah menyangkal hal itu. Karena saat ini ia hanya mempunyai Mentari di hidupnya. Wajar saja bukan jika ia begitu takut kehilangan Mentari-nya?

Saat merasa tak mendapat jawaban apapun dari Mentari, tangan kiri Semesta yang bebas terulur ke samping. Mengusap puncak kepala Mentari yang masih betah diam tanpa sepatah kata pun di tempatnya. "Apalagi tadi kalian ngobrol berdua di tempat sepi kayak gitu. Aku khawatir sama kamu. Takut dia punya niat yang nggak baik ke kamu. Bukan aku mau nuduh dan nyalahin kamu seperti yang ada di pikiran kamu."

Semesta membuang napasnya pelan. Ia melanjutkan ucapannya. "Padahal ngobrol di tempat lain bisa. Kenapa dia ngajak kamu duduk di gazebo gelap itu, coba?"

"Tuh, kan." Mentari memutar bola matanya jengah. Benar-benar lelah menghadapi keposesifan Semesta yang tidak ada habisnya dan kadang tidak masuk akal.

"Sem?" panggil Mentari membuat Semesta yang tadi mengalihkan fokusnya ke jalan kini menoleh sekilas.

"Ya, sayang?" Semesta kembali mengusap kepala Mentari setelah tangannya kembali ia gunakan untuk menyetir sepenuhnya.

"Bisa nggak sih berhenti buat tanya, bahas dan permasalahin hal nggak penting kayak gini?"

Tidak ada jawaban. Semesta diam dan itu membuat Mentari semakin kesal setengah mati.

"Semesta!"

Semesta akhirnya menatap wajah Mentari selama kurang dari sepuluh detik sebelum kembali fokus menatap jalanan di depan.

"Apa?"

"Bisa nggak sih berhenti buat tanya, bahas dan permasalahin hal nggak penting kayak gini?" ulang Mentari.

Kepala Semesta mengangguk mantap. "Oke, tapi bisa nggak kamu kalau ketemu sama cowok dan ngobrol berduaan nggak usah di tempat sepi kayak tadi?"

Semesta tahu dan sadar betul bahwa dirinya ini memang posesif dan pencemburu akut. Suka mempermasalahkan dan mempertanyakan hal-hal yang mungkin dianggap tidak terlalu penting oleh sebagian orang. Akan tetapi, bagi Semesta semua yang menyangkut Mentari itu sangat penting. Selalu penting.

Berdecak, Mentari mencoba menyingkirkan tangan Semesta dari kepalanya dengan susah payah. Bagaimana tidak? Tangan Semesta itu besar. Sangat kontras dengan bentuk tangannya yang lentik dan cenderung mungil.

"Aneh banget kayak gitu doang dipermasalahin. Padahal aku cuma ngobrol biasa meskipun ngobrolnya di tempat sepi karena biar nggak berisik kalau ngobrol di deket panggung," dengus Mentari sebal. "Emangnya kamu? Ngobrol sama fans sampe lupa nyamperin aku dan cuekin aku!"

Menoleh cepat ke samping, Semesta Menatap Mentari dengan tatapan terkejut sekaligus tidak percaya. Jadi Mentari... jealous? Tadi ia memang sempat mengobrol dengan beberapa cewek yang memberinya hadiah kecil saat turun dari panggung, tapi demi apapun Semesta tidak menyangka kalau hal itu akan membuat Mentari cemburu. Karena, yaaa... itu hanya sebatas penggemar. Bukanlah sesuatu hal yang harus dicemburui, kan?

Meskipun yang tidak Mentari ketahui sebenarnya hal itu juga sengaja Semesta lakukan untuk melihat bagaimana reaksi Mentari saat melihatnya. Semesta pikir Mentari tidak akan peduli. Oleh karena itu sejak tadi Semesta sengaja memancing reaksi Mentari. Hingga akhirnya sekarang cewek itu benar-benar membahas hal tersebut.

Senyum Semesta kian melebar. Rona merah muda di pipinya perlahan-lahan terlihat semakin jelas. Ya! Semesta salting! Cowok itu mengambil tangan kanan Mentari untuk ia genggam. Ia merasa bahagia saat ini.

"Makasih, ya," ucap Semesta membuat dahi Mentari mengernyit tidak paham. Apa maksud Semesta? Tadi cemburu tidak jelas. Sekarang tiba-tiba mengucapkan terima kasih dengan wajah bahagianya. Aneh sekali.

Lagi pula terima kasih untuk apa coba?

"Hah? Makasih buat—"

Semesta menyela dengan cepat. "Makasih karena kamu udah jealous. Itu tandanya kamu cinta sama aku, Mentari. Sekarang aku udah lega."

Ya, ini adalah pertama kalinya Mentari mengaku cemburu—meskipun secara tidak langsung-—selama satu tahun lebih mereka menjalin hubungan.

Semesta bahagia. Lagi-lagi sesederhana itu kebahagiaan Semesta. Hanya dengan melihat Mentari jealous. Terkesan sedikit aneh memang. Namun, seperti itulah bentuk kebahagiaan. Terkadang terlihat tidak berarti apapun bagi banyak orang, akan tetapi akan sangat bermakna untuk sebagian orang lainnya.

bersambung....

***

Aneh ya, gak jadi marah cuma karena ceweknya jealous? 

Upssss. Siapa tuh? Hehe

Gimana update kali ini?

Kelihatan kan seberapa sayangnya Semesta sama Mentari.

Kita ketemu lagi next ya....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro