Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Memaafkan Segala Hal


"Setelah kamu pergi, segalanya di hidupku nggak pernah baik-baik aja, Semesta."

***

"Karena hari ini Ayah naik jabatan dan difasilitasi mobil dari kantor, jadi Ayah bakal traktir makanan apa pun yang kamu mau."

Di samping Bagas, Mentari bersorak senang. Hal itu tentu saja mengundang tawa bahagia Bagas yang menggelegar di dalam mobil. Anak perempuan satu-satunya ini memang sudah menginjak usia dewasa. Sekarang sudah menjadi seorang mahasiswa. Bahkan beberapa minggu lalu, Mentari juga sudah berani membawa dan mengenalkan cowok ke rumah. Namun, di mata Bagas, Mentari tetaplah putri kecilnya. Yang akan bahagia hanya karena ia belikan makanan-makanan kesukaannya.

"Kamu mau apa sayang?" tanya Bagas dengan fokus pada jalanan malam di depan yang sudah lumayan sepi.

Mentari mengamati jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas lebih lima belas menit. Itu artinya sebentar lagi restoran sushi yang menjadi tempat makan sushi favoritnya sejak SMA akan segera tutup.

"Mentari pengin sushi di tempat biasa ituloh, Yah. Tapi kayaknya bentar lagi tutup deh. Soalnya cuma buka sampai jam setengah dua belas malem. Masih keburu nggak, ya?"

Menghela napas, Bagas merasa bersalah. "Kalau aja tadi Ayah nggak lembur, Ayah pasti bisa ajak kamu jalan-jalan dari sore. Tapi tenang aja sayang. Ayah bakal—"

Dengan tiba-tiba Bagas mengencangkan laju mobilnya. "Pegangan ya, Ayah bakal ngebut. Demi sushi untuk tuan putri!"

Mentari berpegang erat pada sabuk pengamannya dengan jantung seperti ingin copot. Pasalnya ayahnya benar-benar ngebut meski tidak ugal-ugalan. Namun, sesaat kemudian tak urung tawa Mentari meledak juga. "Ayah, harusnya malem ini Mama ikut biar telinga Ayah dijewer sama Mama."

"Iya, sayangnya Mama kamu lagi demam," sahut Bagas dengan mata fokus menyetir. Ia terkekeh pelan. "Kalau ada Mama kamu di sini, habis kita diomelin."

"Hahaha... "

"Ayah sekarang pelan-pelan, bentar lagi nyampe. Nanti kalau kelewat kita puter baliknya jauh karena di sini jalannya searah," peringat Mentari. Mengingat ayahnya adalah tipe orang yang sulit menghafal jalan. Jadi, Bagas tidak akan sadar mereka akan segera tiba di restoran sushi jika Mentari tidak mengingatkan.

"Nah itu—yaaa... kelewatan, Yah! Itu tadi di belakang restoran sushi-nya."

"Ayah?" Mentari melongo saat Bagas membelokkan mobil mereka ke arah berlawanan dengan begitu gesit. Iya, mobil mereka sekarang melaju dengan melawan arah.

"Ayah! Kok?!"

Berbeda dengan Mentari yang panik, di kursi kemudi Bagas justru terlihat tenang dan biasa-biasa aja. "Udah nggak apa-apa, sayang. Jalannya lagi sepi juga. Jadi aman."

"Ayah! Awas!"

Citttt...

BRAK!!

Mobil mereka berhasil selamat. Namun, nahasnya mobil yang tadi melaju di hadapan mereka, mobil yang berusaha menghindari tabrakan dengan mereka, kini terpental dan menabrak bahu jalan hingga mobil itu terbalik sempurna.

"Ayah... " Mentari menangis. Melalui kaca mobilnya ia mengintip mobil itu. Ia membaca nomor plat mobilnya. Mentari merasa sepertinya tidak asing dengan mobil itu.

"Ayah, itu mobil orang tua Semesta yang kemarin sempet dipakai Semesta ke kampus!" adu Mentari menggebu-gebu. "Ayo kita tolongin, Ya!"

Namun, hal yang dilakukan oleh Bagas setelahnya membuat Mentari benar-benar tidak habis pikir. Bukannya turun dan segera mencari bantuan untuk orang di dalam mobil itu. Yang Bagas lakukan adalah kabur. Iya, Bagas melajukkan mobil meninggalkan tempat kecelakaan dengan kecepatan di atas rata-rata.

"Ayah—"

"DIAM MENTARI!"

Mentari menangis sepanjang perjalanan. Ia buru-buru mengambil ponsel, lalu mengirimkan pesan pada Semesta. Tidak lama setelah itu ia mendapatkan pesan balasan dari pacarnya.

Semesta🖤

Iya, sayang aku di rumah kok. Nungguin Ayah sama Bunda yang katanya masih di jalan. Mereka baru pulang dari rumah sakit.

Mentari melempar ponselnya ke sembarang arah. Ia menangis histeris. Berarti... orang yang berada dalam mobil itu benar-benar orang tua Semesta?

"Itu mobil orang tua Semesta Ayah! Kita harus balik! Kita harus selamatkan mereka!" teriak Mentari di sela-sela tangisannya.

Sementara Bagas, pria paruh baya itu terlihat sama sekali tidak peduli. Ia tetap fokus dengan laju mobilnya yang semakin kencang.

"Ayah! Aku nggak mau orang tua Semesta kenapa-kenapa! Aku nggak mau kalau—" Napas Mentari semakin memburu. "Gimana kalau orang Semesta meninggal?"

Ting!

Tatapan Mentari jatuh pada ponselnya yang ada di bawah kakinya. Dengan tangan gemetar Mentari berusaha mengambil ponsel itu. Mentari menggeser layarnya hingga menampilkan satu notifikasi pesan masuk dari Semesta.

Semesta🖤

Mentari, ayah sama bunda kecelakaan. Mereka meninggal di tempat.

Detik itu jantung Mentari terasa berhenti berdetak. Ia menoleh ke samping, menatap ayahnya yang menyetir dengan wajah tegang.

Orang tua Semesta meninggal? Berarti ayahnya adalah seorang... pembunuh?

Mentari memejamkan matanya sesaat sebelum memberanikan diri untuk kembali berucap. "Ayah... mereka meninggal. Sekarang ayah harus ke kantor polisi untuk tanggung ja—"

"DIAM! MENTARI!" bentak Bagas tanpa Mentari sangka-sangka. "KALAU KAMU SAYANG SAMA AYAH, JANGAN PERNAH ULANG KALIMAT ITU!"

"Atau, Ayah akan benci kamu dan nggak akan anggap kamu anak lagi!" ancam Bagas terdengar tidak main-main.

Bibir Mentari terkatup rapat. Semenjak malam itu rasa bersalah terus bersarang dalam dirinya. Terus menghantuinya. Semua potongan kejadian malam itu juga tersimpan rapi dalam ingatan. Membuat tidur malam Mentari tidak pernah nyenyak lagi. Belum lagi setelah itu ia harus bersikap biasa saja pada Semesta. Seolah menjadi orang paling peduli dan paling baik pada Semesta yang baru saja kehilangan orang tuanya. Begitu juga dengan kedua orang tuanya.

Ya, semenjak hari itu drama benar-benar di mulai. Semenjak hari itu pula Mentari membenci sushi. Ia membenci makanan favoritnya. Hari-hari terus berlanjut. Kadang kala Mentari masih berusaha membahasnya. Berharap ayahnya bisa sadar. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Hubungannya dengan orang tuanya justru semakin memburuk ketika membahas soal itu. Masalah demi masalah dalam hidup mereka terus berdatangan seolah menjadi karma instan yang Tuhan berikan.

Semenjak hari itu, Mentari membenci takdirnya. Membenci segala hal yang ada di hidupnya.

***

"Dasar anak pembunuh!"

"Penipu!"

"Satu keluarga penipu semua!"

"Nggak ayah, nggak ibu, nggak anak, semuanya sama aja. Tukang drama! Penipu!"

"Masih punya muka buat ke kampus ternyata."

"Kasihan Semesta, cintanya kebuang sia-sia buat orang nggak punya malu kayak Mentari."

"Pasti sengaja bohong karena nggak rela kehilangan pacar kaya kayak Semesta, secara dia, kan, jatuh miskin."

"Gila. Bisa-bisanya nipu pacar sendiri sampe setahun."

"Daripada jadi model doang sekalian itu lo jadi artis. Pinter akting soalnya."

"Tar!"

"Mentari!"

Lamunan Mentari buyar. Ia menatap sekelilingnya lalu menatap ke depan. Dosennya sudah tidak ada. Bahkan teman-temannya yang ada di dalam kelas hanya tinggal beberapa. Sebagian besar dari mereka sudah keluar sejak dosen mengakhiri kelas siang ini.

"Lo baik-baik aja, Tar?" tanya Akarsana.

Meski Akarsana tahu, mana mungkin Mentari baik-baik saja setelah semua yang terjadi beberapa hari belakangan ini. Sebagai teman satu kelas Mentari, Akarsana tentu tahu semua yang terjadi pada Mentari. Mulai dari Ayah Mentari masuk penjara karena ditetapkan sebagai tersangka tabrak lari pada kasus kecelakaan orang tua Semesta satu tahun lalu. Mentari yang beberapa hari ini mendapat banyak bullyan dan hinaan dari orang-orang di kampus—bahkan dari teman kelasnya seperti Jena and the gang. Hubungannya dengan Semesta yang harus berakhir. Belum lagi sekarang Mentari juga dijauhi oleh Jemisha—satu-satunya sahabat yang selama ini Mentari punya.

Mentari berusaha menetralkan ekspresinya. "Gue—baik-baik aja. Makasih, Kar. Kalau nggak lo sadarin kayaknya gue bisa ngelamun di sini sampai malem."

Akarsana mengangguk dengan senyum lebarnya. "Gue balik duluan, ya, Tar. Semangat!!"

Mentari membalasnya dengan anggukan serta senyuman tipis. Selepas kepergian Akarsana dari kelas, Mentari bergegas membereskan barang-barangnya yang masih tergeletak di atas meja.

Pergerakan Mentari terhenti. Ia menatap Jemisha di pojok sana yang sedang asyik bermain ponsel. Kemarin sebelum kelas dimulai Mentari sempat memberanikan diri untuk menyapa Jemisha terlebih dahulu. Setelah satu minggu ia didiamkan oleh cewek itu. Namun, respon yang Jemisha berikan sesuai dengan dugaan Mentari. Ya, Jemisha mengabaikannya dan meninggalkannya begitu saja. Jemisha tidak mau mendengarkan apa-apa lagi dari Mentari. Semua berita yang beredar sepertinya sudah cukup menjelaskan. Mentari juga cukup tahu diri. Ia tidak mengejar Jemisha lagi setelah penolakan Jemisha kemarin.

Untuk beberapa detik saat Mentari masih sibuk menatap ke arah Jemisha, tiba-tiba tatapannya bertemu dengan tatapan seseorang yang kini cepat-cepat mengalihkan wajahnya ke arah lain. Seseorang yang duduk di deretan paling depan, pojok kanan itu terlihat sangat enggan menatap ke arahnya. Iya, seseorang itu Semesta. Semesta juga masih ada di dalam kelas sejak tadi. Duduk bersama Jemisha dan Atlas di sampingnya.

Mentari tersenyum kecut. Bahkan untuk menatapnya seperti barusan saja Semesta tidak mau. Apalagi memaafkannya. Sepertinya itu terlalu mustahil. Sampai di hari ke delapan setelah ayahnya ditetapkan sebagai tersangka dan masuk penjara, Mentari belum mempunyai keberanian lebih untuk mengajak Semesta bicara. Jangankan secara langsung, melalui chat saja rasanya nyali Mentari terlalu ciut. Lagi pula Mentari sadar diri untuk tidak menjelaskan apa pun pada Semesta dan berharap Semesta mau memaafkannya.

Mentari menghembuskan napasnya pelan. Seharusnya ia tidak perlu merasa sedih seperti ini, bukan? Karena memang inilah yang pantas ia dapatkan. Bahkan seharusnya sejak dulu.

Membuyarkan pikiran-pikiran buruk yang memenuhi kepala, Mentari segera beranjak dari tempat duduk. Ia berjalan melewati tempat duduk Semesta, Atlas, dan Jemisha sambil menyiapkan diri dengan beberapa bullyan yang mungkin akan ia dapat dari mahasiswa dan mahasiswi yang ia temui di luar seperti tadi saat berangkat. Juga seperti hari-hari sebelumnya.

"Halo, Mentari," sapa Jena. Ia menghadang Mentari tepat di ambang pintu. "Sendirian aja nih. Kasihan banget ya lo. Udah miskin, bokapnya pembunuh, eh sekarang nggak punya temen karena pacar dan sahabat lo menjauh."

"Pantes, sih, lagian tega banget bohongin cowok yang selama ini udah tulus ke dia," sahut Aradea.

Lizzie ikut menambahkan. "Harusnya sih tahu diri. Kalau gue jadi lo gue nggak bakal punya muka buat tetep pergi ke kampus."

Tangan Mentari mengepal kuat di sisi badan. Ia menahan diri untuk tidak menampar mereka seperti kejadian dulu. "Gue ke kampus mau belajar. Apa hubungannya kalau gue anak pembunuh? Emang anak pembunuh nggak boleh belajar?"

Jena tertawa. "Wah, wah, akhirnya mengakui kalau lo emang anak pembunuh. Pembunuh orang tua pacar sendiri lagi."

"Minggir! Gue mau lewat!"

Aradea dan Lizzie yang berdiri di samping kanan dan kiri Jena dengan cepat menghalangi akses Mentari untuk keluar dari kelas.

"Gue belum selesai ngomong. Udah kayak gini, masih aja lo songong!" Jena mengambil botol minuman dari dalam tas. Dengan gerakan secepat kilat, Jena menuangkan air minum itu ke atas kepala Mentari. Perlahan tapi pasti air itu membasahi rambut hingga seluruh wajah Mentari.

Jena tersenyum miring. "Sebagai balasan apa yang lo lakuin ke gue tempo hari."

Napas Mentari memburu naik turun, detik itu juga rasanya ia ingin menampar Jena. Namun, mengingat masalah yang ia miliki terlalu banyak. Mentari mengurungkan niatnya. Mentari memejamkan mata, hingga ia mendengar suara teriakan dari belakang.

"JENA! LO BENER-BENER KETERLALUAN TAU NGGAK?!"

Mata Mentari terbuka perlahan, Jemisha. Iya, cewek itu kini sudah berdiri di hadapannya dengan wajah memerah. Menatap Jena penuh amarah. Mentari merasa... senang. Jemisha membelanya?

"Apa? Lo masih mau belain mantan sahabat lo yang udah nipu sepupu lo ini, hah?"

Jemisha hendak melayangkan sebuah tamparan tepat di wajah Jena. Namun, tepat di detik yang Sama, Semesta meneriaki Jemisha. Membuat tangan Jemisha yang sudah terangkat kini tampak mematung di udara.

"Jemisha!"

Semesta berjalan ke arah mereka diikuti Atlas. Semesta sempat melirik ke arah Mentari sebelum akhirnya memutus kontak mereka sepihak, lalu mengarahkan tatapannya penuh pada Jemisha. "Lo apa-apaan sih, Jem? Jangan bikin semua makin runyam!"

"Mending lo pergi deh, Jena. Muak banget gue lihat muka lo yang menor kayak ondel-ondel itu," decak Atlas. Ia melemparkan tatapan jijik ke arah Jena dan dua antek-anteknya.

Kini giliran Semesta yang bersuara. "Lo nggak denger apa yang Atlas bilang, Jen? Pergi atau gue laporin karena apa yang udah lo lakuin ke Mentari ini termasuk tindak bullying."

Jena menghentakkan kakinya ke lantai sebelum benar-benar pergi dari hadapan mereka diikuti Aradea dan Lizzie di belakangnya.

"Jem, makasih lo—"

Jemisha menepis kasar tangan Mentari. "Nggak usah geer deh, Tar. Gue berbuat kayak tadi karena tindakan Jena emang salah. Bukan karena gue masih anggep lo sahabat. Bahkan sebenernya gue udah nggak peduli sama lo setelah lo nipu kita semua selama ini!"

Mentari mengejar Jemisha yang berlalu begitu saja. Sementara Semesta dan Atlas yang hanya diam kini berjalan mengkuti Jemisha dan Mentari yang keluar dari kelas.

"Jem!" panggil Mentari. Ia tidak menyerah sekalipun Jemisha mengabaikan panggilannya dan terus berjalan menyusuri koridor. Mentari hanya ingin berbicara sebentar pada. Untuk mengucapkan terima kasih atau setidaknya untuk memeluknya terakhir kali sebelum persahabatan antara mereka benar-benar berakhir setelah ini. Sebelum mereka menjadi asing.

Tepat di dekat tangga, Mentari berhasil menyamai langkah Jemisha—Jemisha memang memilih turun menggunakan tangga manual karena jika menggunakan lift ia harus menunggu beberapa saat terlebih dahulu.

Mentari menarik tangan Jemisha pelan. "Jem, gue cuma mau—"

"Mau apa, Tar? Lo mau apa lagi?" potong Jemisha cepat. Ia menatap Mentari dengan sorot mata lelah. Tergambar dari raut wajahnya, Jemisha benar-benar kecewa dengan Mentari. Bukannya Jemisha tidak mau mendengarkan penjelasan dari Mentari. Namun, apa lagi yang mau dijelaskan oleh sahabat—ralat, mantan sahabatnya itu? Bukannya semua sudah jelas? Selama ini Mentari telah berbohong. Selama ini Mentari dan orang tuanya sudah menipu semua orang. Menyembunyikan kebenaran selama satu tahun di atas rasa sakit yang selama ini Semesta rasakan.

"Lo mau jelasin apa lagi setelah nipu kita, Tar? Apa lagi?"

"Sorry, Jem. Gue beneran minta maaf sama lo soal itu. Gue nggak akan menjelaskan apa pun ke lo karena semua udah jelas dan lo udah tau. Gue cuma mau... meluk lo. Seenggaknya ini permintaan terakhir gue sebelum hubungan persahabatan kita beneran berakhir."

Mata Mentari berkaca-kaca. "Lo satu-satunya sahabat gue dari SMA yang sampai saat ini selalu ada buat gue. Gue cukup tau diri kok. Apa yang lo lakuin ini emang tindakan yang paling bener. Tapi, seenggaknya kasih gue kesempatan buat minta maaf dan meluk lo untuk terakhir kalinya."

Jemisha tertawa hambar melihat air mata Mentari menetes. "Drama apa lagi yang lo buat, Tar? Gue udah bener-bener nggak percaya sama semua ucapan lo."

"Lo mau minta maaf, kan? Dari tadi lo udah bilang maaf. Jadi, kenapa lo masih di sini?" Jemisha mendengus kasar. "Udah, Tar. Mending lo pergi. Gue muak lihat muka penuh drama lo itu."

Tatapan Mentari terlihat sendu. Sakit. Rasanya ada hantaman batu besar di dadanya saat mendengar semua ucapan Jemisha. "Jem, gue cuma mau meluk lo. Kali ini aja. Please ijinin gue. Setelah itu gue janji nggak bakal ganggu lo lagi. Minggu depan kita ujian. Setelah itu, semester depan gue bakal ambil kelas lain. Gue nggak akan satu kelas lagi sama kalian dan nggak akan ganggu kalian."

"Bagus. Emang harusnya lo kayak gitu, Tar," balas Jemisha. Ia melangkah mundur saat Mentari ingin memeluknya. "Tar, gue udah bilang lo pergi aja—AAAA!!"

"JEMISHA!!"

Mata Mentari melebar. Jemisha jatuh ke tangga. Beruntung tidak sampai bawah karena di pertengahan tangga Jemisha berhasil berpegangan pada cekalan tangga.

"Jemisha!!"

Atlas dan Semesta datang. Mereka bahkan berusaha menyingkirkan Mentari yang berusaha menolong Jemisha.

"Minggir," kata Semesta tanpa menoleh. Ia menambahkan saat Mentari hanya mematung di antara mereka. "Lo nggak denger apa yang gue bilang?"

Mentari tergagap. Ia belum terbiasa menghadapi Semesta yang bersikap dingin seperti ini padanya. "A-aku—"

"GUE BILANG MINGGIR, MENTARI!" bentak Semesta pada akhirnya. Ia menatap Mentari dengan mata berapi-api. Tatapan yang baru kali ini ia layangkan untuk Mentari.

Tangan Semesta terangkat. Ia menunjuk wajah Mentari menggunakan jari telunjuknya. "BOKAP LO UDAH BIKIN ORANG TUA GUE MENINGGAL! TERUS SEKARANG LO MAU BIKIN SEPUPU GUE MENINGGAL JUGA, HAH?!"

Mentari bergerak mundur. Ini adalah kali pertama selama mengenal Semesta ia mendapat bentakan seperti ini.

"Minggir, Tar. Mending lo pulang aja. Biar Jemisha kita yang urus," tambah Atlas.

***

"Mentari... " Kinan menghampiri Mentari yang duduk di teras sambil melihat hujan sore hari.

Dari wajah Mentari, Kinan bisa menebak. Sampai saat ini, setelah hampir dua minggu semua berlalu, Mentari terlihat belum bisa berdamai dengan semuanya.

Kinan? Jangan tanya lagi, meski ia merasakan kesedihan yang sama dengan Mentari. Namun, sebagai ibu Kinan jelas tidak ingin menunjukkan kesedihannya di hadapan Mentari. Ia harus terlihat tegar agar Mentari juga seperti itu. Mentari masih 20 tahun. Masa depannya masih sangat panjang. Kinan hanya tidak ingin masa depan Mentari rusak karena masalah ini—ya meski masa depan Mentari memang terancam karena kasus ini, setidaknya dari Mentari sendiri masih mempunyai tekad untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Terlepas dari semua masalah yang terjadi.

"Besok Mama akan ke tahanan buat jenguk Ayah. Kamu... mau ikut?"

Mentari menatap mamanya sekilas sebelum menggeleng cepat. "Mama aja. Besok Mentari ada kelas sampai sore."

Kinan mengangguk paham. Meski sebenarnya ia tahu betul, Mentari menolak ajakannya dan beralibi sedemikian rupa, karena anak perempuannya ini memang terlihat belum siap bertemu dengan sang ayah.

Pertemuan terakhir mereka adalah saat hari pertama ayah Mentari ditahan. Waktu itu Mentari sempat berdebat dengan sang ayah. Jadi, wajar mungkin Mentari masih belum siap bertemu karena takut perdebatan itu kembali terjadi.

"Soal hutang kita ke Semesta, gimana kalau kita pinjam ke bank secara resmi terus kita bayaran ke Semesta? Jadi nanti kita nyicilnya ke bank aja. Bukan ke Semesta." Kinan menghembuskan napasnya pelan. "Mama takut kamu semakin tertekan kalau harus berhubungan dengan Semesta terus. Karena Mama tau, Semesta yang sekarang pasti akan memperlakukan kamu beda. Dia pasti merasa sangat kecewa dan... benci dengan keluarga kita."

Tersenyum. Mentari mengusap punggung tangan Kinan yang duduk di kursi sebelahnya. "Soal hutang sama Semesta biar aku yang mikir. Dan, rencananya semester depan Mentari juga bakal ambil kelas yang beda sama Semesta. Jadi, Mama tenang aja. Semua akan baik-baik aja."

Kinan menggeleng lemah. "Maaf, Mentari. Maaf kalau hidup kamu jadi seperti ini karena ayah kamu yang pengecut."

Mentari mengangguk. "Mama nggak perlu minta maaf. Iya, ini memang salah ayah. Sebenarnya Mentari juga udah maafin ayah kok. Lagi pula ayah udah bertanggung jawab kan? Cuma sekarang Mentari emang belum siap ketemu ayah lagi. Mentari nggak mau buat ayah sedih dengan tatapan kecewa dan marah yang selalu Mentari beri ke ayah."

"Mentari... " panggil Kinan dengan suara lembut.

Mentari membalas menatap mamanya dengan sorot meyakinkan kalau sekarang dirinya benar-benar baik-baik saja. "Ya, Ma? Kenapa?"

"Tanpa Semesta, kamu nggak apa-apa, Nak?"

Mentari mengangguk pelan. "Nggak apa-apa. Mungkin Semesta nggak ditakdirin buat Mentari, Ma. Lagian sampai kapan pun Mentari emang nggak akan pernah pantes buat Semesta yang terlalu sempurna. Semesta berhak dapetin seseorang yang lebih baik. Begitu juga dengan Mentari."

"Nggak apa-apa, Ma. Nggak apa-apa," ulang Mentari ketika menyadari Kinan masih belum percaya dengan jawabannya. "Dengan atau tanpa Semesta, Mentari akan baik-baik aja. Mentari akan bahagia. Mentari udah memaafkan segala hal. Mentari berharap Semesta juga kayak gitu."

"Setelah kamu pergi, segalanya di hidupku nggak pernah baik-baik aja, Semesta."

***

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro